(500) Days of Summer [source] |
Baru kemarin saya menyempatkan
nonton film ini, meskipun mungkin sudah ditimbun sejak entah kapan. Benar,
memang saya nontonnya telat banget. Itu karena saya mager nonton, meskipun
aslinya saya penasaran banget sama film yang banyak diomongin orang ini. Ya,
maklum sajalah, film ini termasuk dalam daftar genre yang not my cup of tea, apalagi Hollywood. Saya selalu was-was kalau ada
adegan ranjangnya.
Awalnya, saya kira film ini tentang
musibah musim panas terpanjang di Amerika Serikat. Gila aja, lima ratus hari
alias hampir dua tahun musim panas doang. Apa nggak kering kerontang? Baiklah,
anggap saja saya yang dulu terlalu polos (dan dodol).
Seiring berjalannya waktu, ternyata
saya salah kira. Film ini bukan film disaster
seperti yang saya bayangkan dulu. Banyak yang suka dengan film ini dan jadi
perbincangan di mana-mana pada waktu itu. Ketertarikan saya muncul, namun
akhirnya pudar setelah tahu genrenya romance.
Romance? Hollywood pula?
Jangan-jangan nggak jauh beda sama serial American Pie. *ditendang masyarakat*
Namun, selentingan-selentingan itu
ternyata makin riuh hingga saya makin penasaran. Apalagi setelah tahu aktornya
Joseph Gordon-Levitt (yaa, terus?). Banyak yang bilang sangat recommended. Ratingnya di IMDb pun juga
bagus. Sebuah prestasi bagi seorang movie
buff bukan penyuka romance,
meskipun sekarang sudah zamannya La La Land.
Film ini berkisah tentang 500 hari
dalam episode kehidupan Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) yang bak roller-coaster akibat cewek bernama
Summer (Zoey Deschanel). Sebelum bertemu Summer, Tom menganggap hidupnya akan
senantiasa suram sebelum dia bisa bertemu seseorang yang bisa mencerahkan
hari-harinya. Sedangkan Summer, adalah cewek yang meyakini bahwa cinta itu
omong kosong pasca perceraian kedua orangtuanya. Lantas kemudian kehidupan
mereka pun saling beririsan dengan tetap membawa perspektif bertolak-belakang
masing-masing.
Sudut pandang film ini seluruhnya
menggambarkan perasaan seorang Tom yang melankolis. Seolah pula, film ini juga
menuntut kesetaraan gender di mana nggak hanya perempuan saja yang bisa selalu
tersakiti oleh lelaki. Hidup seorang cowok pun bisa jungkir balik nggak karuan
akibat seorang cewek. Seperti Tom ini.
[source] |
Sebenarnya Tom tahu, kalau Summer
bukan tipe wanita kebanyakan yang mudah baper dan menganggap bahwa cinta adalah
segalanya. Summer adalah kebalikan, baik dari Tom dan wanita-wanita pada
umumnya. Summer yang telanjur menganggap cinta adalah fantasi semu, cenderung
menolak komitmen dalam sebuah hubungan. Ia yakin kalau label itu hanya
mengungkungnya dan menghindarkannya dari kebebasan. Tom sungguh mengetahui,
namun kesulitan memahami anomali Summer. Meskipun kelihatannya gayung Tom
bersambut, hubungan keduanya tetap saja timpang.
Secara keseluruhan, film ini
menegaskan kalau Tom adalah pihak yang melulu tersakiti. Keintiman yang
terjalin selama beratus-ratus hari membuat Tom sukses meruntuhkan dindingnya.
Namun tidak bagi Summer. Sebagaimana layaknya hubungan tanpa status pada
umumnya, kedekatan mereka hanya sebatas teman. Meskipun bahasa tubuh mereka
masing-masing selalu mengindikasikan lebih dari teman.
Tom galau berkepanjangan. Apalagi
ketika Tom menuntut timbal balik setimpal karena telah merasa menyerahkan
seluruh hatinya pada Summer. Tom hanya butuh penegasan, bahwa hubungan mereka
bisa lebih dari teman. Sayangnya, Summer merasa sedang dibuatkan tali kekang
oleh Tom. Summer pun perlahan menjaga jarak. Tom makin nelangsa.
Sebagai penonton, saya mafhum
mengapa Tom butuh penegasan kejelasan status mereka. Bukan perkara karakternya
yang melankolis dan gampang baper saja. Namun sejatinya seorang lelaki, apalagi
yang terlibat kedekatan mendalam dengan lawan jenisnya, akan menganggap bahwa
lawan jenis tersebut adalah bagian dari teritorinya. Secara psikologis, lelaki
menganggap bahwa wanita yang dicintainya adalah sumber kekuatannya. Sebagaimana
wilayah kekuasaan, maka harus ada klaim. Semua orang harus tahu bahwa wanita
tersebut telah masuk dalam zonanya, sehingga lelaki lain manapun yang mendekat
sama saja telah mengusik kekuatannya. Sama saja pula telah mengusik
kebanggaannya. Laki-laki juga butuh pengakuan akan keberadaan dirinya. Dengan
diakui keberadaannya, maka lelaki merasa dibutuhkan oleh wanita yang
dicintainya. Lelaki pun merasa bangga. (Ngg… ini kok kayaknya semacam analisis
sok tahu gitu, ya? Hehehe).
Sedangkan dalam hubungan antara Tom
dan Summer yang tanpa status, keberadaan Tom bagi Summer hanya biasa saja.
Bukan yang vital dan sangat dibutuhkan. Tom tentu sudah kalah banyak, terutama
soal kebutuhannya untuk mengklaim ‘teritorinya’ itu. Tom nggak bisa apa-apa.
Sayangnya, Tom sudah telanjur into
Summer dan attach dengan Summer.
Tom yang awalnya selalu terbang
melayang akibat Summer, kini jatuh berdebam keras karena Summer pula. Apalagi
ketika hari-hari pasca Summer resign
dari kantor tempat mereka bekerja, hari-hari Tom di kantor tampak makin keruh
dibanding hari-hari sebelum Summer mengisi hatinya. Semangat hidup Tom yang
pernah menyala-nyala akibat kehadiran Summer, kini seolah tercerabut bersama dengan
kepergian Summer. Tom makin putus asa.
Kasarnya, menggunakan sudut pandang
secara umum, Summer semacam tipe cewek pemberi harapan palsu. Semua cowok yang
menonton (500) Days of Summer ini
akan merasa relate banget dengan
tokoh Tom. Apalagi jika pernah berada dalam situasi yang sama, mungkin para
penonton cowok akan mengasihani Tom mati-matian dan menghujat Summer dengan
amarah. Saya pun (meskipun saya cewek). Ingin sekali nge-puk-puk-in Tom dan bilang; “Semangat,
Tom! Kamu setrong, kamu kuwadh! *emoticon tangan kekar*.”
Kemudian, hari-hari hampa Tom pun
berlalu, hingga mereka pun bertemu secara tidak sengaja dalam perjalanan di
kereta. Summer seperti biasa, masih ramah dan masih menganggap Tom adalah teman
baiknya. Lalu, cerita itu kembali terulang, namun dengan kenyataan di depan
yang lebih menyakitkan. Tom masih berharap, tapi Summer tidak demikian.
Selama menonton film ini, saya
kadang tertawa sambil sesekali tersenyum. Bukan mengejek sifat Tom yang terlalu
baperianisme itu. Saya tertawa dan tersenyum dengan miris. Apalagi ketika
menjelang ending, perspektif awal Tom
dan Summer mengenai cinta tiba-tiba tertukar. Tom kini sedikit agak suram
memandang cinta, sedangkan Summer seperti menjilat ludah sendiri, mulai
mempercayai cinta. Sayangnya, definisi cinta Summer bukan bersumber dari
Tom–tidak seperti Tom yang memperoleh keyakinan barunya akibat masa lalunya
bersama Summer–, namun dari lelaki yang kini jadi suaminya.
Meskipun hati Tom retak dan nyaris
membuat hidupnya pincang selama berhari-hari, namun Tom masih berusaha
membongkar alasan Summer tersebut. Namun, jawaban Summer sungguh agak
menjengkelkan, Saudara-saudara! Seolah mensahihkan kalau Summer sudah menjilat
ludahnya sendiri. Definisi cinta bagi Summer kini sungguh simpel, it was like; “BAM! Okay, I think I love him!” Persis kayak Tom ketika mulai
jatuh cinta dengan Summer dulu.
[source] |
Lalu, satu yang bikin nyesek
adalah, ketika secara implisit Summer menjawab mengapa bukan Tom yang jadi “the one”-nya. Summer menjawab bahwa
ketika dia terbangun di pagi hari, Summer semakin merasa tidak yakin dengan
Tom. Meskipun selama hubungan mereka telah menciptakan keintiman yang dalam, tapi
bagi Summer hanya biasa saja. Urusan klik dan nggak klik memang sulit
dipaksakan, Kawan. Meskipun Tom merasa klik dengan Summer, tapi ternyata Summer
nggak klik. Meskipun mungkin saja Summer menikmati kedekatan di antara mereka,
namun bunyi klik itu nggak pernah terdengar di kedalaman diri Summer. #tsaaahh
Saya berkesimpulan kalau selama itu
hubungan mereka memang sahih hanya berupa cinta satu sisi dari pihak Tom.
Sedangkan Summer saat itu masih ‘mencari’. Saya mungkin bisa sedikit berempati
dengan Summer, karena mungkin saja perilakunya yang seakan-akan selalu
menyambut Tom hingga bikin Tom berharap lebih adalah dalam rangka meyakinkan
dirinya sendiri tentang definisi cinta versi dirinya. Mungkin saja. Hingga
akhirnya Summer menemukan lelaki yang benar-benar membuatnya yakin akan cinta dan
menyambutnya dengan tangan terbuka–yang sayang sekali bukan Tom. Proses
pencarian Summer: mission accomplished!
Pukpuk, Tom... :( [source] |
Hmm… sungguh panjang sekali review ini. Saya tidak menyangka bisa
menulis ulasan genre film romance
sepanjang ini. Mungkin akibat sering nonton drama Korea yang sering banget
ngasih bumbu roman meskipun ceritanya thriller
sekalipun. Hehehe.
Satu lagi, sebelum postingan ini
saya akhiri, saya ingin bilang kalau saya suka banget sama salah satu soundtrack di (500) Days of Summer, Sweet
Disposition dari The Temper Trap. Ya, sebelum nonton film ini saya sudah
tahu lagunya duluan soalnya. Hehehe.
Okay,
sampai jumpa di postingan selanjutnya (yang bakal makin jarang)~~
aku belum pernah ini nonton filmnya, padahal SC filmnya dijadikan meme dimana-mana ya mbak, salam kenal ya ^^
BalasHapuskeep blogging :D
Hai salam kenal jugaa 😊
HapusCuman baca bagian awalnya aja, karena takut ada spoiler dan langsung pengen donlod film ini. Tar kalau udah nonton, baru aku baca keseluruhan reviewnya hehehe
BalasHapusKalau untuk film, aku nggak mau yang berat-berat, pengennya buat haha hihi doang, dan kayanya ini film yang cocok buat aku karena genrenya romance.
Bener mba, di review ini spoiler sampai ending. Gara2 mikirnya udah pada banyak yang nonton juga paling. Wkwk untung ngga dibaca semuanya 😂
Hapus