Sebagai orang yang lahir dan besar
di negeri gemah ripah loh jinawi ini, pasti kita sudah sangat akrab dengan
perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia satu ini, budaya main serobot.
Sering sekali kita mendapati antrian yang tidak tertib, entah itu tidak
berjajar rapi atau ada yang dengan muka badaknya memotong antrian orang. Saya
pernah beberapa kali menjadi korban serobot antrian, ketika mengantri di kasir
swalayan dan ketika mengantri membeli bensin. Kesal, tentu saja. Sayangnya, saya
adalah tipe orang yang terlalu nerimo
dan tidak suka bikin ribut, jadilah saya diam saja. Rasanya ingin marah sambil
menyumpah-serapahi juga, tapi saya masih terlalu waras untuk meledak-ledak
impulsif di ruang publik.
source: www.summareconserpong.com |
Kejadian-kejadian tersebut memang
sering kita temui di mana pun selama kita masih tinggal di Indonesia. Tidak
hanya serobot dalam hal mengantri, serobot dalam hal berkendara di jalan raya pun
bukan hal aneh di negeri kita tercinta ini. Keselamatan diri sendiri dan orang
lain seolah menjadi barang murahan, sehingga bisa seenak jidat digadaikan demi
mengejar hal-hal kurang esensial lainnya. Seperti peristiwa kecelakaan yang
sedang viral akhir-akhir ini. Mulai dari kecelakaan mobil sport Lamborghini
yang menelan dua korban jiwa di Surabaya sampai kecelakaan antara metromini
dengan kereta Commuter Line di Jakarta Barat. Dua hal tersebut menjadi contoh
bahwa sudah mendarah dagingnya budaya main serobot sana serobot sini hingga
mengakibatkan kerugian besar bagi orang lain.
Lantas, saya pun jadi teringat
dengan perkataan salah seorang teman saya, sebut saja Nisa (memang nama asli,
hehehe). Ketika itu, kami sedang terlibat percakapan tentang budaya naik
kendaraan antara orang Solo dan Jakarta. Tibalah pada sebuah celetukan Nisa
yang nempel di kepala saya dan selalu terngiang ketika saya mengendarai motor:
“Sempet heran juga, sih, kenapa masih banyak orang Indonesia yang masih bisa hidup dengan kondisi jalan raya kayak gini.”
Benar juga, pengendara kendaraan pribadi
maupun kendaraan umum di Indonesia sangat sangat sangaaaaattt tidak bersahabat
dengan sesama pengguna jalan lainnya. Boro-boro bersahabat dengan sesama
pengguna alat transportasi lain, pejalan kaki dan pengguna sepeda saja sering
didiskrimanasi. Saya pun ingat momen ketika mengendarai sepeda di jalan raya,
meskipun sudah di paling pinggir dan hampir nyemplung comberan, tetap saja
pengendara mobil dan motor iseng mempermainkan klaksonnya. Huft, masya Allah!
Ya, saya juga mengakui bahwa saya
juga pernah mendiskriminasi pejalan kaki dan pengguna sepeda. Namun, ketika
saya sudah mencoba berada di posisi pejalan kaki dan pengguna sepeda itu, saya
pun mulai menurunkan egoisme saya, mencoba memaklumi dan memberi kesempatan
sesama pengguna jalan umum lainnya. Lagipula, jalanan umum ‘kan milik negara,
bukan milik sendiri yang lain sewa.
Ada juga cerita yang pernah saya
baca di sebuah buku catatan perjalanan. Suatu ketika si penulis pernah
berkendara bersama dengan bos besarnya yang orang Belanda. Ketika di Indonesia,
bos Belanda itu tidak berani mengendarai mobil sendiri, selalu ditemani oleh
supir. Tentu saja, mengendarai kendaraan di Indonesia harus punya stok sembilan
nyawa. Memang, masyarakat Indonesia adalah masyarakat tertangguh abad ini, yang
masih bisa hidup di tengah kondisi carut marut transportasi seperti ini.
source: www.radarcirebon.com |
Lalu, sebenarnya apa sih yang
menyebabkan budaya main serobot sana serobot sini yang sangat menjengkelkan
ini? Kalau boleh akal pikiran saya yang sempit ini menganalisa, mungkin ini
akibat dari banyaknya peristiwa-peristiwa besar yang sering terjadi di
Indonesia. Mulai dari merasakan betapa keras dan pahitnya hidup ratusan tahun menjadi
rakyat jajahan hingga krisis moneter tujuh belas tahun silam. Begitu besarnya
jumlah populasi masyarakat Indonesia kerap kali berbanding terbalik dengan ketersediaan
sumber daya yang dibutuhkan. Ibaratnya, permintaan lebih besar dari penawaran,
kebutuhan lebih besar dari ketersediaan. Sehingga, terkadang satu sama lain
perlu berlomba-lomba untuk bisa survive
supaya perut sendiri bisa terisi. Jatah yang limited edition tersebut memang terkadang membentuk karakter kita
menjadi agak terlalu kompetitif. Bagaimana tidak, kalau kita hanya menunggu
saja pasti akan kehabisan jatah, tidak kebagian. Padahal, sebenarnya butuh.
Jadi serba salah, bukan? Berbeda dengan negara lain yang angka pertumbuhan
penduduknya nyaris 0%, tentu saja jumlah penduduknya juga tidak sebesar
Indonesia. Biasanya pun mereka juga berlimpah sumber daya sehingga selalu cukup
tersedia stoknya. Bisa dipastikan bahwa jatah untuk masing-masing individu akan
bisa terpenuhi, bukan?
Hm, sebenaranya ini hanya analisis
saya yang cetek dan kurang banyak data pembanding juga, sih. Boleh dibantah,
boleh dikritik juga. Hehehe. Lagipula, saya memandang ini dari kerangka
berpikir saya yang lebih sering mengaitkan suatu persoalan dari kejadian masa
lalu (kemudian berasa ngubek-ngubek Psikoanalisis).
Jika dihubungkan dengan ketidakpastian
atau uncertainty, dunia ini memang penuh
peristiwa yang tidak pasti, uncertainty
events. Mungkin, kebiasaan orang Indonesia untuk main serobot itu adalah
salah satu cara dalam mengatasi ketidakpastian. Sebagai orang Indonesia, kita
sangat terlatih untuk menjadi orang yang hidup mentah dalam ketidakpastian. Kalau
ada yang sering membuka situs www.geert-hofstede.com pasti sudah pernah mencoba
membandingkan budaya antara satu negara dengan negara lain. Salah satu
indikator dalam perbandingan tersebut adalah uncertainty avoidance. Jika dibandingkan dengan Jepang, jelas bahwa
Indonesia memiliki kemampuan menghindar dalam ketidakpastian yang kalah jauh.
Ya, sebagai orang Indonesia yang sejak lahir hingga dewasa tinggal di
Indonesia, tentu akan akrab dengan
ketidakpastian-yang-tidak-dicoba-untuk-dihindari tersebut. Mulai dari jam
datang-berangkat kereta api, bus, atau pesawat yang lebih sering tidak pastinya
karena lebih sering delay, sampai
menghindari ketidakpastian semacam bencana alam. Jelas beda lah jika dibandingkan
dengan negara dunia pertama. (Oke, pembandingnya memang terlalu njomplang, sih. Hehehe).
Hei, namun dengan seringnya kita
hidup dalam ketidakpastian tersebut, selain memiliki dampak negatif suka main
serobot, ada pula dampak positifnya. Kita menjadi tidak tergantung dengan
keadaan serba enak, kita akan mencoba untuk mencari celah, semakin lama akan
semakin mengasah daya kreativitas kita. Tentu saja, karena kita sudah terlatih
hidup dalam keadaan serba susah, kita menjadi bisa memutar otak untuk mencari
cara bagaimana keluar dari keadaan tersebut. Jadi, hidup dalam negara berbudaya
kurang antisipatif dalam mengatasi peristiwa yang penuh ketidakpastian itu
tidak selamanya buruk, kok. Hahaha. (Sekali lagi, ini berdasarkan analisis
abal-abal saya yang cetek parah).
Apapun keadaannya, saya tetap cinta
Indonesia. Meskipun rupiah melemah, harga bensin merangkak naik, hingga tarif dasar
listrik mulai ikut menanjak, saya tetap cinta Indonesia. Ya, walaupun kemarin
sempat marah-marah juga dengan keadaan itu. Hehehe.
Ya, daripada capek-capek mengkritik,
menghujat, dan menyumpah-serapahi keadaan negeri yang permasalahannya saling
sengkarut ini, lebih baik mulai bergerak menjadi agen-agen pembaharuan ke arah
yang lebih baik. Masih ada harapan, tentu saja. :)
Jadi keingetan, kemarin sempet ngantri beli makan ampe 30 menit terus ada teteh teteh cantik nyerobot.
BalasHapusJadi dilema, mending jadi orang "jahat" apa "bodoh". Kalau negur, protes apalagi ngamuk-ngamuk, "yaelah cuman diserobot antrian doang" kayanya terkesan jahat.
Kalo dibiarin kok berasa sedih, nggak bisa ngebela diri sendiri. Hiks...
Kalo misal udah ngantri lama tapi tiba2 ada yang nyerobot gitu pasti aku bakal mencak-mencak juga sih mba. Enak aja itu orang seenak udel motong antrian wkwk xD
Hapus