Awalnya, saya bingung harus menulis
apa di tantangan hari keempat ini. Saya merasa tidak memiliki pertemuan
mengesankan dengan si ‘dia’. Bahkan, saya bingung juga, sebenarnya si ‘dia’ ini
berjenis kelamin apa? Apakah harus berlawanan atau boleh sesama jenis? Rasanya,
agak aneh juga harus menulis pertemuan pertama dengan sesama jenis, mengingat
keterlibatan emosionalnya tidak sedahsyat jika bertemu dengan lawan jenis yang
paling spesial. Catat; PALING SPESIAL!
Sebab yang spesial tidak akan pernah terlupakan. #Eaaaa
Hingga kemudian playlist yang sedari tadi saya dengarkan
memutar lagu yang level kebaperannya sampai langit ketujuh. Lebay memang, tapi
akibatnya saya jadi teringat sesuatu. Setelah sekian lama saya mengabaikan
hal-hal yang memicu tarian kupu-kupu dalam diafragma hingga menjejali diri
dengan serangkaian aktivitas yang mengandalkan logika sebagai upaya menekan hal
tersebut, akhirnya saya terpapar sentuhan yang tak disengaja. Kalimat saya terlampau
konotatif, ya? Sengaja, biar sulit tertebak. Hahaha.
Kejadiannya sudah lama sekali, dua
tahun lalu, sekitar awal tahun 2015. Sebenarnya, ini bukanlah pertemuan pertama
kami. Ini adalah pertemuan kesekian, entah yang keberapa. Namun, pada saat itu
lah saya merasa benar-benar ‘bertemu’ dan ‘melebur’ bersamanya. Entahlah, saya
heran saja mengapa baru saat itu, momen yang bagi saya sungguh terlambat.
Saya bukanlah orang yang suka
menginisiasi percakapan dengan lawan jenis. Antara malu dan gengsi, sih,
sebenarnya. Entahlah, mungkin jauh di dalam alam bawah sadar, saya meyakini
kalau cewek yang maju duluan itu tampak terlalu agresif.
Hingga akhirnya, saya dan dia
berada dalam sebuah situasi. Bedanya, dulu kami merasa canggung satu sama lain
karena merasa diawasi, sedangkan saat itu kami sedang menjadi seorang individu
yang merdeka. Entah siapa yang memulai duluan, yang jelas masing-masing dari
kami punya sumbangsih. Rasanya, percakapan kami menjadi lebih mudah, terbuka,
dan mengalir, seperti sudah kenal lama. Perlahan saya pun merasakan sebuah
kenyamanan, meskipun percakapan kami hanya seputar masalah remeh-temeh. Seperti
terdengar bunyi ‘klik’ di kedalaman diri saya. Momen yang sangat langka, jarang
sekali saya merasa bisa senyambung itu, apalagi dengan lawan jenis.
Aneh. Seringnya, saya merasa tidak
nyaman ngobrol terlalu lama dengan lelaki. Seiring berjalannya waktu, biasanya
saya ingin segera mengakhirinya. Tapi yang ini berbeda. Waktu rasanya berlalu
sangat singkat, sebagian diri saya enggan untuk beranjak. Saya kadung terhisap
dalam pusaran, susah lepas. Ah, lebay memang, tapi ini serius!
Sampai saat ini, saya pun terkadang
nggak habis pikir; kok bisa-bisanya saya merasa ‘klik’ banget ngobrol sama dia?
Saya pun mulai menghubung-hubungkan hal konyol seperti; kalau merasa nyaman dan
‘klik’ ngobrol, jangan-jangan he’s the
one. Yailah, padahal belum tentu juga, kan? Barangkali kami memang punya
sedikit kemiripan kode genetik. Halah. Memang kadang otak saya ini mendadak absurd. Pikiran itu lalu saya abaikan
dan tepis jauh-jauh, karena sama sekali nggak rasional.
Jika dikilas balik, rasa-rasanya
obrolan kami juga biasa-biasa saja. Atau mungkin, saya terlampau terkesima
dengan keterbukaannya meladeni pertanyaan saya yang suka sekali mengorek-ngorek
pribadi orang. Hahaha. Atau mungkin, karena memang dirinya tidak menunjukkan
gelagat defensif ketika ngobrol dengan saya. Ah, entahlah, kenyamanan dan rasa ‘klik’
itu adalah sesuatu yang relatif dan abstrak. Bisa saja saya nyaman ngobrol
dengan dia, tapi ternyata dia sebaliknya.
Sejak pertemuan tersebut, saya
menantikan saat-saat di mana kami bisa bertemu lagi. Entah di situasi dan
tempat yang sama atau di kesempatan insidental lainnya. Kami sempat beberapa
kali bertemu, di situasi dan tempat yang berbeda. Lagi-lagi, saya sok gengsi. Alih-alih
menyapa duluan, saya hanya diam pasif menunggu dia menginisiasi. Oke, bisa
ditebak endingnya; tidak ada yang
maju duluan. Saya malah sibuk mencari UFO lewat. Huft!
Sampai sekarang, saya masih
penasaran. Ingin sekali melanjutkan percakapan kami yang, menurut saya, belum kelar.
Atau mungkin, saya hanya ingin menganalisis lebih jauh, apakah obrolan kami
akan tetap nyambung dan seru seiring berjalannya waktu. Atau mungkin, dengan
cara itulah kami bisa semakin saling memahami lebih jauh. #Eaaa
Sekarang, kami sama-sama sudah
sibuk dengan urusan masing-masing. Saya pun sudah menganggap momen aneh
tersebut hanya sebagai cerita masa lalu. Semoga jika suatu saat kami bertemu–secara
insidental–lagi, percakapan yang belum kelar tempo lalu bisa berlanjut kembali.
Halah.
Baiklah, daripada lama-lama saya
jadi tambah curcol, lebih baik cukup saya akhiri saja. Saya juga bingung mau
nulis apa lagi. Hehehe.
Solo, 21 Januari 2017
Ulu ulu ulu :D
BalasHapusAuooooo uooo 😂
HapusJadi 2015 mus ? Heeemmm, perlu diselidiki hahaha
BalasHapusWaduh, kok bisa kebaca Nisa sih wkwk *jadi malu
HapusNgg... bukan anak Psikologi kok. Huahaha 😆