Warning: This post may
contain some spoilers. Beware of your choice. Once you
read it, there’s no way back! Hahaha
[source] |
Sengaja nggak kasih judul book/novel review, karena postingan ini
sebagian besar akan berisi komentar, keresahan, dan unek-unek saya mengenai
seri pamungkas Supernova ini. Sengaja pula saya bikin postingan tersendiri
khusus untuk buku ini–padahal biasanya saya hanya puas nge-review buku sebatas di akun Goodreads saja–karena buku ini hampir
lumayan menyedot sebagian besar perhatian saya.
Baiklah, mungkin lagi-lagi saya
terhitung sangat terlambat baca Inteligensi Embun Pagi yang hype-nya sudah lewat setahun lalu. Saya
pun sebenarnya juga sudah beli bukunya setahun yang lalu. But whatever, yang penting saya sudah kelar baca bukunya. Hehehe.
Usai membaca seri terakhir ini,
membuat pikiran saya berkelana ke masa-masa ketika saya tertarik melahap lima
seri Supernova sebelumnya. Apalagi ketika saya membaca review dan rate para
Goodreaders yang tergabung dalam Barisan Pembaca Sakit Hati. Sebagian saya memang
setuju, tapi sebagian lain tidak. Anyway,
saya nggak sakit hati atau kecewa dengan IEP. Sungguh. Secara umum, saya puas.
Sayangnya, masih banyak gelembung tanya yang belum tuntas dipecahkan dalam IEP.
Teringat masa-masa berkenalan
dengan serial Supernova saat kuliah dulu. Saat itu, saya langsung baca seri
kelima, Gelombang, gara-gara tertarik ikut sebuah event menulis review. Saya
pun langsung suka dengan gaya tulisan Mbak Dee Lestari. Hingga akhirnya saya
buru-buru pinjam seri paling pertama Supernova; Kesatria, Putri, dan Bintang
Jatuh. Well, KPBJ pun sukses membuat
saya terpicu membaca ketiga seri lainnya; #2 Akar, #3 Petir, dan #4 Partikel.
Antusiasme saya makin memuncak
manakala Inteligensi Embun Pagi rilis. Dari awal, saya memang tidak pernah
meletakkan ekspektasi apa-apa atas seri terakhir ini. Sederhana saja, saya
hanya ingin membayar rasa penasaran dengan menyelesaikan seri terakhir ini.
Bahkan, saat saya membaca IEP pun saya meniatkan membaca-untuk-hiburan, bukan
untuk menilai. Namun, secara tidak sadar, tentu saja kegiatan
membaca-tanpa-menilai kedengaran mustahil bagi saya. Semakin diabaikan, malah
semakin kentara rasa yang mengganjal.
Seperti yang sudah saya tulis di
atas, secara umum saya puas dengan IEP. Sebagian besar rasa penasaran saya atas
kelima buku sebelumnya sudah berhasil terjawab di sini. Apalagi di bab-bab
terakhir, seperti menonton film aksi dengan visualisasi yang jernih dan nyata.
Saya bahkan bisa mengimajinasikan adegan-adegannya dengan sangat jelas. Sejelas
menonton film sungguhan.
Jika kalian juga membaca Supernova
dari buku pertama, mungkin akan terlihat sangat signifikan perbedaannya. Apa
yang dibahas di KPBJ memang jauh sekali dengan apa yang dibahas di IEP. KPBJ
lebih kompleks, rumit, dan cenderung filosofis. Pun, dibumbui dengan teori
fisika njelimet. Bagi yang nggak
kuat, mungkin akan menyerah ketika membaca seri ini. Sedangkan IEP, lebih
cenderung teknis dan kelihatan berusaha keras membuat persinggungan kehidupan antartokoh
di buku-buku setelah KPBJ.
Sejak saya bersinggungan dengan
KPBJ, saya tahu bahwa Supernova bukan sekadar novel fantasi biasa. Itulah
mengapa saya antusias membaca keseluruhan serinya hingga IEP. Meski migrain
dengan istilah-istilah yang membuat saya dalam mode roaming, namun makna tersirat yang tersaji dalam novel tersebut
sukses menarik saya menyelam semakin dalam. Benar-benar salah satu jenis novel
yang bikin saya berkontemplasi lumayan lama pasca membacanya.
Saya menyadari, sebagaimana review dari Barisan Pembaca Sakit Hati,
bahwa gaya bahasa di KPBJ dengan seri-seri setelahnya sangat berbeda. Jika
menurut pembaca mainstream, gaya
bahasa di KPBJ sungguh tidak ‘manusiawi’. Lebih mirip makalah hasil penelitian
disertasi dibanding novel fantasi. Sedangkan para pengagum KPBJ berpikir
sebaliknya. Supernova tidak seharusnya ‘menurunkan’ diri dengan berusaha ‘nge-pop’ di seri-seri setelah KPBJ.
Well,
saya sih tidak ambil pusing perihal gaya bahasa yang mirip makalah disertasi
atau gaya bahasa nge-pop. Selama
kualitas cerita masih tetap terjaga, style
apapun yang dipakai bukan masalah besar. Namun, sebagaimana komentar Barisan
Pembaca Sakit Hati yang dengan kecewa saya setujui, seiring dengan pertambahan
seri, nyawa yang berhasil penulis tiupkan dalam KPBJ perlahan terkikis. Kulminasinya
ada di IEP.
Dengan berat hati saya merasa makna
filosofis yang sudah terbangun sedemikian rupa, runtuh satu persatu. Saya pun
merasa kehilangan muatan filosofisnya ketika menyentuh IEP. Supernova pun
berubah menjadi novel fantasi biasa ketika dipungkasi IEP.
Jauh dalam lubuk hati, saya tidak
bisa menyangkal selama membaca IEP saya berusaha mencerna dan mencari-cari. Sayangnya,
saya tak kunjung menemukan. Entah memang hanya diselipkan sedikit hingga saya
kurang menyadarinya atau memang benar-benar secara nggak sengaja telah
dilenyapkan. Jujur saja, saya menunggu-nunggu pemahaman kontemplatif saya
disempurnakan di IEP. Saya juga menunggu-nunggu aroma filsafat ekstensial
kembali menyeruak sebagai resolusi di novel penutupnya.
Saya pikir, mungkin saja
perubahan-perubahan tersebut terjadi karena banyak alasan dan faktor. Salah
satunya adalah mengenai ‘rumah’ yang dinaungi oleh serial Supernova kini. Jika
kalian pembaca Supernova garis keras, mungkin sudah tahu bahwa cetakan pertama
KPBJ bernaung di bawah penerbit independen. Hingga kemudian ketika Supernova
makin tenar, rumah mereka pun berpindah pada penerbit mayor. Penerbit mayor means menyesuaikan selera pasar.
Ah, mungkin saja saya memang agak
sok tahu. Namun, jika dikait-kaitkan bisa jadi ada hubungannya juga. Saya
mengira perubahan gaya tersebut dilakukan supaya serial Supernova bisa menyasar
segmen pembaca yang lebih luas. Jika sasaran pembaca semakin luas, tentu
kepopuleran Supernova semakin meroket sehingga mendulang keuntungan berlimpah
bagi ‘rumah’ keduanya.
Saya tegaskan sekali lagi,
perubahan gaya bahasa bukan hal yang buruk-buruk amat. Sejujurnya, saya pribadi
sungguh bersyukur karena dengan bahasa yang lebih ‘merakyat’ membuat otak saya
yang cetek ini bisa lebih mudah mencerna dan saya jadi nggak perlu susah-susah
buka KBBI atau googling
istilah-istilah rumit. Hehehe.
Selain itu, ada hal lain lagi yang
agak mengganjal bagi saya mengenai penokohan di IEP. Lagi-lagi, dengan berat
hati, saya juga menyetujui pendapat Barisan Pembaca Sakit Hati. Saya setuju
kalau karakter Reuben, Dimas, dan Ferre yang di awal ‘kelihatan’ tampak vital
peranannya, berubah menjadi hanya tokoh figuran pelengkap di IEP. Apalagi si
Bintang Jatuh. Padahal saya menunggu-nunggu kemunculan gamblang tokoh Bintang
Jatuh ini. Sayangnya, tokoh ini di IEP hanya digambarkan sebagai sebuah entitas
yang samar, hampir serupa mimpi penuh khayalan. Saya sedih :(
Saya juga merasa kalau karakter
yang awalnya kelihatan nggak terlalu penting–sebut saja Gio–peranannya jadi
sangat penting banget di IEP ini. Bahkan malah dijadikan Sang Juru Selamat.
Selain itu lagi, karena saya #TimElektra, saya jadi sedih kenapa karakter Etra
di IEP jadi semacam tukang bawa sial. Hiks~
Ah, meskipun agak sedih, mungkin
saja hal tersebut memang sengaja dilakukan oleh Mbak Dee Lestari supaya IEP
punya ending yang nggak ketebak.
Mungkin saja, kan? Urusan tokoh mau diapain, sebagai pembaca saya sih manut
saja sama penulisnya~
Anyway,
tidak semua komentar Barisan Pembaca Sakit Hati saya setujui seratus persen.
Bahkan, ada review salah satu pembaca
yang bikin saya agak kesel. Entah mungkin ingin pamer bacaan atau bagaimana, si
pembaca ini dengan absurd-nya menggunakan
karya Leo Tolstoy, War and Peace, sebagai
pembanding IEP. Well, di situ saya merasa ingin bilang; “Yha, elu ngebandinginnya jomplang! Itu kayak lu ngebandingin Dear
Nathan sama Anna Karenina. Ya, Lord!”
Baiklah, memang saya tidak (atau
belum) pernah membaca karya Leo Tolstoy satu pun, apalagi War and Peace. Otak saya memang nggak kuat baca sastra klasik yang
berat-berat. Apalagi masih dalam terjemahan Inggris, belum ada versi
Indonesianya. Lha wong baca A Brief History of Time-nya Stephen
Hawking yang versi Inggris aja saya megap-megap. Bisa muntah darah kalau saya
baca sastra klasik versi bahasa Inggris. (Oke, ini memang rada lebay)
Hmm, jujur saya lumayan nggak habis
pikir dengan tukang pembuat-perbandingan-nggak-masuk-akal seperti si pembaca
itu. Kurang bijaksana saja, menurut saya. Banyak elemen-elemen yang sudah jauh
berbeda dari karya di atas. Selain soal kedalaman makna dalam kedua karya
tersebut, latar belakang pemikiran penulis dan rentang masa ketika kedua karya
tersebut dibuat memengaruhi aspek psikologis dalam suatu karya.
Gampangnya begini, menurut
sepemahaman saya yang dangkal ini, kurang bijaksana apabila membandingkan novel
klasik dengan novel masa kini. Kenapa? Karena masing-masing mereka dibuat pada
latar masa yang berbeda. Masing-masing dari mereka dibuat oleh penulis yang
hidup di masa yang berbeda dan tentu saja memengaruhi perbedaan perasaan dan
pemikiran ketika suatu karya tersebut dibuat. Mengutip tulisan seorang pecinta
buku yang pernah saya baca di Line; “Toh,
suatu hari nanti, karya masa kini akan menjadi karya klasik pada waktunya”. Tentu
saja, hanya beberapa karya masa kini berkualitas yang akan menjadi karya klasik
di masa depan. Ini pendapat saya, mungkin saja kalian berbeda.
Entah mengapa, postingan ini makin
lama jadi mbleber ke mana-mana~
Well,
seperti yang sudah saya tulis paling awal, postingan ini hanya berisi keresahan
dan unek-unek saya seputar serial Supernova. Terlepas dari kekurangan dan
protes kanan-kiri dari Barisan Pembaca Sakit Hati, saya tetap merekomendasikan
kalian untuk membaca Supernova dari KPBJ hingga IEP. Terutama bagi pembaca
genre fantasi yang tidak ambil pusing dengan segala tetek bengek unsur
intrinsik di atas dan menggunakan kegiatan membaca sebagai hiburan semata.
Cukup sekian postingan dari saya.
Apabila tulisan ini kurang berfaedah, ambil yang faedahnya saja (?)
Terima kasih~
Sampai jumpa di postingan
selanjutnya~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar