“Tugas
lapangan paling keren yang pernah saya lakukan. Bertemu orang dan mendengar
kisah hidup mereka memberikan pelajaran berharga kepada saya tentang arti hidup
yang sebenarnya. Seperti pengakuan seorang gadis belia yang harus terperosok ke
dalam jerat lembah hitam dan kisah masa lalunya yang kelam”
Psikodiagnostika adalah mata kuliah
wajib bagi mahasiswa Psikologi yang memberikan bekal keterampilan dasar bagi
para calon Psikolog untuk melakukan asesmen kepada klien. Ada dua bagian dalam
mata kuliah Psikodiagnostika ini. Pada semester tiga lalu kami mendapatkan mata
kuliah Psikodiagnostika I yaitu Observasi, sedangkan pada semester empat kami
mendapatkan Psikodiagnostika II yang mengulas tentang seluk beluk wawancara. Nah,
pada semester empat ini karena mengulas tentang semua hal yang berkaitan dengan
proses wawancara, maka saya akan bercerita tentang pengalaman saya
menyelesaikan tugas wawancara dalam Psikodiagnostika II.
Sebelum memulai praktek wawancara, tentu
sebelumnya kami telah mendapatkan sejumlah teori sebagai panduan untuk melaksanakan
praktek sesungguhnya. Setelah sejumlah teori didapatkan, maka untuk benar-benar
mematangkan teori, kami pun mendapatkan tugas pertama yaitu membuat guideline wawancara individual. Pada
wawancara individual ini asisten menggunakan sistem saling bertukar subyek
wawancara. Misalnya, saya dipasangkan oleh asisten dengan Tini, kami berdua
diharuskan mencari subyek wawancara dari teman yang kami kenal kemudian menentukan
tema wawancara sesuai dengan kondisi dari subyek tersebut. Saya mempunyai teman
Tinah yang nantinya akan berperan sebagai subyek, sedangkan Tini menghubungi
temannya yang bernama Prapti. Nah, pada saat hari H praktek wawancara, teman
saya Tinah tadi diwawancarai oleh Tini, sedangkan saya mewawancarai temannya
Tini, si Prapti. Ya, ribet sekali, memang. Hehe.
Setelah membuat guideline dengan serangkaian koreksi-revisi akhirnya tepat pada Sabtu,
26 April 2014 diadakan ujian praktek wawancara individual secara serentak. Saya
mendapatkan subyek dari partner saya
yang salah satu temannya memiliki fobia pada hewan. Sedikit lucu karena
seseorang yang memiliki fobia hewan ini adalah laki-laki. Haha. Pada tanggal
itu semua subyek wawancara diminta datang ke kampus kami dan kemudian
diwawancarai. Yeah, tantangan baru bagi saya, mengajak ngobrol cowok yang
notabene saya belum kenal sama sekali. Haduh, tepok jidat banget. Saya harus
membangun rapport terlebih dahulu
dengan interviewee supaya dia dapat
membuka dirinya tentang masalah fobianya. Hehe. Yup, sebenarnya saya agak grogi
karena saya belum pernah sama sekali ngajak kenalan duluan dengan cowok. Oke,
karena di sini saya harus professional, maka mau tidak mau saya harus sok
ramah, sok care, sok menyenangkan kepada
cowok yang belum pernah saya kenal sama sekali. Padahal, tahu sendiri kalau
saya orangnya jutek, pemalu, dan sok cool
kepada cowok yang belum dikenal sama sekali. Hehe.
www.google.com |
Anyway,
sebenarnya sehari sebelum praktek wawancara saya terserang demam, saat hari H
praktek pun sebenarnya saya belum sembuh benar, masih meriang dan pusing.
Namun, saya tetap memaksakan diri saya karena tidak ada kesempatan lain kalau
saya tidak masuk hari itu. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya hari itu, meriang
dan pusing, harus ekstra kerja keras untuk menggali informasi. Fuuh… perjuangan
sekali rasanya. Haha. Setelah wawancara usai, tentu saja kami memberikan tanda
terima kasih berupa sekotak snack kepada para subyek yang telah bersedia
meluangkan waktunya membantu kami. Setelah acara usai, saya pun cepat-cepat
pulang ke rumah, sampai rumah meriang saya kambuh lagi. Tuh, kan….
Yup, itulah tadi sesi wawancara
individual sebagai ujian praktek Psikodiagnostika II. Sudah lega? Belum. Masih
ada satu lagi tugas wawancara, kali ini wawancara kelompok. Pada wawancara
kelompok ini tantangannya semakin besar. Pada wawancara kali ini kami disuruh
mencari fenomena sendiri, mencari subyek sendiri, dan membuat laporan plus verbatim wajib dilampirkan. Saat
pembagian kelompok, saya mendapatkan teman seperjuangan antara lain, Reza,
Naila (lagi), Jaqueline, dan Rizka, dan kelompok kami menyoroti kasus dalam
ranah Klinis. Selama berhari-hari kami memikirkan fenomena yang akan kami
soroti. Terkadang kami juga kurang fokus terhadap tugas kami yang satu ini
karena tugas kuliah yang lain juga memerlukan ekstra perhatian dari kami.
Akhirnya, setelah melalui hasil diskusi via Whatsapp
maupun offline, serta bertanya dengan
asisten, kami pun memutuskan untuk menyoroti fenomena Resiliensi pada Mantan
PSK. Kami juga memutuskan akan melakukan wawancara di Balai Rehabilitasi Sosial
Wanita Utama, Laweyan, Solo. Yup, balai rehabilitasi khusus untuk PSK yang
terjaring razia.
www.google.com |
Pukul 09.00 pagi, hari Kamis 12 Juni
2014, kami berangkat bersama ke Balai Rehabilitasi Sosial, minus Rizka. Rizka
terpaksa tidak ikut karena dia harus mempersiapkan kelompoknya untuk sidang
eksperimen. Sampai di sana kami dipertemukan dengan dua orang yang memiliki
riwayat sama. Mereka pernah mengalami depresi dan perasaan tidak betah tinggal
di balai rehabilitasi. Kami yang berjumlah empat orang membagi tugas wawancara,
setiap subyek diwawancarai dua orang. Tugas kedua orang tadi berbeda pula,
salah satu mencatat perilaku non-verbal, sedangkan yang lain bertugas
melontarkan pertanyaan. Reza dan Jaqueline bertugas mewawancarai seorang mantan
PSK, sebut saja bu Inem, berusia sekitar 40 tahun. Sedangkan saya dan Naila
bertugas mewawancarai seorang wanita yang usianya lebih muda, sebut saja Melati.
(Nama yang ditampilkan di sini merupakan
nama samaran untuk melindungi privasi subyek)
Kami diantar oleh pegawai balai
rehabilitasi ke sebuah ruangan luas, seperti ruang pertemuan. Ruangan yang luas
membuat kami leluasa mencari tempat untuk mengobrol. Saya dan Naila sengaja
mengambil tempat terpisah agak jauh dari Reza dan Jaqueline.
(Warning:
Pada bagian ini sedikit memuat konten dewasa. Hanya untuk 18 tahun ke atas!)
Melati, gadis belia asal Bantul,
Yogyakarta, yang pada awalnya saya pikir berusia antara 17 dan 18 tahun.
Setelah kami menanyakan identitas lengkap Melati, barulah kami mengetahui bahwa
ternyata Melati masih berusia 15 tahun! Wajahnya memang terlihat lebih dewasa
daripada umur biologisnya. Barulah saya tahu kemudian bahwa Melati memang
memiliki kisah hidup yang teramat berat. Itulah sebabnya guratan kepahitan hidup
terlukis pada garis-garis wajahnya yang membuatnya sedikit tampak lebih tua
dibandingkan usia sebenarnya.
Ia mulai bertutur tentang kisahnya yang
mengakibatkan dirinya bisa ‘terperangkap’ di tempat tersebut. Ya, bisa dibilang
bahwa mereka – PSK yang terjaring razia – menganggap bahwa balai rehabilitasi
merupakan tempat pemasungan hidup mereka. Mereka merasa bahwa di tempat itu
mereka tidak bisa hidup ‘normal’ seperti sebelumnya. Seperti halnya yang
dirasakan oleh Melati. Ia juga sering merasa bahwa hidupnya tidak sebebas dulu.
Itulah mengapa kebanyakan dari mereka tidak kuat sehingga depresi berat dan
mengalami gejala gangguan jiwa.
Beruntungnya kami, Melati adalah seorang
yang kooperatif. Kami tidak perlu terlalu banyak mengeluarkan jurus untuk
mencapai rapport yang baik, Melati
bahkan dengan sangat terbuka menyatakan semua kisah masa lalunya. Namun, sempat
terbersit keraguan dalam benak saya, apakah kiranya benar seluruh cerita yang
dituturkan oleh Melati? Bahkan saya juga sempat mengira bahwa, ada hal-hal yang
sengaja ia selimuti dengan tabir, semacam faking
good. Ah, ya sudahlah, pikir saya saat itu.
Melati pun berkisah, awal mula kejadian
yang merubah masa depannya hingga terdampar di tempat ini terjadi saat ia masih
sekitar kelas 5 atau 6 SD. Melati tinggal bersama dengan kedua orang tua
beserta dua kakak, lelaki dan perempuan. Kakak perempuan Melati sudah menikah,
sehingga suaminya pun juga ikut menumpang hidup di rumah orang tua Melati. Melati
mengaku bahwa pada usia itu ia merupakan gadis yang sedikit ‘centil’. Ia sudah
mengenal apa itu kosmetik dan pandai menggunakan alat make-up. Akibat kesenangannya pada benda-benda pembentuk kecantikan
artifisial tersebut, ia tentu saja membutuhkan banyak uang untuk memuaskan
kegemarannya itu. Namun, jika ia harus meminta orang tuanya yang bukan orang
kaya raya itu tentu tidak akan tercapai keinginannya.
Bagaikan pucuk dicinta ulam pun tiba, kakak
iparnya (suami kakak perempuan Melati) memberikannya sejumlah uang. Hei, tapi
tentu saja ada syarat khusus, Melati harus mau memenuhi, maaf, hasrat seksual
sang kakak ipar. Astagfirullahal’adzim,
pada bagian ini saya merasa amat miris. Ekspresi muka saya saat itu memang
terlihat emotionless, tapi di dalam
dada saya bergejolak perasaan sebal, sedih, jijik, campur aduk tidak karuan.
Bisa-bisanya…
Sejak saat itulah ia selalu terus
menerus menuruti keinginan biadab kakak iparnya tersebut. Ia juga diancam untuk
tidak memberitahukan semua itu kepada kakak perempuannya dan kedua orang
tuanya. Namun, sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga,
sepandai-pandai orang menyembunyikan keburukan pasti akan ketahuan juga. Saat
Melati akan menginjak bangku SMP, dia pun hamil. Orangtuanya tentu saja
terkejut, seluruh keluarganya terkejut. Mereka mendesak Melati untuk memberitahukan
siapa yang dengan biadabnya menanam benih di rahim Melati. Namun, Melati tetap
bersikeras dan tutup mulut. Baru setelah kandungannya semakin membesar, Melati
pun mengaku bahwa ayah dari anak yang dikandungnya adalah kakak iparnya
sendiri. Well, mirip sinetron, bukan?
Prahara pun terjadi, kakak perempuannya
marah besar terhadap suaminya dan Melati. Kakaknya amat kecewa dengan Melati,
juga kepada suaminya. Melati pun merasa bersalah karena telah meretakkan rumah
tangga kakaknya. Akhirnya, kakaknya pun pergi jauh dan menganggap bahwa Melati
bukan adiknya lagi. Meskipun keluarganya berantakan dan nama keluarga mereka
tercoreng, Melati masih berupaya untuk tetap tidak menggugurkan kandungannya.
Tak lama kemudian, bayinya pun lahir.
Melati pun mulai melanjutkan sekolahnya. Ia merasa senang saat mengikuti setiap
kegiatan di sekolah. Namun, kisah masa lalunya yang pahit tersebut senantiasa
membayanginya. Perasaan bersalah yang terus menerus berkecamuk membuatnya
mengalami gejala depresi dan trauma berkepanjangan. Bahkan sampai harus konsultasi
ke Psikolog selama beberapa kali.
Selang beberapa bulan kemudian, Melati
diajak tinggal bersama di rumah seorang wanita hampir paruh baya, sebut saja
tante Minah. Tante Minah ternyata adalah seorang wanita hedonis yang suka
menghambur-hamburkan uang, menurut penuturan Melati. Di rumah tante Minah lah
ternyata Melati dipekerjakan sebagai seorang pemuas hasrat lelaki hidung
belang. Uang hasil menjajakan diri tersebut sebagian tentu diberikan kepada
tante Minah yang tak lain adalah agen penyalur gadis-gadis belia penjaja diri. Ada
satu yang membuat saya heran pada saat itu. Melati berkata bahwa ia selalu
kembali ke rumah tante Minah setelah berulangkali diajak pulang. Orangtuanya
pada awalnya tidak tahu bahwa anaknya melakukan pekerjaan seperti itu. Beberapa
waktu kemudian orangtuanya pun tahu bersamaan dengan penggerebekan yang terjadi
di rumah tante Minah. Tante Minah pun ditangkap polisi karena telah
mempekerjakan gadis di bawah umur. Lantas, Melati pun harus dibawa ke Panti
Rehabilitasi di Yogyakarta.
Saat menginap di panti rehabilitasi,
jiwanya kembali terguncang. Beberapa Psikolog pernah menanganinya. Bahkan
hampir beberapa kali ia harus berpindah panti. Ia mengaku sudah capek dengan
semua ini, ia ingin pulang dan bertemu dengan orang tuanya serta anaknya yang
masih kecil. Sampai pada akhirnya ia terdampar di Balai Rehabilitasi ini. Di
tempat ini ia juga merasa tidak betah, ia ingin pulang. Bahkan trauma dan
depresinya juga sering kumat di tempat ini. Psikolog berulang kali didatangkan
untuk menangani permasalahannya. Ia pernah berjanji bahwa ia tidak akan kembali
ke rumah tante Minah. Jika sampai ia nekat kembali ke rumah tante Minah,
orangtuanya tidak akan menganggapnya sebagai anak lagi. Namun, rasanya balai
rehabilitasi ini belum memberikan kepercayaan penuh kepada Melati untuk keluar
secepatnya dari tempat itu. Melati masih harus tinggal di sini selama beberapa
waktu sampai akhirnya Melati benar-benar dinyatakan siap untuk kembali ke
rumah.
Sekarang kegiatan Melati sehari-hari
adalah belajar keterampilan di balai rehabilitasi ini. Keterampilan yang ia
tekuni adalah kerajinan celup ikat dan keterampilan sebagai kapster salon. Ia
berharap bahwa dengan keterampilannya tersebut ia nantinya dapat membuka usaha
sendiri di kampung sehingga dapat membantu perekonomian keluarganya. Ia ingin
dapat bekerja secara halal meskipun penghasilannya tidak terlalu besar
dibandingkan saat ia bekerja sebagai penjaja raga. Yang terpenting bagi dirinya
adalah ia dapat berkumpul dengan anaknya yang sekarang telah berusia 5 tahun
dan kedua orangtuanya.
Hampir satu setengah jam berlalu,
Jaqueline dan Reza sudah lebih dulu menyelesaikan sesi wawancaranya. Waktu
berlalu sangat singkat, curhat dan obrolan tadi telah memberikan banyak
pelajaran hidup berharga bagi saya. Usai wawancara dengan Melati, saya dan
Naila bergegas menyusul Jaqueline dan Reza. Ternyata dua orang itu sedang minum
es teh di warung bu Inem yang masih berada di kompleks Balai Rehabilitasi. Saat
kami akan membayar jajanan kami kepada bu Inem, bu Inem malah menggratiskan
semuanya. Aduh, kami jadi tidak enak. Dengan wajah tersipu malu kami pun
mengucapkan banyak terima kasih dan kemudian berpamitan pulang.
Doa kami selalu, semoga bu Inem dan
Melati dapat selalu istiqomah untuk terus melakukan pekerjaan halal dan tidak
kembali ke jurang penuh kehinaan seperti tempo lalu. Semoga mereka selalu
diberikan ketabahan dan kekuatan dalam mengahadapi masalah dan ujian hidup yang
senantiasa menghadang. Aamiin…
“Hidup itu teramat singkat untuk disia-siakan. Lakukanlah hal yang berguna di masa sekarang, agar tidak berbuah penyesalan di hari kemudian.”
Kamus
istilah
Rapport : Membangun
hubungan baik sebelum memulai wawancara
Interviewee :
Orang yang diwawancarai
Probing : Menanyakan
sesuatu secara lebih mendalam.
Verbatim : Hasil rekaman percakapan asli yang
diuraikan dalam tulisan
Resiliensi : Kemampuan untuk bangkit dari
keterpurukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar