Seharusnya tulisan ini saya buat
tiga minggu yang lalu, tapi karena tugas dan ujian yang makin hari makin
membadai membuat saya lupa jikalau wajib banget nulis postingan semacam ini.
Ya, tiga minggu yang lalu, tepatnya tanggal 26 April 2015, kaki saya kembali
menjejak di kota pelajar yang menyimpan beribu kenangan (tsaaaahh). Yup, kali
ini saya melancong ke Jogja dalam rangka memenuhi undangan untuk menghadiri
acara ulang tahun kedua Kampus Fiksi. Nah, pada acara ulang tahun KampusFiksi
juga terdapat acara launching
kumpulan cerpen “Senja yang Mendadak Bisu”. Alhamdulillah, cerpen saya menjadi
salah satu dari dua puluh cerpen yang mendapatkan kesempatan untuk dibukukan
DivaPress. :’)
Jadi ceritanya begini, beberapa
bulan lalu Kampus Fiksi mengadakan sebuah event lomba cerpen bertema lokalitas.
Jadi, dalam cerpen tersebut harus memuat unsur lokalitas kebudayaan suatu
daerah di Indonesia. Selain menitikberatkan pada khasanah budaya Indonesia,
cerpen tersebut juga harus detail dalam menggambarkan unsur lokalitas serta
memiliki pesan moral yang mendalam. Pada awalnya saya kurang begitu berniat
untuk mengikuti lomba ini. Pertama, tema lokalitas adalah hal yang paling
sulit, menurut saya. Kedua, kalau mau nulis lokalitas Jawa itu sudah terlalu
mainstream dan sebagai anak yang dilahirkan di keluarga Jawa, saya sama sekali
tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang keunikan adat Jawa. Ketiga,
lokalitas bukan genre saya banget, entahlah saya bisa membuatnya atau tidak.
Berbagai pikiran yang sebenarnya kurang rasional tersebut terus menghantui
saya. Sampai akhirnya deadline sudah
makin dekat, tinggal sebulan lagi, dan saya baru mendapat ide untuk menulis
lokalitas budaya Aceh. Yup, keinginan saya yang sebenarnya setengah-setengah
itu menjadi semakin menggebu ketika teman-teman KF10 saling menyemangati dengan
tagline; “Kalau bisa semua KF10 harus
ikutan!”. Karena saya orangnya gampang panas, saya pun jadi semakin semangat.
Halah.
Nah, masa-masa pengeksekusian ide
mengenai cerpen lokalitas saya tersebut memerlukan waktu yang terbilang lama,
bahkan cenderung lambat progress-nya
dibandingkan cerpen-cerpen teman saya yang lain. Dimulai dari surfing di internet sampai bertanya
dengan teman-keren-sebangku-kelas-sepuluh-ketika-SMA yang keturunan Aceh, Cut
Khusnul Khotimah alias Ika. Sungguh, tanpa bantuan Ika rasa-rasanya cerpen saya
mustahil selesai. Serius. Mustahil. Bahkan, selama masa-masa pengeksekusian
cerpen tersebut saya jadi suka tidur-tiduran, dengan mata menerawang, kemudian duduk
di depan laptop seraya memandang nanar lembar kosong Microsoft Word. Benar-benar
seperti orang setengah gila. Untung saja pada saat itu masih masa-masa liburan
semester, jadi mungkin setengah gila untuk beberapa waktu tidak akan menjadi
masalah. Hahaha.
Voila!
Setelah melalui fase pengendapan, penggodokan, hingga penyulingan ide yang
memakan waktu sekitar dua sampai tiga minggu, akhirnya cerpen saya pun selesai.
Waktu pun semakin menghimpit, deadline
sudah tinggal beberapa hari. Saya mengirim cerpen saya untuk dikoreksi dan
dikritisi ke beberapa teman KF10 dan salah satu teman saya yang nantinya akan
menjadi peserta Kampus Fiksi angkatan 22, Arina Sabila Haq. Yup, orang kedua
yang memiliki andil besar pada cerpen saya kali ini. Melalui koreksinya, saya
menemukan beberapa bagian janggal yang luput dari pengamatan saya. Setelah
melalui kritik dan saran kemudian dilanjutkan pada proses revisi plus self-editing, akhirnya saya pun
memberanikan diri mengirimkan cerpen saya itu tepat H-2 sebelum deadline. Leganya….
Ah, saya mah pasrah saja ketika melihat
seratus lebih cerpen yang masuk di list peserta lomba. Saat itu, saya memang
pesimis masuk nominasi, mengingat saingannya bukan penulis sembarangan. Kebanyakan
peserta lomba adalah alumni Kampus Fiksi senior di atas saya, yang tentu saja
dari kualitas tulisan jauh lebih baik daripada saya. Hiks banget, memang. Sebelum
jatuh tercerai berai, saya sudah menyiapkan mental jikalau lagi-lagi tulisan
saya nantinya bakal masuk tong sampah. Hehe.
Waktu kian berjalan, saya sudah
mulai masuk kuliah, ikut membantu penelitian disertasi dosen, hingga input
hasil kuesioner penelitian dosen, sampai akhirnya waktu pengumuman pun tiba.
Parahnya, saya lupa kalau hari itu adalah pengumuman nominasi dua puluh besar
lomba cerpen lokalitas Kampus Fiksi. Sampai kemudian Mbak Meka, teman saya KF10,
mengetag nama saya di Facebook beserta link pengumuman lomba cerpen. Kaget!
Berdebar-debar saya membuka link tersebut dan menemukan nama beserta cerpen
saya terselip di antara nominee yang lain, membuat saya speechless selama beberapa jeda. Okay, ini memang sedikit alay,
tetapi memang begitulah yang saya rasakan. Ah, akhirnya setelah melalui proses
selama dua tahun menghidupkan kembali semangat menulis saya yang pernah mati
suri, baru kali ini saya berhasil menembus penerbit mayor meskipun hanya masuk
kumpulan cerpen. Hehe.
Sebelum-sebelumnya, saya memang
sudah banyak ikut event menulis cerpen, dan sering pula dibukukan, tapi kebanyakan
masih di penerbit indie, jadi belum terlalu nampak gregetnya. Hehe. Alhamdulillah,
setelah melalui proses panjang akhirnya salah satu cerpen saya berhasil masuk
antologi cerpen dari penerbit mayor, setelah sebelumnya tanggal 2 Februari 2015,
cerpen saya juga berhasil masuk di koran, meskipun hanya koran lokal kota Solo.
Hehe.
Anyway,
saya lupa ngasih tahu, cerpen saya yang masuk di antologi Senja yang Mendadak
Bisu tersebut bercerita tentang sistem pemberian mahar dalam menikahi gadis
Aceh. Nah, untuk lebih jelasnya, silahkan beli kumcer “Senja yang Mendadak Bisu”
yang sudah tersedia di toko-toko buku seluruh Indonesia. Ada dua puluh cerpen
yang menunggu untuk dimaknai dan diresapi kedalaman lokalitas dan pesan
moralnya. Atau, jika kalian adalah seorang yang berjiwa kompetitif dan sangat
menyukai kompetisi sekaligus ingin buku gratis, silahkan mampir ke event
giveaway-nya di sini.
Ulasan garis besar mengenai
cerpen-cerpen di buku tersebut bisa kalian lihat juga di goodreads ini.
Okay, sekian cuap-cuap saya di
pertengahan Mei yang semakin panas dan jarang hujan ini. Sampai jumpa di
postingan saya selanjutnya… :’)
P.S.:
Jangan lupa beli Senja yang Mendadak Bisu, ya! Semoga yang beli cepet didekatkan
jodohnya bagi yang masih jomblo, cepet dilamar bagi yang sudah punya pasangan,
cepet punya anak bagi yang sudah menikah, dan cepet wisuda bagi yang masih
berkutat dengan skripsi.
P.S.S: Anyway, saya juga sedang proses mikirin judul skripsi, nih. S.(kri)Psi. Semoga (kri)-nya
segera tercoret dan akhirnya bisa S.Psi. Kalau bisa ya ditambah M.Psi., Psi., Ph.D. Halah.
Aamiin. Hehehe. *ini kenapa penulisnya malah ikutan curhat*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar