Minggu, 27 Desember 2020

Elegi 2020: Januari, Februari, Pandemi, Desember

19:19 1 Comments

Disclaimer: Tulisan ini akan sangat sangat sangaaaaat panjang. Sebab ini satu-satunya postingan saya untuk bercerita segala hal yang terjadi di kehidupan saya tahun 2020 dan tentu saja akan tumpah ruah semuanya hanya dalam satu post. Hahaha. Here we go~

 

Section 1: 2020 is total messed-up!

[source]

Jika bisa menggambarkan bagaimana kesan tahun 2020 bagi saya, I would say; 2020 is fucking hell! Saya yakin tidak hanya saya saja yang merasakan begitu, seluruh dunia bahkan. Akibat pandemi Covid-19 yang tidak hanya melumpuhkan sektor kesehatan, perekonomian negara pun perlahan-lahan terseok-seok hingga lumpuh total. Tiba-tiba seluruh perkantoran melaksanakan Work From Home, meeting tatap muka ditiadakan, kegiatan perkantoran benar-benar sangat dibatasi untuk hal-hal yang urgent saja. Sekolah dan kuliah dilakukan secara daring. Kegiatan di luar rumah benar-benar sangat dibatasi untuk mencegah penularan virus influenza strain SARS-CoV 2 ini.

Sebagai seorang introvert yang memang tidak terlalu keberatan berdiam diri di rumah dalam jangka waktu agak lama, it’s not a big deal, sih. Namun, setelah berjalan dua bulan, tiga bulan, empat bulan, ternyata rasanya empet juga ya, Gaes. Hahaha. Saya merasa teralienasi dari kehidupan sosial saya. Biasanya kalau suntuk dengan kerjaan, sepulang kantor bisa langsung hangout, ngobrol sampai bosan atau minimal nonton film lah. Ketika pandemi, pekerjaan yang semula di kantor berubah dikerjakan dari rumah seluruhnya, hingga tidak ada batasan yang jelas antara jam kantor dan jam rebahan santuy di rumah. Tentu saja hal ini agak berdampak dengan kesehatan mental saya. Apalagi komunikasi pekerjaan seluruhnya dilakukan secara online, rentan terjadi kesalahpahaman. Bahkan saya sering sekali ngomel-ngomel sendiri ketika orang kantor tiba-tiba menyebalkan dan menyulut drama-drama sampah. Hingga mulut saya selama 2020 sudah fasih sekali memuntahkan kata-kata makian dari berbagai jenis. Hahaha. Sungguh sebuah definisi good girl gone bad due to pandemic. Wkwkwk.

Ibarat lagu, cocok banget pakai lagunya Twenty One Pilots – Stressed Out

“Wish we could turn back time, to the good old days. When our Mama sang us to sleep, but now we’re stressed out~”

Wake up you need to make money!

 

Section 2: Everything is postponed

[source]

Alhamdulillah-nya SK Pengangkatan PNS saya tidak tertunda. Momennya sungguh pas banget. Tanggal 9 Maret kami diangkat, seminggu kemudian kasus pertama muncul dan pemerintah menghimbau untuk melaksanakan WFH dan meniadakan kegiatan pertemuan-pertemuan yang melibatkan kerumunan. Sebab jika terlambat sedikit, acara Sumpah PNS kami pasti akan dilaksanakan secara daring. Sudah pasti bakal nggak seru banget!

Banyak rencana skala individu maupun nasional yang tertunda akibat pemerintah yang kurang aware dengan pandemi ini. Padahal secara beruntun negara-negara lain sudah mulai melaporkan kemunculan kasus Covid-19 dan buru-buru melakukan lockdown; menutup akses keluar masuk wisatawan dan meniadakan kegiatan yang berpotensi menimbulkan pertemuan antar manusia. Sedangkan Indonesia, malah dengan jumawa melagukan lelucon; orang Indonesia kebal Covid-19 karena doyan nasi kucing. Hadeh~

Saya yang semula sangat antusias menyambut tahun kembar 2020 ini dengan serangkaian rencana traveling dalam maupun luar negeri, akhirnya harus menyerah dan memasrahkan segala rencana kepada Tuhan Yang Maha Segalanya. Well, definisi manusia hanya mampu berencana, Tuhan yang menentukan sangat terpampang nyata pada tahun ini.


Section 3: Blessings in disguise

[source]

“It might appears be bad at first but it results something good in the end”

– Cambridge Dictionary

Well, meskipun memang tahun 2020 tampak menyebalkan akibat pandemi yang entah kapan berakhirnya serta mengubah seluruh aspek kehidupan manusia, masih banyak hal-hal sederhana yang bisa saya syukuri. Banyak perubahan yang terjadi di tahun ini. Akibat WFH saya jadi lebih sering makan makanan sehat masakan sendiri, banyak waktu untuk membaca buku-buku yang masih terbungkus plastik rapi, dan video call grup dengan teman-teman lama.

Yup, banyak waktu luang sebab sebagian besar kegiatan terpusat di rumah. Kegiatan yang mungkin jarang dan sulit dilakukan saat kondisi normal, sekarang begitu mudahnya dilakukan. Apalagi bagi yang sudah berkeluarga, tentu quality time bersama keluarga semakin banyak. Tentu juga berlaku pula bagi saya yang selama pandemi jadi rajin ikut webinar-webinar bermanfaat sebagai sarana upgrading diri. Mungkin jika kondisi normal, sebagian besar waktu saya akan habis di kantor dan melakukan kegiatan nirfaedah di luar sana. Hahaha.

Selain itu, kami pecinta drama korea jadi semakin mudah menamatkan satu season drama secara marathon. Hahaha.

Well, pandemi ini mungkin membuat rugi beberapa sektor, namun juga memberikan berkah tersembunyi bagi sektor lainnya. Contohnya; Netflix, Youtube, perusahaan provider telekomunikasi, PLN, e-commerce, dan jasa pengantaran paket. Such a blessing in disguise, kan?

Selain itu, di masa pandemi ini akhirnya saya dan empat teman kosan – yang sudah membentuk geng ini – pindah kosan secara berjamaah. Alasannya, karena di kos baru ada dapur supaya bisa masak dan ada wifi supaya waktu WFH nggak usah ribet rebutan cari sinyal Telkomsel. Hahaha. Memang sinyal Telkomsel di kosan lama saya sudah mulai memprihatinkan sejak masa-masa WFH ini.

 

Section 4: Bite the bullet!

[source]

Setelah empat bulan pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar Рhanya di beberapa daerah sesuai dengan kebijakan Gubernur atau Kepala Daerah Рatau bisa dibilang lockdown versi setengah-setengah, mulai bulan Juni 2020 kebijakan pun diubah. Pemerintah yang ingin multitasking antara sektor kesehatan dan ekonomi harus bisa berjalan bersamaan agar tidak resesi (katanya), akhirnya mulai mengendorkan dengan mulai memasuki fase perbandingan WFH dan WFO skema 25% : 75%. Lalu secara perlahan, caf̩ dan kedai fast food mulai diperbolehkan beroperasi dengan pembatasan pengunjung dan mematuhi protokol kesehatan; mengecek suhu pengunjung, semua orang harus mengenakan masker, tempat duduk di-setting berjarak, dan menyediakan hand sanitizer dan bak cuci tangan di setiap pintu masuk. Pusat perbelanjaan pun mulai dibuka. Transportasi umum mulai bergeliat menunjukkan tipikal hiruk pikuk ibukota.

Saya yang sudah lelah terkurung di kosan, bosan dengan lingkungan yang itu-itu saja, dan merindukan nongkrong nirfaedah berkedok sosialisasi dan diskusi, akhirnya bisa bertemu melepas rindu dengan teman kantor yang selama empat bulan terakhir hanya bisa berkomunikasi lewat zoom, video call, dan telepon. Hingga setelah berjalan dua bulan hingga tiga bulan pelonggaran pembatasan kegiatan, saya mulai lupa bahwa kita masih dicengkeram pandemi, saya tidak sadar bahwa angka statistik kasus Covid-19 terus merangkak naik. Saya makin berani naik transportasi umum, terutama KRL yang waktu awal pandemi sangat mati-matian saya hindari, sebab kasus penularan tertinggi terjadi di KRL. Saya juga makin berani makan dine-in bersama teman-teman saya, jalan ke mall, berlama-lama di toko buku, bahkan berkumpul-kumpul dan melepas masker. MELEPAS MASKER, GAES! Padahal saya adalah bocah yang sangat tertib bermasker dimanapun dan kapanpun selama pandemi ini.

Then suddenly, day by day it was getting worse…

Mulanya semua kasus Covid-19 yang dilaporkan setiap hari oleh Pak Ahmad Yurianto, juru bicara Kemenkes, kami anggap hanya statistik belaka. Bahkan kami berpikir rasanya masih jauh untuk mendekat ke sekitar sirkel kami. Semua kasus itu tidak akan menjangkau kami dan orang-orang di sekitar kami. Betapa jumawanya pikiran kami saat itu.

Hingga kemudian; BOOM!

Satu persatu kasus mulai bermunculan di kantor kami. Bermula di kantor pusat kami di Kalibata. Sebab kantor saya ada di Jakarta Pusat Abdul Muis (belakang Jalan Medan Merdeka Barat), masih lumayan tenang sih, naum nggak bisa dipungkiri cemas juga. Bisa dibilang mobilisasi kami ke Kalibata juga tidak jarang, bahkan terhitung sangat sering sekali. Apalagi saya yang sering banget disuruh Pak Bos ikut rapat perihal kepegawaian di Kalibata.

Perlahan ternyata sirkel Kalibata mulai mendekat ke Abdul Muis. Kasus pertama di kantor kami langsung terjadi pada rekan kerja satu bagian saya. Ia bersama istrinya yang saat itu sedang hamil terkonfirmasi positif Covid-19. Mereka berdua bekerja di gedung yang sama, di kantor Abdul Muis. Sontak saat itu pimpinan memerintahkan lockdown total gedung selama tiga hari dan mulai melakukan penyemprotan desinfektan di setiap sudut gedung.

Sejak kejadian itu, kami mulai agak aware, namun masih agak sedikit bandel. Lalu, satu persatu kasus positif bermunculan, mendatangi setiap orang yang saya kenal, dan semakin mendekat ke sirkel terdekat saya. Ya, sirkel paling dekat saya.

Kejadian itu bermula di tanggal 1 Desember lalu. Akibat saya yang kecopetan laptop, pas banget setelah gajian (antara sedih dan ngakak nggak ngerti lagi, sih), saya telepon salah satu teman kosan saya, Mbak Yuni, sambil nangis-nangis. Anyway, nggak nangis yang sampai keluar air mata, sih, cuma shock biasa. Lalu karena akhirnya saling panik satu sama lain, empat teman terdekat saya kumpul di kamar Yaya menunggu saya pulang. Saya yang masih shock langsung buru-buru naik ke lantai 4, ke kamar Yaya (padahal kamar saya di lantai 3) seolah memang sudah tahu mereka berempat (Mbak Yuni, Mbak Nurul, Uni, dan Yaya) menunggu saya di sana. Sesampai di sana, saya ditenangkan oleh mereka, dihibur, minta dipeluk, pokoknya manja banget saya waktu itu. Hahaha.

Besoknya, tanggal 2 Desember, tersebar sebuah berita mengejutkan. Pimpinan kami menginfokan nama-nama pegawai di Kalibata yang terkonfirmasi positif Covid-19. Saya shock waktu itu, sebab ada salah satu nama yang saya kenal, ‘teman dekat’ si Uni. Teman dekat dalam tanda kutip. Wkwkwk. Saya tahu banget mereka sering banget ketemu dan sangat intens, makanya saya cemas banget saat itu. Buru-buru saya chat Uni secara pribadi, kemudian chat di grup geng kosan. Sejak saat itu, kami semua memutuskan mengisolasi diri masing-masing dan menyuruh Uni untuk melakukan swab test PCR mandiri karena kami tahu bahwa dia sangat berkontak erat dengan ‘teman’ dekatnya ini.

“Ya Allah, drama banget perasaan hidup hamba minggu ini~” batin saya saat itu.

Selama menunggu hasil swab test Uni kami benar-benar tidak pernah kumpul lagi. Kami hanya bisa berdiam diri di kamar masing-masing. Komunikasi pun hanya bisa dilakukan via chat grup atau video call grup. Kami merahasiakan ini semua dari penghuni kos lain dan bapak pemilik kosan. Kami takut diusir, Gaes. Padahal hasil tes kan belum keluar. Maka untuk berjaga-jaga hal yang tidak diinginkan, kami saling mengurung diri di kamar masing-masing. Bahkan kami membatasi juga berinteraksi dengan tetangga kosan lain ketika di dapur atau di tempat jemuran. Setiap keluar kamar, kami jadi disiplin sekali memakai masker.

Hari yang ditunggu pun tiba, hasil swab test Uni pun keluar. Hasilnya sesuai dengan dugaan Uni: positif Covid-19! Memang selama beberapa hari terakhir Uni sering mengeluh kelelahan ketika naik tangga dan kemampuan indera pengecapan dan penciumannya yang berkurang.

“Duh, Gusti! Hamba seminggu lagi mau pulang kampung…”

Sedih banget saya waktu itu, Gaes. Ingat kan, sehari sebelumnya saya minta dipeluk dan kami berkumpul tanpa physical distancing dan tanpa masker, tentu saja saya tiba-tiba overthinking. Pikiran saya campur aduk saat itu. Saya takut nggak bisa pulang kampung. Saya juga cemas dengan Uni yang harus segera isolasi di luar kosan. Saya juga cemas kalau tiba-tiba Bapak kosan curiga dan mengusir kami.

Namun, jika hanya diratapi tidak akan menyelesaikan masalah, Gaes. Akhirnya di hari itu juga, saya dan Mbak Yuni langsung ke Kimia Farma Cikini untuk melakukan swab test PCR. Alasannya karena kami berdua minggu depan memang akan pulang kampung dan agar supaya lebih cepat tahu jika terjadi sesuatu kepada kami. Sedangkan Yaya dan Mbak Nurul memutuskan untuk swab test di Puskesmas pada hari berikutnya.

Setelah kami berdiskusi, akhirnya Uni memutuskan melapor ke hotline Covid-19 DKI Jakarta. Saya juga segera melapor ke Satgas Covid-19 kantor – yang akhirnya mengecewakan kami sebab sangat nihil tindakan. Alhamdulillah, Uni langsung dihubungkan ke Satgas Covid-19 Puskesmas Gambir dan segera dibantu untuk dirujuk ke Wisma Atlet. Segala puji bagi Allah, meskipun ada beberapa orang yang sulit kami andalkan (seperti Satgas Covid-19 kantor), namun Satgas Covid-19 DKI Jakarta begitu cepatnya dalam menangani pasien yang telah terkonfirmasi untuk segera dirujuk ke tempat isolasi. Semua proses sangat berjalan lancar. Terima kasih banyak Satgas Covid-19 DKI Jakarta. Untuk bagian ini saya sangat mengapresiasi Pak Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta yang telah cukup baik menangani pandemi di Jakarta.

Saya juga sungguh bangga dan bersyukur memiliki teman seperti mereka. Sejak berita teman dekat yang berkontak erat dengannya positif, Uni langsung menyuruh kami berempat untuk saling jaga jarak. Uni juga melarang kami untuk main ke kamarnya. Kami pun juga sadar bahwa apapun bisa terjadi. Selama hari-hari menunggu hasil swab test Uni, kami membantunya mengambilkan makanan dan terkadang kami juga membagi makanan kami ke kamarnya. Saya merasa kami sangat kompak saling bahu membahu mengatasi masalah bersama. Mereka sudah benar-benar seperti keluarga kedua saya sendiri.

Salut banget dengan Uni karena dia begitu mandiri dan tidak cengeng. Mungkin jika saya yang berada di posisi dia, bakal cengeng dan panik sendiri. Sedih banget, Gaes, kalau ingat waktu itu. Hiks. Rasanya mencekam banget.

Namun, hari mencekam itu belum usai. Selama menunggu hasil tes swab kami diliputi kecemasan akut. Saya yang punya gangguan kecemasan ini makin cemas. Biasanya kalau lagi butuh dihibur, bisa saja saya langsung main ke kamar mereka. Tentu saja kondisi waktu itu berbeda, kami berempat harus saling jaga jarak sampai hasil tes swab keluar. Makin stres saya saat itu, sampai terkadang saya tiba-tiba merasa pusing dan sesak napas. Ditambah lagi, setelah kami lapor ke kantor mengenai kondisi kami berlima, mulai banjrlah Whatsapp kami dengan beragam chat dari orang-orang kantor. Mulai dari mereka yang benar-benar peduli sampai yang hanya basa basi saja. Sejak saat itu, kami semakin tahu orang-orang kantor kami yang benar-benar memedulikan kami dan orang-orang yang cari muka serta panjat sosial.

Alhamdulillah puji syukur, masih banyak yang peduli dengan kami terutama teman-teman kantor kami sesama staf dan satu angkatan. Mereka sering sekali menanyakan keadaan kami, support kami, menenangkan kami, dan menghibur kami. Mereka tahu banget kalau kami lagi cemas, kalut, panik, bingung, semua campur aduk menjadi satu. Terima kasih untuk kalian yang tidak bisa kami sebutkan satu-satu yang peduli dan meluangkan waktu telepon dan chat menanyakan update terbaru kondisi kami berlima. Sayang banget deh~ *emoticon love berdenyut*

Hasil swab test kami berempat pun kemudian keluar pada tanggal 9 Desember. Alhamdulillah puji syukur kami berempat negatif Covid-19. Sejak saat itu kami makin aware dengan protokol kesehatan. Kejadian ini semakin membuat kami waspada dan tidak seenaknya berkumpul nirfaedah. Peristiwa ini membuat kami semakin sadar bahwa Covid-19 itu nyata dan semakin hari semakin mendekat ke lingkaran terdekat kami. Waspada dan jangan lengah, Gaes.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin saya ceritakan di section ini, namun sepertinya sudah terlalu panjang. Hahaha.

Well, sebagaimana judul di section ini yaitu bite the bullet yang berarti; “behave bravely or stoically when facing pain or a difficult situation”, saya ingin menekankan bahwa kejadian yang kami alami kemarin seberapapun menyakitkan, memedihkan, dan menakutkan tetap harus dihadapi dengan berani. Wajar ketika menghadapi situasi yang mengancam, mental kita akan memunculkan flight or fight response. Rasanya seperti ingin melarikan diri, namun sulit karena benar-benar terjepit saat itu. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah bite the bullet; menelan bulat-bulat peluru itu. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus kita hadapi dengan berani. Selesaikan, cari solusinya. Jangan pernah putus berdoa tapi juga tetap berusaha. Sebab every cloud has a silver lining. Percayalah, there’s always a rainbow after hurricane.

 

Section 5: Every cloud has a silver lining

[source]
Capek saya ngetiknya, Gaes~

Yakin, sih, kalian yang baca urut dari atas mungkin sama capeknya. Hahaha. Bagi kalian yang sudah susah payah baca tulisan nirfaedah ini dengan sabar tanpa skip saya acungi sepuluh jempol. Wkwkwk.

Ini section terakhir kok. Percayalah. Hahaha.

Anyway, memang tahun 2020 ini kayak nggak ada rasanya. Tiba-tiba saja Desember. Lalu tiba-tiba terbetik pikiran: “Setahun ini gue ngapain aja, sih?”

Iya, sama kok, saya juga berpikir seperti itu. Rasanya segala resolusi dan rencana tahun 2020 yang disusun akhir tahun 2019 lalu mendadak harus ditunda.

Apakah 2021 akan membawa harapan baru? Entahlah. But, I hope it will get better.

Jangan sampai kita berpikiran bahwa Covid-19 akan kadaluarsa di tanggal 31 Desember 2020, Gaes. Jangan sampai kita jadi lengah. Eh, tapi bisa jadi sih. Bisa jadi kadaluarsa karena upgrade jadi Covid-20. Wkwkwk.

Ya Allah, naudzubillahi min dzalik, deh…

Sayangnya, berita di luar sana masih belum menunjukkan tanda-tanda kasus Covid-19 akan mereda. Malahan di Inggris mulai muncul varian baru virus Covid-19. Huhuhu. Apakah benar Covid-19 sudah upgrade jadi Covid-20? Hiks, jangan dooonggg~

Namun, Indonesia katanya sudah mempersiapkan vaksin untuk menghentikan penyebaran virus yang nggak ada ujungnya ini. Semoga saja ini memang kabar baik dan benar-benar efektif menurunkan kurva kasus harian yang makin hari makin bertambah dari 6000 hingga 7000 kasus per hari. Meskipun sudah ada vaksin pun, tentu saja kita tidak boleh abai dengan protokol kesehatan. Ya, kita memang tidak bisa mengandalkan pemerintah sepenuhnya untuk membuat kebijakan yang lebih tegas demi menekan pandemi. Satu hal yang bisa kita lakukan adalah menyelamatkan diri sendiri dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Meskipun terdengar menyebalkan, tapi tetap harus dilakukan.

Ingat; bite the bullet, Gaes!

Well, sesuai dengan judul di section terakhir ini yaitu proverb every cloud has a silver lining, I want to emphasize that there’s always a reason behind every situation. Selalu ada hikmah dalam setiap kejadian. Badai pasti berlalu. Kita memang tidak bisa terlalu berharap banyak kepada tahun 2021 sebab segalanya masih serba belum pasti. Namun kita tetap harus menyandarkan pikiran positif bahwa semua ini akan berakhir kan. Setiap kejadian yang terjadi akan menjadi pelajaran dan pengalaman kita ke depannya.

Pokoknya kalian harus tetap semangat, tetap sehat jasmani, dan tetap waras rohani!

Dear 2021, please be tender. We ain’t expect much, but please embrace us with your tenderness.

Bye, 2020. Welcome 2021.

Bismillah. Sooner, things will get better.

Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nasiir~

*mendadak ukhtea~*

Sampai jumpa di tahun 2021, Gaes~~