Sebel sih, tapi masih imut, kan? source: www.google.com |
Maaf,
jikalau judulnya tampak kasar. Sejujurnya, saya sedang sedikit kesal kemarin.
Sebenarnya, antara kesal dan sedikit senang, sih. Pasalnya, Jumat kemarin
adalah hari yang lumayan mengesalkan namun masih terselip pengalaman dan pelajaran
yang berharga. Sejak pagi, sebenarnya saya baik-baik saja, namun sisi bad prejudice saya muncul ketika saya
mengunjungi sebuah instansi di kota tempat saya tinggal dan menuntut ilmu.
Ya,
jadi begini, Jumat kemarin adalah jadwal saya dan keempat teman sekelompok saya
mengunjungi sebuah rumah sakit di kota Solo. Sebut saja Rumah Sakit X. Kami
mengunjungi rumah sakit ini dalam rangka akan mengadakan wawancara dan
observasi berkaitan dengan tugas mata kuliah Psikologi Abnormal.
Sebelumnya,
kami sudah menyerahkan surat perijinan untuk mengadakan wawancara dan observasi
di rumah sakit tersebut. And, you know
what? Kami menyerahkan surat itu kira-kira sejak November minggu ketiga, rasanya.
Kata petugasnya, sih, kami akan dihubungi lagi setelah seminggu. Namun jelang
dua minggu, belum ada kabar sama sekali. Akhirnya, kami mencari-cari alternatif
lain. Sampai saya kasihan dengan Irfa’, teman satu kelompok saya, dia yang
paling aktif lari-lari kesana kemari. Sementara saya? Well, saya sedang prokrastinasi dan sedikit kurang tanggap plus
masa bodoh-an, maklum akhir tahun menjelang liburan, penyakit menahun. Sampai
kami berulang kali ke sana kemari, dan puncaknya hari Rabu kemarin, Irfa’
dihubungi pihak rumah sakit bahwa surat kami telah di-accept. Artinya, kami boleh melakukan wawancara di sana. Well, tentu saja kami senang. Lantas
keesokan harinya, saya dan Sadhu mem-follow-up
dan membuat kesepakatan hari kepada pihak rumah sakit untuk melakukan
wawancara. Dibuatlah kesepakatan kami melakukan wawancara dengan dokter hari
Jumat pagi.
Yup,
anyway, sebenarnya saya mafhum.
Mungkin kelambanan dari pihak rumah sakit dalam merespon sebegitu bejibunnya
surat perijinan yang masuk diakibatkan karena sudah menjelang akhir tahun dan
saatnya tutup buku. Inilah kesedihan mahasiswa, asal kalian tahu wahai pelajar
SMA dan SMP di luar sana. Ketika kalian nanti sebagai mahasiswa dan kemudian
kalian ditugaskan untuk ke lapangan, entah itu observasi, wawancara,
penelitian, dan segala tetek bengek dunia akademis, maka pasti kalian akan
pontang-panting dengan masalah perijinan! Perlu diingat, kalian tinggal di
Indonesia, di mana sistem organisasinya banyak yang masih menggunakan tipe
Latin dengan hierarki panjang. Halah. Apalagi di masa-masa tutup buku akhir tahun
seperti ini. Kalian harus me-restock
kembali kesabaran kalian. Sangat.
Okay,
lanjut ke permasalahan awal. Nah, kemudian pada hari Jumat, kami pun
bersama-sama datang ke rumah sakit tersebut. Setelah menunggu beberapa jeda,
akhirnya sekitar jam sepuluh kami dipertemukan dengan sang dokter, yang
merupakan seorang psikiater. Yup, kami di sini mendapat tugas untuk
mewawancarai sang psikiater perihal Psikoterapi kepada pasien gangguan mental. Awalnya,
kami disuruh menunggu sebentar karena sang psikiater sedang makan. Lantas, kami
menunggu kira-kira sampai jam sepuluh lebih lima menit. Kami pun dipersilahkan
masuk ke ruang dokter psikiater tersebut. Sebut saja dokter Maria (nama
samaran).
“Ayo
mbak, cepet masuk!” seru dokter itu. “Cepet, mau tanya apa? Saya ini
keburu-buru, lanjutnya kemudian.
source: www.google.com |
Yup,
kami sih tidak masalah dengan welcome
greeting si dokter ini. Maklum, dokter, spesialis kejiwaan pula, jam
terbangnya kan padat, Bro. Kemudian, kami pun mulai mewawancarai dokter
tersebut tentang Psikoterapi. Tera pun mengawali percakapan dengan
pertanyaan-pertanyaan ringan sedangkan Ulfah bertugas merekam menggunakan
ponsel sambil sesekali bertanya. Namun, betapa kecewanya kami, ketika mendengar
jawaban-jawaban sang dokter.
“Bu,
bagaimana langkah-langkah Psikoterapi yang ibu lakukan kepada pasien?”
“Ya,
tergantung gangguannya,” sahut dokter itu dengan nada nyolot. “Kalau sudah
diketahui gangguannya, ya kemudian dipsikoterapi sesuai dengan teori yang
dipakai. Kalian tahu nggak sih teori Psikoterapi?” Mendengar jawaban dokter
yang tidak mengenakkan kuping itu membuat kami langsung tercekat. Ekspresi muka
kami pun berubah. Saya, terutama, manusia yang paling nggak suka sama orang
yang ditanyain baik-baik tapi jawabnya nyolot, kemudian memilih diam seraya
menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskannya dalam keheningan hati yang kemropok. Yaelah, bu dokter yang
pintarnya cetar membahana, kalau kami tahu langkah psikoterapi kayak gimana, ya
kami nggak bakalan susah-susah masukin surat ke rumah sakit sejak November,
kemudian digantungin selama berminggu-minggu, buat ketemu sama panjenengan yang
lagaknya sudah kayak professor lulusan Harvard. -_-
Tera,
yang paling banyak bertanya, sepertinya sudah berhasil menabahkan hati dengan
jawaban-jawaban si dokter itu yang rata-rata menyebalkan dan nyolot. Saya,
hanya bertanya beberapa kali, dan kemudian laksana headshot mendengar jawaban yang hanya, “Iyalah!” “Ya nggak lah!” “Lha, menurut kalian seperti apa?” “Kalian
tahu nggak sih?” saya pun langsung klakep
mencep. Diam.
Saat
itu saya mikir, mungkinkah ibu ini adalah salah satu contoh nyata dari Teori
Behavioristik. Akibat terlalu sering bersinggungan dengan pasien gangguan
kepribadian lantas kepribadiannya menjadi sedikit geser pula. Halah.
Setelah
‘puas’ mendengar kekurang-ramah-tamahan si dokter, kami pun keluar dari ruangan
dengan perasaan campur aduk. Kecewa, sebal, merasa nggak worth it susah-susah ke sini, sudah berharap terlampau banyak,
namun hasilnya jauh di bawah ekspektasi. Sabar, ya. Kami sabar sih, tapi ya gitu, nggrundel di belakang. Kami saling
menumpahkan kekecewaan kami dengan ngrasani
si dokter, ghibah. Sudah capek digantung kepastian oleh pihak rumah sakit
berminggu-minggu, datang kena tarif lima belas ribu rupiah per kepala, tapi
tidak mendapat informasi yang memadai dan sambutan dari si dokter kurang
menyenangkan. Usut punya usut, ternyata teman saya di kelompok lain yang sudah
lebih dulu bertemu si dokter ini, mengatakan hal serupa seperti yang kami alami
terhadap dokter ini. Ya, pada awalnya kami mengira dokter bersikap seperti itu
karena terburu-buru saja, namun ternyata dengan yang lain juga bersikap seperti
itu. Sabar lagi, ya. :)
Buat
kalian, calon dokter, atau psikiater, hendaknya kalian jangan seperti dr. Maria
Sp.KJ (nama samaran) ini, ya. Karena dosen saya yang Psikiater rasa-rasanya
nggak senyolot itu juga, deh. Ya, mungkin beda, dosen saya psikiater konsultan
jadi bisa konseling, memahami orang lain, kalau dokter yang kemarin itu mungkin
belum konsultan. Halah.
Akhirnya,
karena kami merasa kurang mendapat informasi yang banyak, kami pun memutuskan
untuk mengunjungi Biro Psikologi. Berharap di biro nanti bertemu dengan
Psikolog yang bersedia menjawab pertanyaan kami. Saat di biro psikologi,
Alhamdulillah ibunya sangat welcome,
ramah, kami diceritakan kisah-kisah unik saat menangani klien yang bermasalah,
kami mendapat banyak informasi, pertanyaan kami dijawab dengan penjelasan
panjang lebar, serta yang membuat kami sangat berterima kasih adalah: GRATIS.
Semoga Ibu Psikolog baik hati ini senantiasa mendapat lindungan dari Allah dan
mendapat rezeki berlimpah. Aamiin.
Itulah
tadi sekelumit curhatan saya tentang latihan sabar dan memahami orang lain. Calon
Psikolog itu harus sabar menghadapi orang, entah semenyebalkan apapun ia. Sebuah
pelajaran berharga ketika bersinggungan dengan lamban dan buruknya sebuah
birokrasi dan sebuah tamparan berharga ketika bertemu dengan orang yang amat
sangat menyebalkan. Seperti sebuah pengingat bahwa, jangan-jangan dulunya saya
juga pernah memperlakukan orang lain seperti itu, berkata nyolot dan sedikit
songong, sehingga saya mendapat balasan dengan diperlakukan seperti itu oleh
orang lain.
Well, setiap pengalaman adalah pelajaran yang tidak hanya diamati sambil
lalu, namun juga perlu diresapi sebagai tuntunan berperilaku di masa yang akan
datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar