Challenge
hari keenam membuat saya pusing tujuh keliling. Saya bingung benar harus
menulis apa. Seumur hidup, saya tidak pernah berkoar-koar mengenai kebanggan
saya terhadap sesuatu. Seumur hidup pula, saya belum pernah menemukan orang
yang terang-terangan meremehkan apa yang saya banggakan. Lha wong nggak tahu apa yang saya banggakan,
bagaimana mau meremehkan? Hanya saja, saya pernah mendapatkan respon datar dan
cenderung meremehkan ketika saya berbicara antusias mengenai sesuatu. Sesuatu
tersebut bukan sesuatu yang saya banggakan, pokoknya sesuatu yang lain. Halah.
Ribet, ya? Hahaha.
Saya cenderung tidak ambil pusing
jika seseorang meremehkan sesuatu yang membuat saya antusias. Sebab saya
berpandangan bahwa setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap
sesuatu. Mungkin bagi mereka hal itu sangat biasa saja, bahkan cenderung remeh.
Tetapi saya akan merasa jengkel jika seseorang tersebut berulangkali menunjukkan ekspresi malas, terkesan tidak suka, iri, dengki
atau apapun itu. Biasanya, jika saya menangkap ekspresi tidak menyenangkan dari
lawan bicara, saya langsung buru-buru mengakhiri cerita saya. Akhirnya, saya
pun memilih untuk menjadi pendengar-pasif-yang-baik. Saya hanya
manggut-manggut, sesekali tersenyum, sesekali menanggapi dengan ‘aah’, ‘hmmm’, ‘oooh’,
‘uuuh’, dan ‘hehe’. Tolong jangan berpikiran ngeres dulu.
Dulu, saya memiliki lawan bicara
yang dekat dengan saya–sejak balita–sebut saja Mbak Della (nama samaran). Sejak
kecil, kami selalu main bareng, mandi bareng, bahkan saya sudah menganggapnya
seperti kakak kandung. Setelah kami bertumbuh-kembang, saya merasa nyambung ngobrol
dengan dia, karena pada dasarnya dia suka cerita, sedangkan saya lebih suka
mendengar. Klop, kan?
Semakin lama saya merasa setiap
kami ngobrol, saya seperti sedang berada di kelas dengan sistem one-way communication. Saya hanya dapat
giliran ngomong, ketika dia memberi kesempatan. Sisanya, dia adalah bintangnya,
center of attention. Sayangnya,
sekalinya saya ngomong, dia jarang menanggapi dengan menyenangkan, sebagaimana
yang selalu saya tunjukkan. Bahkan pernah, ketika saya bercerita dengan
antusias tentang sesuatu yang saya sukai, dia malah memasang ekspresi
meremehkan, dan itulah salah satu ekspresi yang saya benci seumur hidup. Jika
dideskripsikan, dia tersenyum singkat, sudut bibir terangkat ke atas, kelopak
mata turun. Lalu, setelah itu, saya
langsung menghentikan cerita. Dasar nggak peka, dia malah dengan bangganya cari
topik lain dan mendominasi percakapan selama a couple of hours. Huh!
Kejadian lain yang juga bikin saya
tambah jengkel dengan Mbak Della adalah, nggak ada angin, nggak ada hujan,
tiba-tiba saja–secara nggak langsung–meremehkan hal yang terkait dengan saya.
Saya yang punya tingkat sensivitas tinggi terhadap segala bentuk sindiran dan
kalimat tersirat langsung merasa mak jleb.
Ah, sudahlah, kalau bicara tentang hal menyedihkan itu memang nggak ada
habisnya. Saya mencoba untuk melupakan kesalahan-kesalahan kecil tersebut.
Belakangan saya tahu, setelah saya
bergelut dengan psikologi manusia, Mbak Della ini memang tipe orang yang suka
sekali jadi center of attention, suka
berbicara tapi nggak suka mendengar, dan kadang-kadang suka pamer. Sifat suka
meremehkan orang dan melebih-lebihkan hal-hal terkait dengan dirinya adalah
salah satu bentuk rasa insecure-nya.
Bukan sok menganalisis, namun saya tahu jelas latar belakang hidupnya,
keluarganya, dan sebagian cerita hidupnya.
Di titik ini saya berasa ingin
nyanyi Undisclosed Desires-nya Muse.
Hahaha. #krik #nggaknyambung #biarin.
I want to reconcile the violence in your heart~I want to recognise your beauty is not just a mask~I want to exorcise the demons from your past~I want to satisfy the undisclosed desires in your heart~
Ah, sudahlah, kalau saya terlalu
banyak nulis kesannya jadi malah curcol. Kalau curcolnya terlalu banyak,
postingan ini malah jadi ghibah.
Baiklah, sekian tulisan nggak jelas ini. Memang sengaja tidak saya tulis secara
lugas dan gamblang, karena tentu saja ada hal-hal yang saya sembunyikan dan
tidak saya paparkan ke muka publik secara blak-blakan.
Solo, 23 Januari 2017
Puk pukin, Rifa.
BalasHapusEh tapi kadang-kadang aku begitu, nggak dengerin kalau orang cerita. Bukan apa-apa, aku nggak multitasking jadi kalau ngobrol sambil balas wasap, aku langsung blank aja ga denger apapun yang barusan diobrolin orang. Ujungnya aku nanya "apa barusan?", dia pasti bilang "ih nggak meratiin". Disitu kadang saya pengen cakar tembok. Mungkin teman aku itu juga sakit hati gara-gara nggak didengerin~
Ha, tapi itu mending mba, kan lagi bales whatsapp. Masih bisa dimaklumi. Kalau ceita di atas itu dia dengerin tapi ekspresinya kayak ga sabar pengen gantian cerita wkwk
Hapus