Lama sekali rasanya saya tidak
pernah posting tentang event atau seminar yang saya ikuti. Sebenarnya saya
ingin cerita tentang bedah buku Lautan Langit-nya Mas Kurniawan Gunadi Oktober
lalu. Tapi, akibat terlampau capek setelah seharian bolak-balik kemana-mana,
alhasil pun jadi lupa. Hehehe. Yup, lantas akhirnya ada sebuah event yang mau
tak mau harus saya tuliskan untuk mengabadikan. Maklum lah, saya memang agak
pelupa. Hehehe. Yup, seperti judulnya, event yang saya ikuti ini adalah TEDx.
Bagi yang belum tahu, TEDx adalah event TED yang dibikin secara independen. TEDx
di sini bukan terinspirasi dari film TED yang dibintangi Mark Wahlberg itu, malah
lebih dulu ada sebelum film TED rilis. Atau jangan-jangan, film TED itu
terinspirasi dari TED ini. Halah. Saya juga sebenarnya tidak tahu, sih. Hehehe.
Nah, mungkin bagi yang ingin tahu lebih jelas dan lengkap bisa kunjungi ini.
Ahad, 6 Desember 2015 lalu acara
TEDx diselenggarakan di aula FH UNS. Acara TEDx ini sebenarnya memiliki konten
yang hampir serupa dengan seminar pada umumnya. Akan tetapi, kemasan yang
ditampilkan memang agak sedikit berbeda. Tidak hanya itu pula, pembicaranya pun
tidak dibatasi tema tertentu seperti seminar-seminar pada umumnya. Pun, TEDx
ini 100% free, tanpa dipungut biaya asal
bisa lolos seleksi call for audience.
Hehe. Entahlah, setelah sebelumnya saya iseng mendaftar TEDx, beberapa hari
kemudian nama saya pun tiba-tiba ada dalam list audience TEDx. Wah, lumayan. Saya bisa memuaskan rasa penasaran saya
yang sebelumnya tidak tahu apapun mengenai TEDx.
Dalam TEDx ini mengusung tema Symphony of Ideas, di mana sejumlah pembicara
dihadirkan sebagai penyebar ide-ide pembaharuan. Jadi, pembicara yang
dihadirkan bukan orang sembarangan. Mereka adalah para agent of change di bidang dan lingkungannya masing-masing. Ada
sekitar delapan pembicara yang mengisi TEDx, masing-masing memiliki waktu cukup
singkat saat memperkenalkan gagasan-gagasan mereka. Acara ini dibagi dua sesi.
Sesi pertama terasa lebih panjang karena ada lima pembicara, meskipun waktunya singkat
sekali. Sesi kedua yang dibuka setelah ishoma, diisi oleh tiga pembicara.
Empat dari delapan pembicara TEDx
tersebut meninggalkan kesan yang mendalam bagi diri saya pribadi. Kesan yang
mereka timbulkan tersebut mungkin lebih dikarenakan konten yang mereka usung
lumayan related pada diri saya. Salah
satu yang paling nempel adalah gagasan Komunitas Baca Dua Lima yang digagas
oleh Mas Syukri. Iya, saya sudah lama tahu beliau dan saya juga sudah tahu
Komunitas Baca Dua Lima itu apa. Tentu saja, karena teman-teman saya yang anak
Kedokteran, secara bersamaan memasang twibbon di display picture sosial medianya yang berisi opini setelah mengikuti
gerakan baca buku dua puluh lima halaman per hari. Sesuai namanya, Komunitas
Baca Dua Lima adalah gerakan yang digagas beliau untuk mengajak masyarakat
supaya mau meluangkan waktunya dalam sehari untuk membaca buku minimal dua
puluh lima halaman. Ini adalah sebuah gerakan yang sangat keren, menurut saya.
Gerakan ini berangkat dari suatu fenomena budaya membaca masyarakat Indonesia
yang sangat rendah sekali. Nggak usah gede-gede selingkup Indonesia, deh,
selingkup Solo saja budaya membacanya masih cetek. Gagasan tersebut merupakan
sebuah angin segar tersendiri dalam menghadapi fenomena semacam itu. Sangat berguna
menghidupkan kembali budaya membaca buku yang sudah hampir tergerus oleh
semakin merajalelanya teknologi dan internet penyedia segala bentuk kemudahan.
Tersihir, saya merasa sangat related dan serta merta menyetujui data
dan fakta yang dipaparkan. Saya juga punya impian sama, membudayakan membaca.
Sebagai pembaca buku minded, saya
memang getol sekali untuk menyerukan wajib baca buku dalam seminggu. Bahkan,
semenjak kuliah, saya mulai lebih getol lagi menjejali diri dengan berbagai
macam genre buku. Tidak terbatas pada fiksi, namun juga nonfiksi. Lalu
akhir-akhir ini pun saya malah sering kecantol dengan buku nonfiksi yang international best-seller. Hehehe.
Yup, pada intinya membaca adalah
sebuah kebiasaan (habits). Supaya
gemar membaca kian membudaya, maka kebiasaan membaca perlu dimulai dari diri
sendiri serta mulai dari sekarang. Bagi para orang tua muda, perlu sekali
menanamkan kebiasaan membaca pada anak-anaknya sejak kecil. Indonesia yang
sebagian besar masyarakatnya adalah Muslim tentu perlu sekali untuk
membudayakan membaca sedari belia. Lagipula, wahyu pertama yang diberikan Allah
kepada Rasulullah melalui perantara malaikat Jibril adalah Surat Al-‘Alaq, di
mana kata pertama pada ayat pertamanya berbunyi Iqra’–Bacalah! Bacalah dengan
menyebut nama Tuhanmu. Jadi, membaca itu sudah seperti kewajiban, bukan?
Pembicara kedua yang membuat saya
terjerat lagi adalah Pak Eri Koeswoyo. Beliau adalah founder dari Dompet Dhuafa, seorang social entrepreneur yang keren, menurut saya. Pemaparan tentang
kondisi Indonesia saat ini beserta quotes keren yang terselip dalam setiap kalimat
yang terlontar dari beliau tersebut sukses mencuri sebagian besar fokus saya.
Tema yang beliau bicarakan berkisar tentang pendidikan karakter. Masalah
terbesar bagi Indonesia adalah kurangnya karakter jujur dan disiplin. Banyak
sih, orang jujur di Indonesia, namun orang yang amanah masih sedikit. Pemimpin
yang tidak amanah saja masih banyak. Lalu, ada satu quotes agak nge-jleb yang
beliau paparkan:
“Sebuah negara yang belum disiplin,
jangan bercita-cita menjadi negara maju.”
Ya, sebelum mendisiplinkan orang
lain, mulailah budaya disiplin itu dari sendiri. Mulai dari yang terkecil saja,
deh, misal berangkat kuliah jangan sampai lebih lambat dari dosen. Perkara si
dosen datang terlambat tidak perlu diurusin, malah bagusnya jangan dicontoh.
Kita kan mahasiswa, sudah pandai membedakan mana yang baik dan mana yang baruk.
Masa hanya datang kuliah saja telat? Juga, jangan lupa, kalau janjian ketemuan
dengan teman, entah hanya hangout
atau ada agenda rapat, usahakan datang tepat waktu. Sesungguhnya, ketika kalian
datang tepat waktu, kalian sudah menghargai diri sendiri. Namun, apabila kalian
datang terlambat, tidak disiplin waktu, kalian sedang merugikan orang lain
karena telah dengan semena-mena membuang-buang waktu mereka. Padahal, jika
tidak menunggu kalian yang hobi terlambat, waktu tersebut bisa mereka
manfaatkan untuk melakukan hal yang lebih produktif, bukan?
Pembicara selanjutnya yang menurut
saya keren adalah Ibu Endah Laras. Mungkin, kalangan seniman sudah banyak yang
mengenal beliau ini, tapi masih banyak orang yang belum mengenal beliau. Ya,
Ibu Endah ini adalah seorang seniman yang sangat multitalenta. Pengalaman
berkesenian sejak SMP telah membawanya pergi menjelajah negara-negara Eropa dan
Asia dalam rangka memperkenalkan kebudayaan Indonesia. Saya sempat terkesima
dengan kepiawaian beliau dalam menyanyikan berbagai genre lagu khas Indonesia.
Mulai dari tembang Macapat Jawa, lagu Sunda dengan cengkok khas sinden Sunda,
lagu Banyuwangi yang khas dengan falsetto ala lagu Jawa Timur-an, sampai
campursari pun bisa dibawakannya dengan apik. Suaranya yang bening serta mampu
menjangkau nada-nada tinggi membuat telinga saya serasa dimanjakan. Sampai
ketika Ibu Endah selesai bercerita sambil menyanyi semua hadirin bertepuk
tangan riuh, seolah menyatakan sangat puas dengan penampilan Ibu Endah yang
menghibur sekaligus inspiratif.
Pembicara berikutnya yang membuat
saya terbawa juga adalah Bapak Suyudi. Beliau adalah founder Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS). Ya, SABS ini semacam
antimainstream di antara pendidikan formal mainstream lainnya. Sebagaimana
namanya, sekolah alam ini berfokus dengan metode pembelajaran dan pendidikan back to nature. Tidak melulu hanya
berkutat pada teori-teori, namun sekolah ini mengajak siswa untuk mengeksplorasi
dunia sekitarnya sambil belajar. Jadi, sekolah menjadi tidak membosankan, malah
terasa lebih menyenangkan. Meskipun sebenarnya mereka sedang belajar, namun mereka
melakukannya seperti bermain.
Pada dasarnya, pendidikan itu bukan
melulu harus hapalan teori lalu kemudian diujikan di Ujian Tengah Semester atau
Ujian Akhir Sekolah saja, lantas ketika ujian usai, ilmu yang susah payah
dihafalkan pun hilang terlupakan, tak berbekas. Inilah salah satu problem bagi
sebagian besar pelajar di Indonesia. Pendidikan saat ini memang hanya
menitikberatkan pada menghafal data dan fakta informasi saja, tanpa dibarengi
dengan pendidikan karakter serta pembelajaran yang menuntut analisis dan
sintesis. Padahal, pandai itu bukan hanya bisa hafalan saja, pandai itu juga
harus bisa menganalisis masalah serta mencari solusi terbaiknya. Kalau kata
Bapak Suyudi, sih:
“Manusia diharapkan tumbuh untuk
berpikir dan memikirkan sekitarnya.”
Sayangnya, kurikulum Indonesia
masih sedikit mewajibkan anak didiknya untuk bisa berpikir analitis. Hasil tes
PISA yang memasukkan Indonesia dalam kategori nilai paling rendah membuktikan
bahwa kemampuan menganalisis soal siswa Indonesia jauh di bawah rata-rata siswa
di negara lainnya. Ya, salah satu indikator dalam tes PISA yaitu kemampuan
berpikir analisis memberikan nilai rendah bagi siswa Indonesia. Sedih, kan?
Tentang kemampuan analisis ini,
saya pun jadi teringat celoteh dosen saya yang gemar sekali memberi tugas
membuat esai dan paper tentang suatu masalah. Beliau mengatakan bahwa, sebagian
besar analisis pada tulisan kami tersebut sangat kurang. Ya, saya pun mengakui
bahwa kami terlalu terjebak pada sistem pendidikan hafalan sejak SD hingga SMA.
Kami sudah terbiasa menghafal serta menjawab pertanyaan berdasarkan memori
hafalan
Coba contoh Finlandia, yang
mewajibkan siswanya untuk membaca minimal 300 halaman buku per-tahun.
Indonesia, masih nol halaman per-tahun. Padahal, membaca buku itu juga salah
satu cara untuk bisa mengasah daya berpikir kritis, analitis, dan sintesis.
Jadi, sebenarnya banyak sekali, lho, permasalahan yang terjadi serta menuntut
untuk segera diperbaiki. Semua faktornya hampir saling berkesinambungan satu sama
lain. Mungkin, memang saatnya kita, para pemuda-pemudi Indonesia, menjadi agen
perubahan dalam mengurai problema negara yang masih saling sengkarut ini.
Selain menghadirkan berbagai
kalanganpembicara, acara ini juga memutar beberapa video TED talks dari negara
lain. Salah satu yang paling berkesan adalah video TED talks seorang violinist asal Korea Selatan, Park
Ji-hae, yang memainkan biolanya dengan sangat energik dan penuh penghayatan.
Permainan biolanya itu menceritakan tentang kehidupan dirinya yang pernah
dirundung depresi berat. Sampai saya sempat berkaca-kaca–bahkan, sudah hampir
menangis–mendengarkan nada ballad
yang berkesan depresif pada setiap notasinya. Saya hanya mampu merasakan saja,
karena saya tidak begitu paham musik. Pokoknya, keren sekali!
Acara TEDx tersebut ditutup pada
pukul 15.00 WIB. Banyak kesan dan ide-ide yang terejawantah dalam acara ini.
Pembicara yang beragam latar belakang pendidikan, beragam keahlian, dan beragam
impian, berusaha mentransfer gagasan-gagasan pembaharuannya pada para calon
penerus bangsa. Yup, ini merupakan acara pertama TEDx di Solo, semoga di acara
selanjutnya semakin lebih keren lagi. Hm, mungkin di acara TEDx tahun depan bisa
mengundang dr. Gamal Albinsaid, seorang dokter muda yang berhasil mengatasi
permasalahan lingkungan serta menciptakan lapangan pekerjaan akibat sampah.
Okay, sekian postingan saya kali
ini. Sampai jumpa di postingan selanjutnya….:)
source: www.ted.com |
P.S.: Saya tidak pernah bosan untuk
meneror banyak orang dengan quotes andalan saya:
“Ayo membaca! Sudah baca bukukah kalian hari ini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar