Hello, folks! Sudah lama saya tidak
mengupdate konten blogspot saya karena sedang terobsesi dengan tumblr. Hehehe.
Ya, sebenarnya saya sudah terlebih dahulu membuat akun tumblr daripada blog
ini. Hanya saja, akun tumblr saya dulunya berisi tulisan copy-paste dan tidak
berbobot seperti sekarang (Ceilah…). Baru beberapa bulan terakhir saya suka
memposting tulisan di tumblr selain karena tumblr saya sudah lama berdebu dan
berkarat, juga karena posting di tumblr bisa dilakukan melalui smartphone. Hm,
anyway, kalau readers tercintah-ku kangen dengan tulisan saya saat saya sedang
malas mengupdate blogspot, silahkan berkunjung ke tumblr saya http://westlifelovers.tumblr.com/
, di-follow juga boleh lho. (Sekalian promosi huehehe)
Okay, anyway, di postingan kali ini saya
akan menulis sedikit ilmiah (gaya banget yak…). Ya, maklum lah, sebagai seorang
mahasiswi yang berkutat dengan buku diktat segede gaban dan jurnal-jurnal
ilmiah baik nasional maupun internasional, membuat saya lambat laun sedikit
agak ilmiah (bukan nggaya, lho. Baru sedikit, kok… hehehe). Yup, saya
terinspirasi membuat tulisan ini pasca membaca sebuah Jurnal Psikologi tentang
Kepuasan Pernikahan Ditinjau dari Berpacaran dan Tidak Berpacaran. Sebuah
jurnal hasil penelitian yang ditulis oleh mahasiswa (kalau nggak salah, sih)
Fakultas Psikologi, UGM.
Yup, terlihat dari judulnya, sangat
terpampang nyata bahwa sang peneliti ini akan membandingkan antara kepuasan
pernikahan dari pasangan yang mendahuluinya dengan berpacaran dan pasangan yang
tanpa pacaran. Hipotesis yang mereka pakai adalah, terdapat perbedaan
signifikan kepuasan antara pasangan berpacaran dan tidak berpacaran.
Nah, sebenarnya saya ingin menjelaskan
metode penelitiannya, jumlah sampel, dan tetek-bengek penelitiannya, namun
daripada nanti banyak yang pusing sampe muntaber, lebih baik langsung saya jelaskan
kesimpulan hasil penelitiannya saja. Tapi, kalau pengen tahu tentang hal tersebut
silahkan cari sendiri jurnalnya. Hehehe.
Jadi, hasil penelitiannya menunjukkan
perbedaan signifikan antara pasangan berpacaran dan tanpa pacaran sebelum
menikah alias hipotesis diterima. Pasangan yang tanpa berpacaran memiliki
tingkat kepuasan yang lebih tinggi dalam pernikahannya dibandingkan pasangan
yang berpacaran sebelum menikah. Nah, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Kalau
menurut hasil penelitian tersebut, tingkat kepuasan seseorang selama
pernikahannya itu berkorelasi positif dengan tingkat religiusitas individu. Kita
juga tahu bahwa orang yang memilih tidak pacaran itu biasanya memiliki tingkat
religiusitas yang tinggi. Semakin tinggi tingkat religiusitasnya maka semakin
tinggi pula kepuasan dalam pernikahannya. Hal itu disebabkan karena orang yang
memiliki tingkat religiusitas tinggi juga memiliki tingkat penerimaan yang
tinggi dan ikhlas, mereka menganggap bahwa pasangan yang sekarang telah mereka
nikahi merupakan jodoh mereka dan yang terbaik menurut pilihan-Nya. Sesuai juga
dengan pendapat Elizabeth B. Hurlock (1953) bahwa religiusitas membuat
pernikahan lebih memuaskan.
Yup, memang dalam penelitian ini (kalau
berdasarkan penilaian penulisnya sendiri) saat dilakukan pengambilan sample
memang terdapat hal-hal yang agak menimbulkan bias. Kata penulisnya sendiri,
hal tersebut masih membingungkan apakah kepuasan pernikahan itu disebabkan oleh
mereka tidak melakukan pacaran sebelumnya atau karena tingkat religiusitas
mereka yang tinggi. Selain itu, dalam mengambil responden pasangan yang tidak berpacaran
sebelum menikah, mereka mengambil para aktivis dakwah yang notabene ilmu
agamanya tidak diragukan lagi. Namun, untuk pasangan yang berpacaran sebelum
menikah diambil dari sampel yang orang muslim tetapi ilmu agamanya masih awam.
Jadi, menurut penulisnya, penelitian ini masih belum sempurna.
Nah, bukan berarti karena adanya hal
bias tersebut kita menjadi menyalahkan penelitian tersebut. Saya pribadi, sangat
percaya dengan hasil penelitian tersebut. Menurut sebuah penelitian oleh
seorang peneliti Barat, lamanya pacaran itu tidak tergantung dengan seberapa
langgengnya pernikahan nantinya. Mau kalian pacaran sampai sepuluh tahun juga,
belum tentu pernikahan kalian bakal langgeng seumur hidup. Contohnya udah
banyak, lho. Banyak tuh artis Hollywood yang pacaran (atau kumpul kebo mungkin)
selama lebih dari lima tahun, tapi setelah akhirnya mereka memantapkan diri
untuk menikah (melegalkan hubungan mereka) justru pernikahan mereka malah
kandas dengan usia masih sangat muda (hanya berusia 1 – 3 tahun saja). Kalau
saya tidak salah ingat, saya juga pernah menemukan pernyataan tersebut di buku
Psikologi Sosial karangan David G. Myers.
Bagaimana? Masih defense atau sudah
percaya nih buat para aktivis pacaran? Ini berdasarkan hasil penelitian
Psikologi, lho. Biasanya, ada yang bilang bahwa pacaran sebagai aktivitas
penjajakan pranikah untuk mengenal pribadi pasangan masing-masing. Penjajakan
sih penjajakan, tapi kalau pacarannya sampai lebih dari lima tahun, apakah
menjamin bahwa kalian sudah benar-benar mengenal pribadi pasangan dan akan
meningkatkan kepuasan pernikahan kalian nantinya. Asal tahu aja sih, pacaran
itu kan belum tentu setiap hari ketemu, jadi mungkin ada hal-hal yang ditutupi
oleh pasangan kalian ketika tidak bersama kalian. Sedangkan menikah, mau nggak
mau kalian tinggal berdua, setiap hari ketemu dan nantinya akan terungkap
hal-hal yang belum terungkap ketika masa pacaran. Wuahahaha. Waspadalah,
waspadalah!
Dan, saya juga mau mengungkapkan sebuah
fakta psikologis, nih. Biasanya cinta yang sebenarnya itu hanya bertahan sampai
empat tahun, hal itu karena dorongan hormon gelora cinta ini akan habis saat
hubungan sudah berlangsung antara 2 – 3 tahun. Lalu, kalau pacarannya sampai
lebih dari 4 tahun, artinya apa dong? Menurut penelitian yang dilakukan peneliti
dari Researchers at National Autonomous University of Mexico, sisanya adalah
dorongan seksual! (Jengjengjengjeng! Kemudian mata melotot, kamera zoom 400
kali). Hal tersebut juga diamini oleh seorang Psikolog dari Beijing, Diana Lie,
dan juga Anthony Fischer, penulis buku Anatomy of Love.
Nah, daripada urusannya makin berabe,
buat yang pacaran cepet-cepet nikah aja, deh. Jangan kelamaan pacaran sampai
bertahun-tahun. Lagian pacaran lama-lama juga bukannya nambahin pahala tapi
malah banyakin dosa. Kalau menurut Islam, pacaran itu sangat tidak dianjurkan.
Dalil tersebut sudah ada sejak ratusan tahun lalu, then sekarang, hasil
penelitian oleh para pakar psikologi dan neuropsikologi sudah membuktikannya.
Mau percaya atau tidak, itu urusan kalian, deh. Resiko ditanggung sendiri, ya.
Saya sudah mengingatkan dengan sejumlah dalil logika dan ilmiah nih. Huehehehe.
(Habis, dikasih dalil agama nggak mempan, masuk telinga kiri keluar telinga
kanan, mentang-mentang buktinya masih abstrak. Tapi, kalau dikasih dalil logika
nan ilmiah yang jelas-jelas terpampang nyata belum mempan juga, lebih baik
banyak-banyak istighfar aja, deh. Wkwkwk :D)
Terus, kalau yang masih pacaran tapi
belum mampu secara finansial, batin, dan fisik untuk menikah, lebih baik
bubaran saja. Lebih baik sekolah yang tinggi dulu, nyenengin orang tua dulu,
cari duit yang halal dulu, deh. Kalau jodoh, nggak akan kemana kok, pasti akan
bertemu suatu saat nanti (Ceilah… kayak lagunya Afgan – Jodoh Pasti Bertemu).
Ya, kalau saya berjodoh sama Afgan, pasti bakalan bertemu, kok. Hehehe (Mus,
fokus, Mus!).
Okay, back to the topic! Terus, kalau
nggak pacaran, gimana dong cara penjajakannya? Buat yang Muslim pasti udah
ngerti, deh, apa itu ta’aruf. Ta’aruf itu beda ama pacaran. Untuk penjelasan
lebih lanjut, silahkan tanya ke ustadz atau ustadzah kalian saja. Soalnya saya
belum pernah diajakin ta’aruf-an, nih. Yuk, siapa yang mau ta’aruf-an sama
saya? Huehehe (lagi ngode, nih. Jangan dihujat! *kemudian ditimpukin laptop)
Okay, sekian tulisan sok tahu versi ilmiah
ini. Semoga kebenaran dalam tulisan ini bisa dijadikan bahan pelajaran dan bisa
direnungkan. Untuk pertanyaan lebih lanjut silahkan hubungi saya. Huehehehe :)
Sampai jumpa di postingan selanjutnya,
folks! :)