Rasanya cepat
sekali. Seperti baru kemarin saya resign menjadi budak korporat akibat
alih profesi menjadi budak birokrat. Padahal itu sudah sejak bulan Maret lalu.
Seperti tahun sebelumnya, tahun 2019 ini penuh kejutan. Jika boleh mengulang
setahun lalu, tahun 2018, saya juga pernah resign dari tempat kerja saya
di kota kelahiran untuk merantau di ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu
tiri. Kalau dipikir-pikir, setiap tahun saya selalu pindah kerja ternyata.
Hahaha.
Kalau saya masih
jadi budak korporat, mungkin track record pindah kerja setiap setahun
sekali langsung dilabeli sebagai 'kutu loncat'yang nggak worth it buat
dipertahankan oleh perusahaan. Tipikal generasi milenial, sih. Salary memang
penting, tapi passion dan challenge juga nggak bisa diabaikan
karena berpengaruh pada pengembangan diri nantinya.
Anyway, ngobrolin tentang
pekerjaan saya sekarang, memang benar bahwa pressure dan load pekerjaan
punya intensitas lebih tinggi dibanding pekerjaan lama saya. Satu sisi saya
merasa tertantang dengan keadaan itu, lain sisi saya merasa overwhelmed.
Sering banget saya lembur sampai malam akibat distribusi pekerjaan yang kurang
merata, mentang-mentang saya masih anak baru juga sih sebenernya. Dalih atasan
dan senior; "supaya kamu banyak belajar". Oh, baiklah, Pak Bos!
Saking kewalahannya
handling pekerjaan yang menerjang tanpa ampun, saya sering banget
mengalami ketidakstabilan emosi. Teman satu unit saya akhirnya yang jadi
sasaran tempat sampah saya, mulai dari ngedumel sampai nangis-nangis. Selain
teman satu unit di kantor, teman satu kosan juga dengan lapang dadanya - atau
keterpaksaan - menjadi tempat sampah kedua saya. Tapi simbiosis mutualisme sih,
kami saling menjadikan tempat sampah karena saling ngedumel betapa kampret dan toxic-nya
lingkungan di unit kerja masing-masing serta berghibah mengenai beberapa atasan
yang level kecerdasannya di ambang memprihatinkan.
Lantas, selain
berusaha untuk mengeluarkan sampah-sampah emosional dari subconscious dan
unconscious mind saya dengan ngobrol plus berghibah, saya juga sering
melakukan pelarian lain yaitu; nonton film. Saking seringnya escape,
sampai saya mendeklarasikan diri sebagai anggota Gerakan Eskapisme. Hahaha.
By the way, jika diingat-ingat,
waktu saya bekerja di kantor lama, saya terhitung jarang sekali nonton film di
bioskop. Padahal kantor lama saya yang di Jalan Gatot Subroto sangat dekat
sekali dengan Hollywood XXI. Tinggal naik JPO, langsung sampai. Tapi, frekuensi
nonton saya dulu bahkan bisa dihitung jari.
Sedangkan
sekarang, frekuensi nonton saya sudah mencapai level akut. Saya merasa kalau
saya sering sekali bolak-balik nonton selama kurun waktu tiga bulan terakhir.
Baik itu di CGV Grand Indonesia - yang tiketnya betapa mahalnya, apalagi kalau weekend
- atau ke XXI di Djakarta Theatre atau Plaza Atrium. Padahal, kantor saya
sekarang - yang berada di lingkungan kantor-kantor kementerian di sekitar Monas
- jauh dari bioskop, harus naik ojol dulu. Boros banget, tahu nggak sih.
Tapi, meskipun
saya merasa dompet saya bocor tipis-tipis akibat keseringan nonton, saya merasa
film-film yang saya tonton memang worth to watch banget. Saya merasa
nggak menyesal dan sia-sia ngeluarin duit. Film-film tersebut di antaranya, Parasite,
Knives Out, dan Kim Ji-young, Born 1982.
Sebenarnya,
setiap selesai nonton film saya selalu ingin sekali untuk nulis review-nya
di sini. Namun apadaya karena kemalasan saya sebab terlampau lelah dibombardir
oleh pekerjaan-pekerjaan yang menguras mental, akhirnya nulis review hanya
sebatas rencana hingga saya berganti nonton film lain dan menulis review film
sebelumnya terasa basi. Hvft!
Mumpung saya
sedang mood nulis dan dalam rangka mengisi ke-suwung-an blog ini -
seperti hati saya, suwung plus bersarang laba-laba - saya mau nulis flash
review ketiga film keren yang sudah saya tonton di tahun 2019 ini.
Mari kita mulai
dengan; Parasite.
[source] |
Film Korea ini
terlalu keren untuk dilewatkan. Akibat secara nggak sengaja baca rubrik Misbar
di Tirto tentang film ini membuat saya triggered untuk nonton. Review
film di Tirto ini sangat jujur dan detail
hingga saya yakin dalam membuat keputusan untuk menonton di bioskop atau
terima nonton di IndoXX1 saja. Hehehe.
Bukan perkara
aktornya atau sutradaranya saya tertarik menonton film ini. Bahkan saya ngga
terlalu kenal dengan aktor dan aktrisnya meskipun saya sering nonton drama
Korea. Apalagi sutradaranya yang katanya terkenal dengan film-filmnya yang
berkualitas. Namun, saya tertarik dengan tema yang mereka angkat dalam Parasite.
Oh, selain itu film ini juga menang Festival Film Cannes, yang bikin saya
berpikir kalau film ini tentu tidak akan mengecewakan.
Film ini
mengangkat tentang kekontrasan strata sosial serta segala konflik di dalamnya.
Saya paling demen memang sama film-film yang menyoroti realitas sosial (selain
film misteri-detektif, horror, dan Harry Potter Universe). Hal yang saya suka
adalah karakter di film ini tidak hitam-putih, tidak murni protagonis atau
antagonis. Setiap tindakan yang mereka lakukan selalu ada alasan di baliknya.
Itu yang bikin saya suka banget dengan film ini, selain karena potret sosialnya
yang kena banget.
Kesinisan si
keluarga miskin dalam memandang kehidupan akibat terkungkung dalam keadaan yang
tidak bersahabat serta kemakmuran keluarga si kaya yang kenyang dengan privileges
kontras banget digambarkan dalam film ini. Hingga kemudian kehidupan mereka
saling beririsan dan menghasilkan konflik sosial yang lebih jauh. Saya suka
dengan drama thriller berbalut komedi gelap sebagai kritisisasi
kesenjangan sosial antara masyarakat proletar dan borjuis di Korea Selatan
sana.
Saya merasa kalau
alur film ini dijahit dengan rapi banget oleh sutradaranya, Bong Joon-ho.
Setiap situasi ada pemicu dan konsekuensinya. Setiap plot yang dihamparkan juga
nggak ada yang useless, memang pantas kalau dapat piala Palme D'Or di
Cannes Festival. Saya nggak mau berpanjang lebar bahas filmnya, karena lebih
baik nonton sendiri dan rasakan sensasinya. Bener-bener salah satu film yang
akan saya nobatkan sebagai Movie You Should Watch Before You Die.
Hehehe.
Satu lagi, anyway,
saya sempat kaget waktu tahu Park Seo-joon jadi cameo di sini. Ya ampun, oppa-kuuu~
*Sudah, Rif,
jangan kebanyakan fangirling!
Next; Knives Out.
[source] |
Film yang membuat
saya mengumpat; "what the hell!" ketika menjelang ending.
Bahkan, lelaki yang duduk di samping saya waktu nonton film ini juga secara
spontan ikut mengumpat; "what the fuck!". Anyway,
lelaki itu bukan teman nonton saya ya, Gengs.
Mengapa saya
sampai mengumpat begitu? Tentu saja akibat plot twist-nya yang bikin
saya hampir kena serangan jantung dan nafas saya tercekat di kerongkongan
sepersekian detik. Gila, sih! Kalau bisa standing ovation, saya bakal
melakukan itu di bioskop. Hahaha.
Sesungguhnya, Knives
Out nggak jauh beda dengan film misteri-detektif biasanya. Alurnya juga tipikal cerita detektif
kebanyakan, ada pembunuhan, lalu datanglah detektif partikelir yang seolah-olah
tanpa diundang, menginvestigasi dengan mewawancarai semua orang yang berpotensi
sebagai suspect, mencari petunjuk lain, dan seterusnya. Bahkan, alurnya
cenderung klasik, sebelas-dua belas dengan serial Hercule Poirot-nya Agatha
Christie. Semua alur yang terjalin dalam film ini, bener-bener tipikal alur
Agatha Christie banget.
Namun,
sebagaimana pengalaman saya membaca atau menonton film detektif, selalu
terkecoh ketika berusaha menebak siapa tersangka utamanya. Bahkan, saya sudah
salah tebak sebab dikecoh dengan potensi dan alibi yang dipaparkan
masing-masing orang. Lalu, keterkecohan saya divalidasi dengan pengalihan
paripurna ke orang yang secara alibi potensial menjadi tersangka. Tetapi,
sebagaimana rule dalam cerita detektif bahwa tidak akan semudah itu
tersangka terungkap di tengah-tengah cerita. Bahkan, akibat pengalihan isu
cerita itu, saya jadi lupa memikirkan kemungkinan suspect lain yang
secara subtle punya alibi janggal. Padahal, si penulis skenario sudah
memberikan sedikit clue agar penonton bisa berpikir dan menganalisis
sendiri bahwa ada kemungkinan tersangka lain yang lebih utama.
Lagi-lagi,
sebagaimana tipikal cerita detektif, bukan asal menebak dari potensi kesempatan
dan alibi melakukan pembunuhan, tetapi yang paling penting adalah motif!
Kesempatan dan alibi masuk akal, tetapi kemungkinan motif kurang pas, bisa jadi
memang bukan dia pembunuhnya. Dan ternyata, memang benar.
Meskipun alur di
awal film ini yang terkesan alur klasik cerita detektif banget, tapi ternyata
ketika menjelang ke tengah film, banyak kejutan-kejutan yang dimuntahkan oleh
sutradara film ini. Keren, sih. Inilah yang membuat Knives Out bukan
film detektif kebanyakan. Bahkan, para tukang review film di youtube dan
artikel web menobatkan film ini sebagai salah satu film yang worth to watch banget
banget bangeeeet!
Anyway, aktor-aktrisnya juga
memang nggak kalah keren. Karakter Detektif Benoit Blanc yang sangat kuat diperankan Daniel Craig membuat
saya berharap bahwa jangan hanya persona James Bond saja yang melekat di Daniel
Craig. Kalau bisa kayak Benedict Cumberbatch yang personanya udah Sherlock
Holmes banget, lah. Daniel Craig juga bisa kali didapuk di sekuel Benoit Blanc
selanjutnya. Aseek.
Oh iya, satu
lagi. Chris Evans, my teenager celebrity crush, sungguh glowing sekali
di sini, ya Allah! Huhuhu monangis, deeeeh.*fangirl mode: ON*
Last but not least; Kim Ji-young, Born 1982.
[source] |
Salah satu film
yang I highly recommend this banget! Terutama untuk yang akan menikah,
masih mikir mau nikah, atau yang sudah menikah. Sebagai wanita, saya
merasa relate banget dengan
konflik batin yang dialami Kim Ji-young di sini. Bahkan air mata saya sampai
tumpah-tumpah nggak karuan. Perasaan saya semacam diaduk, dijungkirbalikkan,
dihempas, terjerembab, berguling-guling, ya memang lebay sih saya. Hehehe.
Tapi, memang
benar begitu, sih. Sebab konflik Kim Ji-young ini benar-benar tipikal konflik
batin yang bisa terjadi pada wanita mana saja setelah menikah. Bahkan, akibat
film ini, saya jadi berpikir ulang dan berusaha melakukan redefinisi mengenai
sebuah pernikahan. Saya yang kadang-kadang suka merasa gloomy dan envy
sendiri melihat undangan dan foto-foto pernikahan yang terpampang di segala
sosial media, memang perlu sesekali ditampar dengan realitas pernikahan yang
disuguhkan lewat film ini.
Saya suka banget
dengan akting Jung Yu-mi sebagai Kim Ji-young yang rapuhnya the best
banget. Bukan tipikal rapuh cewek drama Korea genre romance yang kadang
bikin saya enek, justru kerapuhan Kim Ji-young di sini membuat saya jadi
berempati dan ikut masuk dalam semesta dan pemikiran Kim Ji-Young. Bahkan, Gong
Yoo yang memerankan suami Kim Ji-young, Jung Dae-hyun, ini aktingnya bikin saya
meleleh nggak karuan. Huhuhu. Betapa representasi suami impian banget. Huaaaaa.
Sebelumnya memang
saya udah suka dengan aktingnya Jung Yu-mi ketika beradu akting dengan Lee
Kwang-soo di drama Live, sih. Eh, Live juga recommended banget
ditonton, lho. Coba search di Google deh, saya males jelasin
panjang-panjang tentang drama Live. Hehehe.
Oh iya, selain
itu, setelah kalian nonton Kim Ji-young, Born 1982, kalian perlu banget
untuk lanjut nonton drama Hollywood, Marriage Story. Sumpah, sih, film
ini membuat saya makin mikir keras lagi.
Film-film
tersebut membuat saya mikir, sebagai salah satu anak sulung yang terbiasa
mandiri berdikari, apakah saya siap jika suatu saat nanti ketika menikah
eksistensi saya melebur dengan suami saya kelak? Salah satu yang akan terasa
adalah, saya akan dipanggil dengan, Nyonya/Bu....(insert my husband's name).
Apakah saya akan siap juga jika ada plot twist dan kejutan tanpa rencana
yang bisa saja tiba-tiba mengambil porsi cerita kehidupan pernikahan saya
nantinya? Meskipun saya sering baca buku tentang marriage, love,
dan relationship, tapi semua itu hanya sebagai bahan pengetahuan dan
panduan nantinya ketika saya akan memasuki fase kehidupan itu. Prakteknya,
tentu tidak akan seratus persen sama seperti dalam teori, kan?
Ah, meskipun
begitu, saya tetap masih mau menikah, kok. Hahaha. Nggak sampai jadi worry dan
takut menikah. Tunggu sampai datang jodoh yang tepat. Serta paling penting,
mengingat saya adalah anak sulung yang terbiasa mengambil keputusan sendiri dan
independen, maka sosok pendamping saya kelak memang perlu banget yang tipenya Alpha
Male. Biar kalau sifat tulang rusuk yang bengkoknya keluar, ada yang
meluruskan dengan tegas. Ya, memang butuh sosok yang tegas (tapi lembut).
Ahseeek~
Kembali ke dunia
nyata, jangan mimpi terus, Rif~
Baiklah, sebab
konten tulisan ini sudah sepanjang struk belanjaan saya menyambut End Year
Sale, maka saya akhiri saja tulisan pertama dan terakhir di tahun 2019 ini.
Semoga tahun 2020
nanti membawa kejutan menyenangkan lain seperti tahun 2018 dan 2019 kemarin.
Entah mengapa saya merasa yakin saja, hehehe.
Sampai jumpa di
tahun depan. Semoga saya semakin stabil dan mampu menyongsong fase kehidupan
lain yang lebih baik lagi. Aamiin.
Bye, 2019. Welcome, 2020! Be nice,
please~