Sabtu, 31 Oktober 2015

Quarter Life Crisis?

18:45 0 Comments
Warning: Tulisan ini berkonten serius–bercampur curhat. Penulis sedang dalam fase ingin (sangat) serius. Efek terlalu banyak menelan tulisan berkonten filsafat dan renungan. Halah. Jika kalian tidak kuat, jangan dibaca! Cukup dipelototi saja sembari scrolling up and down.
Betapa hidup kita penuh dengan tuntutan demi tuntutan yang harus dilunasi. Semakin bertambahnya usia, semakin merasa sadar diri bahwa hidup itu perlu diisi dengan sesuatu yang beresensi. Semakin sadar juga, bahwa hidup bukan sekadar main-main. Lantas, sudahkah setiap jengkal hidup kita telah diisi dengan sesuatu yang bermakna? Kadang, hal ini kerap kali memantik kegalauan saya.
Berbicara target–atau tuntutan–hidup terdekat saya dan teman-teman sebaya saya, sebut itu lulus kuliah dan wisuda, sudah sebegitu memantik letupan pertanyaan yang bergema dalam benak. Teringat peristiwa berbulan-bulan lalu, ketika saya dan beberapa teman saya berbondong-bondong ‘menontoni’ sembari mengucapkan selamat kepada kakak-kakak tingkat di atas kami yang baru saja purna studi. Senyum sumringah dan tawa kebahagiaan membumbung di sekitar kami hingga mencipta tularan energi dari satu individu ke individu lain. Kami–para adik tingkat–merasa terpacu untuk lebih giat lagi dalam merampungkan beban SKS yang tinggal beberapa gelintir. Pun, mulai menyiapkan segenap jiwa raga untuk memberikan perhatian penuh kepada SKRIPSI.
Berbagai selentingan dari beberapa teman sempat singgah di telinga saya pada waktu itu. Ingin segera didandani cantik, katanya. Ingin memakai toga sembari membawa berkarung-karung hadiah ‘selamat wisuda’ dan bertangkai-tangkai bunga dari teman dan adik-adik tingkat, katanya. Ingin menyelempangkan samir bertuliskan ‘cumlaude’ juga, katanya. Namun, apakah esensi lulus kuliah hanya sebatas itu? Bagaikan dihantam godam translusens, tiba-tiba saja saya tersentak, teringat akan sesuatu. Wisuda atau lulus kuliah itu bukanlah akhir, justru itulah awal kita memasuki gerbang yang sebenarnya. Gerbang kehidupan yang lebih keras dibandingkan dunia kampus yang tinggal menghitung hari dinikmati. Nyatanya, mensyukuri sebuah momen kelulusan kuliah tidak sebercanda itu. Ada hal yang lebih krusial yang patut diberi perhatian penuh. Hal krusial itulah yang menjadi tuntutan kedua setelah tuntutan pertama tadi. Lantas, saya pun teringat salah satu cerita pendek Mas Kurniawan Gunadi di buku Hujan Matahari, Hikayat Kampus Gajah. Mungkin bagi kalian yang sudah baca, akan paham maksud saya.
Lalu, tuntutan kesekian, yang mungkin menjadi bahan galauan sejuta umat di seluruh penjuru dunia alam semesta adalah MENIKAH.
Tidak bisa dipungkiri, di usia saya yang sudah memasuki seperlima abad ditambah tujuh belas bulan ini memang penuh dengan pergumulan batin yang memaksa saya untuk senantiasa menjadi perenung sejati. Merenungi kehidupan yang rasanya semakin menyeramkan.
Begitu pun dengan persiapan memasuki gerbang pernikahan. Semakin bertambah usia, saya menyadari bahwa menikah itu sedikit menyeramkan. Menikah tidak melulu indah layaknya dongeng princess Disney, asal tahu saja. Menikah tentu saja tidak sebercanda itu. Ditambah lagi dengan selama magang di Komisi Perlindungan Anak Indonesia kerap mendapat kasus perebutan hak asuh anak dari pasangan muda yang bercerai. Semakin paripurnalah ketakutan dan kekhawatiran saya.
Bukan, bukannya saya takut menikah. Saya hanya terlalu khawatir akan kehidupan saya nantinya setelah menikah. Saya bukan tipe penggalau mainstream kebanyakan yang hanya berkutat pada urusan ‘siapa jodohku’ saja. Beberapa hal remeh temeh mengenai pernikahan belakangan menyita perhatian saya. Ditambah pula dengan andil mata kuliah pilihan yang saya ambil di semester ini, Psikologi Seks dan Pernikahan.
Saya menargetkan–dan berharap–untuk bisa menikah di usia 24 tahun. Akan tetapi, saya merasa masih belum memiliki bekal memadai untuk dapat memasuki gerbang pernikahan. Padahal tiga tahun itu cepatnya laksana kilat. Saya masih terlampau egosentris, sedangkan dalam pernikahan menuntut kerja team yang tidak sederhana. Kerja team dalam pernikahan tidak hanya sebulan dua bulan layaknya kerja kelompok, namun seumur hidup. Saya juga masih memendam keinginan-keinginan serta ambisi-ambisi yang belum terlunaskan. Masih memantik penasaran, jika boleh dibilang. Saya takut, ketika saya menikah, ambisi dan keinginan yang belum lunas terjawab itulah pemicu konflik ke depannya. Saya juga masih belum matang–untuk saat ini. Saya masih suka semaunya sendiri. Saya masih ingin minta dimengerti dibandingkan mengerti orang lain–meskipun sudah empat tahun menjadi mahasiswa Psikologi. Saya masih suka drama queen. Saya lebih suka membaca berkarung-karung buku dan menulis berpuluh-puluh lembar dibandingkan memasak. Masakan yang saya bisa hanya masakan remeh temeh yang tidak keren-keren amat. Sama sekali tidak bisa dibanggakan. Saya tidak bisa dandan. Saya kurang sabar mengajari adik saya belajar. Bagaimana nanti kalau saya harus mengajari belajar anak saya? Serta hal-hal mengkhawatirkan lainnya dalam diri saya yang apabila tidak segera dibereskan akan menghambat kehidupan pernikahan saya nantinya.
Lantas, selain khawatir akan diri saya sendiri, saya juga mengkhawatirkan pasangan hidup saya kelak. Bagaimana karakter si pasangan hidup saya nantinya? Apakah kami nanti bisa saling seiya sekata dalam bervisi dan menjalankan misi kehidupan bersama? Apakah nanti pasangan saya bisa menuntun saya ke jalan yang diridhoi oleh Allah? Apakah nanti pasangan saya bisa diajak berdiskusi mulai dari mengurus anak hingga membicarakan topik terhangat negara? Apakah pasangan saya nanti penyabar? Mengingat saya cenderung galak dan gampang meledak-ledak ketika PMS. Apakah pasangan saya punya gangguan kepribadian? Saya takut, kalau tiba-tiba saya mendapati ia sebagai pengidap bipolar atau kepribadian schizoid. Apakah pasangan saya mau menerima saya apa adanya beserta keluarga saya yang jauh dari sempurna? Apakah pasangan saya ikhlas menerima saya yang tidak cantik-cantik amat, tidak pinter-pinter amat, serta banyak kurangnya ini? Apakah kami berdua mampu berkomitmen dalam mempertahankan ikatan hingga kehidupan selanjutnya?
Ribet, bukan? Memang. Kekhawatiran-kekhawatiran itu muncul bukan tanpa alasan. Sejujurnya, saya masih terlalu hijau untuk paham tentang cinta serta pernikahan. Meskipun selama dua tahun belakangan saya melahap beragam buku mengenai relationship pria dan wanita, hanya untuk memahami mekanisme cinta hingga berujung pada jenjang pernikahan.
Kata di buku-buku itu, pernikahan itu dilandasi dengan cinta pada awalnya, lantas seiring berjalannya waktu kita tidak bisa terus-terusan mengandalkan cinta. Rasa cinta itu fluktuatif karena hal tersebut merupakan bagian dari sisi emosionalitas makhluk hidup. Manisnya cinta yang passionate–menggebu-gebu–hanya berjalan sampai lima tahun pernikahan. Bahkan ada yang hanya setahun atau dua tahun saja. Jika tidak kuat, atau salah mendefinisikan apa itu pernikahan, tentu ketika rasa cinta perlahan memudar, masing-masing pihak akan merencanakan sebuah perpisahan. Saya pun akhirnya menyadari bahwa menikah tidak hanya cinta saja, perlu komitmen. Lantas, apa yang menciptakan komitmen? Kembali ke tujuan pernikahan antar masing-masing pasangan. Lihat kembali visi dan misi yang pernah terencana. Itulah, hal yang membuat suatu ikatan pernikahan tetap terjaga.
