Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Juli 2014

Lebih Indah dari Sekadar Rambut

19:29 0 Comments
Rambut indah tergerai, berkilau-kilau tertimpa terik mentari. Seperti itulah gambaran visual dari iklan produk perawatan rambut. Wanita-wanita cantik dengan rambut indah berlalu-lalang di layar kaca memamerkan rambut hitam kelam mereka, menunjukkan bahwa: “Jika kamu memakai produk ini, rambutmu akan indah seperti punyaku.” Ya, iklan-iklan tersebut tentu dengan sangat mudah menarik simpati para wanita yang bermimpi memiliki rambut nyaris sempurna seperti dalam iklan. Lurus, hitam legam, berkilau, dan mudah diatur. Namun, apakah kalian tahu, wahai wanita, apa yang lebih indah dari sekadar rambut?
Wanita punya banyak aset berharga. Namun, aset berharga mereka tidak selamanya awet muda. Kulit yang kencang, tentu lambat laun akan kendor dimakan usia. Wajah yang cerah tanpa noda tentu lambat laun akan kusam jika terus menerus terpapar polusi. Begitu pula rambut yang hitam legam indah berkilau tentu akan tampak kering dan berwarna kemerahan jika terik mentari terus menerus membakarnya, tanpa ada pelindung apapun. Bagaimana cara para wanita menjaga aset berharganya? Mereka melakukan perawatan dengan sebaik-baiknya, supaya aset berharga mereka itu tetap indah meski usia memangsanya, meski polusi mengotorinya, meski terik mentari membakarnya. Perawatan yang mereka lakukan yaitu dengan memberinya berbagai bahan kimia yang berasal dari produk-produk kecantikan. Produk-produk kecantikan dengan sejuta janji, layaknya calon presiden, yang membuat para wanita berharap aset berharganya tak akan pudar dihapus masa.
Wanita, tahukah kamu bahwa ada perawatan lebih dari sekadar perawatan? Alami, tanpa campur tangan bahan kimia produk kecantikan yang bisa saja menuai efek samping. Simple, tidak ribet selayaknya langkah-langkah perawatan di salon kecantikan atau beauty center. Tahukah kamu bahwa ada yang lebih cantik dari sekadar model-model shampoo perawatan rambut?
Kamu. Iya, kamu. Kamu yang dengan ikhlas berupaya menjaga aset berhargamu dengan melindunginya dari tatapan mata para lelaki. Kamu yang dengan sepenuh hati memenuhi perintah Rabb-mu untuk membungkusnya dengan pakaian syar’i. Kamu yang dengan senang hati menghijabi mahkota kepalamu dari polusi dan terik mentari.
Apakah benar itu kamu, wahai wanita? Apakah semua yang aku sebutkan di atas adalah dirimu, wahai wanita? Ah, ataukah mungkin itu belum dirimu? Apakah kamu sedang berproses menjadi Kamu yang cantik itu?
Ya, perawatan alami yang tanpa efek samping itu sudah diperintahkan Allah sedari dulu. Jauh sebelum adanya iklan-iklan komersil produk kecantikan artifisial itu. Alami, bahkan selain menuai manfaat dunia, kamu akan mendapatkan manfaat akhirat. Terjaga dari tatapan mata para lelaki nakal, terhindar dari fitnah dunia, terlindungi dari radikal bebas polusi udara. Itulah manfaat perawatan alami yang dinamakan pakaian syar’i.
Pakaian syar’i lebih dari sekadar pakaian. Pakaian yang sesuai dengan syari’at agama. Pakaian yang didesain sedemikian rupa sesuai yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pakaian yang menutup seluruh aurat wanita kecuali wajah dan telapak tangan. Pakaian yang dilengkapi dengan jilbab untuk melindungi rambut indahmu. Hanya selembar kain tebal namun memiliki manfaat amat besar. Menjaga kehormatanmu serta merawat aset berhargamu.
Ya, pakaian syar’i lebih indah dari sekadar pakaian biasa, jilbab lebih indah dari sekadar rambut, dan kamu akan lebih cantik dari sekadar model catwalk ataupun model iklan shampoo. Jilbab membuatmu tampak anggun, tampak terhormat, dan dapat mencegahmu berbuat kemungkaran. Jilbab adalah bentengmu dalam menghadapi kehidupan yang serba membahayakan. Jilbab adalah mahkotamu yang menuntunmu menuju surga-Nya kelak. Jilbab merawat rambutmu tanpa membubuhi bahan kimia.
Jadi, tunggu apalagi? Rambutmu, adalah asetmu yang paling indah. Jangan biarkan polusi udara dan panas matahari menjarah kilau alaminya. Jangan biarkan tatapan bukan mahrammu menjadikannya sebagai angan-angan penuh dosa. Rambutmu dan semua aset berhargamu hanya boleh diperlihatkan pada mahrammu dan suamimu kelak. Rambutmu itu terlalu indah jika harus dipertontonkan untuk khalayak. Biarpun mereka suka, tapi Allah tidak suka.
Sudah yakinkah kamu akan manfaat jilbab? Sudah mantapkah kamu untuk mengenakan pakaian syar’i serta menutup rambutmu? Sudah siapkah kamu menjadi cantik dengan cara-cara alami dan simple?
Mulai dari sekarang. Mantapkan hati, luruskan niat, mohon pertolongan kepada Allah supaya dimudahkan. Tunggu apa lagi? Jangan banyak alasan dengan berkata; “Yang penting hijabi hati dulu, baru hijabi fisik.” Sesungguhnya, hai wanita, jika kamu mulai menghijabi fisikmu maka hijab itu pun lambat laun membantumu menghijabi hatimu. Mereka bekerja seirama, bersama-sama.
Lalu, bagaimana dengan kamu yang dulunya pernah berjilbab namun kemudian melepasnya karena merasa kurang bebas, merasa kurang bisa untuk mengekspresikan diri dan berprestasi? Ingatlah wahai saudariku, coba pikirkan kembali, coba renungkan kembali. Adakah jilbab itu menghalangi para wanita di luar sana untuk mengekspresikan diri dan berprestasi? Banyak wanita berjilbab di luar sana yang sudah membuktikannya. Semua keraguan dan perasaanmu itu hanya kamu yang membuatnya sendiri. Jilbab itu tidak mengekangmu, namun menjaga kehormatanmu.
Lalu, bagaimana dengan kamu yang meskipun sudah berjilbab di dunia nyata namun masih sering mengumbar rambut indahmu di dunia maya? Ingatlah wahai saudariku, semua yang kamu lakukan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Rabb-mu kelak. Berhati-hatilah dalam meng-upload foto-foto cantikmu di dunia maya. Pikirkanlah dulu sebelum menekan tombol share pada jejaring sosialmu. Apakah fotoku ini nantinya akan mengundang fitnah bagi kaum lelaki? Apakah fotoku ini akan membawa madharat bagi banyak orang?
Jadi, tunggu apalagi? Hapus semua foto-fotomu yang masih mengumbar aurat di dunia maya. Mulailah lembaran baru, mumpung masih dalam suasana Ramadhan.
Sesungguhnya ukhti, jilbabmu adalah simbol kehormatan dan keanggunanmu.

Senin, 10 Maret 2014

Lebih Puas Mana, Pacaran atau Tidak Pacaran Sebelum Menikah?

08:37 4 Comments


Hello, folks! Sudah lama saya tidak mengupdate konten blogspot saya karena sedang terobsesi dengan tumblr. Hehehe. Ya, sebenarnya saya sudah terlebih dahulu membuat akun tumblr daripada blog ini. Hanya saja, akun tumblr saya dulunya berisi tulisan copy-paste dan tidak berbobot seperti sekarang (Ceilah…). Baru beberapa bulan terakhir saya suka memposting tulisan di tumblr selain karena tumblr saya sudah lama berdebu dan berkarat, juga karena posting di tumblr bisa dilakukan melalui smartphone. Hm, anyway, kalau readers tercintah-ku kangen dengan tulisan saya saat saya sedang malas mengupdate blogspot, silahkan berkunjung ke tumblr saya http://westlifelovers.tumblr.com/ , di-follow juga boleh lho. (Sekalian promosi huehehe)
Okay, anyway, di postingan kali ini saya akan menulis sedikit ilmiah (gaya banget yak…). Ya, maklum lah, sebagai seorang mahasiswi yang berkutat dengan buku diktat segede gaban dan jurnal-jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional, membuat saya lambat laun sedikit agak ilmiah (bukan nggaya, lho. Baru sedikit, kok… hehehe). Yup, saya terinspirasi membuat tulisan ini pasca membaca sebuah Jurnal Psikologi tentang Kepuasan Pernikahan Ditinjau dari Berpacaran dan Tidak Berpacaran. Sebuah jurnal hasil penelitian yang ditulis oleh mahasiswa (kalau nggak salah, sih) Fakultas Psikologi, UGM.
Yup, terlihat dari judulnya, sangat terpampang nyata bahwa sang peneliti ini akan membandingkan antara kepuasan pernikahan dari pasangan yang mendahuluinya dengan berpacaran dan pasangan yang tanpa pacaran. Hipotesis yang mereka pakai adalah, terdapat perbedaan signifikan kepuasan antara pasangan berpacaran dan tidak berpacaran.
Nah, sebenarnya saya ingin menjelaskan metode penelitiannya, jumlah sampel, dan tetek-bengek penelitiannya, namun daripada nanti banyak yang pusing sampe muntaber, lebih baik langsung saya jelaskan kesimpulan hasil penelitiannya saja. Tapi, kalau pengen tahu tentang hal tersebut silahkan cari sendiri jurnalnya. Hehehe.
Jadi, hasil penelitiannya menunjukkan perbedaan signifikan antara pasangan berpacaran dan tanpa pacaran sebelum menikah alias hipotesis diterima. Pasangan yang tanpa berpacaran memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi dalam pernikahannya dibandingkan pasangan yang berpacaran sebelum menikah. Nah, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Kalau menurut hasil penelitian tersebut, tingkat kepuasan seseorang selama pernikahannya itu berkorelasi positif dengan tingkat religiusitas individu. Kita juga tahu bahwa orang yang memilih tidak pacaran itu biasanya memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Semakin tinggi tingkat religiusitasnya maka semakin tinggi pula kepuasan dalam pernikahannya. Hal itu disebabkan karena orang yang memiliki tingkat religiusitas tinggi juga memiliki tingkat penerimaan yang tinggi dan ikhlas, mereka menganggap bahwa pasangan yang sekarang telah mereka nikahi merupakan jodoh mereka dan yang terbaik menurut pilihan-Nya. Sesuai juga dengan pendapat Elizabeth B. Hurlock (1953) bahwa religiusitas membuat pernikahan lebih memuaskan.
Yup, memang dalam penelitian ini (kalau berdasarkan penilaian penulisnya sendiri) saat dilakukan pengambilan sample memang terdapat hal-hal yang agak menimbulkan bias. Kata penulisnya sendiri, hal tersebut masih membingungkan apakah kepuasan pernikahan itu disebabkan oleh mereka tidak melakukan pacaran sebelumnya atau karena tingkat religiusitas mereka yang tinggi. Selain itu, dalam mengambil responden pasangan yang tidak berpacaran sebelum menikah, mereka mengambil para aktivis dakwah yang notabene ilmu agamanya tidak diragukan lagi. Namun, untuk pasangan yang berpacaran sebelum menikah diambil dari sampel yang orang muslim tetapi ilmu agamanya masih awam. Jadi, menurut penulisnya, penelitian ini masih belum sempurna.
Nah, bukan berarti karena adanya hal bias tersebut kita menjadi menyalahkan penelitian tersebut. Saya pribadi, sangat percaya dengan hasil penelitian tersebut. Menurut sebuah penelitian oleh seorang peneliti Barat, lamanya pacaran itu tidak tergantung dengan seberapa langgengnya pernikahan nantinya. Mau kalian pacaran sampai sepuluh tahun juga, belum tentu pernikahan kalian bakal langgeng seumur hidup. Contohnya udah banyak, lho. Banyak tuh artis Hollywood yang pacaran (atau kumpul kebo mungkin) selama lebih dari lima tahun, tapi setelah akhirnya mereka memantapkan diri untuk menikah (melegalkan hubungan mereka) justru pernikahan mereka malah kandas dengan usia masih sangat muda (hanya berusia 1 – 3 tahun saja). Kalau saya tidak salah ingat, saya juga pernah menemukan pernyataan tersebut di buku Psikologi Sosial karangan David G. Myers.
Bagaimana? Masih defense atau sudah percaya nih buat para aktivis pacaran? Ini berdasarkan hasil penelitian Psikologi, lho. Biasanya, ada yang bilang bahwa pacaran sebagai aktivitas penjajakan pranikah untuk mengenal pribadi pasangan masing-masing. Penjajakan sih penjajakan, tapi kalau pacarannya sampai lebih dari lima tahun, apakah menjamin bahwa kalian sudah benar-benar mengenal pribadi pasangan dan akan meningkatkan kepuasan pernikahan kalian nantinya. Asal tahu aja sih, pacaran itu kan belum tentu setiap hari ketemu, jadi mungkin ada hal-hal yang ditutupi oleh pasangan kalian ketika tidak bersama kalian. Sedangkan menikah, mau nggak mau kalian tinggal berdua, setiap hari ketemu dan nantinya akan terungkap hal-hal yang belum terungkap ketika masa pacaran. Wuahahaha. Waspadalah, waspadalah!
Dan, saya juga mau mengungkapkan sebuah fakta psikologis, nih. Biasanya cinta yang sebenarnya itu hanya bertahan sampai empat tahun, hal itu karena dorongan hormon gelora cinta ini akan habis saat hubungan sudah berlangsung antara 2 – 3 tahun. Lalu, kalau pacarannya sampai lebih dari 4 tahun, artinya apa dong? Menurut penelitian yang dilakukan peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico, sisanya adalah dorongan seksual! (Jengjengjengjeng! Kemudian mata melotot, kamera zoom 400 kali). Hal tersebut juga diamini oleh seorang Psikolog dari Beijing, Diana Lie, dan juga Anthony Fischer, penulis buku Anatomy of Love.
Nah, daripada urusannya makin berabe, buat yang pacaran cepet-cepet nikah aja, deh. Jangan kelamaan pacaran sampai bertahun-tahun. Lagian pacaran lama-lama juga bukannya nambahin pahala tapi malah banyakin dosa. Kalau menurut Islam, pacaran itu sangat tidak dianjurkan. Dalil tersebut sudah ada sejak ratusan tahun lalu, then sekarang, hasil penelitian oleh para pakar psikologi dan neuropsikologi sudah membuktikannya. Mau percaya atau tidak, itu urusan kalian, deh. Resiko ditanggung sendiri, ya. Saya sudah mengingatkan dengan sejumlah dalil logika dan ilmiah nih. Huehehehe. (Habis, dikasih dalil agama nggak mempan, masuk telinga kiri keluar telinga kanan, mentang-mentang buktinya masih abstrak. Tapi, kalau dikasih dalil logika nan ilmiah yang jelas-jelas terpampang nyata belum mempan juga, lebih baik banyak-banyak istighfar aja, deh. Wkwkwk :D)
Terus, kalau yang masih pacaran tapi belum mampu secara finansial, batin, dan fisik untuk menikah, lebih baik bubaran saja. Lebih baik sekolah yang tinggi dulu, nyenengin orang tua dulu, cari duit yang halal dulu, deh. Kalau jodoh, nggak akan kemana kok, pasti akan bertemu suatu saat nanti (Ceilah… kayak lagunya Afgan – Jodoh Pasti Bertemu). Ya, kalau saya berjodoh sama Afgan, pasti bakalan bertemu, kok. Hehehe (Mus, fokus, Mus!).
Okay, back to the topic! Terus, kalau nggak pacaran, gimana dong cara penjajakannya? Buat yang Muslim pasti udah ngerti, deh, apa itu ta’aruf. Ta’aruf itu beda ama pacaran. Untuk penjelasan lebih lanjut, silahkan tanya ke ustadz atau ustadzah kalian saja. Soalnya saya belum pernah diajakin ta’aruf-an, nih. Yuk, siapa yang mau ta’aruf-an sama saya? Huehehe (lagi ngode, nih. Jangan dihujat! *kemudian ditimpukin laptop)
Okay, sekian tulisan sok tahu versi ilmiah ini. Semoga kebenaran dalam tulisan ini bisa dijadikan bahan pelajaran dan bisa direnungkan. Untuk pertanyaan lebih lanjut silahkan hubungi saya. Huehehehe :)
Sampai jumpa di postingan selanjutnya, folks! :) 

Selasa, 15 Oktober 2013

Mana yang Lebih Dulu, Iman atau Islam?

09:45 0 Comments

Malam takbiran menjelang Idul Adha, saya dan Bapak terlibat diskusi panjang tentang konsep ini. Sebenarnya kami membicarakan tentang ini karena terinspirasi dari sebuah kisah perdebatan konsep Ketuhanan antara si aktivis dakwah dan seorang sekular yang Muslimnya masih 50%. Mereka berdebat dengan menggunakan perspektif pemikiran masing-masing. Si aktivis dakwah yang merupakan seorang Muslim taat menjelaskan dengan dasar-dasar pemikiran Al-Qur’an sedangkan si Muslim abangan yang sekular menjelaskan dengan dasar-dasar pemikiran ilmu pengetahuan yang pada dasarnya masih terkungkung dalam logika.

Kemudian Bapak melontarkan sebuah pertanyaan kepada saya:
 “Dari cerita tersebut, menurut kamu bagaimana urutannya, apakah Iman, Islam, Ihsan atau Islam, Iman, Ihsan?”
“Tentu saja urutan yang sesuai menurut saya adalah Iman dulu baru kemudian Islam lalu Ihsan” saya menjawab dengan begitu percaya diri.
“Nah… mengapa?” Bapak bertanya lagi.
“Karena seseorang itu Iman dulu, baru kemudian dia menyatakan Islamnya dan kemudian ia pun masuk ke kategori Ihsan”
Jawaban saya dibenarkan oleh Bapak. Memang kalau dipikir dengan pemikiran orang awam seperti saya, tentu seseorang itu beriman dulu baru kemudian ia menjadi orang Islam.

Lantas, kemudian Bapak melanjutkan memberikan ulasannya, tetapi mayoritas muslim sekarang itu melalui tahap Islam dulu, baru kemudian Iman. Pun juga seperti kami ini, yang pertama kali pasti Islam dulu baru Iman. Orang-orang yang memang dari semenjak dilahirkan sudah dalam keadaan Islam pasti mereka sudah masuk Islam. Tapi pertanyaannya, apakah mereka sudah memiliki Iman atas agamanya itu?

Karena kita diciptakan menjadi seorang muslim semenjak lahir, terkadang kita terlalu terlena dengan identitas kita. Mentang-mentang kita sudah menjadi muslim sejak lahir, mentang-mentang dari kecil kita sudah didoktrin dengan ilmu-ilmu agama, lantas setelah kita sudah sebesar ini apa yang kita lakukan? Apakah ilmu kita hanya begini begitu saja, tidak bertambah sama sekali, bahkan bisa saja berkurang? Stagnan terus dari sejak masih kecil, dari sejak ikut TPA, sampai dewasa ini? Apakah kita belajar sholat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya hanya karena ikut orang tua atau ikut perkataan pak ustadz? Terkadang kita bahkan tidak pernah melalui proses pemikiran yang panjang, kenapa kita harus begini, kenapa kita harus begitu. Apakah ada dari kalian yang berpikir? Pun juga saya, sebesar ini saya baru sadar. Kemana aja sih saya selama ini? Padahal muslim sejak lahir, tapi ya masih gini-gini aja. Astaghfirullah…

Nah, kembali ke konsep Islam dulu baru Iman. Biasanya, umur-umur seusia saya yang sedang semangat menuntut ilmu agama itu, kalau latar belakang keluarganya muslim memang pada dasarnya ia sudah diberikan doktrin dan keimanan tentang Tuhan sejak kecil. Baru lantas kemudian, mereka semakin mempertebal identitas Islamnya itu dengan menambah keimanan. Bisa saja dengan semakin menyelamkan diri ke dalam majelis ilmu agama, sehingga semakin paripurnalah ilmu agama mereka untuk menjadi seorang Muslim sejati.

Nah, bagaimana dengan Iman dulu baru Islam. Jika sebelumnya seseorang itu belum memiliki keyakinan akan Tuhan, pasti mereka sedang melakukan sebuah proses pencarian Tuhan. Selain itu, sebenarnya ia juga sedang mencari identitas dirinya sebagai manusia. Ia sudah mulai berpikir akan eksistensinya. Ia sudah mulai berpikir, siapakah manusia itu, untuk apa mereka diciptakan, siapa yang menciptakan, dan lain sebagainya. Memang, ia terkadang menggunakan logikanya terlalu berlebihan. Tetapi, namanya juga manusia, yang diciptakan oleh Allah sebagai sesuatu yang amat terbatas, dari segi pengetahuannya dan segalanya amat terbatas, tentu logikanya tidak akan mampu untuk berpikir tentang Dzat Allah.

Merunut dari identitas si sekular yang pada awalnya memang seorang Muslim tetapi masih 50%, tentunya ia juga melalui Islam dulu. Tapi, mungkin saja karena fondasi keimanan yang ditanamkan oleh orang tuanya semenjak dini masih belum kokoh, maka ia pun menjadi semacam agak liberal bahkan menyangsikan identitasnya sebagai seorang muslim, karena ia masih belum paham tentang konsep Ketuhanan. Nah, kalau di sini, siklusnya menjadi mundur kembali, jadi ia kembali belum memiliki Iman maupun Islam. Ia masih menjadi pribadi yang kosong. Maka, untuk mengembalikannya ke jalan yang benar, dengan menggiringnya ke dalam keimanan. Si sekular yang terlalu melihat sudut pandang dari sesuatu yang empirik, sesuatu yang tampak mata, sesuatu yang berwujud, tentu jika ia diajak berbicara tentang konsep Ketuhanan – pada dasarnya sesuatu yang ghaib – tentu akal pikirannya tidak akan sampai. Tapi, jika ada seseorang yang dapat memberikan pencerahan kepadanya – yang mungkin bisa saja menjelaskan tentang eksistensi Tuhan menggunakan bukti ilmu pengetahuan – si sekular ini mungkin akan semakin beriman kepada Tuhan. Jika ia menjadi seorang Muslim paripurna, bisa saja ia akan menjadi lebih taat dibandingkan si muslim yang beragama Islam sejak lahir.

Saya akan memberikan contoh nyata. Orang yang semenjak kecil belum muslim, tetapi kemudian setelah melalui proses yang panjang akhirnya ia pun menemukan dirinya, kemudian ia beriman kepada Allah lantas melangkahkan dirinya ke dalam Islam, maka ia terlihat lebih semangat dalam menuntut ilmu agama dibandingkan dengan kita yang semenjak kecil sudah muslim. Karena apa? Karena seseorang itu telah melalui proses melewati keimanan. Ia telah mengalami sebuah pemikiran yang panjang, yang kemudian menunjukkan ia ke jalan kebenaran. Tentu kalau ia sudah beriman, dalam hatinya akan meyakini dengan sepenuh hati. Ia kemudian menyempurnakan keimanannya dengan menjadi muslim dan masuk Islam. Tentu tidak berhenti sampai di situ. Ia akan semakin menyempurnakan pengetahuan agamanya dengan mengkaji agamanya semakin dalam. Karena ia juga telah meyakini, bahwa beriman adalah pilihannya dan menjadi Islam juga sebuah pilihan. Ia juga merasa memiliki konsekuensi atas pilihan yang ia yakini kebenarannya itu. Seperti contoh, banyak ilmuwan-ilmuwan yang dulunya atheis, tetapi setelah menemukan suatu penemuan fantastis – yang di dalam Al-Qur’an pun sudah ada – ilmuwan tersebut akhirnya meyakini bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab sembarangan. Al-Qur’an adalah kitab yang berasal dari firman Allah. Itu juga berarti, Allah itu ada. Akhirnya ilmuwan atheis itupun akhirnya masuk islam. Bahkan ia menjadi lebih taat dibandingkan muslim lainnya.

Lantas, melihat contoh di atas. Bagaimana dengan kita yang sejak lahir sudah Muslim? Apakah kita akan menjadi semakin bersemangat lagi dalam menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya dan memperdalam ilmu agama kita setelah membaca ini?

Nah, inilah, dalam tulisan saya kali ini, saya tidak akan memberikan sebuah kesimpulan. Saya hanya ingin menuliskan apa yang ada dalam pikiran saya saja. Untuk masalah pengambilan kesimpulan, saya serahkan kepada kalian semua. Saya di sini juga masih perlu banyak belajar. Tulisan ini bukan bermaksud untuk menggurui siapapun, hanya untuk saling mengingatkan, mari kita berkaca pada diri sendiri. Kita sebagai seorang Muslim yang sejak lahir sudah beragama Islam, apakah sudah benar-benar mengerti hakikat menjadi seorang muslim? Apakah kita hanya sekedar ikut-ikutan? Nasihat ini juga berlaku untuk yang menulis, tentu saja yang menulis belum tentu lebih pandai atau lebih tahu daripada yang membaca.

Sekian tulisan saya kali ini. Tulisan ini edisi khusus Idul Adha, jadi tidak ada unsur gaje-gaje seperti tulisan saya sebelumnya. Jika ada yang punya pendapat berbeda dengan saya, silahkan saja, karena kita juga sama-sama sedang belajar. Saya di sini juga sedang menyampaikan pendapat saya saja :)
Sampai jumpa di postingan saya selanjutnya :) 

P.S: Maaf, tulisannya bahasanya amburadul. Malah lebih amburadul daripada tulisan gaje saya. Biasalah otak mikirnya udah sampai Z tapi tangan ngetiknya baru sampai J, impuls listriknya terlalu cepat. Aaaaaaaaaaakkkkkkkkkk!! *sudah Mus, jangan gaje lagi :D