Warning: Tulisan ini berisi sejumlah
kata-kata umpatan dan makian. Boleh dibaca, sebagai bahan pengetahuan, tidak untuk dipraktekkan atau
diamalkan. Hati-hati, resiko berbibir sumbing jika nekat mempraktekkan! Ini warning-nya serius, jangan diketawain!
*pasang tampang ala Bang Napi*
[source] |
Saling memaki atau mengumpat bukan
merupakan hal aneh. Kegiatan memaki atau mengumpat tersebut bisa dilakukan di
mana saja, untuk mereka yang bibirnya belum pernah jontor ditabrak truk
tronton. Mungkin lain ceritanya jika bibirnya telah telanjur jontor. Jangankan
mengumpat, ngomong minta makan saja nggak jelas. Nasibmu, Nak…
Pasti di antara dari kita sering
mendengar kata umpatan atau makian yang terlontar dari berbagai jenis manusia
di luar sana. Bisa dari mulut teman-teman sekitar kita atau dari supir angkot
yang kalap ketika penumpangnya diserobot rekannya sesama supir angkot. Mungkin
kita tidak akan ambil pusing jika yang dijadikan sasaran umpatan dan sumpah
serapah itu orang lain, bukan kita. Lain halnya apabila kita yang menjadi objek
umpatan, pasti rasanya jengkel dan penuh gejolak amarah membara.
Mengumpat bisa dilakukan siapa
saja, baik perempuan atau laki-laki. Akan tetapi nyatanya, lelaki lebih sering
mengumpat dibandingkan wanita. Entahlah, saya tidak tahu sebab dan faktor
psikologis mengapa lelaki suka sekali mengeluarkan kata umpatan. Lelaki sering
mengumpat itu biasa, kalau perempuan sering mengumpat mungkin akan terlihat
kasar dan tidak istri-able. Tapi jangan salah, perempuan banyak juga yang suka
mengumpat, hanya saja lebih sering tidak ketahuan. Hehehe.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ‘umpat’ adalah perkataan keji atau kotor yang diucapkan karena
marah, jengkel, kecewa, yang berupa cercaan, makian, atau sesalan. Sudah jelas
menurut pengertian tersebut bahwa umpatan biasa diidentikkan dengan kata-kata
kotor. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kata-kata kotor tersebut biasanya masih
berupa persepsi budaya. Seperti yang kita tahu, setiap bahasa di seluruh dunia
tentu memilki kosakata umpatan tersendiri dalam kamusnya.
Beda negara, tentu beda jenis
kosakata umpatan. Kosakata umpatan Jawa kebanyakan berkisar tentang
sebutan-sebutan fauna yang biasanya ditampung di kebun binatang. Berbeda lagi
dengan umpatan dalam bahasa Inggris, biasanya berkisar pada alat-alat kelamin
dan hal-hal yang keluar darinya. Sebagai contoh, orang-orang Jawa dan tinggal
di Jawa tentu akan familiar dengan umpatan; asu,
bajingan, atau jangkrik. Berbeda dengan umpatan dalam bahasa Inggris semacam; asshole, shit, cunt, bitch, fuck, et cetera. Mungkin
akan terasa aneh, jika ada orang Jawa yang baru belajar bahasa Inggris ingin
mengumpat dalam bahasa Inggris malah bilang; dog, grasshopper, dan squirrel. Tapi, kalau kata umpatan dalam
bahasa Inggris itu dialihbahasakan menjadi bahasa Jawa, maka artinya akan sama
joroknya. Tidak terkesan lucu seperti dog
ataupun squirrel.
Lalu saya juga jadi kepikiran,
kira-kira Noam Chomsky juga melakukan klasifikasi kosakata umpatan dari setiap
belahan dunia tidak, ya? Hahaha.
Padahal, sejatinya umpatan tidak
sebatas kosakata nama-nama fauna dan nama-nama alat kelamin saja. Kembali lagi
ke definisi umpatan menurut KBBI di atas, bahwa umpatan diucapkan ketika
seseorang marah atau kecewa. Misalnya, ketika kita marah, lalu secara impulsif
kita mengeluarkan sebaris kata, namun kata itu tidak termasuk dalam daftar
panjang kosakata umpatan, maka kata itu sudah bisa disebut sebagai umpatan.
Meskipun tidak memenuhi kaidah kotor dan jorok, akan tetapi niat si pengucap
adalah untuk mengumpat, tentu hasilnya juga bermakna umpatan.
Tentu akan beda rasanya ketika
mengucapkan “Oh, gethuk!” di situasi
yang santai atau ketika sedang lapar, dengan mengucapkan “Oh, gethuk!” saat kita merasa marah dengan supir bus S*mber
K*ncono yang asal klakson dan serobot sana-sini. Untuk situasi yang kedua, sama
saja bermakna kita sedang mengatai supir itu dengan nama makanan favorit sejuta
umat, gethuk. Entah wajahnya yang
mirip gethuk atau otaknya yang
sekecil gethuk. Bisa keduanya,
mungkin.
Begitu pula sebaliknya, ketika
mengatakan “jangkrik” di situasi yang
biasa saja, tentu akan berbeda rasanya dengan mengatakan “jangkrik” ketika ada orang yang memfitnah kita. Untuk situasi yang
kedua, tentu akan memunculkan bara pertengkaran.
Nah, memang mengucapkan suatu kata
itu tergantung situasi dan kondisinya. Jika diucapkan dengan intonasi tertentu,
maka kata tersebut bisa berubah menjadi semacam makian atau umpatan. Namun,
saya tidak menyuruh kalian untuk mengucapkan asshole atau silit atau
dubur meskipun dengan intonasi biasa saja. Kata tersebut, meskipun diucapkan
dalam intonasi sederhana, tetap akan memicu perang mulut atau adu jotos, karena
memiliki arti yang jorok dan tidak sopan. Dilarang sekali!
Jadi, memang innamal a’malu binniyat. Setiap perbuatan itu tergantung niat.
Seperti kata saya tadi, jika mengucapkan ‘gethuk’
dengan niat mengatai supir bus, maka akan dicatat oleh malaikat Atid sebagai
makian. Jika mengucapkan ‘jangkrik’
untuk menyebut nama hewan yang selalu bernyanyi setiap malam, maka tidak akan
dicatat malaikat Atid sebagai umpatan.
Intinya, kita perlu berhati-hati
dalam mengucapkan sesuatu. Semua yang kita ucapkan tentu akan dimintai
pertanggungjawaban kelak. Sebagaimana ancaman-Nya bagi setiap pengumpat dan
pencela dalam Surat Al-Humazah; “Celakalah, bagi setiap pengumpat dan
pencela!”
Mengumpat memang melegakan, tapi
bisa membuat kecanduan. Sekali suka mengumpat, bibir kita akan dengan entengnya
mengeluarkan berbagai macam umpatan. Hingga akhirnya, mengumpat jadi semacam
bahasa yang digunakan sehari-hari, rasanya tidak eksklusif negatif lagi. Biasa
saja.
Bagi lelaki yang suka mengumpat,
maka banyak-banyaklah beristighfar. Lelaki pengumpat itu bukan ayah-able bagi
calon anak-anak dari benihnya kelak. Begitu pula dengan perempuan yang suka
mengumpat, juga harus selalu beristighfar. Jangan sampai ketika memiliki anak
nantinya, kalian mencontohkan bahasa umpatan kepada anak kalian kelak. Ingat,
perempuan adalah kunci peradaban. Jika perempuan rusak, maka rusaklah seluruh generasi.
Jika memang sedang marah, usahakan
jangan terlalu mudah memuntahkan umpatan.
“Maka berbicaralah yang baik atau
diam!”
Hmm… postingan ini entah kenapa
makin ke bawah makin syar’i.
Alhamdulillah ya… :D
Semoga bagi kalian yang membaca
tulisan ini, meskipun hanya abal-abal dan penuh flight of ideas-nya, masih dapat mengambil manfaatnya. Tolong,
bagian yang negatif silakan dibuang jauh-jauh sampai ke lorong blackhole. Hehehe…
Sampai jumpa di postingan
selanjutnya… :)
[source] |