Akan tetapi, sering saya lihat pula bahwa kebanyakan masyarakat sekarang menjadikan pernikahan sebagai sarana pemenuhan tuntutan hidup semata. Kosong melompong, tanpa tahu esensinya. Padahal kekosongan dan ketidaktahuan itulah salah satu sebab mengapa banyak pasangan masa kini yang memilih bercerai ketika pernikahan baru seperempat jalan. Ada juga yang menjadikan pernikahan sebagai ajang perlombaan atau pamer kekayaan. Mengundang ribuan undangan, meskipun tidak kenal. Heboh ke sana kemari, menghabiskan uang jutaan hingga milyaran. Buat apa, hanya memboroskan uang saja, kan? Malahan, kesakralan dalam pernikahan tersebut menjadi hilang ditelan ingar bingar pesta.
Pernikahan tidak sedangkal itu, padahal.
Seiring bertambahnya usia dan kematangan emosi, masing-masing dari kita pasti akan menggalaukan hal-hal tersebut. Galau tidak akan berkisar pada siapa gerangan sang pendamping hidup kelak. Kalau saya sendiri lebih menggalaukan apakah nantinya saya bisa memahami sang pendamping hidup tersebut? Meskipun saya telah menjejali diri dengan buku Men are From Mars, Women are From Venus-nya John Gray serta Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read Maps-nya Allan dan Barbara Pease, tetap saja merasa kurang paham. Meskipun juga sudah dijelaskan panjang lebar tentang sifat dasar kaum adam yang harus dimengerti oleh kaum hawa. Tetap saja, masih banyak pertanyaan yang berkecamuk. Hidup tentu tidak sesederhana teori-teori dalam buku self-help tersebut, bukan? Ada kejutan-kejutan dan riak-riak kecil yang pasti ada sepanjang kehidupan manusia, tentu saja. Tidak mungkin akan datar-datar saja. Sesuatu yang datar tidak akan seru. Harus ada dinamika. Namun, dinamika seperti apa? Itulah yang selalu menjadi pertanyaan saya sendiri. Takut kalau-kalau dinamika tersebut adalah sesuatu yang sukar untuk diurai. Takut kalau-kalau ketika sudah saling mentok, akhirnya malah saling berbalik ke belakang dan melarikan diri.
Melarikan diri. Terdengar menyeramkan.
Well, tidak bisa dipungkiri, sebagai seorang wanita ternyata saya lebih ribet daripada wanita kebanyakan. Hampir semua hal dipikirkan, definisinya hingga esensinya. Sampai akhirnya menyadari bahwa nyatanya saya tidak tahu apa-apa. Bahkan untuk kehidupan dewasa awal yang remeh temeh saja saya tidak paham. Atau saya saja yang bebal, tidak mampu mencerna informasi dan mensintesisnya menjadi sebuah pemahaman yang baik.
Jadi, memang nyatanya saya butuh untuk disempurnakan. Supaya pemahaman saya yang sepatah-patah ini bisa tergenapi. Lantas, siapa? Mungkin, kamu orangnya. Hehehe.
Halah, nulis serius kok ya masih bisa guyon to, Rif.
Tulisan ini makin ke bawah makin pointless saja. Ah, sudahlah, saya hanya ingin menumpahkan segala kegalauan yang belum terjawab. Pikiran saya random akhir-akhir ini. Senantiasa diliputi kecemasan akan tugas-tugas perkembangan menjadi seorang manusia yang memasuki fase perkembangan dewasa awal. Banyak sekali! Hingga untuk dibayangkan saja rasanya tidak mampu.
Bagi yang sudah bersedia membaca tulisan abal-abal ini, saya ucapkan terima kasih. Kalian telah bersedia membuang waktu berharga kalian hanya untuk membaca tulisan yang tidak penting-penting amat. Hahaha.
Semoga, bagi kalian yang suka mampir di blog ini, tidak akan kecewa untuk mampir di lain waktu. Terima kasih, pembaca setia…
Sampai jumpa di postingan selanjutnya :)