“Entah
ini suatu kebetulan atau bukan, momen dua dasawarsa bertepatan dengan sidang Eksperimen adalah
sebuah mimpi buruk atau anugerah? Akankah menjelma menjadi kado yang buruk atau
indah?”
Rabu, 11 Juni 2014 adalah hari di mana
umur saya mulai bertambah satu digit, mengubah
bilangan belasan menjadi puluhan. Yup, berbeda dengan momen pengurangan
jatah umur saya seperti tahun-tahun sebelumnya, momen kali ini menyajikan hal
istimewa. Ya, terlampau istimewa sehingga malam sebelum hari H perut saya
terasa mulas karena cemas, khawatir, dan nervous
berat. Tentu saja cemas berat, kelompok Eksperimen saya akan menghadapi sidang
untuk mempresentasikan laporan penelitian beserta temuannya. Pada hari
sebelumnya kami telah melakukan briefing
dan latihan berkali-kali. Sebenarnya, sih, penguji sidang kami bukan dosen,
tapi asisten yang merupakan kakak tingkat kami. Terdengar berlebihan memang,
tapi kami berusaha menpersiapkannya sebaik mungkin dan memperkirakan beberapa
kemungkinan ‘terburuk’ saat sidang berlangsung.
Teramat sulit menjadi kelompok paling
pertama yang menghadapi sidang, itu berarti kami tidak bisa kepo-kepo kepada
kelompok lain. Ya, meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, kami memutar
otak untuk mencari informasi seputar sidang kepada kakak tingkat – kecuali asisten.
Jawaban mereka tentu saja beragam, sesuai dengan kondisi kelompok mereka. Semua
informasi yang kami kumpulkan memang tidak meredakan ketegangan kami, bahkan
malah semakin memperparah. Namun, dengan adanya informasi dan clue seputar pertanyaan yang paling
sering ditanyakan penguji, kami dapat mengantisipasi sebelum menghadapi medan
pertempuran.
Jam demi jam, menit demi menit, dan
detik demi detik berlalu. Pasca kuliah, kami mulai menyiapkan segala hal yang
berkaitan dengan proses sidang yaitu, laptop dan laporan. Ritme degup jantung
saya kian cepat seiring dengan waktu sidang yang semakin dekat. Saya berulangkali
mengigiti bibir saking cemasnya. Menelan ludah, meremas tangan, berulang kali
menghela nafas, berusaha menenangkan diri dan mengenyahkan perasaan khawatir.
Waktu kian berlalu, kumandang adzan
Ashar pun terdengar. Saya merasa saat itu seperti lemas dan ingin melarikan
diri. Semacam mekanisme pertahanan diri antara fight or fear, attack or
escape. Tak ada pilihan yang menyenangkan, mau tidak mau saya harus fight and attack. Kami pun bergegas ke
mushola untuk menunaikan shalat Ashar terlebih dahulu sebelum bertempur. Rasa
cemas mulai perlahan berkurang saat tubuh saya bersimpuh dan menengadahkan tangan
kepada Sang Pengatur Segalanya. Berulangkali mengucap doa, memohon supaya lisan
saya tidak membuat kesalahan yang dapat menjatuhkan kami.
Setelah shalat Ashar, kami pun berjalan
dengan sedikit tergesa ke ruang kuliah yang dipersiapkan untuk sidang. Kami
mulai mempersiapkan laptop, LCD, dan power
point-nya tentu saja. Tak lama, ketiga asisten penguji pun memasuki
ruangan. Jantung saya kembali berdebar kencang. Aduh, rasanya saya ingin mati
saja, saat itu. Ketiga asisten penguji tersebut adalah, Mbak Devina, Mbak
Hesti, dan Mbak Rafika. Glek! Hiks, kakak-kakak asisten cerdas dan paling
kritis yang pernah saya temui di muka bumi. Tangan saya terasa dingin dan
sedikit kebas. Aduh, ya Allah, lancarkan segalanya.
