Jumat, 15 Agustus 2014

# College

Psikodiagnostika II: Berkunjung ke Balai Rehabilitasi Sosial


“Tugas lapangan paling keren yang pernah saya lakukan. Bertemu orang dan mendengar kisah hidup mereka memberikan pelajaran berharga kepada saya tentang arti hidup yang sebenarnya. Seperti pengakuan seorang gadis belia yang harus terperosok ke dalam jerat lembah hitam dan kisah masa lalunya yang kelam”
Psikodiagnostika adalah mata kuliah wajib bagi mahasiswa Psikologi yang memberikan bekal keterampilan dasar bagi para calon Psikolog untuk melakukan asesmen kepada klien. Ada dua bagian dalam mata kuliah Psikodiagnostika ini. Pada semester tiga lalu kami mendapatkan mata kuliah Psikodiagnostika I yaitu Observasi, sedangkan pada semester empat kami mendapatkan Psikodiagnostika II yang mengulas tentang seluk beluk wawancara. Nah, pada semester empat ini karena mengulas tentang semua hal yang berkaitan dengan proses wawancara, maka saya akan bercerita tentang pengalaman saya menyelesaikan tugas wawancara dalam Psikodiagnostika II.
Sebelum memulai praktek wawancara, tentu sebelumnya kami telah mendapatkan sejumlah teori sebagai panduan untuk melaksanakan praktek sesungguhnya. Setelah sejumlah teori didapatkan, maka untuk benar-benar mematangkan teori, kami pun mendapatkan tugas pertama yaitu membuat guideline wawancara individual. Pada wawancara individual ini asisten menggunakan sistem saling bertukar subyek wawancara. Misalnya, saya dipasangkan oleh asisten dengan Tini, kami berdua diharuskan mencari subyek wawancara dari teman yang kami kenal kemudian menentukan tema wawancara sesuai dengan kondisi dari subyek tersebut. Saya mempunyai teman Tinah yang nantinya akan berperan sebagai subyek, sedangkan Tini menghubungi temannya yang bernama Prapti. Nah, pada saat hari H praktek wawancara, teman saya Tinah tadi diwawancarai oleh Tini, sedangkan saya mewawancarai temannya Tini, si Prapti. Ya, ribet sekali, memang. Hehe.
Setelah membuat guideline dengan serangkaian koreksi-revisi akhirnya tepat pada Sabtu, 26 April 2014 diadakan ujian praktek wawancara individual secara serentak. Saya mendapatkan subyek dari partner saya yang salah satu temannya memiliki fobia pada hewan. Sedikit lucu karena seseorang yang memiliki fobia hewan ini adalah laki-laki. Haha. Pada tanggal itu semua subyek wawancara diminta datang ke kampus kami dan kemudian diwawancarai. Yeah, tantangan baru bagi saya, mengajak ngobrol cowok yang notabene saya belum kenal sama sekali. Haduh, tepok jidat banget. Saya harus membangun rapport terlebih dahulu dengan interviewee supaya dia dapat membuka dirinya tentang masalah fobianya. Hehe. Yup, sebenarnya saya agak grogi karena saya belum pernah sama sekali ngajak kenalan duluan dengan cowok. Oke, karena di sini saya harus professional, maka mau tidak mau saya harus sok ramah, sok care, sok menyenangkan kepada cowok yang belum pernah saya kenal sama sekali. Padahal, tahu sendiri kalau saya orangnya jutek, pemalu, dan sok cool kepada cowok yang belum dikenal sama sekali. Hehe. 
www.google.com
Pada saat wawancara berlangsung saya menemukan fenomena bahwa cowok ini memang ngomongnya dikit banget. Maka, jurus kedua saya yang mau tidak mau harus saya keluarkan, harus cerewet dan harus banyak probing. Duh, saya merasa absurd kala itu karena saya harus ngalay dan sok humoris demi mendapatkan sebuah informasi yang nantinya harus dianalisa dan dilaporkan. Well, it’s okay, saya pikir. Bahkan pada saat saya mengecek rekaman wawancara saya, paling banyak di sana adalah suara saya. Saat wawancara pun saya sampai kehabisan bahan pertanyaan saking tidak tahu harus menanyakan apalagi, padahal waktu wawancara masih kurang dari 50 menit. Maka, saya pun mengeluarkan jurus ketiga, sok tanya kegiatan sehari-hari, kegiatan yang disukai, hobi, kegiatan orang tua, bahkan punya pacar atau enggak sampai saya tanyakan. Haduh, berasa aneh sekali pada saat itu -_-.
Anyway, sebenarnya sehari sebelum praktek wawancara saya terserang demam, saat hari H praktek pun sebenarnya saya belum sembuh benar, masih meriang dan pusing. Namun, saya tetap memaksakan diri saya karena tidak ada kesempatan lain kalau saya tidak masuk hari itu. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya hari itu, meriang dan pusing, harus ekstra kerja keras untuk menggali informasi. Fuuh… perjuangan sekali rasanya. Haha. Setelah wawancara usai, tentu saja kami memberikan tanda terima kasih berupa sekotak snack kepada para subyek yang telah bersedia meluangkan waktunya membantu kami. Setelah acara usai, saya pun cepat-cepat pulang ke rumah, sampai rumah meriang saya kambuh lagi. Tuh, kan….
Yup, itulah tadi sesi wawancara individual sebagai ujian praktek Psikodiagnostika II. Sudah lega? Belum. Masih ada satu lagi tugas wawancara, kali ini wawancara kelompok. Pada wawancara kelompok ini tantangannya semakin besar. Pada wawancara kali ini kami disuruh mencari fenomena sendiri, mencari subyek sendiri, dan membuat laporan plus verbatim wajib dilampirkan. Saat pembagian kelompok, saya mendapatkan teman seperjuangan antara lain, Reza, Naila (lagi), Jaqueline, dan Rizka, dan kelompok kami menyoroti kasus dalam ranah Klinis. Selama berhari-hari kami memikirkan fenomena yang akan kami soroti. Terkadang kami juga kurang fokus terhadap tugas kami yang satu ini karena tugas kuliah yang lain juga memerlukan ekstra perhatian dari kami. Akhirnya, setelah melalui hasil diskusi via Whatsapp maupun offline, serta bertanya dengan asisten, kami pun memutuskan untuk menyoroti fenomena Resiliensi pada Mantan PSK. Kami juga memutuskan akan melakukan wawancara di Balai Rehabilitasi Sosial Wanita Utama, Laweyan, Solo. Yup, balai rehabilitasi khusus untuk PSK yang terjaring razia.
www.google.com
Mengapa kami memilih Resiliensi dan mantan PSK di Balai Rehabilitasi Sosial? Berawal dari hasil observasi dan survei kami saat mengunjungi balai tersebut untuk pertama kali. Kelompok kami mewawancarai para pegawai balai tersebut tentang kasus-kasus yang ada di sana. Ternyata, setelah melalui perbincangan panjang, kami menemukan fakta bahwa banyak dari penghuni balai rehabilitasi tersebut yang mengalami stress dan depresi akibat tidak betah hidup di balai. Bahkan ada yang sampai masuk rumah sakit jiwa dan butuh penanganan psikolog maupun psikiater. Seram dan miris, tentu saja. Namun, dari semua kenyataan pahit itu, kami menemukan bahwa ada beberapa dari mereka yang pernah mengalami depresi namun tetap masih bisa survive sehingga dapat menjalani kehidupan normal dan mampu bekerja secara halal. Tidak banyak yang bisa bangkit dari keterpurukan seperti itu. Apalagi untuk mereka yang merupakan mantan PSK sekaligus juga pernah mengalami riwayat gangguan jiwa. Maka, dari fenomena itulah kami ingin mengetahui lebih mendalam, bagaimana cara mereka mampu menjadi survivor dari masa lalu yang teramat kelam, penuh cibiran dan anggapan miring dari masyarakat.
Pukul 09.00 pagi, hari Kamis 12 Juni 2014, kami berangkat bersama ke Balai Rehabilitasi Sosial, minus Rizka. Rizka terpaksa tidak ikut karena dia harus mempersiapkan kelompoknya untuk sidang eksperimen. Sampai di sana kami dipertemukan dengan dua orang yang memiliki riwayat sama. Mereka pernah mengalami depresi dan perasaan tidak betah tinggal di balai rehabilitasi. Kami yang berjumlah empat orang membagi tugas wawancara, setiap subyek diwawancarai dua orang. Tugas kedua orang tadi berbeda pula, salah satu mencatat perilaku non-verbal, sedangkan yang lain bertugas melontarkan pertanyaan. Reza dan Jaqueline bertugas mewawancarai seorang mantan PSK, sebut saja bu Inem, berusia sekitar 40 tahun. Sedangkan saya dan Naila bertugas mewawancarai seorang wanita yang usianya lebih muda, sebut saja Melati. (Nama yang ditampilkan di sini merupakan nama samaran untuk melindungi privasi subyek)
Kami diantar oleh pegawai balai rehabilitasi ke sebuah ruangan luas, seperti ruang pertemuan. Ruangan yang luas membuat kami leluasa mencari tempat untuk mengobrol. Saya dan Naila sengaja mengambil tempat terpisah agak jauh dari Reza dan Jaqueline.
(Warning: Pada bagian ini sedikit memuat konten dewasa. Hanya untuk 18 tahun ke atas!)
Melati, gadis belia asal Bantul, Yogyakarta, yang pada awalnya saya pikir berusia antara 17 dan 18 tahun. Setelah kami menanyakan identitas lengkap Melati, barulah kami mengetahui bahwa ternyata Melati masih berusia 15 tahun! Wajahnya memang terlihat lebih dewasa daripada umur biologisnya. Barulah saya tahu kemudian bahwa Melati memang memiliki kisah hidup yang teramat berat. Itulah sebabnya guratan kepahitan hidup terlukis pada garis-garis wajahnya yang membuatnya sedikit tampak lebih tua dibandingkan usia sebenarnya.
Ia mulai bertutur tentang kisahnya yang mengakibatkan dirinya bisa ‘terperangkap’ di tempat tersebut. Ya, bisa dibilang bahwa mereka – PSK yang terjaring razia – menganggap bahwa balai rehabilitasi merupakan tempat pemasungan hidup mereka. Mereka merasa bahwa di tempat itu mereka tidak bisa hidup ‘normal’ seperti sebelumnya. Seperti halnya yang dirasakan oleh Melati. Ia juga sering merasa bahwa hidupnya tidak sebebas dulu. Itulah mengapa kebanyakan dari mereka tidak kuat sehingga depresi berat dan mengalami gejala gangguan jiwa.
Beruntungnya kami, Melati adalah seorang yang kooperatif. Kami tidak perlu terlalu banyak mengeluarkan jurus untuk mencapai rapport yang baik, Melati bahkan dengan sangat terbuka menyatakan semua kisah masa lalunya. Namun, sempat terbersit keraguan dalam benak saya, apakah kiranya benar seluruh cerita yang dituturkan oleh Melati? Bahkan saya juga sempat mengira bahwa, ada hal-hal yang sengaja ia selimuti dengan tabir, semacam faking good. Ah, ya sudahlah, pikir saya saat itu.
Melati pun berkisah, awal mula kejadian yang merubah masa depannya hingga terdampar di tempat ini terjadi saat ia masih sekitar kelas 5 atau 6 SD. Melati tinggal bersama dengan kedua orang tua beserta dua kakak, lelaki dan perempuan. Kakak perempuan Melati sudah menikah, sehingga suaminya pun juga ikut menumpang hidup di rumah orang tua Melati. Melati mengaku bahwa pada usia itu ia merupakan gadis yang sedikit ‘centil’. Ia sudah mengenal apa itu kosmetik dan pandai menggunakan alat make-up. Akibat kesenangannya pada benda-benda pembentuk kecantikan artifisial tersebut, ia tentu saja membutuhkan banyak uang untuk memuaskan kegemarannya itu. Namun, jika ia harus meminta orang tuanya yang bukan orang kaya raya itu tentu tidak akan tercapai keinginannya.
Bagaikan pucuk dicinta ulam pun tiba, kakak iparnya (suami kakak perempuan Melati) memberikannya sejumlah uang. Hei, tapi tentu saja ada syarat khusus, Melati harus mau memenuhi, maaf, hasrat seksual sang kakak ipar. Astagfirullahal’adzim, pada bagian ini saya merasa amat miris. Ekspresi muka saya saat itu memang terlihat emotionless, tapi di dalam dada saya bergejolak perasaan sebal, sedih, jijik, campur aduk tidak karuan. Bisa-bisanya…
Sejak saat itulah ia selalu terus menerus menuruti keinginan biadab kakak iparnya tersebut. Ia juga diancam untuk tidak memberitahukan semua itu kepada kakak perempuannya dan kedua orang tuanya. Namun, sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga, sepandai-pandai orang menyembunyikan keburukan pasti akan ketahuan juga. Saat Melati akan menginjak bangku SMP, dia pun hamil. Orangtuanya tentu saja terkejut, seluruh keluarganya terkejut. Mereka mendesak Melati untuk memberitahukan siapa yang dengan biadabnya menanam benih di rahim Melati. Namun, Melati tetap bersikeras dan tutup mulut. Baru setelah kandungannya semakin membesar, Melati pun mengaku bahwa ayah dari anak yang dikandungnya adalah kakak iparnya sendiri. Well, mirip sinetron, bukan?
Prahara pun terjadi, kakak perempuannya marah besar terhadap suaminya dan Melati. Kakaknya amat kecewa dengan Melati, juga kepada suaminya. Melati pun merasa bersalah karena telah meretakkan rumah tangga kakaknya. Akhirnya, kakaknya pun pergi jauh dan menganggap bahwa Melati bukan adiknya lagi. Meskipun keluarganya berantakan dan nama keluarga mereka tercoreng, Melati masih berupaya untuk tetap tidak menggugurkan kandungannya.
Tak lama kemudian, bayinya pun lahir. Melati pun mulai melanjutkan sekolahnya. Ia merasa senang saat mengikuti setiap kegiatan di sekolah. Namun, kisah masa lalunya yang pahit tersebut senantiasa membayanginya. Perasaan bersalah yang terus menerus berkecamuk membuatnya mengalami gejala depresi dan trauma berkepanjangan. Bahkan sampai harus konsultasi ke Psikolog selama beberapa kali.
Selang beberapa bulan kemudian, Melati diajak tinggal bersama di rumah seorang wanita hampir paruh baya, sebut saja tante Minah. Tante Minah ternyata adalah seorang wanita hedonis yang suka menghambur-hamburkan uang, menurut penuturan Melati. Di rumah tante Minah lah ternyata Melati dipekerjakan sebagai seorang pemuas hasrat lelaki hidung belang. Uang hasil menjajakan diri tersebut sebagian tentu diberikan kepada tante Minah yang tak lain adalah agen penyalur gadis-gadis belia penjaja diri. Ada satu yang membuat saya heran pada saat itu. Melati berkata bahwa ia selalu kembali ke rumah tante Minah setelah berulangkali diajak pulang. Orangtuanya pada awalnya tidak tahu bahwa anaknya melakukan pekerjaan seperti itu. Beberapa waktu kemudian orangtuanya pun tahu bersamaan dengan penggerebekan yang terjadi di rumah tante Minah. Tante Minah pun ditangkap polisi karena telah mempekerjakan gadis di bawah umur. Lantas, Melati pun harus dibawa ke Panti Rehabilitasi di Yogyakarta.
Saat menginap di panti rehabilitasi, jiwanya kembali terguncang. Beberapa Psikolog pernah menanganinya. Bahkan hampir beberapa kali ia harus berpindah panti. Ia mengaku sudah capek dengan semua ini, ia ingin pulang dan bertemu dengan orang tuanya serta anaknya yang masih kecil. Sampai pada akhirnya ia terdampar di Balai Rehabilitasi ini. Di tempat ini ia juga merasa tidak betah, ia ingin pulang. Bahkan trauma dan depresinya juga sering kumat di tempat ini. Psikolog berulang kali didatangkan untuk menangani permasalahannya. Ia pernah berjanji bahwa ia tidak akan kembali ke rumah tante Minah. Jika sampai ia nekat kembali ke rumah tante Minah, orangtuanya tidak akan menganggapnya sebagai anak lagi. Namun, rasanya balai rehabilitasi ini belum memberikan kepercayaan penuh kepada Melati untuk keluar secepatnya dari tempat itu. Melati masih harus tinggal di sini selama beberapa waktu sampai akhirnya Melati benar-benar dinyatakan siap untuk kembali ke rumah.
Sekarang kegiatan Melati sehari-hari adalah belajar keterampilan di balai rehabilitasi ini. Keterampilan yang ia tekuni adalah kerajinan celup ikat dan keterampilan sebagai kapster salon. Ia berharap bahwa dengan keterampilannya tersebut ia nantinya dapat membuka usaha sendiri di kampung sehingga dapat membantu perekonomian keluarganya. Ia ingin dapat bekerja secara halal meskipun penghasilannya tidak terlalu besar dibandingkan saat ia bekerja sebagai penjaja raga. Yang terpenting bagi dirinya adalah ia dapat berkumpul dengan anaknya yang sekarang telah berusia 5 tahun dan kedua orangtuanya.
Hampir satu setengah jam berlalu, Jaqueline dan Reza sudah lebih dulu menyelesaikan sesi wawancaranya. Waktu berlalu sangat singkat, curhat dan obrolan tadi telah memberikan banyak pelajaran hidup berharga bagi saya. Usai wawancara dengan Melati, saya dan Naila bergegas menyusul Jaqueline dan Reza. Ternyata dua orang itu sedang minum es teh di warung bu Inem yang masih berada di kompleks Balai Rehabilitasi. Saat kami akan membayar jajanan kami kepada bu Inem, bu Inem malah menggratiskan semuanya. Aduh, kami jadi tidak enak. Dengan wajah tersipu malu kami pun mengucapkan banyak terima kasih dan kemudian berpamitan pulang.
Doa kami selalu, semoga bu Inem dan Melati dapat selalu istiqomah untuk terus melakukan pekerjaan halal dan tidak kembali ke jurang penuh kehinaan seperti tempo lalu. Semoga mereka selalu diberikan ketabahan dan kekuatan dalam mengahadapi masalah dan ujian hidup yang senantiasa menghadang. Aamiin…
“Hidup itu teramat singkat untuk disia-siakan. Lakukanlah hal yang berguna di masa sekarang, agar tidak berbuah penyesalan di hari kemudian.”

Kamus istilah
Rapport           : Membangun hubungan baik sebelum memulai wawancara
Interviewee      : Orang yang diwawancarai
Probing           : Menanyakan sesuatu secara lebih mendalam.
Verbatim         : Hasil rekaman percakapan asli yang diuraikan dalam tulisan
Resiliensi         : Kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar