Lama sekali rasanya saya malas
membuka segala jenis media sosial. Facebook, Twitter, Path, dan Instagram saya
seakan tampak mati suri. Postingan saya paling-paling berisi tautan tulisan di
blog atau tumblr. Bahkan, saya hampir nggak pernah membuka linimasa yang sering
berseliweran segala jenis informasi, mulai dari yang nggak penting sampai
berita terkini. Okelah, untuk berita nasional terkini saya yakin selalu update karena mudah diakses di segala platform. Namun, berita-berita yang
nggak ada hubungannya dengan stabilitas nasional, tentu saja saya sering
ketinggalan. Berita tentang teman lama yang sudah menikah, misalnya. Atau
berita tentang si Fulan dapat beasiswa ke luar negeri, mungkin. Tentu saja, semua
berita
remeh-tapi-lumayan-penting-untuk-bahan-ngobrol-ngalor-ngidul-bersama-teman-lama
tersebut hanya bisa saya dapatkan jika saya rajin membuka beranda dan saban
hari memelototi berbagai postingan yang berseliweran di linimasa.
Baiklah, mungkin keengganan saya
terhadap membuka linimasa di segala media sosial lahir akibat kelelahan saya
menjadi manusia terlampau digital. Saya sungguh lelah menjadi manusia yang
hidupnya hanya didedikasikan dengan mengecek notifikasi, membalas komentar atau
pesan, menekuri linimasa, ikut berkomentar, lalu berulang lagi keesokan
harinya. Rasanya seperti diperbudak oleh kemajuan teknologi. Saya pun juga
sering kelelahan sendiri mengurusi notifikasi pesan di Whatsapp dan Line yang
sekedipan mata saja sudah mencapai ratusan.
Keengganan saya untuk terlalu
sering membuka media sosial–terutama yang berseliweran di linimasa–adalah juga
untuk menghindari pikiran ‘rumput tetangga selalu lebih hijau dibandingkan
rumput sendiri’. Saya tidak memungkiri bahwa terlalu mencurahkan sebagian besar
waktu melihat postingan-postingan teman dunia maya akan menimbulkan perasaan insecure. Lantas, munculah perbandingan
diri yang kadang kadarnya hingga ambang toxic
untuk sistem kepercayaan diri. Setuju atau tidak, pasti kebanyakan dari kita
merasa kalau kehidupan orang-orang di luar sana jauh lebih asyik. Bisa pula
muncul pikiran bahwa hidup kita seakan terasa jalan di tempat, gini-gini aja.
Rasanya media sosial hanyalah
sebagai panggung pameran kehidupan pribadi semata. Setiap orang seakan
berlomba-lomba menunjukkan kepada khalayak bahwa hidupnya teramat keren. Setiap
orang seakan sibuk memoles cuplikan kehidupannya supaya tampak lebih mentereng.
Apalagi sekarang banyak sekali media sosial yang menambahkan fitur-fitur aneh
semacam story atau video live. Lama-lama saya merasa jadi
manusia purba gaptek yang belum pernah sama sekali menyentuh fitur tersebut.
Fitur-fitur aneh tersebut membuat
hasrat pamer sebagian besar pecandu sosial media jadi terfasilitasi. Seakan
repot sekali mereka membentuk citra positif diri dalam masyarakat dunia
digital. Contohnya seperti di Instagram. Banyak yang repot-repot posting foto
dengan sebelumnya melakukan ritual editing. Bisa saja dengan repot membuat
warna yang seragam, tema foto yang dikonsep jauh-jauh hari, dan segala
keribetan lainnya demi feed instagram yang classy.
Tentu saja amat berfaedah, terutama dalam mendulang tambahan followers.
Baiklah, saya bukan mau menghakimi
mereka-mereka yang gemar repot-repot memoles sosial medianya. Tentu saja nggak
semua yang melakukan hal tersebut hanya menginginkan tambahan followers semata. Bisa saja sosial media
tersebut digunakan sebagai sarana mereka dalam personal branding. Bisa saja juga sosial media mereka memang
digunakan untuk portofolio yang menunjang profesinya sebagai fotografer,
misalnya. Atau bisa saja pula sosial media tersebut sebagai ladang rezeki
mereka. Sah-sah saja.
Hanya saja, saya hanya menyayangkan
perilaku pecandu sosial media yang menggunakan sosial medianya untuk panjat
sosial. Mereka menggunakan sosial medianya sebagai topeng untuk menutupi rasa insecure-nya di dunia nyata. Banyak
sekali contohnya.
Suatu hari salah satu teman saya
bercerita, seorang temannya ada yang suka memposting kehidupan glamornya di
dunia maya. Bergaya seolah anak orang kaya. Namun mirisnya, kehidupan dunia
nyatanya jauh berbeda. Dia bukanlah anak seorang kaya raya seperti yang sering
ia tampakkan di sosial media. Bahkan, teman saya ini prihatin dan sempat
bilang; “Apa nggak kasihan sama orang tuanya? Ya mbok sudah, nggak usah aneh-aneh.” Saya hanya mengangguk setuju.
Ya, memang mungkin generasi dunia
digital saat ini sangat butuh pengakuan. Hingga akhirnya menggunakan segala
cara untuk mendapatkan pengakuan itu, meskipun harus tersaruk-saruk kesulitan
dengan menggunakan berlapis-lapis topeng dunia maya. Mungkin saja mereka juga
merasa insecure akan kehidupan dunia
nyatanya hingga mencoba memperbaiki citranya dengan berupaya membohongi diri
demi dianggap memiliki status lebih tinggi, meskipun hanya oleh warga dunia maya.
Semakin lama, kehidupan di sosial
media semakin absurd saja rasanya. Atau
mungkin saja saya sudah makin bosan dengan segala kehidupan digital. Entahlah,
yang jelas saya yang sekarang bukanlah saya yang dulu. Saya yang sekarang sudah
tidak terlalu merasa repot menambah followers
atau pusing ketika followers
berkurang drastis. Saya yang sekarang lebih sibuk menikmat kehidupan dunia
nyata saya dan berhenti membandingkan diri dengan orang di luar sana yang
bahkan secara personal tidak terlalu kenal.
Saya telah tersadar bahwa setiap
detik kehidupan dunia nyata saya sangat berharga. Saya ingin lebih bisa memandang
dunia dengan murni, tanpa terkontaminasi segala yang berusaha ditampilkan dalam
dunia maya.
So inspiring. Aku juga mulai lelah dengan sosial media dan meninggalkan beberapa di antaranya kecuali blog dan instagram. Sisanya vakum, cuman buat share postingan di blog aja. Sekarang malah aku ga beli quota internet, jadi ngenetnya cuman pakai wifi di kantor aja. Sekalipun suka ketinggalan infoh tapi lebih tenang haha
BalasHapusMengenai feed instagram, itu sungguh melelahkaaan. Lama-lama aku mikir, ngapaiiiin sih kamu? Mending waktu dan energinya dipake buat nulis cerpen. Jelas produktif hahah
Aku ngga ribet ngurusin medsos tapi juga ngga nulis cerpen mba. Malah nulis postingan blog *doeeng 🙈
HapusHmm.. mba, cara ngeshare postingan blog di instagram gimana sih ya? Ehehe 😅