“Serasa
baru saja dibangunkan dari default masa remaja yang penuh dengan khayal serupa FTV
dan drama Korea. Setumpuk novel pun sudah harus tergantikan andilnya oleh
jurnal ilmiah dan buku tebal yang berat nan memusingkan”
Tahun-tahun berlalu begitu cepat.
Rasanya baru kemarin saya mengenakan baju putih abu-abu lantas tiba-tiba waktu
pun bergulir dengan kecepatan lesatan anak panah hingga sampai pada penghujung
akhir masa putih abu-abu. Saya harus menanggalkan seragam kesayangan saya,
seragam yang menyimpan banyak kenangan selama masih berstatus sebagai siswi
Sekolah Menengah Atas.
Saya pun tersadar, waktu terasa amat
singkat. Saya sudah bukan lagi sebagai siswa sekolahan yang masih bergantung
dengan tata tertib serta nasihat dari bapak-ibu guru di sekolah. Lulus SMA
artinya kita telah memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi, universitas.
Universitas, tempat di mana tak ada lagi
bapak-ibu guru mengingatkanmu sampai berbusa jika kamu melakukan kebandelan.
Tempat di mana kamu sudah dianggap tahu dan paham akan apa itu salah dan benar,
apa tujuan hidupmu di masa depan, serta apa konsekuensi yang kamu lakukan
sekarang untuk masa depanmu kelak. Semua itu tercermin dari tak ada lagi
seragam yang harus kita kenakan di universitas. Seragam itu telah tergantikan
baju bebas. Bebas, namun masih tetap dalam aturan-aturan yang ada. Bebas yang
berarti warna serta stylenya berbeda-beda tiap individu namun masih ada aturan
tentang jenis pakaian yang digunakan. Peraturan tiap universitas berbeda-beda,
bahkan kebijakan setiap fakultas pun berbeda-beda meskipun dalam satu
universitas. Jangan dipikir di universitas bisa seenaknya pakai baju yukensi
atau rok mini. Mau kuliah atau mau jual diri?
Ya, universitas atau perguruan tinggi.
Tempat di mana kamu menemukan daya kritisimu semakin meningkat. Tempat di mana
kamu mulai mempertanyakan segala eksistensi yang ada di muka bumi, bahkan
mempertanyakan tentang keyakinanmu yang kamu anut sejak belia. Tak jarang
akibat dari fenomena ini banyak mahasiswa yang mulai berpindah haluan karena
merasa meragu akan apa yang telah lama dianutnya sejak lama.
Hei, tapi itu bukan semata-mata tempat
saja yang menentukannya. Semua aspek-aspek perkembangan daya pikir serta
psikologis, dari mulai berpikir abstrak sampai kritis, semua itu terjadi karena
adanya tugas perkembangan. Tugas perkembangan masa dewasa awal sangat ditempa
dalam kehidupan kampus yang serba kritis dan idealis. Tidak hanya butuh
pemikiran logis tapi juga analitis. Tidak hanya pasif menerima mentah-mentah suatu
informasi atau ide, namun juga perlu pandangan sedikit skeptis. Ya, daya pikir
kita sedang berkembang pesat, mungkin bisa saja ini golden age periode kedua
dalam masa perkembangan manusia.
Tertatih-tatih terseret oleh sang kala
yang melesat sekedipan mata, tanpa sadar saya sudah berada di penghujung usia
belasan. Penghujung usia belasan dengan segunung pelajaran berharga untuk
menyongsong usia puluhan. Mulai menapaki masa dewasa awal dan menyadarkan diri
bahwa kenyataan itu tak selalu indah seperti ketika masa kanak-kanak. Memasuki
dunia kampus, terseret oleh arus kegiatan mahasiswa, berputar-putar dalam
pusaran kegiatan akademis, terjebak dan terbelenggu oleh keinginan mendapatkan
indeks prestasi yang gemilang.
"Ah, nyatanya lollipop dan seperangkat lego pun sudah tergantikan oleh pahitnya kopi tengah malam dan laptop yang menyala."
source: www.google.com |
Rangkaian kisah asam manis lika-liku
semester empat pun telah saya lalui selama lima bulan belakang. Mulai dari
tugas yang serasa tak ada habis-habisnya sampai kegiatan lain yang banyak
menyita energi fisik dan psikis. Langkah penuh keoptimisan di awal semester
lambat laun mulai terabrasi dengan ketidakfokusan yang kian melanda batin.
Tugas yang sebegitu banyaknya dan amanah yang masih senantiasa menggelayuti
bahu rapuh saya membuat saya kurang fokus dalam menyelesaikan semuanya satu
demi satu. Pikiran pun bercabang-cabang untuk menyamaratakan porsi supaya deadline
tanggungan yang selalu bersamaan dapat diselesaikan tepat waktu. Namun
nyatanya, saya harus mengorbankan salah satu hal karena mendahulukan prioritas
utama. Tetap saya kerjakan, namun molor melebihi deadline yang diberikan. Saya
merasa, separuh diri saya hilang saat itu. Ini bukanlah saya jika mengerjakan
hal sampai melebihi tenggat waktu. Merasa sangat bersalah, tentu saja. Selama
satu semester terkungkung oleh kecemasan dan perasaan yang sulit
diejawantahkan. Saya mulai dijajaki rasa malas, kesal, benci setengah mati,
sedih, takut, cemas, campur aduk tidak karuan. Stamina fisik saya menurun, saya
sering kecapekan, pusing, terserang flu, mudah sekali stress dan pressure yang
bertubi-tubi menurunkan sistem imun saya. Well,
saya sedang mencoba beradaptasi dan menata raga supaya lebih kuat.
source; www.google.com |
Apa enaknya, sih, menulis sesuatu karena
paksaan bukan karena keinginanmu sendiri? Mau tidak mau menulis sesuatu karena
itu merupakan tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan. Ah, ya, dan saya
merasa hidup saya terpasung dalam kotak hitam yang tertutup rapat.
Eksperimen Lapangan di TK |
www.google.com |
Panitia Psychovison 2014 |
Selanjutnya, momen yang menyongsong
akhir semester empat adalah, menjadi panitia wisuda. Ya, tahun ini adalah jatah
angkatan 2012 membantu prodi untuk melaksanakan wisuda kakak tingkat.
Lagi-lagi, saya bergumul dengan padatnya tugas serta aktivitas yang kian
menghimpit di penghujung semester empat. Pikir di awal, akhir semester akan
lebih longgar karena tugas-tugas sudah menumpuk di pertengahan semester,
nyatanya malah semakin bertambah menyesak akibat adanya ujian-ujian yang
dirapel. Fiuh…
Suasana di area cafetaria 3030show |
Nah, itulah serentetan kegiatan di
semester empat yang kemudian ditutup dengan kegiatan yang lumayan happy ending. Meskipun lelah, namun
semester empat menyuguhkan kenangan dan momen-momen bersama teman-teman
seperjuangan tak terlupakan. Sifat, tingkah laku, kelebihan dan kekurangan
masing-masing individu pun menjadi semakin terlihat ketika menghadapi suatu
kegiatan yang penuh tekanan. Justru dengan mengetahui kekurangan mereka lah
yang memupuk toleransi dan rasa saling menghormati antar individu. Nobody’s flawless, right?
(Seperti halnya tulisan-tulisan
saya sebelumnya, selalu menyajikan pembukaan yang terlalu panjang dan
membosankan. Jangan berharap kalau saya menulis dengan bahasa yang tertata rapi
seperti ini, strukturnya juga menjadi lebih tertata rapi dari sebelumnya.
Sekali-kali belum! Saya masih belajar menulis, sebenarnya. Jadi, siapapun
jangan anggap saya ahli atau pandai merangkai diksi liris seperti yang sering
saya guratkan dalam tulisan-tulisan saya di tumblr. Sesungguhnya, saya masih
perlu banyak belajar. Hehehe. Maka, tolong maafkan segala kekhilafan saya dalam
dunia tulis menulis ini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar