Sebulan sudah umat
Muslim seluruh dunia menahan hawa nafsu, lapar, dan dahaga di bulan yang penuh
rahmat dan ampunan, Ramadhan. Seminggu sudah hari kemenangan usai. Namun,
nuansa-nuansa lebaran masih sedikit terasa di beberapa tempat. Satu yang paling
terasa adalah arus lalu lintas yang macet, seperti halnya yang diberitakan oleh
media massa.
source: www.google.com |
Mudik. Libur panjang
dan cuti bersama lebaran seperti ini masyarakat berbondong-bondong memadati
stasiun, terminal, bandara, pelabuhan, bahkan jalan raya hanya untuk
mengunjungi sanak saudara dan handai taulan di kampung halaman. Ya, mudik atau
pulang kampung, salah satu budaya yang sangat identik melekat pada masyarakat
Indonesia. Tak peduli apa strata sosial atau jabatan yang mereka sandang, mudik
seolah menjadi suatu tradisi yang pantang untuk ditinggalkan saat momen lebaran
tiba.
Selintas teringat
perkataan dosen tempo lalu. Beliau berkata, orang-orang asing sangat heran
dengan tradisi mudik masyarakat Indonesia setiap menjelang lebaran. Mereka
pikir, aneh saja kebanyakan masyarakat Indonesia rela berpanas-panas dan
berjubel mengantri sebuah tiket kereta api ataupun bermacet-macet ria di
jalanan Pantura, bahkan ada yang harus meregang nyawa di jalan raya akibat
mengantuk atau terlalu capek. Semua itu mungkin terasa aneh di benak para
orang-orang asing itu, terutama masyarakat Western.
Apalagi mereka tidak terlalu memahami budaya Timur yang sangat sosialis
dibanding budaya Barat.
Indonesia, meskipun cara pandang dan pola pikir kebanyakan masyarakatnya sudah terwesternisasi, namun nilai-nilai budaya ketimuran masih melekat dalam diri mereka. Satu jawaban dari segala keheranan orang asing itu adalah kelekatan. Kelekatan keluarga dalam budaya Timur lebih kuat dibanding pada keluarga Barat. Masyarakat Timur yang sangat sosial dan menjunjung tinggi nilai kolektif (kebersamaan) merasa perlu untuk tetap menjaga tali silaturahim tetap tersimpul rapi, tak terburai. Lagipula, Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim tentu sudah sering mendengar bahwa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk menyambung tali silaturahim. Nilai-nilai budaya Timur yang sangat menjunjung kebermasyarakatan dan rasa menghormati kepada orang tua adalah salah satu faktor dari fenomena mudik ini. Mengunjungi orang tua atau kakek-nenek di kampung adalah salah satu cara untuk menghormati dan menunjukkan rasa kasih sayang kepada mereka. Berkumpul serta menghabiskan waktu bersama dengan sanak saudara di kampung adalah salah satu cara untuk tetap menjaga tali silaturahim tetap utuh, tak terputus. Segala aral dan hambatan pun rela diterjang, demi menemui saudara-saudara tercinta di kampung halaman yang sudah terlampau lama tak bersua. Momen lebaran memang paling tepat untuk mengunjungi kampung halaman.
Indonesia, meskipun cara pandang dan pola pikir kebanyakan masyarakatnya sudah terwesternisasi, namun nilai-nilai budaya ketimuran masih melekat dalam diri mereka. Satu jawaban dari segala keheranan orang asing itu adalah kelekatan. Kelekatan keluarga dalam budaya Timur lebih kuat dibanding pada keluarga Barat. Masyarakat Timur yang sangat sosial dan menjunjung tinggi nilai kolektif (kebersamaan) merasa perlu untuk tetap menjaga tali silaturahim tetap tersimpul rapi, tak terburai. Lagipula, Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim tentu sudah sering mendengar bahwa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk menyambung tali silaturahim. Nilai-nilai budaya Timur yang sangat menjunjung kebermasyarakatan dan rasa menghormati kepada orang tua adalah salah satu faktor dari fenomena mudik ini. Mengunjungi orang tua atau kakek-nenek di kampung adalah salah satu cara untuk menghormati dan menunjukkan rasa kasih sayang kepada mereka. Berkumpul serta menghabiskan waktu bersama dengan sanak saudara di kampung adalah salah satu cara untuk tetap menjaga tali silaturahim tetap utuh, tak terputus. Segala aral dan hambatan pun rela diterjang, demi menemui saudara-saudara tercinta di kampung halaman yang sudah terlampau lama tak bersua. Momen lebaran memang paling tepat untuk mengunjungi kampung halaman.
Ya, saya pun juga
mengikuti tradisi mudik itu. Menginap di rumah kakek di desa, jauh dari hiruk
pikuk kota dan polusi udara. Perjalanan antara rumah saya dengan rumah kakek
tidak memakan waktu berhari-hari. Hanya satu sampai dua jam. Hahaha, memang
aneh kenapa saya harus menginap di rumah kakek yang hanya berjarak dua jam dari
rumah, kemudian menyebutnya dengan istilah; mudik. Well, mungkin lebih tepatnya, menginap di desa untuk menjauhi
realitas barang sejenak saja. Halah.
Yup, rumah saya
terletak di sebuah pinggiran kota kecil di Jawa Tengah. Bahkan daerah rumah
saya pun juga masih bisa disebut sebagai desa. Namun bedanya rumah saya ada di
sebuah desa yang sudah mulai terjamah oleh arus modernisasi. Mini market, supermarket, warnet, beauty
center, restoran, café, bakery, karaoke,
dan kepikukan jalan raya yang hampir setiap hari. Ya, saya sangat menantikan
momen di mana saya merasa bahwa ada suatu tempat di belahan lain dunia ini yang
belum terjamah kebisingan kendaraan dan tempat-tempat pengumbar hedonisme.
www.google.com |
Rumah kakek saya terletak
di sebuah desa yang masyarakatnya masih kental sekali dengan adat-adat
pedesaan. Bahkan ada beberapa adat pedesaan yang saya tidak suka karena
bertentangan dengan adat-adat yang selama ini saya anut sebagaimana masyarakat
pinggiran kota pada umumnya.
Selama seminggu saya
menginap di rumah kakek saya, banyak pelajaran dan pengalaman yang saya ambil
selama seminggu penuh di desa. Salah satu yang paling saya soroti adalah
perbedaan adat antara masyarakat desa dan masyarakat kota. Saya juga belum tahu
apakah tata cara masyarakat di desa kakek saya ini sama seperti di semua desa
di Indonesia.
Hal yang membuat saya
heran adalah, masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Ya, saya tahu bahwa tetangga
kakek saya itu sangat akrab dengan kami, namun saya melihat bahwa keakraban
tersebut seperti disalahartikan dengan bertingkah laku seenaknya memasuki rumah
orang lain tanpa salam atau ketok pintu. Langsung masuk ruang tamu, bahkan
sampai masuk ke ruangan-ruangan yang sangat privasi bagi keluarga kami, dapur
misalnya. Bahkan keluarga kakek saya yang lain pun merasa biasa dan tidak risih
dengan kehadiran orang itu. Setahu saya, meskipun orang itu sudah akrab, apabila
bertamu tetap harus mengucap salam atau ketok pintu. Selain itu juga tidak
boleh sembarangan masuk ke ruang-ruang pribadi milik si tuan rumah kalau tidak
atau belum diijinkan. Sangat mengganggu menurut saya. Hal tersebut tidak
dilakukan satu-dua orang, namun beberapa orang.
Sebenarnya masih ada
banyak tingkah laku mereka yang aneh dan kurang sopan menurut saya. Namun,
untuk masalah tata cara bertamu itulah yang sangat penting untuk dikeluhkan. Tata
cara bertamu yang baik dan sopan tentu saja seperti yang telah dicontohkan
Rasulullah yaitu pertama-tama dengan mengucapkan salam sampai terdengar jawaban
dari tuan rumah. Lantas, tamu tidak boleh seenaknya masuk sebelum dipersilahkan
oleh tuan rumah. Selain itu, setahu saya, tamu hanya boleh sampai di ruang tamu
saja tidak boleh tiba-tiba seenaknya masuk ke dapur atau kamar si tuan rumah,
kecuali jika tuan rumah mengijinkan.
Memang hal tersebut
terdengar sepele dan remeh temeh. Namun, kita wajib tahu karena sebagai makhluk
sosial yang senang bermasyarakat tentu tidak luput dari kegiatan tamu-bertamu. Kesopanan
dan kesantunan dalam bertamu bukanlah isapan jempol belaka. Sebagai tamu
seharusnya kita menghormati tuan rumah sebagai pemilik rumah. Jangan seenaknya
saja karena dalam bermasyarakat tentu harus paham etika.
Anyway, tulisan ini
sebenarnya tidak nyambung dengan pembukaannya yang terlalu panjang serta
judulnya yang aneh. Otak saya sedang bekerja amat sangat random akhir-akhir
ini. Well, postingan ini terasa aneh dan sebenarnya hanyalah curhatan random
untuk menumpahkan sebagian unek-unek saya mengenai tata perilaku orang desa
yang berbeda dengan apa yang pernah saya ketahui.
Sekian curhatan tidak
jelas dari saya. Akhir-akhir ini saya sedang membangunkan semangat menulis saya
karena sudah berbulan-bulan terakhir mati suri. Serpihan semangat yang masih
menyala membantu saya bertempur menghalau rasa malas saya. Well, mungkin nanti
saya akan menceritakan kisah yang menyebabkan saya ‘mematisurikan’ sementara
semangat menulis saya.
Sampai jumpa di
postingan selanjutnya… :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar