source: www.google.com |
Sudah
memasuki akhir Februari dan blog ini mulai menampakkan kesunyiannya. Biasalah,
mahasiswa semester akhir itu (sok) sibuk. Sibuk galauin judul skripsi, galauin
tempat magang, galau KKN, galau IPK (ini sudah pasti), dan galau jodoh–mengingat
sedang tren nikah muda. Halah. Apalagi, ditambah galau-galau pribadi, semisal
galau resolusi tahun 2015. Yup, mengingat tahun ini saya punya resolusi yang
lumayan gede, jadi mungkin harus pandai-pandai buat manajemen waktu.
Di
tengah kegalauan yang menyita waktu dan tenaga ini, Alhamdulillah saya
mendapatkan kerjaan baru yang lumayan bermanfaat dan menambah wawasan saya yang
lumayan sempit ini. Hahaha. Daripada galau nggak ada kerjaan, lebih baik galau
sambil melakukan sesuatu, kan?
Jadi
ceritanya begini, kebetulan dosen pembimbing akademik atau dosen wali saya
sedang dalam proses menyelesaikan disertasinya. Nah, dosen saya ini melakukan
penelitian di sekolah-sekolah menengah pertama negeri di lima kecamatan yang
tersebar seantero Solo. Yup, pasca konsultasi KRS kemarin, kami–angkatan 2012
anak wali dosen saya itu–pun diajak dan dimintai tolong oleh beliau untuk
mengambil data di sekolah-sekolah tersebut.
Nah,
hari Sabtu yang lalu adalah hari kedua saya mengambil data, setelah sebelumnya
kami mengunjungi SMP Negeri 9 Solo. Pengalaman berkunjung ke SMP Negeri 9
menurut saya terkesan biasa saja, mengingat sekolah tersebut adalah salah satu
SMP favorit di kota Solo. Pastilah, sebagian besar anaknya lumayan good boys, dari keluarga terpelajar, dan
cerdas. Dinamika lingkungannya pun menurut saya biasa saja, karena hampir
sebagian besar anak-anaknya berasal dari keluarga masyarakat sejahtera–dengan
kehidupan sosial ekonomi menengah sampai menengah ke atas. Masih normal dan
cenderung tidak menuai berbagai masalah.
Sedangkan,
pada hari kedua ini, kami berpindah ke sekolah lain yang berlokasi sangat dekat
dengan Balaikota Surakarta (Solo), wawasan saya pun kemudian menjadi semakin
terbuka. Menurut saya, di SMP tersebut menyajikan fenomena sosial dan
pengalaman sangat berbeda bagi kami. Berbeda jauh dengan sekolah yang kami
kunjungi sebelumnya. Fenomena yang amat sangat tampak betul adalah dari aspek
sosial ekonomi. Entah mengapa, saya tidak begitu paham juga, sekolah-sekolah di
Solo itu tampak sekali jurang pemisah amat lebar antara anak dari keluarga
menengah ke atas dan menengah ke bawah.
Biasanya,
sekolah-sekolah favorit, didominasi oleh anak-anak berkemampuan di atas
rata-rata yang kebanyakan pun juga anak orang berpunya. Pulang sekolah dijemput
mobil, sampai-sampai jalanan di sekitarnya penuh dengan jajaran mobil-mobil
para orang tua murid. Namun, berbeda sekali dengan sekolah negeri yang bernomor
belasan hingga puluhan di kota Solo. Biasanya mereka yang bersekolah di sana
adalah anak-anak yang gagal masuk sekolah-sekolah favorit–dikarenakan kemampuan
akademik yang lebih rendah atau karena sedang tidak beruntung saja ketika
beradu NEM dengan anak-anak lain di situs pendaftaran online. Selain memiliki kemampuan lebih rendah, kebanyakan dari
mereka juga anak dari keluarga tidak mampu.
Seperti
halnya yang dituturkan oleh guru-guru di sekolah tersebut, membuat saya merasa
tersayat-sayat ketika mendengarnya. Para guru mengeluhkan tentang kondisi ruang
kelas yang kurang memadai, lahan sekolah yang kurang representatif, sehingga
kegiatan belajar mengajar menjadi kurang kondusif. Mereka harus bekerja ekstra
keras dengan segala tenaga dan peluh yang tersisa guna mentransfer ilmu untuk anak
didiknya, mengingat para siswa-siswi di sana memiliki daya serap ilmu yang
berbeda dari anak-anak cerdas di sekolah favorit. Selain itu pula, hal yang
membuat para guru di sana mengurut dada dan miris adalah adanya ketidakpedulian
dari para orang tua siswa terhadap pendidikan anaknya.
“Ya,
namanya juga masyarakat ekonomi ke bawah, Mbak,” tutur salah seorang guru.
Kendala
ekonomi yang kurang sejahtera menjadikan para orang tua siswa terkesan
menyerahkan tanggung jawab pendidikan seluruhnya kepada guru di sekolah. Mereka
berpikir, bahwa orang tua hanya bertugas mencari nafkah untuk anak-anaknya, sedangkan
urusan pendidikan sepenuhnya tanggung jawab guru.
“Cari
duit saja susah, gimana mau ngurusin sekolah anak. Mending cari duit, kan, buat
makan dan bayar kontrakan.” Mungkin begitulah isi pikiran para orang tua siswa
tersebut. Menyedihkan, memang.
Padahal,
campur tangan orang tua dalam proses pendidikan bagi anak-anak mereka itu tidak
kalah pentingnya dalam meningkatkan kemampuan akademik anak. Selain karena
kendala ekonomi pula, mungkin saja ketidakpedulian itu terjadi karena adanya
ketidaktahuan mereka terhadap seluk beluk pendidikan.
Ada
satu cerita yang membuat sedikit miris pula. Guru sekolah tersebut menuturkan
bahwa kebanyakan anak-anak yang bersekolah di sekolah tersebut tidak selesai
menjalankan masa studinya. Banyak siswa-siswi di sana yang drop out menjelang tahun-tahun terakhir mereka mengenyam bangku
sekolah. Bukan, bukan karena kondisi sosial ekonomi saja, karena biasanya
anak-anak kurang mampu sudah mendapatkan keringanan biaya dari pemerintah.
Hanya saja, mereka memilih drop out
karena sudah merasa bosan dan malas untuk bersekolah lagi. Bahkan, guru-guru di
sana pun juga berusaha keras untuk membujuk sang anak kembali ke sekolah
mengingat sudah hampir mendekati ujian akhir. Paling tidak si anak bisa
menyelesaikan studinya sampai lulus dan mendapatkan ijazah SMP.
Orang
tua yang kurang aware dengan
pendidikan anak ditambah pula si anak yang memiliki minat minim terhadap sekolah,
menjadikan sebuah lingkaran setan tersendiri bagi pemerintah terhadap satu
masalah pokok umum, kemiskinan. Padahal, pendidikan itu perlu sekali, lho,
sebagai bekal mereka nantinya dalam mengembangkan ketrampilan mereka untuk
memasuki dunia kerja. Baik itu memilih bekerja menjadi pegawai ataupun
wiraswasta.
Saya
melihat sebuah ketulusan dan perjuangan berharga yang telah diberikan guru-guru
tersebut. Saya sangat salut dan respect
terhadap perjuangan para guru di sekolah-sekolah kurang bonafit dalam mengajar
dan mentransfer ilmu kepada anak didiknya. Dedikasi mereka itu luar biasa,
menurut saya. Mereka rela blusukan ke rumah siswa yang mogok sekolah, membujuk
mereka kembali ke sekolah. Selain itu juga, tatkala mengajar mereka berusaha
tetap sabar dan tabah meskipun kadang mereka merasa geregetan sendiri ketika banyak
anak didiknya yang tidak cepat paham pada materi pelajaran tersebut padahal
sang guru sudah menjelaskan sampai berbusa-busa. Namun, terkadang pemerintah
pun kurang aware dengan perjuangan
guru-guru tersebut dalam membantu negara mewujudkan cita-citanya sesuai dengan
pembukaan UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal guru-guru yang
bertugas di daerah terpencil ataupun di sekolah-sekolah yang memiliki siswa
kurang pandai perlu diberikan apresiasi lebih oleh pemerintah.
Masih
ada banyak lagi masalah yang menyita perhatian kita. Masalah pendidikan itu
tidak melulu berpusar-pusar dalam masalah kurikulum saja, bahkan malah lebih kompleks
sebenarnya. Ada banyak masalah-masalah sampingan yang turut berperan menentukan
nasib perkembangan dunia pendidikan Indonesia selanjutnya. Biasanya masalah
tersebut kurang begitu diperhatikan karena skalanya yang kecil dan terlihat
remeh. Padahal masalah-masalah tersebut justru berperan besar dalam menciptakan
masalah yang lebih kompleks. Seperti dalam teori Broken Windows–sebagaimana yang pernah saya baca di buku Tipping
Point karya Malcolm Gladwell–bahwa masalah-masalah besar nan kompleks sejatinya
adalah berasal dari masalah-masalah kecil yang terakumulasi dan belum
terselesaikan. Kebanyakan orang akan melihat masalah besarnya, kemudian
berusaha menyelesaikan masalah besar itu. Namun, kebanyakan pula, penyelesaian
dari masalah besar itu terlalu rumit dan sulit sekali diselesaikan saking
kompleksnya. Jika toh bisa terselesaikan itupun dampaknya tidak begitu
signifikan. Jadi, mungkin salah satu solusi lain yang perlu dicoba untuk
menyelesaikan sebuah permasalahan yang sangat kompleks tersebut adalah dengan
mulai memberi perhatian pada hal-hal kecil kemudian berusaha menyelesaikannya. Mungkin
bagian ini nampak terlampau teoritis sekali, namun saya yakin mereka yang lebih
paham masalah pendidikan akan mampu menemukan simpulan sederhana di atas.
Sebenarnya,
kompleks sekali, ‘kan, permasalahan pendidikan di Indonesia ini. Bukan hanya
tentang masalah pergantian kurikulum setiap lima tahun sekali ditambah pula
kisruh kurikulum 2013 yang menyita perhatian khalayak publik, tapi ada berbagai
masalah sederhana yang tidak kalah pentingnya untuk diberikan perhatian dan
dicarikan solusinya.
Saya
jadi teringat cerita Bapak saya beberapa hari lalu. Suatu ketika, Bapak saya
sedang duduk menunggu bus di pinggir jalan Solo-Tawangmangu bersama sekumpulan
anak-anak usia SMP. Mereka tampak masih menggunakan seragam. Bapak saya pun
kemudian bertanya:
“Le, kok wayah semene lagi mulih?[1]”
tanya Bapak saya.
“Bar neng alun-alun, Pak,[2]”
jawab salah satu dari mereka dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko. Rada kurang sopan, sih. Haha.
“Ngopo nyang alun-alun?[3]”
“Iku lho, Pak, nonton dangdutan OM. Sera[4],”
jawab mereka polos.
Saya
tertawa mendengar cerita Bapak. Ya, begitulah gambaran pelajar Indonesia masa
kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar