Tak terasa seminggu
berlalu sejak momen pergantian tahun 2014 menuju 2015 menggempita di langit
dunia. Namun, saya masih menyimpan momen yang sayang hanya luput begitu saja
tanpa diceritakan. Momen yang terlalu keren untuk sekadar disimpan dalam
ingatan semata. Ya, November 2014 lalu, tepatnya tanggal 15 - 16, angkatan 2012
Psikologi Universitas Sebelas Maret mengadakan fieldtrip ke Desa Tingal, Borobudur, Magelang. Sebenarnya, tidak
semua anak mengikuti fieldtrip, hanya
mereka yang mengambil mata kuliah Psikologi Lintas Budaya saja. Yup,
jalan-jalan satu angkatan kali ini disponsori oleh mata kuliah Psikologi Lintas
Budaya. Hehehe.
Wisata kali ini sungguh
berbeda. Kami mendapatkan pengetahuan dan pengalaman luar biasa banyaknya.
Serasa oase menyegarkan di tengah penatnya tugas akhir tahun yang senantiasa
menghimpit paru-paru. Banyak dari kami yang menggunakan kesempatan traveling bareng ini sebagai sarana refreshing tanpa pusing memikirkan
tugas, meskipun tetap saja dosen memberikan guideline
(panduan) kuliah selama satu malam dua hari di Borobudur. Ya, bukan murni
wisata, namun wisata karena kuliah lapangan. Meskipun begitu, lumayanlah
daripada kami harus duduk mendengarkan teori sampai jengah. Rasanya, kuliah
kali ini menawarkan rasa baru yang dapat memunculkan insights baru dalam memahami hal-hal yang terjadi di luar konteks
teoritikal semata.
Yup, petualangan DI9NITY–nama
angkatan kami–dimulai pada Sabtu 15 November 2014 pukul 06.00 WIB. Pagi itu,
kami berkumpul di kampus menunggu bus yang akan mengangkut kami berkelana ke
Magelang. And you know what? Sehari
sebelumnya saya sakit demam akibat cuaca yang akhir-akhir itu kurang
bersahabat. Gejala flu, panas, dan tenggorokan sakit. Saya sampai putus asa
tidak akan bisa ikut fieldtrip saat
itu. Namun, syukur Alhamdulillah, Sabtu pagi itu badan saya sudah sedikit
mendingan meskipun mulut masih terasa susah mencecap makanan. Pagi itu saya
diantar ibu ke kampus lantas bergabung dengan beberapa gelintir kepala yang
sudah datang lebih awal daripada saya.
Setelah semua anggota
lengkap, masing-masing mulai mengangkut barang bawaannya ke dalam bus lantas
berebut tempat duduk. Saya duduk di baris kedua, sendirian. Karena saat itu
saya masih lemas, sedang tidak mood
ngobrol dengan siapapun. Lumayan, bayar satu kursi tapi dapat double. Hahaha.
Tiga jam menyusuri
jalanan Solo-Yogyakarta, melewati Klaten, Yogyakarta, lalu Magelang kota,
akhirnya sampailah di destinasi, Desa Tingal, tepatnya di Griya Rik-Rok. Yup,
di tempat ini kami makan siang lalu shalat Dhuhur di masjid yang berjarak
sekitar 100 meter, sembari menikmati udara segar dataran tinggi dan hijaunya
sawah.
Setelah itu kami
bersama-sama berangkat ke Borobudur. Sampai di sana, ada insiden kecil, perut
Tera sakit akibat dismenorhea. Yup, nyeri datang bulan yang selalu menyerang di
hari pertama. Akhirnya, kami terpaksa masuk belakangan karena menunggu Sheilla
dan Okta kembali membawa suplemen pelancar haid. Halah. Saya menggandeng Tera,
saat itu kami merasa seperti pasien rawat jalan. Yang digandeng tertatih-tatih
menahan nyeri perut, yang menggandeng juga lagi lemes habis demam. Hahaha. Lucu
sekali. Kami berdua pun selalu jalan di baris paling belakang karena kondisi
badan kami yang sama-sama kurang fit saat itu. Ditambah lagi saat itu cuaca
amatlah mendung, angin dingin berembus menggigilkan kulit.
Relief Borobudur |
Kami menaiki tingkat demi
tingkat candi sambil mendengarkan penjelasan dari tour guide. Berkeliling melihat relief-relief yang sudah tidak utuh
lagi. Sebagian dari kami ada yang semangat berfoto dan berselfie meskipun lambat
laun awan cumulonimbus tersublimasi
menjadi bulir-bulir gerimis. Saat itu Borobudur sangat padat, tidak hanya kami
saja, pelajar SMA sampai rombongan wisata karyawan pun ada di sana. Di tengah
gerimis yang semakin merapat itu, masing-masing pengunjung mulai mengembangkan
payungnya, semakin menambah sempit pelataran candi. Payung-payung pengunjung
saling berjibaku berebut tempat ketika kami berusaha perlahan-lahan menaiki
tapak demi tapak tangga menuju tingkat berikutnya. Semakin ke atas, semakin
lebar, kami semakin leluasa bergerak sembari masih memasang telinga lebar-lebar
mendengarkan penjelasan sang tour guide.
Setelah sekian lama di atas candi, kami pun bergegas turun bersamaan dengan
hujan yang sebentar-sebentar gerimis, sebentar-sebentar reda.
Hari semakin sore dan
kami pun bergegas ke penginapan. Penginapan hanya berjarak lima menit dari
candi Borobudur jika ditempuh dengan bus. Sesampai di penginapan, kami bergegas
sholat Ashar dan membersihkan diri. Kami memiliki lumayan banyak waktu luang
antara Ashar sampai Maghrib, maka kami menyempatkan bermain truth or truth. Oh iya, anyway, saya dan sebelas teman saya yang
lain menempati kamar yang tidak terlalu jauh dari kamar mandi. Bisa
dibayangkan, satu kamar berisi duabelas orang kemudian bermain truth or truth yang bisa dipastikan
permainan ini mengundang gelak tawa dan kehebohan. Betapa berisik dan ramenya
kamar kami. Para manusia-manusia berisik itu antara lain; saya, Rizky, Rizki,
Tera, Meinar, Vinna, Lia, Irfa, Nisa, Suci, ditambah lagi dengan suara Okta
yang menggelegar hingga ke pojok koridor penginapan. Hahaha. Yang berani
bermain truth or truth siap dilucuti
bulat-bulat semua rahasianya. Makanya, saat itu saya hanya berani menjadi
penonton dan penggembira seraya terpingkal-pingkal. Terang saja, truth or truth kali itu mengangkat tema CRUSH dan hal-hal sejenis itu. Matilah
kalau sampai kartu truf saya kebuka. Hahaha.
Setelah puas
terpingkal-pingkal, adzan Maghrib pun berkumandang, seluruh penghuni kamar
berjamaah melakukan sholat Maghrib di kamar. Setelah itu, kami bersiap-siap ke
Griya Rik-Rok untuk makan malam dan menonton kesenian Jathilan. Jarak antara penginapan dan Griya Rik-Rok lumayan jauh,
sekitar satu kilometer. Yup, kami tidak naik bus dan tidak pula jalan kaki,
tapi naik sepeda onthel. Senang?
Tentu saja! Di antara temaram lampu pedesaan, kami bersepeda beriringan. Gelap
memang, bahkan jika sendirian akan terasa mencekam. Namun, karena kami
rame-rame tentu saja lain ceritanya. Meskipun kami juga sempat melewati areal
pemakaman. Hahaha.
Anyway, sepeda yang kami gunakan berbeda dari sepeda kayuh pada umumnya. Sepeda
ini lebih mirip sepeda onthel jaman
dahulu yang memiliki bodi besar, berat, dan terlalu tinggi. Kaki saya yang
biasanya langsung bisa menyentuh tanah ketika sudah duduk di atas sepeda biasa,
harus berjingkat dan sangat kesusahan menapakkan kaki ke tanah untuk menjaga
keseimbangan di sepeda ini. Sepedanya tinggi sekali!
Sesampai di Griya Rik-Rok
kami pun mulai menyantap makan malam, kemudian kami berkumpul di halaman
samping Griya Rik-Rok. Di sana sudah berjajar kursi-kursi plastik untuk
pengunjung, seperangkat gamelan beserta pemainnya, dan para seniman-seniwati
yang akan menampilkan tari Jathilan.
Kami menonton pertunjunkan itu dengan menyantap gorengan dan minum susu kedelai
hangat. Jathilan adalah semacam
tarian mirip seperti kuda lumping. Tarian ini memiliki gerakan yang sangat
sederhana dan cenderung repetisi (berulang-ulang). Menurut sepengamatan saya,
tarian ini berkisah tentang dua raja yang awalnya memiliki hubungan baik-baik
saja namun kemudian mereka berperang untuk memperebutkan tahta. Penari yang
memakai pakaian seperti raja tersebut saling beradu pedang kemudian ada salah
satu dari mereka terjengkang ke belakang. Setelah berulang kali terjengkang,
salah satu raja tersebut tiba-tiba tidak mampu berdiri. Kru seniman tersebut
mulai membantu raja itu berdiri, dan saat itu kami pun melihat sang raja dalam
keadaan trance. Itu artinya ia sedang
dirasuki roh halus. Ya, memang dalam kesenian ini terdapat beberapa ritual yang
digunakan untuk memanggil roh halus dan memasukkannya ke dalam raga beberapa
penari.
Kami ternganga dan
terpana, bahkan sedikit takut. Tidak hanya satu penari, ada salah seorang
penari lainnya yang menggunakan kuda lumping juga turut dirasuki. Ia mulai
menari asal-asalan mengikuti alunan gamelan. Aura mistis mencekam, membuat saya
sedikit bergidik ngeri. Bahkan gerakan penari tersebut menjadi tidak beraturan
dan berulang kali menuju bangku penonton. Kami–yang mayoritas cewek–lari
terbirit-birit karena ketakutan. Namun, tetap saja kami penasaran dan kembali
menempati bangku penonton untuk menonton kelanjutan pertunjukan.
Malam pun kian larut,
mata kami sudah mulai memburam, tanda ingin segera rebah di kasur. Beberapa
dari kami mulai meninggalkan halaman, menaiki sepeda menuju penginapan, kembali
melewati jalanan pedesaan yang minim penerangan. Kami bersepeda secara
berkelompok, berulang kali berseru memanggil beberapa kawan yang telah mengayuh
jauh, meminta ditunggu. Jalanan desa yang minim penerangan membuat kita harus
melebarkan mata menyesuaikan pandangan laksana makhluk nocturnal. Tidak berapa lama, kami tiba di penginapan lantas
buru-buru menuju kamar untuk segera merebahkan badan. Ya, kami harus istirahat
cukup, karena esok harinya aktivitas fisik kami kembali ekstra dibutuhkan.
Suara berisik seseorang
turun dari ranjang dan membuka pintu kamar membangunkan saya pagi itu. Sekira
pukul 03.45 beberapa dari kami mulai lalu lalang ke kamar mandi, mengambil air
wudhu, bersiap-siap sholat Shubuh. Pagi itu, kami harus bangun pagi-pagi sekali
untuk bersiap-siap ke Puthuk Setumbu. Puthuk Setumbu adalah perbukitan yang
katanya di sana kami dapat melihat sunrise
dengan syahdunya. Halah. Berbekal semangat untuk melihat sunrise yang tentu saja jarang kami lihat di tengah kota, kami
mulai bersiap-siap membawa beberapa peralatan ‘mendaki’ bukit Puthuk Setumbu. Kami
dibagi menjadi dua kloter untuk menaiki kereta kelinci menuju lokasi. Lumayan
jauh, sekira 2 – 3 km kalau tidak salah. Sesampai di sana samar-samar langit
mulai terlihat membiru, tanda kalau matahari sudah mulai terbit. Kami harus
berjalan menaiki tanjakan curam yang membuat napas tersengal-sengal dan kaki
gemetar sebelum sampai pintu masuk Puthuk Setumbu. Belum sampai pintu masuk saja
sudah lemas kaki kami, napas kami sudah tinggal sisa-sisa. Ketika kami sudah
sampai di pintu gerbang Puthuk Setumbu, kami masih harus naik undakan batu yang
licin dan penuh tanah lengket. Sepatu-sepatu kami semakin terasa memberat
seiring dengan tebalnya tumpukan tanah yang menempel. Berjalan menaiki tanjakan
yang terasa amat jauh dan berat membuat saya kehabisan napas dan kaki saya
pegal-pegal. Beserta letupan semangat yang dilontarkan teman-teman saya dan
paksaan yang muncul dari dalam diri saya, akhirnya saya tiba ke puncak bukit
Puthuk Setumbu tersebut. Setelah sebelumnya harus tergopoh-gopoh menahan nyeri
kaki, napas yang memburu dan jatuh bangun berulangkali (dramatis sekali,
hahaha).
Sunrise yang gagal. Btw, ini kepala siapa kena jepret haha XD |
Lega dan senang membuncah
ketika kami bisa sampai di puncak bukit. Saya berusaha memulihkan tenaga saya
dengan duduk sejenak seraya menghirup napas banyak-banyak dan meminum beberapa
teguk air mineral. Di sana sudah banyak para wisatawan baik lokal maupun
mancanegara yang juga bersama-sama menunggu datangnya semburat jingga di ufuk
timur. Ketika langit berangsur terang, tampak di timur kejauhan pendar-pendar
cahaya kuning keemasan muncul melalui celah-celah mega. Ya, saat itu langit
sedang sedikit mendung. Sayang sekali, pendar jingga sang surya harus tertutupi
dengan awan kelabu. Beberapa wisatawan kecewa, kamipun juga. Cuaca memang
faktor yang sangat sulit diprediksi kedatangannya akhir-akhir ini.
Setelah tenaga kami pulih
dan merasa sanggup untuk menuruni bukit, kami pun bergegas menyusuri turunan
tajam dan licin tersebut untuk kembali pulang ke penginapan. Setelah wisata
melihat sunrise yang gagal tersebut,
kami segera membersihkan diri, lantas melanjutkan wisata mengelilingi industri
kerajinan rumahan di kawasan desa Tingal.
Ciee Firda ciee :D |
Usai mandi dan sarapan,
kami mengambil sepeda onthel sewaan
bersiap-siap untuk bersepeda keliling desa Tingal. Sebanyak 72 mahasiswa dibagi
menjadi tiga kelompok. Saya berada di kelompok dua. Destinasi kunjungan kami
pertama adalah industri batik rumahan milik Ibu Lusi. Di sana, kami diberi kesempatan
belajar membatik dengan pola sederhana menggunakan canting dan lilin yang telah
dilelehkan. Pengalaman membatik ini mengingatkan masa SMP saya ketika diberi
tugas guru seni rupa untuk membuat batik. Yah, meskipun sebelumnya saya sudah
pernah membatik, tetap saja hasil goresan lilin cair saya jelek, tebal-tipis,
dan banyak lilin yang tercecer di mana-mana. Okay, saya memang tidak begitu berbakat dalam hal kerajinan tangan.
Hiks.
Setelah puas bermain
dengan canting dan lilin cair panas, kami pun berpindah ke destinasi industri
rumahan selanjutnya. Tidak terlalu jauh dari rumah Ibu Lusi, kami menuju ke
industri rengginang rumahan. Rengginang adalah makanan yang terbuat dari ketan
yang dikeringkan dan digoreng sehingga menjadi renyah seperti kerupuk. Ya, di
sana kami belajar mencoba-coba membuat rengginang. Seru dan menyenangkan.
Tangan kami bergantian mencoba mengambil beras ketan panas yang baru saja
diangkat dari kompor, kemudian mulai memasukkannya pada cetakan, dibentuk
sedemikian rupa hingga menyerupai rengginang. Tangan kami kurang mahir sehingga
rengginang tidak terbentuk dengan cantik. Banyak beras ketan yang masih
menempel di alat cetakan karena kami lupa melumuri cetakan dengan air. Hahaha.
Pemandangan sepanjang perjalanan ke tempat gerabah |
Selanjutnya, setelah kami
puas bermain-main dengan cetakan rengginang dan membeli beberapa bungkus
rengginang sebagai buah tangan, kami pun mulai bersepeda menyusuri persawahan
menuju ke industri gerabah. Ya, perjalanan kali ini sangat jauh dibandingkan
perjalanan ke industri-industri rumahan sebelumnya. Kami melewati tanjakan dan
turunan curam, persawahan yang membentang sejauh mata memandang, serta melewati
sungai. Menghirup udara bersih pedesaan, merasakan belaian angin di setiap
inchi kulit, memanjakan mata dengan bentangan sawah hijau di sepanjang jalan, membuat
kami sangat menikmati perjalanan tersebut. Meskipun peluh membasah serta badan
dan kaki pegal karena medan yang penuh tanjakan dan turunan curam, namun kami
tetap merasa senang dan gembira. Setelah sekitar 15 menit bersepeda, sampailah
kami di industri gerabah rumahan.
The Cup of Love. Pardon my silly face XD |
Di sana, kami secara
bergantian mulai membuat gerabah dengan bermacam-macam bentuk sesuai dengan
keinginan. Dengan didampingi bapak perajin, pertama-tama saya harus melumuri
tangan dengan air yang telah disediakan. Bapak perajin mengambil segenggam
tanah liat, lantas meletakkannya di atas meja putar dan memercikinya dengan
air. Bapak itu mulai membuat ceruk di tengah gundukan tanah liat itu. Ketika
gundukan tanah liat berangsur-angsur berbentuk seperti gerabah, saya mulai
membentuk sisi luar dari gerabah tersebut. Oh iya, anyway, saya merequest bentuk cangkir berbentuk hati. Setelah
cangkir sudah terbentuk sesuai keinginan, saya menuliskan nama saya di sisi
luar cangkir tersebut. Pengalaman pertama membuat gerabah sangat menyenangkan!
Setelah puas bermain-main
dengan tanah liat, kami bersiap menuju ke destinasi terakhir yaitu tempat
pembuatan pensil gaul. Ya, pensil gaul ini adalah semacam pensil kayu yang di
bagian atasnya diberi hiasan boneka. Kembali menyusuri turunan dan tanjakan curam,
kami bersepeda menuju Griya Rik-Rok. Tempat pembuatan pensil gaul tersebut
memang terletak di Griya Rik-Rok sendiri. Kami diberikan seperangkat pensil
yang sudah dipasangi bulatan putih di atasnya, kain perca, tali warna-warni,
topi, dan rambut boneka. Setelah sebelumnya diberi contoh bagaimana cara
membuatnya, kami mulai menghias pensil tersebut sesuai dengan kreativitas
masing-masing. Ada yang menghias boneka dengan menggunakan jilbab, ada yang
dikuncir kuda, ada yang dikepang, dan lain-lain. Setelah puas bermain dan
berkreasi menghias pensil kayu, kami pun segera menyantap makanan yang telah
disediakan di Griya Rik-Rok tersebut.
Gerimis perlahan mulai
turun membasahi tanah gembur desa Tingal. Beberapa dari kami yang lupa tidak
membawa payung dan jas hujan karena tertinggal di penginapan harus menunggu
sampai hujan reda. Namun nyatanya hujan tak kunjung reda, bahkan mulai
menderas. Ketika hujan mulai berangsur-angsur reda, kami pun cepat-cepat
mengayuh sepeda kembali ke penginapan, meskipun baju kami tetap saja basah
karena bulir-bulir gerimis yang masih merapat.
Sesampai di penginapan,
kami mulai mengemasi barang-barang kami dan bersiap-siap untuk check out dari kamar. Tepat setelah
Ashar, kami pun melaju meninggalkan desa Tingal untuk kembali ke Solo. Awan kelabu
masih tampak menggantung di cakrawala sore itu, hujan berangsur-angsur kembali
menderas hebat. Tepat pukul 20.30, kami tiba di Solo lalu bergegas kembali
menuju rumah dan kos-kosan masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar