Jumat, 23 November 2018

[Movietalk] Suzzanna: Bernapas dalam Kubur

19:19 0 Comments
[source: hot.detik.com]

Disclaimer: This post may contain spoilers. Read it carefully. Ehehehe.
Akhirnya nulis juga.
Selain sudah lama saya ngga posting di sini, sudah lama juga saya ngga nonton film di bioskop. Kalau diingat-ingat, film terakhir yang saya tonton di bioskop sebelumnya Warkop DKI Reborn Part 1. Lama banget, kan?
Sebab merasa ngga punya list film-yang-pengen-banget-ditonton-di-bioskop serta sering terhasut oleh review terlalu-jujur-nya tirto.id, membuat saya mikir berkali-kali untuk nonton film di bioskop. Sampai akhirnya trailer film ini berhasil bikin saya penasaran berat pengen nonton. Asli.
Seperti yang sudah viral sebelumnya, betapa miripnya Luna Maya didandani sebagai Suzzanna, si Ratu Horor Legendaris. Itu salah satu hal yang bikin saya heran sekaligus penasaran. Lainnya, setting film ini. Entah kenapa saya selalu penasaran apabila sebuah film digarap dengan menggunakan latar waktu tertentu di masa lampau. Semacam ingin tahu saja, seberapa teliti dan detailnya sineas negeri kita membangun atmosfir tertentu sesuai dengan latar waktunya.
Alur dalam film ini klasik, sebagaimana film horor jadul Suzzanna era 80-an. Memang sudah terlihat jelas juga di trailernya; dia dibunuh, lalu arwahnya gentayangan jadi hantu untuk balas dendam. Alur semacam inilah yang bikin saya kangen nonton film horor jadulnya Suzzanna yang atmosfir creepy-nya bikin terbayang-bayang.
Film ini dibuka dengan adegan Satria (Herjunot Ali) yang tergesa-gesa pulang ke rumah, sebab istrinya, Suzzanna (Luna Maya) tidak enak badan. Setelah bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Indonesia baku yang agak bikin saya geli-lucu itu, diketahuilah bahwa Suzzanna ternyata sedang hamil. Ngomong-ngomong tentang gaya bahasa, entah mengapa saya agak merasa lucu. Saya merasa di awal film gaya bicara Luna Maya masih kaku dan kelihatan dibuat-buat demi mirip dengan mendiang Suzzanna. Bikin saya terkekeh-kekeh sendiri. Ngga cuma Luna Maya saja, Junot pun juga. Tapi, usaha mereka untuk menyatu dengan karakter yang dibawakan–beserta gaya bahasa 80-an–patut diapresiasi. Setelah film berjalan agak lama, mereka sudah terbiasa, sehingga gaya bicaranya pun lumayan natural. Selain gaya bahasa ala kelas menengah atas 80-an, saya sebenarnya agak merasa aneh juga dengan keromantisan suami istri antara Suzzanna dan Satria. Agak mirip sinetron, sih. Saya jadi merasa geli sendiri. Semacam kayak ada yang ditahan-tahan. Entah karena memang gaya romantis 80-an itu memang cenderung kesinetron-sinetronan atau mungkin Mas Junot ngerasa serem sendiri lihat Luna Maya jadi mirip banget sama Suzzanna. Wkwk.
Anyway, sesungguhnya film ini tidak as creepy as film Suzzanna 80-an. Atmosfir film Suzzanna jadul memang tiada tandingannya. Apalagi perpaduan lighting di sekitar wajah, make up smokey eyes sundel bolong ala Suzzanna asli, dan messy curly hair ala bintang rock 70-an yang senantiasa melekat dalam benak-benak penontonnya. Film Suzzanna jadul memang berhasil menghadirkan mimpi terburuk yang paling buruk. Serem banget, asli. Oh iya, sama ketawanya yang ikonik itu, tentu saja. Sedangkan film Suzzanna abad 21 ini tidak menjadikan keseraman Suzzanna saja sebagai sumber ketakutan massal penontonnya. Ada yang lebih ngeri. Pernah nonton Final Destination atau Saw? Nah, ngerinya mirip seperti itu dengan level sedang.
Saya menilai film ini tidak bikin kalian mimpi buruk seperti film Suzzanna abad 20. Bagi yang penasaran nonton horor tapi lumayan penakut, nonton film ini ngga ada salahnya. Sebab, film ini diracik dengan rapi dalam memadukan komedi dan horor. Setengah film ini bikin seantero bioskop dan saya tertawa terpingkal-pingkal dengan komedinya. Setiap disuguhi horor, kami langsung disodori kekonyolan yang bikin susah mingkem. Apalagi dialog konyol antara tiga pembantu Suzzanna; Mia (Asri Welas), Tohir (Ence Bagus), dan Rojali (Opie Kumis). Komedi mereka bikin kami memandang hantu adalah kekonyolan yang patut ditertawakan. Adegan lucu ketiganya yang bikin seluruh penonton tertawa tanpa putus adalah waktu mereka berusaha membuktikan apakah benar majikan mereka sudah menjadi hantu sundel bolong seperti gosip yang santer beredar. Rojali mengajak Mia dan Tohir untuk membuktikannya dengan menggunakan media kain kafan. Rojali percaya kalau kain kafan dari mayat yang baru dikubur itu jika dipakai di kepala akan membuat pemakainya bisa membedakan manusia dengan hantu.
Rojali      : “Tapi, yang pakai ini harus yang paling muda.”
Mia         : “Ealah, tapi aku nggak mau. Kainnya kotor, nanti aku gatel-gatel.”
Tohir       : “Lah, kan, biasanya kain kafan cocoknya dipakai sama yang paling tua.”
Semua penonton ngakak berjamaah. Entah mengapa si Tohir ini suka ngasih punchline yang bikin ngakak kami makin paripurna. Hahaha.
Rojali pun menyerah dan bilang; "Ya udeh, kita ngga jadi pakai ini."
Adegan selanjutnya bikin ngakak juga. Rojali menyuruh Mia menghadapkan cermin ke wajah Suzzanna yang sedang tertidur untuk membuktikan apakah wajahnya memantul di cermin atau tidak. Mia berulangkali gagal hingga cerminnya terjatuh di kolong tempat tidur. Saat Mia berusaha menggapai cerminnya, lonceng jam besar di ruang tengah berdentang mengagetkan ketiganya. Mereka bertiga grasa-grusu sebab takut Suzzanna bakal terbangun. Rojali yang kaget, berusaha menyembunyikan wajahnya dengan menggunakan kain kafan tadi. Tak terduga, Rojali benar-benar bisa melihat Suzzanna dalam wujud sundel bolong. Rojali yang masih terkaget-kaget dengan apa yang dilihatnya melemparkan kain kafan hingga terpasang di kepala Tohir. Seperti Rojali, hal yang sama terjadi pada Tohir, mampu melihat Suzzanna dalam wujud aslinya. Kalau lewat tulisan seperti ini mungkin ngga terlalu lucu. Kalian perlu banget nonton sendiri tingkah polah ketiganya.
Setelah mereka tahu kalau majikannya sudah bukan manusia, keesokan harinya mereka beramai-ramai pamit meninggalkan rumah itu. Betapa absurd, mereka masih sempat-sempatnya izin pada Suzzanna. Adegan ini juga bikin ngakak, karena selain ngga masuk akal gara-gara masih sempat pamitan sama hantu juga karena punchline komedinya.
Rojali                  : “Bu Suzzanna, saya pamit pulang. Istri saya sakit.”
Suzzanna            : “Lho, bukannya istrimu sudah meninggal?”
Rojali                  : “Aa...anu... maksudnya, mau ziarah ke makam istri saya.”
Mia                     : “Saya juga, Bu Suzzanna. Saya mau ziarah ke ibu saya.”
Suzzanna            : “Lho, bukannya ibumu masih hidup?”
Mia                     : “Mm...maksudnya, jenguk ibu saya di rumah.”
Tohir                   : “Kalau saya mau jenguk orang yang lagi ziarah.”
Ah, pokoknya bagian Tohir ini punchline banget dan bikin saya ngakak sampe perut sakit. Wkwkwk.
Secara keseluruhan saya suka banget sama film ini. Horornya dapet, komedinya juga dapet. Horornya sih memang lebih gore. Meskipun ngga ada adegan Suzzanna makan sate, tapi komedi Rojali, Mia, dan Tohir sudah cukup menggantikan komedi-horor ikonik makan sate 200 tusuk di warung. Menurut saya, Luna Maya juga berhasil menghadirkan sosok Suzzanna di film ini. Kadang-kadang saya merasa kalau yang main film bukan Luna Maya, tapi Suzzanna yang asli. Mungkin akibat perannya ini, Luna Maya bakal masuk nominasi best actress di Festival Film Indonesia.
Ah iya, anyway, saya ingin sedikit berkomentar mengenai setting waktu yang dipakai film ini. Latar film ini adalah bulan Mei 1989, di sebuah pedesaan di kaki gunung yang asri. Atmosfir film ini memang kerasa 80-an menjelang 90-an banget. Mulai dari desain interior rumah, gaya berpakaian, dan kendaraannya. Tapi, entah mengapa saya merasa lucu dengan mobil Satria. Kalau dipikir-pikir, mobilnya terlalu antik untuk mobil di tahun 80-an akhir. Desain mobilnya malah lebih mirip mobil tahun 70-an.
Last but not least, ending dari film ini menurut saya happy ending. Kalau pengen tahu, nontonlah dan rasakan sensasinya.
Sekian ceracau panjang pertama saya di tahun ini. Sebenarnya sih kurang panjang. Tapi lumayan lah buat permulaan (meskipun sudah menjelang akhir tahun). Hehehe.
Sampai jumpa di postingan selanjutnya~

Minggu, 14 Oktober 2018

Writer's Block 101

19:19 2 Comments

Sedih. Begitulah kiranya perasaan saya saat ini. Kenapa? Sebab 2018 sebentar lagi habis, tapi postingan blog di tahun ini sama sekali nihil. Baiklah, ini memang merupakan postingan pertama saya menjelang detik-detik penghabisan tahun 2018.
Kenapa tulisan ini berjudul Writer’s Block? Sebab memang itulah yang saya alami saat ini. Akibat dari alokasi waktu yang saya sediakan untuk membaca buku semakin berkurang, semakin sulitlah saya menuliskan ide-ide yang terus membuncah di kepala saya. Ya, frekuensi membaca bisa berbanding lurus dengan frekuensi menulis.
Selain itu, saya juga sering terdistrak dengan menonoton drama korea. Waktu senggang saya yang harusnya digunakan untuk membaca hal yang bermanfaat, malah saya buang sia-sia dengan terlalu banyak menonton drama korea. Baiklah, saya mengaku, godaan drama korea memang terlalu berat untuk ditangkal.
Tapi, saya juga ingin melakukan pembelaan diri. Saya memang butuh hiburan–tentu saja dengan menonton drama korea–sebagai sarana menuntaskan penat selepas kerja. Sayangnya, saya terlalu tenggelam mengasihani diri, sehingga akhirnya terlena untuk menjadi sangat tidak produktif.
Baru kali ini saya ingin mengutuki waktu yang melesat secepat kilat.
Seharusnya, ada banyak hal yang bisa saya ceritakan sepanjang tahun 2018 ini. Mungkin saja karena saking banyaknya yang ingin saya ceritakan, rasanya seperti kebingungan untuk harus memulai dari mana. Bisa jadi karena saya terlalu perfeksionis mengenai konten tulisan yang harus saya posting, sehingga keinginan menulis hanya berhenti sebagai niat, nihil aksi.
Betapa menjadi pekerja ibukota telah membuat saya kesulitan membagi waktu untuk sekadar menulis satu paragraf saja. Sungguh menyedihkan.
Mungkin memang tahun 2018 ini adalah tahun tersuram saya dalam hal produktivitas menulis. Namun, saya masih tetap berjanji pada diri sendiri untuk membabat habis kemalasan saya, lalu memaksa diri untuk mengembalikan masa-masa ketika produktivitas saya masih lancar membuncah.
Demi menyelamatkan blog ini dari predikat nihil postingan di tahun ini, saya berusaha keras untuk menulis tulisan nirfaedah-yang-lebih-banyak-curhat-dan-pembelaan-diri ini.
Saya akhiri tulisan ini seraya berharap minggu-minggu menjelang pergantian tahun saya masih sanggup memeras otak dan memaksa jari-jari saya untuk lebih produktif lagi.
Sampai jumpa di postingan selanjutnya (yang semoga lebih berfaedah)~~