Semua asisten mulai siap di tempat
duduknya, kami berjajar di depan kelas dalam posisi duduk juga. Dua orang dari
kami pun dipilih asisten, Rio dan Rizky, masing-masing melaporkan hasil
eksperimen intervensi dan non-intervensi. Masing-masing presentator melaporkan
dari mulai judul, tujuan, sedikit landasan teori, teknik sampling, perhitungan
statistik, hasil temuan beserta signifikansinya, serta kesimpulan. Presentasi
tidak memerlukan waktu terlampau lama, lantas dilanjutkan dengan sesi tanya
jawab. Inilah salah satu hal paling mendebarkan. Saya berulangkali meremas
tangan saya, terasa basah berkeringat dan dingin seperti es. Jantung saya
kembali bertalu-talu dengan hebatnya saat suara asisten memecah kesunyian
dengan melontarkan sebuah pertanyaan pamungkas.
Sebagai seorang pencemas akut, saat
ingin mengeluarkan sebuah statement
perasaan saya selalu dikuasai oleh ketakutan yang luar biasa. It feels like, I can’t handle it anymore.
Satu-satunya jalan adalah dengan memaksakan diri. Dengan segala kemampuan yang
ada, saya dengan sok percaya diri menjawab setiap pertanyaan asisten, beserta
tambahan dari teman-teman saya. Tentu saja diiringi dengan riuh degup jantung
yang kian menghebat.
Kami berusaha saling menambahkan jawaban
masing-masing anggota untuk memperkuat argumen kami di hadapan asisten. Saya
melihat, jawaban dan pendapat dari teman-teman satu kelompok saya memang sangat
bagus. Saya beruntung sekali memiliki teman kelompok yang passionate, responsible,
pandai, dan menyenangkan seperti mereka. Semua pertanyaan sanggup kami jawab
dengan lumayan. Kami berharap segala jawaban yang kami lontarkan dapat diterima
secara logika dan tidak terdengar absurd oleh asisten. Haha.
Sesi tanya jawab pun usai, kami dipersilahkan
oleh asisten untuk meninggalkan ruang sidang. Kami semua mengucapkan terima
kasih dan menyalami kakak asisten satu persatu, kemudian mengemasi
barang-barang kami kemudian bergegas keluar dari ruang sidang dengan perasaan
lega. Ibarat orang buang air besar, rasanya lega kalau sudah selesai. Hahaha.
Anyway,
sedikit cerita mengenai asisten penguji, Mbak Devina dan Mbak Hesti sering
bertanya dan cenderung kritis, namun Mbak Rafika lebih sedikit melontarkan
pertanyaan. Alhamdulillah, kami bersyukur sekali. Coba kalau ketiga-tiganya
kritis dan sahut-menyahut memberondong kami dengan pertanyaan-pertanyaan maut,
entah bagaimana nasib kami di ruang sidang tadi. Sudah mati atau masih hidup
dengan penuh peluh hingga baju basah. Hahaha.
Yang fotoin siapa sih? Hahaha |
Hari sudah semakin sore, sebelum kami
pulang kami menyempatkan untuk berfoto-foto dan merekam video testimoni pasca
sidang eksperimen. Sebenarnya kami berencana untuk makan-makan pasca sidang,
tapi akhirnya hanya tiga orang saja yang makan bareng, Hentyn, Rizky, dan saya.
Tapi, setelah itu, di lain hari kami janjian untuk menghabiskan sisa uang hasil
iuran kami untuk makan-makan di warung Ayam Geprek, belakang kampus. Recommended banget makan di warung ini,
terutama bagi para pecinta kuliner pedas, karena di warung ini kalian boleh me-request jumlah cabainya, tapi harga
tetap sama. Pas di kantong mahasiswa banget, deh.
Inilah sekelumit cerita pengalaman
sidang bertepatan dengan momen pribadi setahun sekali. Haha. Memang terlalu
berlebihan deskripsi saya di atas, tapi begitulah adanya. Saya selalu jujur
mengungkapkan perasaan saya dalam tulisan. Hehehe.
Uyeee... akhirnya legaaa... |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar