Senin, 10 Maret 2014

Lebih Puas Mana, Pacaran atau Tidak Pacaran Sebelum Menikah?

08:37 4 Comments


Hello, folks! Sudah lama saya tidak mengupdate konten blogspot saya karena sedang terobsesi dengan tumblr. Hehehe. Ya, sebenarnya saya sudah terlebih dahulu membuat akun tumblr daripada blog ini. Hanya saja, akun tumblr saya dulunya berisi tulisan copy-paste dan tidak berbobot seperti sekarang (Ceilah…). Baru beberapa bulan terakhir saya suka memposting tulisan di tumblr selain karena tumblr saya sudah lama berdebu dan berkarat, juga karena posting di tumblr bisa dilakukan melalui smartphone. Hm, anyway, kalau readers tercintah-ku kangen dengan tulisan saya saat saya sedang malas mengupdate blogspot, silahkan berkunjung ke tumblr saya http://westlifelovers.tumblr.com/ , di-follow juga boleh lho. (Sekalian promosi huehehe)
Okay, anyway, di postingan kali ini saya akan menulis sedikit ilmiah (gaya banget yak…). Ya, maklum lah, sebagai seorang mahasiswi yang berkutat dengan buku diktat segede gaban dan jurnal-jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional, membuat saya lambat laun sedikit agak ilmiah (bukan nggaya, lho. Baru sedikit, kok… hehehe). Yup, saya terinspirasi membuat tulisan ini pasca membaca sebuah Jurnal Psikologi tentang Kepuasan Pernikahan Ditinjau dari Berpacaran dan Tidak Berpacaran. Sebuah jurnal hasil penelitian yang ditulis oleh mahasiswa (kalau nggak salah, sih) Fakultas Psikologi, UGM.
Yup, terlihat dari judulnya, sangat terpampang nyata bahwa sang peneliti ini akan membandingkan antara kepuasan pernikahan dari pasangan yang mendahuluinya dengan berpacaran dan pasangan yang tanpa pacaran. Hipotesis yang mereka pakai adalah, terdapat perbedaan signifikan kepuasan antara pasangan berpacaran dan tidak berpacaran.
Nah, sebenarnya saya ingin menjelaskan metode penelitiannya, jumlah sampel, dan tetek-bengek penelitiannya, namun daripada nanti banyak yang pusing sampe muntaber, lebih baik langsung saya jelaskan kesimpulan hasil penelitiannya saja. Tapi, kalau pengen tahu tentang hal tersebut silahkan cari sendiri jurnalnya. Hehehe.
Jadi, hasil penelitiannya menunjukkan perbedaan signifikan antara pasangan berpacaran dan tanpa pacaran sebelum menikah alias hipotesis diterima. Pasangan yang tanpa berpacaran memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi dalam pernikahannya dibandingkan pasangan yang berpacaran sebelum menikah. Nah, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Kalau menurut hasil penelitian tersebut, tingkat kepuasan seseorang selama pernikahannya itu berkorelasi positif dengan tingkat religiusitas individu. Kita juga tahu bahwa orang yang memilih tidak pacaran itu biasanya memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Semakin tinggi tingkat religiusitasnya maka semakin tinggi pula kepuasan dalam pernikahannya. Hal itu disebabkan karena orang yang memiliki tingkat religiusitas tinggi juga memiliki tingkat penerimaan yang tinggi dan ikhlas, mereka menganggap bahwa pasangan yang sekarang telah mereka nikahi merupakan jodoh mereka dan yang terbaik menurut pilihan-Nya. Sesuai juga dengan pendapat Elizabeth B. Hurlock (1953) bahwa religiusitas membuat pernikahan lebih memuaskan.
Yup, memang dalam penelitian ini (kalau berdasarkan penilaian penulisnya sendiri) saat dilakukan pengambilan sample memang terdapat hal-hal yang agak menimbulkan bias. Kata penulisnya sendiri, hal tersebut masih membingungkan apakah kepuasan pernikahan itu disebabkan oleh mereka tidak melakukan pacaran sebelumnya atau karena tingkat religiusitas mereka yang tinggi. Selain itu, dalam mengambil responden pasangan yang tidak berpacaran sebelum menikah, mereka mengambil para aktivis dakwah yang notabene ilmu agamanya tidak diragukan lagi. Namun, untuk pasangan yang berpacaran sebelum menikah diambil dari sampel yang orang muslim tetapi ilmu agamanya masih awam. Jadi, menurut penulisnya, penelitian ini masih belum sempurna.
Nah, bukan berarti karena adanya hal bias tersebut kita menjadi menyalahkan penelitian tersebut. Saya pribadi, sangat percaya dengan hasil penelitian tersebut. Menurut sebuah penelitian oleh seorang peneliti Barat, lamanya pacaran itu tidak tergantung dengan seberapa langgengnya pernikahan nantinya. Mau kalian pacaran sampai sepuluh tahun juga, belum tentu pernikahan kalian bakal langgeng seumur hidup. Contohnya udah banyak, lho. Banyak tuh artis Hollywood yang pacaran (atau kumpul kebo mungkin) selama lebih dari lima tahun, tapi setelah akhirnya mereka memantapkan diri untuk menikah (melegalkan hubungan mereka) justru pernikahan mereka malah kandas dengan usia masih sangat muda (hanya berusia 1 – 3 tahun saja). Kalau saya tidak salah ingat, saya juga pernah menemukan pernyataan tersebut di buku Psikologi Sosial karangan David G. Myers.
Bagaimana? Masih defense atau sudah percaya nih buat para aktivis pacaran? Ini berdasarkan hasil penelitian Psikologi, lho. Biasanya, ada yang bilang bahwa pacaran sebagai aktivitas penjajakan pranikah untuk mengenal pribadi pasangan masing-masing. Penjajakan sih penjajakan, tapi kalau pacarannya sampai lebih dari lima tahun, apakah menjamin bahwa kalian sudah benar-benar mengenal pribadi pasangan dan akan meningkatkan kepuasan pernikahan kalian nantinya. Asal tahu aja sih, pacaran itu kan belum tentu setiap hari ketemu, jadi mungkin ada hal-hal yang ditutupi oleh pasangan kalian ketika tidak bersama kalian. Sedangkan menikah, mau nggak mau kalian tinggal berdua, setiap hari ketemu dan nantinya akan terungkap hal-hal yang belum terungkap ketika masa pacaran. Wuahahaha. Waspadalah, waspadalah!
Dan, saya juga mau mengungkapkan sebuah fakta psikologis, nih. Biasanya cinta yang sebenarnya itu hanya bertahan sampai empat tahun, hal itu karena dorongan hormon gelora cinta ini akan habis saat hubungan sudah berlangsung antara 2 – 3 tahun. Lalu, kalau pacarannya sampai lebih dari 4 tahun, artinya apa dong? Menurut penelitian yang dilakukan peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico, sisanya adalah dorongan seksual! (Jengjengjengjeng! Kemudian mata melotot, kamera zoom 400 kali). Hal tersebut juga diamini oleh seorang Psikolog dari Beijing, Diana Lie, dan juga Anthony Fischer, penulis buku Anatomy of Love.
Nah, daripada urusannya makin berabe, buat yang pacaran cepet-cepet nikah aja, deh. Jangan kelamaan pacaran sampai bertahun-tahun. Lagian pacaran lama-lama juga bukannya nambahin pahala tapi malah banyakin dosa. Kalau menurut Islam, pacaran itu sangat tidak dianjurkan. Dalil tersebut sudah ada sejak ratusan tahun lalu, then sekarang, hasil penelitian oleh para pakar psikologi dan neuropsikologi sudah membuktikannya. Mau percaya atau tidak, itu urusan kalian, deh. Resiko ditanggung sendiri, ya. Saya sudah mengingatkan dengan sejumlah dalil logika dan ilmiah nih. Huehehehe. (Habis, dikasih dalil agama nggak mempan, masuk telinga kiri keluar telinga kanan, mentang-mentang buktinya masih abstrak. Tapi, kalau dikasih dalil logika nan ilmiah yang jelas-jelas terpampang nyata belum mempan juga, lebih baik banyak-banyak istighfar aja, deh. Wkwkwk :D)
Terus, kalau yang masih pacaran tapi belum mampu secara finansial, batin, dan fisik untuk menikah, lebih baik bubaran saja. Lebih baik sekolah yang tinggi dulu, nyenengin orang tua dulu, cari duit yang halal dulu, deh. Kalau jodoh, nggak akan kemana kok, pasti akan bertemu suatu saat nanti (Ceilah… kayak lagunya Afgan – Jodoh Pasti Bertemu). Ya, kalau saya berjodoh sama Afgan, pasti bakalan bertemu, kok. Hehehe (Mus, fokus, Mus!).
Okay, back to the topic! Terus, kalau nggak pacaran, gimana dong cara penjajakannya? Buat yang Muslim pasti udah ngerti, deh, apa itu ta’aruf. Ta’aruf itu beda ama pacaran. Untuk penjelasan lebih lanjut, silahkan tanya ke ustadz atau ustadzah kalian saja. Soalnya saya belum pernah diajakin ta’aruf-an, nih. Yuk, siapa yang mau ta’aruf-an sama saya? Huehehe (lagi ngode, nih. Jangan dihujat! *kemudian ditimpukin laptop)
Okay, sekian tulisan sok tahu versi ilmiah ini. Semoga kebenaran dalam tulisan ini bisa dijadikan bahan pelajaran dan bisa direnungkan. Untuk pertanyaan lebih lanjut silahkan hubungi saya. Huehehehe :)
Sampai jumpa di postingan selanjutnya, folks! :)