Malam takbiran
menjelang Idul Adha, saya dan Bapak terlibat diskusi panjang tentang konsep
ini. Sebenarnya kami membicarakan tentang ini karena terinspirasi dari sebuah
kisah perdebatan konsep Ketuhanan antara si aktivis dakwah dan seorang sekular
yang Muslimnya masih 50%. Mereka berdebat dengan menggunakan perspektif
pemikiran masing-masing. Si aktivis dakwah yang merupakan seorang Muslim taat
menjelaskan dengan dasar-dasar pemikiran Al-Qur’an sedangkan si Muslim abangan
yang sekular menjelaskan dengan dasar-dasar pemikiran ilmu pengetahuan yang
pada dasarnya masih terkungkung dalam logika.
Kemudian Bapak
melontarkan sebuah pertanyaan kepada saya:
“Dari cerita tersebut,
menurut kamu bagaimana urutannya, apakah Iman, Islam, Ihsan atau Islam, Iman,
Ihsan?”
“Tentu saja urutan yang
sesuai menurut saya adalah Iman dulu baru kemudian Islam lalu Ihsan” saya
menjawab dengan begitu percaya diri.
“Nah… mengapa?” Bapak
bertanya lagi.
“Karena seseorang itu
Iman dulu, baru kemudian dia menyatakan Islamnya dan kemudian ia pun masuk ke
kategori Ihsan”
Jawaban saya dibenarkan
oleh Bapak. Memang kalau dipikir dengan pemikiran orang awam seperti saya,
tentu seseorang itu beriman dulu baru kemudian ia menjadi orang Islam.
Lantas, kemudian Bapak
melanjutkan memberikan ulasannya, tetapi mayoritas muslim sekarang itu melalui
tahap Islam dulu, baru kemudian Iman. Pun juga seperti kami ini, yang pertama
kali pasti Islam dulu baru Iman. Orang-orang yang memang dari semenjak
dilahirkan sudah dalam keadaan Islam pasti mereka sudah masuk Islam. Tapi
pertanyaannya, apakah mereka sudah memiliki Iman atas agamanya itu?
Karena kita diciptakan
menjadi seorang muslim semenjak lahir, terkadang kita terlalu terlena dengan
identitas kita. Mentang-mentang kita sudah menjadi muslim sejak lahir,
mentang-mentang dari kecil kita sudah didoktrin dengan ilmu-ilmu agama, lantas
setelah kita sudah sebesar ini apa yang kita lakukan? Apakah ilmu kita hanya
begini begitu saja, tidak bertambah sama sekali, bahkan bisa saja berkurang?
Stagnan terus dari sejak masih kecil, dari sejak ikut TPA, sampai dewasa ini?
Apakah kita belajar sholat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya hanya karena ikut
orang tua atau ikut perkataan pak ustadz? Terkadang kita bahkan tidak pernah
melalui proses pemikiran yang panjang, kenapa kita harus begini, kenapa kita
harus begitu. Apakah ada dari kalian yang berpikir? Pun juga saya, sebesar ini
saya baru sadar. Kemana aja sih saya selama ini? Padahal muslim sejak lahir,
tapi ya masih gini-gini aja. Astaghfirullah…
Nah, kembali ke konsep
Islam dulu baru Iman. Biasanya, umur-umur seusia saya yang sedang semangat
menuntut ilmu agama itu, kalau latar belakang keluarganya muslim memang pada
dasarnya ia sudah diberikan doktrin dan keimanan tentang Tuhan sejak kecil.
Baru lantas kemudian, mereka semakin mempertebal identitas Islamnya itu dengan
menambah keimanan. Bisa saja dengan semakin menyelamkan diri ke dalam majelis
ilmu agama, sehingga semakin paripurnalah ilmu agama mereka untuk menjadi
seorang Muslim sejati.
Nah, bagaimana dengan
Iman dulu baru Islam. Jika sebelumnya seseorang itu belum memiliki keyakinan
akan Tuhan, pasti mereka sedang melakukan sebuah proses pencarian Tuhan. Selain
itu, sebenarnya ia juga sedang mencari identitas dirinya sebagai manusia. Ia
sudah mulai berpikir akan eksistensinya. Ia sudah mulai berpikir, siapakah
manusia itu, untuk apa mereka diciptakan, siapa yang menciptakan, dan lain
sebagainya. Memang, ia terkadang menggunakan logikanya terlalu berlebihan.
Tetapi, namanya juga manusia, yang diciptakan oleh Allah sebagai sesuatu yang
amat terbatas, dari segi pengetahuannya dan segalanya amat terbatas, tentu
logikanya tidak akan mampu untuk berpikir tentang Dzat Allah.
Merunut dari identitas
si sekular yang pada awalnya memang seorang Muslim tetapi masih 50%, tentunya
ia juga melalui Islam dulu. Tapi, mungkin saja karena fondasi keimanan yang
ditanamkan oleh orang tuanya semenjak dini masih belum kokoh, maka ia pun
menjadi semacam agak liberal bahkan menyangsikan identitasnya sebagai seorang
muslim, karena ia masih belum paham tentang konsep Ketuhanan. Nah, kalau di
sini, siklusnya menjadi mundur kembali, jadi ia kembali belum memiliki Iman
maupun Islam. Ia masih menjadi pribadi yang kosong. Maka, untuk
mengembalikannya ke jalan yang benar, dengan menggiringnya ke dalam keimanan.
Si sekular yang terlalu melihat sudut pandang dari sesuatu yang empirik,
sesuatu yang tampak mata, sesuatu yang berwujud, tentu jika ia diajak berbicara
tentang konsep Ketuhanan – pada dasarnya sesuatu yang ghaib – tentu akal
pikirannya tidak akan sampai. Tapi, jika ada seseorang yang dapat memberikan
pencerahan kepadanya – yang mungkin bisa saja menjelaskan tentang eksistensi
Tuhan menggunakan bukti ilmu pengetahuan – si sekular ini mungkin akan semakin
beriman kepada Tuhan. Jika ia menjadi seorang Muslim paripurna, bisa saja ia
akan menjadi lebih taat dibandingkan si muslim yang beragama Islam sejak lahir.
Saya akan memberikan
contoh nyata. Orang yang semenjak kecil belum muslim, tetapi kemudian setelah
melalui proses yang panjang akhirnya ia pun menemukan dirinya, kemudian ia
beriman kepada Allah lantas melangkahkan dirinya ke dalam Islam, maka ia
terlihat lebih semangat dalam menuntut ilmu agama dibandingkan dengan kita yang
semenjak kecil sudah muslim. Karena apa? Karena seseorang itu telah melalui
proses melewati keimanan. Ia telah mengalami sebuah pemikiran yang panjang,
yang kemudian menunjukkan ia ke jalan kebenaran. Tentu kalau ia sudah beriman,
dalam hatinya akan meyakini dengan sepenuh hati. Ia kemudian menyempurnakan
keimanannya dengan menjadi muslim dan masuk Islam. Tentu tidak berhenti sampai
di situ. Ia akan semakin menyempurnakan pengetahuan agamanya dengan mengkaji
agamanya semakin dalam. Karena ia juga telah meyakini, bahwa beriman adalah
pilihannya dan menjadi Islam juga sebuah pilihan. Ia juga merasa memiliki
konsekuensi atas pilihan yang ia yakini kebenarannya itu. Seperti contoh,
banyak ilmuwan-ilmuwan yang dulunya atheis, tetapi setelah menemukan suatu
penemuan fantastis – yang di dalam Al-Qur’an pun sudah ada – ilmuwan tersebut
akhirnya meyakini bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab sembarangan. Al-Qur’an adalah
kitab yang berasal dari firman Allah. Itu juga berarti, Allah itu ada. Akhirnya
ilmuwan atheis itupun akhirnya masuk islam. Bahkan ia menjadi lebih taat
dibandingkan muslim lainnya.
Lantas, melihat contoh
di atas. Bagaimana dengan kita yang sejak lahir sudah Muslim? Apakah kita akan
menjadi semakin bersemangat lagi dalam menjalankan perintah Allah, menjauhi
larangan-Nya dan memperdalam ilmu agama kita setelah membaca ini?
Nah, inilah, dalam
tulisan saya kali ini, saya tidak akan memberikan sebuah kesimpulan. Saya hanya
ingin menuliskan apa yang ada dalam pikiran saya saja. Untuk masalah
pengambilan kesimpulan, saya serahkan kepada kalian semua. Saya di sini juga
masih perlu banyak belajar. Tulisan ini bukan bermaksud untuk menggurui siapapun,
hanya untuk saling mengingatkan, mari kita berkaca pada diri sendiri. Kita
sebagai seorang Muslim yang sejak lahir sudah beragama Islam, apakah sudah benar-benar
mengerti hakikat menjadi seorang muslim? Apakah kita hanya sekedar ikut-ikutan?
Nasihat ini juga berlaku untuk yang menulis, tentu saja yang menulis belum
tentu lebih pandai atau lebih tahu daripada yang membaca.
Sekian tulisan saya
kali ini. Tulisan ini edisi khusus Idul Adha, jadi tidak ada unsur gaje-gaje
seperti tulisan saya sebelumnya. Jika ada yang punya pendapat berbeda dengan
saya, silahkan saja, karena kita juga sama-sama sedang belajar. Saya di sini
juga sedang menyampaikan pendapat saya saja :)
Sampai jumpa di
postingan saya selanjutnya :)
P.S: Maaf, tulisannya
bahasanya amburadul. Malah lebih amburadul daripada tulisan gaje saya. Biasalah
otak mikirnya udah sampai Z tapi tangan ngetiknya baru sampai J, impuls
listriknya terlalu cepat. Aaaaaaaaaaakkkkkkkkkk!! *sudah Mus, jangan gaje lagi
:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar