[source] |
Beberapa hari lalu, saya baru saja
menyelesaikan salah satu buku Malcolm Gladwell yang tidak kalah keren dari Tipping Point dan Blink. Yup, Outliers. Mungkin
sudah banyak yang tahu dengan buku ini, karena sudah beredar di Indonesia sejak
tahun 2009. Berbeda dengan Tipping Point
yang mengulas tentang fenomena getok tular atau Blink yang membahas tentang intuisi dan rapid conclusion, Outliers
mengulas tentang fenomena kesuksesan sejumlah orang terkenal.
Seperti kebanyakan buku-buku Malcolm
Gladwell lainnya, Outliers mampu menjabarkan
fakta tentang kesuksesan yang sangat insightful
bagi pembacanya. Saya sampai tercengang-cengang dengan kelihaian penulis dalam
memaparkan analisisnya berdasarkan sejumlah data dan fakta penelitian. Semua
peristiwa yang dipaparkan saling berkesinambungan satu sama lain sehingga
mencipta sebuah hubungan sebab akibat yang runtut.
Dalam statistik, mungkin sudah
banyak yang familiar dengan istilah outlier.
Ya, outlier dalam statistik berarti
sebuah nilai yang berbeda dibanding dengan contoh lainnya. Bisa diartikan bahwa
outliers adalah sekelompok entitas
yang unik dan berbeda.
Kisah dalam Outliers ini dibuka dengan kisah aneh di sebuah tempat bernama
Roseto. Awalnya, Roseto adalah nama sebuah desa di Italia, namun pada abad
ke-19, penduduk Roseto mulai melakukan migrasi ke Amerika Serikat. Mereka menempati
Pennsylvania dan mendirikan sebuah kota bernama Roseto pula. Nah, pada tahun
1950-an, seorang dokter bernama Stewart Wolf lah yang pertama kali menemukan
keunikan pada penduduk Roseto. Pasalnya, ketika dokter Wolf mengisi sebuah
seminar di Roseto, seorang dokter di sana bercerita bahwa selama tujuh belas
tahun lamanya, dia tidak pernah menangani pasien jantung di Roseto. Padahal
pada tahun 1950-an, penyakit jantung merupakan penyakit yang sulit dicegah dan
disembuhkan karena obat penurun kolesterol dan semacamnya tersebut belum
ditemukan. Menurut dokter Wolf, pada zaman itu sungguh aneh apabila tidak ada
dokter yang belum pernah menangani pasien jantung. Jadi, angka kematian di
Roseto bukan disebabkan oleh penyakit jantung, penyalahgunaan alkohol, penyakit
lambung, kemiskinan, atau penyakit kronis lainnya, akan tetapi hanya perkara
mereka sudah uzur saja, memang sudah waktunya.
Nah, akibat dari fenomena tersebut,
dokter Wolf pun tertarik untuk melakukan penelitian pada penduduk Roseto. Pertanyaan
yang terus bergaung dalam benak dokter Wolf adalah apa yang menyebabkan
penduduk Roseto sedemikian sehatnya di tengah semakin banyak bermunculan
penyakit-penyakit baru. Akhirnya, terjawab sudah segala tanya dan keanehan yang
membuat penasaran itu. Rahasia sehat dari penduduk Roseto adalah bukan karena
pola makan penduduk Roseto yang justru lebih banyak mengandung kalori ataupun
perilaku olahraga mereka. Jawaban mencengangkan itu ternyata bukanlah hal yang
bersifat fisik. Rahasia di balik Roseto terkuak ketika dokter Wolf dan
partnernya, Bruhn, berjalan-jalan di Roseto dan menemukan perilaku penduduk
Roseto yang saling berkunjung satu sama lain, berhenti untuk saling menyapa dan
mengobrol dalam bahasa Italia, atau memasak makanan untuk tetangganya di
halaman belakang.
Well,
that’s a kind of silaturahim, right?
Sampai di sini saya pun
tercengang-cengang dengan fakta penelitian tersebut. Pikiran saya pun berkelana
mengingat salah satu materi kuliah Psikologi Sosial yang pernah disampaikan
oleh dosen saya semester lampau. Yup, tentang perilaku silaturahim dan
hubungannya dengan kesehatan fisik. Bedanya, kisah yang diceritakan dosen saya
terjadi di sebuah desa di Jepang, di mana penduduknya juga memiliki usia harapan
hidup yang lebih tinggi akibat dari budaya srawung
dengan tetangga sangat terjaga.
[source] |
That’s
why,
Rasulullah pun pernah
bersabda bahwa barangsiapa yang menjaga silaturahim maka akan dipanjangkan umurnya
dan dilapangkan rezekinya. See?
Ternyata kalimat dipanjangkan umur itu memang benar-benar bermakna ‘panjang
umur’ secara harfiah. Begitu pula dengan dilapangkan rezekinya, tentu sudah
banyak yang familiar dengan istilah ‘memperluas jejaring pertemanan’, bukan?
Nah, menyambung silaturahim merupakan salah satu sarana memperluas jejaring
pertemanan. Lantas, efeknya adalah pintu-pintu rezeki juga akan terbuka lebar.
Rezeki tidak melulu masalah pekerjaan, mendapat jodoh juga termasuk mendapat
rezeki, kan? Halah…
Sudahlah, lebih baik skip ke bahasan selanjutnya saja, deh. Hehehe.
Nah, sebenarnya bahasan utama Outliers bukan masalah Roseto dan
silaturahimnya saja. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa Outliers berbicara tentang kesuksesan
yang hanya didapatkan oleh beberapa gelintir berbanding jutaan orang di Amerika
Serikat. Salah satu yang mengherankan adalah teori yang diejawantahkan Malcolm
Gladwell dalam memandang sebuah kesuksesan itu sendiri. Gladwell memandang
bahwa kesuksesan sejatinya bukan hanya semata-mata karena kerja keras seseorang
itu saja, seperti yang sering digaungkan dalam buku-buku motivasi atau
autobiografi orang-orang sukses. Faktor ‘semesta mendukung’ juga memiliki andil
yang besar dalam membentuk sebuah kesuksesan pada sejumlah orang tersebut.
Salah satu yang mencengangkan
adalah teorinya tentang kesuksesan dipengaruhi oleh bulan dan tahun kelahiran. Ini
bukanlah perkara hitung-hitungan semacam primbon, numerologi, atau hal
metafisik lainnya. Akan tetapi, teorinya tersebut dikaitkan dengan kondisi
historis dan peristiwa besar apa saja yang terjadi ketika orang tersebut
dilahirkan hingga akhirnya mereka menginjak usia 20 tahunan.
Seperti dalam teori fase perkembangan
manusia, usia 20-an merupakan masa dewasa awal. Seseorang yang berada di masa
dewasa awal biasanya sedang gencar-gencarnya mengeksplorasi minat dan
lingkungan sekitarnya. Masa pencarian karier dan keinginan untuk berkembang pesat
terjadi pula pada masa ini. Nah, menurut Gladwell, jika ketika seseorang
menginjak usia 20 tahun, lalu pada saat itu ia sedang memiliki minat mendalam
terhadap sesuatu yang berprospek tinggi, kemudian ia semakin memperdalam minat
tersebut, maka kesuksesan pun perlahan menuju genggamannya.
Oke, mungkin tampak terlalu rumit
sekali jika dijelaskan tanpa menggunakan contoh. Jujur saja, saya membaca
penjelasan di atas juga pusing sendiri. Hahaha.
Contohnya, seperti yang dijabarkan
Malcolm Gladwell pada kisah kesuksesan Bill Gates, sang bos Microsoft; Paul Allen, co-founder Microsoft; Bill Joy, dewa
perangkat lunak; dan juga Steve Jobs, bos Apple
Inc. Jika ditelisik secara mendalam,
para pembesar dunia software tersebut
dilahirkan pada rentang tahun 1953 hingga 1956.
Lantas, ada apa dengan tahun
tersebut?
Dalam sejarah perkomputeran dunia,
tahun 1975 adalah tahun kebangkitan awal dunia komputer pribadi. Dulunya,
komputer masih terlampau besar, mulai tahun 1975 komputer sudah mulai sedikit
diperkecil ukurannya. Nah, jika para pembesar dunia software tersebut dilahirkan pada rentang tahun 1953-1956, tentu
ketika tahun 1975 mereka sudah menginjak awal 20-an, bukan?
Nah, seperti yang sudah dituliskan
di atas, bahwa usia 20-an merupakan masa emas seseorang dalam mencari bekal
pengetahuan sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan minat dan keahliannya. Sangat
tepat sekali momennya bagi mereka, apalagi minat mendalam mereka terhadap
teknologi perangkat lunak. Tahun tersebut mereka manfaatkan dengan
sebaik-baiknya dengan semakin memperdalam minatnya dalam dunia komputer. Hingga
tahun-tahun mendatang, akhirnya mereka sudah mencapai target minimum untuk
menjadi seorang ahli. Ya, 10.000 jam latihan!
Maka, rumus sukses tidak hanya
karena dipengaruhi oleh faktor ‘semesta mendukung’ saja, namun juga perlu
ditambah dengan faktor ‘10.000 jam latihan’.
Anyway,
kisah 10.000 jam latihan menuju kesuksesan ini bukanlah sebuah mitos belaka.
Nyatanya, semua ahli di dunia dari berbagai latar belakang, mulai dari musisi,
aktor, penulis, ahli software, ahli
matematika, atlit bulutangkis, pemain catur, penjahat kelas kakap, dan ahli-ahli
lainnya, tentu telah mengarungi apa yang dinamakan ’sepuluh ribu jam terbang’.
Ada kisah dalam buku tersebut yang
berkaitan dengan fenomena sepuluh ribu jam terbang, yaitu kisah perjalanan
karir salah satu band paling legendaris di dunia, The Beatles. Seperti yang
kita tahu, The Beatles adalah grup band yang sohor di zaman ketika belum
ditemukannya Youtube, Twitter, ataupun Instagram. Untuk mendulang kesuksesan sebagai musisi pada masa itu,
tentu tidak seinstan masa sekarang. The Beatles tentu tidak meng-upload video performa mereka di Youtube, ataupun merekam suara mereka di
Soundcloud, lantas menunggu viewers, likes, dan subscribers
mereka merangkak naik hingga menjadikan mereka tenar. Tidak. Justru, perjuangan
The Beatles bermula dari satu klub ke klub lain, hingga akhirnya mereka
terdampar di sebuah klub di Hamburg, Jerman. Sejak saat itu, mereka bekerja
selama delapan jam setiap hari. Kerja dan latihan delapan jam sehari selama
tujuh hari dalam seminggu dari tahun 1960 hingga 1962.
Lantas, lihatlah The Beatles
sekarang. Siapa yang tidak kenal mereka, karyanya, dan prestasi mereka? Itulah
salah satu efek dari 10.000 jam latihan, menjadikan mereka tidak semata musisi
musiman Youtube atau Instagram. Karya mereka senantiasa
bergema meskipun keberadaan mereka sudah berkalang tanah.
Nah, sesuai
dengan kaidah 10.000 jam terbang, untuk menjadi sukses memang perlu usaha yang
lebih keras, lebih banyak, dan lebih mendalam dibandingkan dengan kebanyakan
orang lainnya. Untuk yang bagian ini, seperti yang sering digaungkan dalam
buku-buku motivasi kesuksesan, sangat berbanding lurus.
Ya, sebenarnya
banyak sekali printilan-printilan fakta mencengangkan mengenai kesuksesan yang
dijabarkan Malcolm Gladwell dalam Outliers
ini. Selain faktor ‘semesta mendukung’ dan ’10.000 jam terbang’, ternyata ada
faktor lain yang turut menentukan kesuksesan seseorang, terutama dalam hal
keuletan dan ketangguhannya. Apa itu? Faktor tersebut adalah faktor latar
belakang budaya dan latar belakang historis keluarga. Jika saya jabarkan
satu-satu dengan panjang lebar, tentu akan semakin membosankan jadinya
postingan ini.
Maka, bagi yang
penasaran, lebih baik baca Outliers
dari awal sampai akhir. Saya berani bertaruh, kalian akan jatuh cinta berat
dengan buku ini karena penyajiannya yang sangat membuka wawasan dan tidak
membosankan. Ya, tentu saja tidak seperti buku diktat kuliah yang banyak bertebaran
kutipan menjengkelkan seperti ini;
Menurut Spears (2009) bahwa blahblahblah dalam blahblahblah merupakan blahblahblah (dalam William, 2012).
Kemudian
ingat skripsi. Ah, sudahlah...
Tentu saja,
dibanding membaca buku diktat kuliah, apalagi jurnal ilmiah bahan skripsi,
lebih betah membaca seribu lembar buku nonfiksi semacam Outliers ini, kan?
Halah,
tenane, Rif? :p
Yup, buku ini sangat
inspiratif sekali. Terutama di bab ‘Kaidah 10.000 Jam’ itu, sungguh menampar
saya sekeras-kerasnya.
Saya
tertampar, Mas! Saya tertampar! *mulai drama, lalu
gaje*
Ternyata, memang
saya perlu usaha lebih keras, lebih giat, lebih ulet, dan lebih pantang
menyerah lagi untuk menggapai apa yang saya inginkan di masa depan kelak. Mumpung
masih 21 tahun juga, pikiran masih cemerlang, mana jomblo pula, kapan lagi
mengeksplorasi diri sebesar-besarnya hingga akhirnya menemukan kebermaknaan
hidup dalam sebuah kepuasan menjadi ‘berarti’ sebagai makhluk eksistensial
hablablablah…. *lalu otak mulai korslet*
Hmm… daripada
postingan ini semakin nggak jelas juntrungannya, lebih baik saya akhiri saja.
Sampai jumpa di postingan selanjutnya… :)
[source] |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar