Sudah hampir dua bulan TV di rumah
rusak. Antara sedih dan senang, sih. Sedih karena nggak bisa nonton Rising Star
dan Doraemon, tapi senang karena nggak perlu lagi nonton Anak Jalanan (yang
sekarang pindah channel dan ganti
judul-tapi-pemain-dan-ceritanya-sama-aja). Sejak TV di rumah rusak, segala
sumber informasi di luar pun hanya bisa saya dapatkan via internet dan radio.
Iya, radio. Itu pun seringnya radio RRI, bukan Prambors kayak waktu SMA dulu. Akibat
sering dengerin radio pula, saya akhirnya jadi tahu I Feel It Coming The Weeknd yang range-suaranya-mirip-Michael-Jackson itu dan Mercy-nya Muse yang ternyata sudah rilis sejak 2015 lalu. Oke, ini
nggak penting.
SKIP!!!
Segala sumber informasi yang
biasanya saya cari via internet, sebagian besar saya dapatkan dari Line Today.
Saya jadi tahu skandal misuh-misuh Dewi Perssik vs Nassar tanpa harus nonton
infotainmen. Saya jadi tahu Awkarin rilis single
baru yang dislikes-nya lebih banyak
daripada likes-nya. Saya jadi tahu
juga seputar pilkada DKI Jakarta serta hal yang faedah dan tidak faedah
lainnya. Terima kasih, Line Today!
Kalau kalian sering baca berita di
Line Today, mungkin familiar dengan kolom komentar yang disediakan di setiap
akhir artikel. Biasanya, banyak sekali pengguna Line sekaligus pembaca setia
Line Today yang menyalurkan unek-unek dan pendapatnya melalui kolom komentar
tersebut. Pada berita-berita yang mengangkat isu panas––seperti isu politik
yang semakin garang akhir-akhir ini––jumlah netizen yang berkomentar bisa
mencapai ribuan. Tiga yang paling banyak upvote-nya
akan menempati posisi puncak.
Sebagai seorang pembaca setia Line
Today, tentu saja saya sering baca komentar-komentar teratas tersebut. Sering
saya mengklik upvote pada komentar
yang saya suka, kadang juga saya ikut nimbrung di kolom komentar di bawah
komentar-komentar itu. Biasa, kerjaan orang suwung.
Hehehe. Tapi, nggak jarang pula saya dibuat kesal dengan komentar-komentar
teratas yang menyebalkan, terutama pada berita-berita yang sering menyentil isu
sensitif sekarang ini. Biasanya saya abaikan dan menganggap bahwa sang
komentator hanya satu dari sekian generasi micin Indonesia Raya yang paling
micin. Halah. Tapi ketika saya sedang ikutan gedek, biasanya saya ikut komen masih dengan mengedepankan adab dan
norma yang berlaku, tanpa perlu mengetikkan nama-nama binatang atau alat
kelamin.
Akibat seringnya baca
komentar-komentar dengan beraneka macam karakteristik tersebut membuat saya
berpikir dan memutar memori masa lalu. Saya dulu pernah begitu micin dan
alaynya ketika pertama kali punya sosial media. Salah satu sosial media yang
jadi saksi bisu kemicinan saya adalah Twitter. Kadang kalau saya baca komentar
netizen micin di Line Today yang sering melontarkan kalimat pedas bin sadis
tersebut, bikin saya ingat kalau dulunya saya pernah seperti itu. Hahaha. Waktu
SMA saya pernah fanwar di Twitter,
baik against fanbase sebelah yang suka kata-katain artis favorit saya maupun against netizen negara sebelah ketika
masa-masa piala AFF 2010. Saat itu Indonesia masuk final kontra Malaysia.
Ah, jika saya ingat masa jahiliyah
saya waktu itu, kadang-kadang saya sedikit bisa menolerir sikap para netizen
micin di jagad dunia maya Indonesia ini. Tapi, sering saya nggak habis pikir
dengan kelakuan para netizen micin yang gemar berkomentar menyulut perang dan
debat kusir. Apalagi jika ditambah bumbu-bumbu SARA. Semacam kurang kerjaan
ngurusin dan komentarin hidup orang lain. Ayolah, masih banyak hal bermanfaat
yang bisa dilakukan daripada terus menerus berperang komentar saling menghujat
perbedaan masing-masing.
Namun, saya juga mafhum bahwa jenis
netizen sumbu pendek yang gampang tersulut tersebut tidak bisa dilepaskan dari
andil media massa. Kadang––atau sering––sejumlah media massa membungkus
berita-berita mereka dengan misi yang mereka bawa. Misal, ada media pendukung
X, tentu isi beritanya banyak yang condong memuji X tapi menyudutkan Y. Tentu
saja keadaan seperti ini membuat pendukung X jemawa dan pendukung Y naik pitam.
Ah, melihat keadaan tersebut rasanya semakin sedikit saja media massa yang
benar-benar netral tanpa ada udang di balik bakwan batu.
Fenomena netizen sadis bin pedas
nggak hanya di Line Today saja, di sosial media lain semacam Instagram pun juga
banyak sekali. Bahkan mungkin, malah lebih ramai Instagram daripada Line Today.
Biasanya para netizen-kurang-kerjaan-yang-gemar-komen-pedas sering menyambangi
akun-akun publik figur. Ada artis Z upload foto pamer ketek, netizen komen:
“Ih, keteknya kok item”, “Bulu keteknya udah numbuh, tuh”, dan lain-lain. Ada
akun gosip yang bongkar aib artis W, kolom komentar di postingannya langsung
ribuan. Ada berita tentang kebaikan hati seorang publik figur berbagi kepada
kaum dhuafa, komentar yang muncul: “Halah, pencitraan!” Ah, Adek lelah baca
komentar negatif mulu, Bang.
Perilaku-perilaku aneh bin ajaib
para netizen micin Indonesia memang sensasional, Kawan. Coba para netizen yang
gemar perang komentar itu saling dipertemukan dalam satu forum besar, saya
yakin seribu persen mereka tidak akan sefrontal ketika di dunia maya. Coba para
netizen yang suka komen pedas dan sadis di akun publik figur itu disuruh
ngomong face to face, pasti mereka
malah senyum gaje dan minta foto. Begitulah potret netizen-micin-yang-gemar-komen-negatif,
hanya berani sembunyi di balik nama-nama yang bisa jadi nama-nama tersebut
hanya samaran belaka.
Saya, yang sudah tobat dari segala macam fanwar dan komen negatif (insyaa Allah),
merasa prihatin dengan kondisi di atas. Apa sebegitu kurang bahagia dan kurang
kerjaan para netizen Indonesia kini? Apa mereka kurang piknik juga? Kayaknya,
pemerintah perlu bikin program Indonesia Piknik supaya
netizen-micin-kurang-piknik bisa segera piknik dan berhenti bertingkah tidak
berfaedah. Yha, saya nulis ini juga sambil berkaca kok. Saya kan juga pernah
alay nan micin. Dulu, ketika belum dapat hidayah. Hehehe.
Well,
tulisan ini sebenarnya hanya berupa unek-unek saja, tidak ada pembahasan aspek
psikologis atau ilmiah lainnya. Saya hanya menuliskan keresahan saya melihat
perilaku netizen dunia maya Indonesia Raya masa kini. Tapi netizen Indonesia
nggak melulu micin kok, banyak juga yang cerdas dan selalu mengedepankan tabayyun sebelum komentar. Semoga
netizen yang masih gemar mengumbar kemicinan segera piknik dan mendapatkan
hidayah dari Tuhan yang Maha Kuasa. Semoga pula netizen yang cerdas tidak
ketularan micin dan bisa mengedukasi saudaranya yang masih berkubang dalam kemicinan
supaya kembali ke jalan yang benar. Aamiin…
(Postingan ini terlalu banyak
menggunakan kata ‘micin’)
Baiklah, cukup sekian dan terima mahar~~
wah ini pake akun anonymus pasti ya kak
BalasHapusNggak cuma anonymous aja sih. Banyak yg pake nama2 aneh entah itu inisial atau display name yg kebanyakan emoticon. Begitulah memang~ sungguh misterius~ hehehe
Hapus