Halo semua! Jumpa lagi di movie
review kedua di tahun 2015 ini. Hehehe. Setelah sebelumnya didahului oleh review film The Sixth Sense, postingan saya kemarin. Ya, di review film kali ini, saya
tertarik untuk mereview sebuah film kerjasama antara sineas negeri Paman Sam
dengan sineas Indonesia. Yup, seperti judul yang telah saya tuliskan, film
tersebut berjudul Java Heat.
Film yang sebagian besar diarahkan
oleh sineas Hollywood ini memang memiliki alur yang menarik. Tema yang diangkat
cukup menyentil, tentang konspirasi terorisme. Penggunaan efek sinematografi
yang berciri khas Hollywood juga turut ditampakkan. Mobil meledak, terjungkir
balik, ledakan dengan api kemerahan menjilat-jilat beserta asap hitam jelaga
yang membumbung tinggi. Ya, saya seperti sedang menonton adegan film Rambo di
mana Sylvester Stallone berjibaku dengan serangkaian efek dramatis tersebut.
Halah.
Anyway, saya
tidak akan mengomentari efek-efek canggih tersebut. Tentu saja, karena saya
sepenuhnya percaya bahwa Hollywood, dengan teknologi perfilman yang sedemikian
lebih maju dibanding Indonesia, mampu menghadirkan efek dramatis tanpa takut
ditertawakan penonton. Yeah, they've got an A plus! But, saya amat menyayangkan beberapa hal
dalam film ini. Sangat. Kenapa? Karena saya menemukan banyak sekali ketidakcocokan logika film ini dengan kenyataan.
Ya, sebelum menceritakan kecacatan
logika film, saya ingin sedikit bercerita perihal film ini terlebih dahulu.
Java Heat, film yang disutradarai oleh Connor Allyn ini bercerita tentang kasus
terorisme. Adegan bermula ketika Letnan Hashim (Ario Bayu) menginterogasi
seorang lelaki bule (Kellan Lutz) yang menjadi saksi kejadian pemboman di pesta
yang diadakan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada peristiwa itu, putri mahkota
Kesultanan Jogja, bernama Sultana (Atiqah Hasiholan), diduga ikut terbunuh.
Diduga pelaku pemboman itu dilakukan oleh seorang teroris jihadis yang datang
ke pesta dengan menyamar menggunakan pakaian adat Jawa. Teroris dalam film ini
digambarkan dengan menggunakan atribut-atribut Muslim seperti, kopiah, baju
koko, dan jenggot panjang.
Anyway, saya
tidak suka dengan pendiskreditan sineas Hollywood terhadap citra orang
berkopiah dan berbaju koko dengan sebutan teroris. Sejak di awal film
sebenarnya film ini terlihat sedikit menyebalkan karena selalu menggambarkan
citra Muslim dengan buruk. Sebenarnya, saya mencoba sedikit berpositif
thinking, namun semakin mengikuti alur cerita malah semakin terasa menyebalkan.
Ini adalah kesalahan pertama dan sangat fatal bagi Connor Allyn dalam membuat
filmnya. You've done bad, Mr. Allyn! :)
Selanjutnya, kesalahan kedua adalah
dalam menggambarkan perilaku seorang wanita Jawa apalagi yang berhijab, saya
sepenuhnya tidak setuju. Ada sebuah adegan ketika istri Letnan Hashim menjenguk
suaminya yang harus berada di rumah sakit karena kecelakaan saat mengantar si
bule–yang selanjutnya dipanggil Jake. Istri Letnan Hashim ini adalah seorang
wanita Jawa yang juga mengenakan hijab. Sang istri mengucapkan terima kasih
kepada Jake dengan menjabat tangan kemudian cipika-cipiki. Ketika melihat
adegan ini, rasanya saya ingin berseru di depan si Allyn:
"Hellow, are you out of your
mind, dude Allyn?!"
Menurut saya adegan itu agak sedikit
konyol nan absurd. Bagaimana tidak, seorang wanita berhijab dan diceritakan
dari suku Jawa itu berani-beraninya bercipika-cipiki dengan bule yang tentu
saja saudara bukan, suami bukan. Kalau orang Jawa bilang, tindakan seperti itu
'ora elok', ora apik. Nggak bagus. Tidak sesuai norma budaya dan agama. Ini
adalah kecacatan logika yang sempat membuat alis saya naik sebelah dan mulut
saya tersenyum sinis. Pffft…
Selanjutnya, masih ada kecacatan
logika lainnya. Saya merasa aneh dengan penggambaran perilaku orang-orang
Keraton Jogja. Saya tidak paham anehnya di mana, namun rasa-rasanya sangat
ganjil. Ada sesuatu yang salah dan cenderung dipaksakan. Saya merasa bahwa
unsur Keraton yang pada dasarnya kental akan nuansa Jawa itu hilang, entah
tersembunyi di mana.
Selain itu, ada kesalahan logika yang
lain, ketika Jake mendatangi tempat prostitusi untuk mencari wanita bertato
macan. Jake menuju ke sana dengan menaiki bajaj, Man! Hahaha. Di Jogja ada
bajaj? Adanya becak, keleeuus. Ini lebih membuat ngakak, karena bajaj hanya ada
di Jakarta, sedangkan di Jogja hanya ada becak. Hahaha. Lantas, satu lagi yang
membuat saya merasa aneh. Setting diskotik tempat prostitusi itu cenderung
bernuanasa diskotik ala Chinatown US. Saya tidak begitu tahu, sih, di Chinatown
US sana ada diskotik atau tidak. Terlalu modern diskotiknya. Padahal, tahu
sendiri, jika kalian suka nonton film-film Indonesia yang ambil setting
diskotik, pasti nuansa diskotiknya masih ada ndeso-ndeso-nya. Kecuali di Bali,
kayaknya. Hehehe. Untuk urusan diskotik, saya sebenarnya tidak terlalu paham
karena belum pernah dan tidak mau masuk ke diskotik yang beneran. Halah.
Kemudian, untuk keanehan yang
kesekian–entah keberapa, saya sudah malas menghitung–ketika si Jake dibawa
pulang oleh orang-orang Amerika yang katanya anggota Angkatan Laut US. Ketika
mereka menaiki mobil hendak menuju airport,
mereka melewati persawahan–yang tampak seperti di tengah desa pedalaman–sepanjang
perjalanan. Namun, tiba-tiba muncul sebuah plang absurd bertuliskan 'Airport' beserta arah panahnya. Hahaha.
Itu bule mau dibawa ke airport mana coba? Perasaan kalau mau ke Adisucipto dari
Jogja lewatnya jalan raya yang lumayan rame plus deretan rumah dan pertokoan.
Ini salah satu hal yang juga bikin saya mengangkat sebelah alis, mengerutkan
dahi, kemudian terkekeh-kekeh.
Oiya, ada satu hal lagi yang
menjengkelkan dan terasa mendidihkan darah, ketika seruan 'Allahu Akbar'
diteriakkan lantang oleh seorang Muslim ketika ia berusaha menekan pemicu bom untuk
meledakkan dirinya. Hal tersebut menurut saya adalah semacam penghinaan untuk
Muslim dan citra Islam sendiri. Seolah-olah tindakan bom bunuh diri dengan
menyebut nama Allah itu adalah ajaran Islam. Padahal Islam melarang bunuh diri.
Saya tidak mengerti mengapa si Connor Allyn ini rasa-rasanya teramat
semena-mena dengan memasukkan hal-hal yang lumayan SARA. Film ini terlampau menyuguhkan konten sensitif penuh SARA dan agak
kurang ajar menurut saya.
Bukan karena saya seorang Jawa dan
Muslim kemudian saya jadi sebal dengan ulah Hollywood mendiskreditkan atribut
yang melekat pada saya tersebut. Saya sebal karena mereka sudah semena-mena
dalam menyuguhkan konten film. Kurang riset! Sudah pasti! Padahal, untuk film
sekelas Hollywood, sineas film biasanya akan melakukan riset mendalam sebelum
merepresentasikannya dalam gambar visual. Saya berani bertaruh, film ini hanya
masuk di kategori B beserta jajaran film horor US yang gagal masuk box office.
Bahkan dalam Rotten Tomatoes pun tidak menuai apresiasi positif. Hanya
memperoleh rating 5% saja, kalau tidak salah. Saya betul-betul sangat
menyayangkan aktris dan aktor sekelas Ario Bayu, Atiqah Hasiholan, dan Rio
Dewanto harus bermain dalam film seperti ini. Mengingat mereka adalah para
aktor dan aktris yang bagus. Hiks.
Overall, film
ini sangat gagal menurut saya. Baru kali ini saya mereview film dengan menampilkan
banyak keburukan dan kesalahan logika. Biasanya, saya suka mereview film-film
yang bagus dan pantas untuk diapresiasi. Mungkin film ini saking penuh cacat
logikanya sampai tangan saya gatal-gatal ingin segera mengetik reviewnya.
Hehehe.
Oh iya, ada satu lagi yang terlewat,
ketika bagian ending film itu Jake menyalami Sultana seraya berkata:
"Katanya, mencium bibir di muka
umum itu tidak sopan kalau di negaramu."
Lalu Sultana pun menimpali, "tidak
juga,” seraya tersenyum manis.
Salah satu #KrikMoment yang membuat
lidah saya sedikit kelu. So sorry,
buat Atiqah Hasiholan, karakter Sultana yang Anda perankan kurang priyayi. Kurang dapat mencerminkan
seorang putri keraton Jawa yang njawani
dan terkesan kalem. Ini mungkin karena skrip naskah yang dibuat orang Hollywood
itu kurang pas, sehingga Atiqah hanya manut
sama naskah. Hehehe.
Okay, sekian movie review saya kali
ini. See ya to the next movie review! :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar