Warning: Tulisan ini berkonten serius–bercampur
curhat. Penulis sedang dalam fase ingin (sangat) serius. Efek terlalu banyak
menelan tulisan berkonten filsafat dan renungan. Halah. Jika kalian tidak kuat,
jangan dibaca! Cukup dipelototi saja sembari scrolling up and down.
Betapa hidup kita penuh dengan
tuntutan demi tuntutan yang harus dilunasi. Semakin bertambahnya usia, semakin
merasa sadar diri bahwa hidup itu perlu diisi dengan sesuatu yang beresensi.
Semakin sadar juga, bahwa hidup bukan sekadar main-main. Lantas, sudahkah
setiap jengkal hidup kita telah diisi dengan sesuatu yang bermakna? Kadang, hal
ini kerap kali memantik kegalauan saya.
Berbicara target–atau tuntutan–hidup
terdekat saya dan teman-teman sebaya saya, sebut itu lulus kuliah dan wisuda,
sudah sebegitu memantik letupan pertanyaan yang bergema dalam benak. Teringat
peristiwa berbulan-bulan lalu, ketika saya dan beberapa teman saya
berbondong-bondong ‘menontoni’ sembari mengucapkan selamat kepada kakak-kakak
tingkat di atas kami yang baru saja purna studi. Senyum sumringah dan tawa
kebahagiaan membumbung di sekitar kami hingga mencipta tularan energi dari satu
individu ke individu lain. Kami–para adik tingkat–merasa terpacu untuk lebih
giat lagi dalam merampungkan beban SKS yang tinggal beberapa gelintir. Pun,
mulai menyiapkan segenap jiwa raga untuk memberikan perhatian penuh kepada SKRIPSI.
Berbagai selentingan dari beberapa teman
sempat singgah di telinga saya pada waktu itu. Ingin segera didandani cantik,
katanya. Ingin memakai toga sembari membawa berkarung-karung hadiah ‘selamat
wisuda’ dan bertangkai-tangkai bunga dari teman dan adik-adik tingkat, katanya.
Ingin menyelempangkan samir bertuliskan ‘cumlaude’
juga, katanya. Namun, apakah esensi lulus kuliah hanya sebatas itu? Bagaikan
dihantam godam translusens, tiba-tiba saja saya tersentak, teringat akan
sesuatu. Wisuda atau lulus kuliah itu bukanlah akhir, justru itulah awal kita
memasuki gerbang yang sebenarnya. Gerbang kehidupan yang lebih keras dibandingkan
dunia kampus yang tinggal menghitung hari dinikmati. Nyatanya, mensyukuri sebuah
momen kelulusan kuliah tidak sebercanda itu. Ada hal yang lebih krusial yang
patut diberi perhatian penuh. Hal krusial itulah yang menjadi tuntutan kedua
setelah tuntutan pertama tadi. Lantas, saya pun teringat salah satu cerita
pendek Mas Kurniawan Gunadi di buku Hujan Matahari, Hikayat Kampus Gajah.
Mungkin bagi kalian yang sudah baca, akan paham maksud saya.
Lalu, tuntutan kesekian, yang
mungkin menjadi bahan galauan sejuta umat di seluruh penjuru dunia alam semesta
adalah MENIKAH.
Tidak bisa dipungkiri, di usia saya
yang sudah memasuki seperlima abad ditambah tujuh belas bulan ini memang penuh
dengan pergumulan batin yang memaksa saya untuk senantiasa menjadi perenung
sejati. Merenungi kehidupan yang rasanya semakin menyeramkan.
Begitu pun dengan persiapan memasuki
gerbang pernikahan. Semakin bertambah usia, saya menyadari bahwa menikah itu
sedikit menyeramkan. Menikah tidak melulu indah layaknya dongeng princess Disney, asal tahu saja. Menikah
tentu saja tidak sebercanda itu. Ditambah lagi dengan selama magang di Komisi
Perlindungan Anak Indonesia kerap mendapat kasus perebutan hak asuh anak dari pasangan
muda yang bercerai. Semakin paripurnalah ketakutan dan kekhawatiran saya.
Bukan, bukannya saya takut menikah.
Saya hanya terlalu khawatir akan kehidupan saya nantinya setelah menikah. Saya
bukan tipe penggalau mainstream kebanyakan
yang hanya berkutat pada urusan ‘siapa jodohku’ saja. Beberapa hal remeh temeh
mengenai pernikahan belakangan menyita perhatian saya. Ditambah pula dengan
andil mata kuliah pilihan yang saya ambil di semester ini, Psikologi Seks dan
Pernikahan.
Saya menargetkan–dan berharap–untuk
bisa menikah di usia 24 tahun. Akan tetapi, saya merasa masih belum memiliki
bekal memadai untuk dapat memasuki gerbang pernikahan. Padahal tiga tahun itu
cepatnya laksana kilat. Saya masih terlampau egosentris, sedangkan dalam
pernikahan menuntut kerja team yang
tidak sederhana. Kerja team dalam pernikahan tidak hanya sebulan dua bulan
layaknya kerja kelompok, namun seumur hidup. Saya juga masih memendam
keinginan-keinginan serta ambisi-ambisi yang belum terlunaskan. Masih memantik
penasaran, jika boleh dibilang. Saya takut, ketika saya menikah, ambisi dan
keinginan yang belum lunas terjawab itulah pemicu konflik ke depannya. Saya
juga masih belum matang–untuk saat ini. Saya masih suka semaunya sendiri. Saya
masih ingin minta dimengerti dibandingkan mengerti orang lain–meskipun sudah
empat tahun menjadi mahasiswa Psikologi. Saya masih suka drama queen. Saya lebih suka membaca berkarung-karung buku dan
menulis berpuluh-puluh lembar dibandingkan memasak. Masakan yang saya bisa hanya
masakan remeh temeh yang tidak keren-keren amat. Sama sekali tidak bisa
dibanggakan. Saya tidak bisa dandan. Saya kurang sabar mengajari adik saya
belajar. Bagaimana nanti kalau saya harus mengajari belajar anak saya? Serta
hal-hal mengkhawatirkan lainnya dalam diri saya yang apabila tidak segera
dibereskan akan menghambat kehidupan pernikahan saya nantinya.
Lantas, selain khawatir akan diri
saya sendiri, saya juga mengkhawatirkan pasangan hidup saya kelak. Bagaimana
karakter si pasangan hidup saya nantinya? Apakah kami nanti bisa saling seiya
sekata dalam bervisi dan menjalankan misi kehidupan bersama? Apakah nanti pasangan
saya bisa menuntun saya ke jalan yang diridhoi oleh Allah? Apakah nanti
pasangan saya bisa diajak berdiskusi mulai dari mengurus anak hingga membicarakan
topik terhangat negara? Apakah pasangan saya nanti penyabar? Mengingat saya
cenderung galak dan gampang meledak-ledak ketika PMS. Apakah pasangan saya
punya gangguan kepribadian? Saya takut, kalau tiba-tiba saya mendapati ia
sebagai pengidap bipolar atau kepribadian schizoid.
Apakah pasangan saya mau menerima saya apa adanya beserta keluarga saya yang
jauh dari sempurna? Apakah pasangan saya ikhlas menerima saya yang tidak
cantik-cantik amat, tidak pinter-pinter amat, serta banyak kurangnya ini?
Apakah kami berdua mampu berkomitmen dalam mempertahankan ikatan hingga
kehidupan selanjutnya?
Ribet, bukan? Memang. Kekhawatiran-kekhawatiran
itu muncul bukan tanpa alasan. Sejujurnya, saya masih terlalu hijau untuk paham
tentang cinta serta pernikahan. Meskipun selama dua tahun belakangan saya
melahap beragam buku mengenai
relationship pria dan wanita, hanya untuk memahami mekanisme cinta hingga
berujung pada jenjang pernikahan.
Kata di buku-buku itu, pernikahan
itu dilandasi dengan cinta pada awalnya, lantas seiring berjalannya waktu kita
tidak bisa terus-terusan mengandalkan cinta. Rasa cinta itu fluktuatif karena
hal tersebut merupakan bagian dari sisi emosionalitas makhluk hidup. Manisnya
cinta yang passionate–menggebu-gebu–hanya
berjalan sampai lima tahun pernikahan. Bahkan ada yang hanya setahun atau dua
tahun saja. Jika tidak kuat, atau salah mendefinisikan apa itu pernikahan,
tentu ketika rasa cinta perlahan memudar, masing-masing pihak akan merencanakan
sebuah perpisahan. Saya pun akhirnya menyadari bahwa menikah tidak hanya cinta
saja, perlu komitmen. Lantas, apa yang menciptakan komitmen? Kembali ke tujuan
pernikahan antar masing-masing pasangan. Lihat kembali visi dan misi yang
pernah terencana. Itulah, hal yang membuat suatu ikatan pernikahan tetap
terjaga.
Akan tetapi, sering saya lihat pula
bahwa kebanyakan masyarakat sekarang menjadikan pernikahan sebagai sarana
pemenuhan tuntutan hidup semata. Kosong melompong, tanpa tahu esensinya.
Padahal kekosongan dan ketidaktahuan itulah salah satu sebab mengapa banyak
pasangan masa kini yang memilih bercerai ketika pernikahan baru seperempat jalan.
Ada juga yang menjadikan pernikahan sebagai ajang perlombaan atau pamer
kekayaan. Mengundang ribuan undangan, meskipun tidak kenal. Heboh ke sana
kemari, menghabiskan uang jutaan hingga milyaran. Buat apa, hanya memboroskan
uang saja, kan? Malahan, kesakralan dalam pernikahan tersebut menjadi hilang
ditelan ingar bingar pesta.
Pernikahan tidak sedangkal itu,
padahal.
Seiring bertambahnya usia dan
kematangan emosi, masing-masing dari kita pasti akan menggalaukan hal-hal
tersebut. Galau tidak akan berkisar pada siapa gerangan sang pendamping hidup
kelak. Kalau saya sendiri lebih menggalaukan apakah nantinya saya bisa memahami
sang pendamping hidup tersebut? Meskipun saya telah menjejali diri dengan buku Men are From Mars, Women are From Venus-nya
John Gray serta Why Men Don’t Listen and
Women Can’t Read Maps-nya Allan dan Barbara Pease, tetap saja merasa kurang
paham. Meskipun juga sudah dijelaskan panjang lebar tentang sifat dasar kaum
adam yang harus dimengerti oleh kaum hawa. Tetap saja, masih banyak pertanyaan
yang berkecamuk. Hidup tentu tidak sesederhana teori-teori dalam buku self-help tersebut, bukan? Ada
kejutan-kejutan dan riak-riak kecil yang pasti ada sepanjang kehidupan manusia,
tentu saja. Tidak mungkin akan datar-datar saja. Sesuatu yang datar tidak akan
seru. Harus ada dinamika. Namun, dinamika seperti apa? Itulah yang selalu
menjadi pertanyaan saya sendiri. Takut kalau-kalau dinamika tersebut adalah
sesuatu yang sukar untuk diurai. Takut kalau-kalau ketika sudah saling mentok,
akhirnya malah saling berbalik ke belakang dan melarikan diri.
Melarikan diri. Terdengar
menyeramkan.
Well,
tidak bisa dipungkiri, sebagai seorang wanita ternyata saya lebih ribet
daripada wanita kebanyakan. Hampir semua hal dipikirkan, definisinya hingga
esensinya. Sampai akhirnya menyadari bahwa nyatanya saya tidak tahu apa-apa.
Bahkan untuk kehidupan dewasa awal yang remeh temeh saja saya tidak paham. Atau
saya saja yang bebal, tidak mampu mencerna informasi dan mensintesisnya menjadi
sebuah pemahaman yang baik.
Jadi, memang nyatanya saya butuh
untuk disempurnakan. Supaya pemahaman saya yang sepatah-patah ini bisa
tergenapi. Lantas, siapa? Mungkin, kamu orangnya. Hehehe.
Halah,
nulis serius kok ya masih bisa guyon to, Rif.
Tulisan ini makin ke bawah makin pointless saja. Ah, sudahlah, saya hanya
ingin menumpahkan segala kegalauan yang belum terjawab. Pikiran saya random
akhir-akhir ini. Senantiasa diliputi kecemasan akan tugas-tugas perkembangan
menjadi seorang manusia yang memasuki fase perkembangan dewasa awal. Banyak
sekali! Hingga untuk dibayangkan saja rasanya tidak mampu.
Bagi yang sudah bersedia membaca
tulisan abal-abal ini, saya ucapkan terima kasih. Kalian telah bersedia
membuang waktu berharga kalian hanya untuk membaca tulisan yang tidak
penting-penting amat. Hahaha.
Semoga, bagi kalian yang suka
mampir di blog ini, tidak akan kecewa untuk mampir di lain waktu. Terima kasih,
pembaca setia…
Sampai jumpa di postingan
selanjutnya :)