Jumat, 27 Januari 2017

[#KampusFiksi 10 Days Writing Challenge] Day #10 – I Promise, I Will Not….

20:30 0 Comments


[source]
Akhirnya, sampailah di hari terakhir 10 Days Writing Challenge. Benar-benar baru kali ini saya bisa konsisten menulis blog dalam sepuluh hari marathon! Biasanya, jarang sekali saya bisa konsisten menulis panjang-panjang selama sepuluh hari berturut-turut. Ini adalah rekor pertama saya dalam dunia perblog-an. Hehehe.
Baiklah, di tantangan hari terakhir ini adalah tentang sebuah hal yang tidak akan saya ulangi lagi. Hmmm… sebenarnya ada banyak hal yang tidak ingin saya ulangi lagi di masa depan. Tapi, karena yang diwajibkan dalam tantangan ini adalah sebuah hal–bukan ‘hal-hal’–maka saya akan menulis salah satunya saja.
Salah satu hal yang tidak ingin saya ulangi lagi adalah; melewatkan kesempatan yang tersedia dalam setiap episode perjalanan hidup saya. Saya merasa terlalu banyak kesempatan yang mampir pada saya terlewat begitu saja tanpa sempat saya tengok sebentar. Lalu, saya pun menyesal ketika kesempatan itu telah telanjur menjauh dan mustahil untuk kembali lagi. Kalau bisa saya memutar waktu, mungkin saya akan menyediakan waktu barang sebentar untuk menengok dan memutuskan akan melepas atau mengambil kesempatan itu.
Hmmm… sebenarnya ada satu hal lagi yang–sama pentingnya–tidak ingin saya ulangi. Saya tidak ingin mengulangi menghabiskan waktu dengan memikirkan orang-orang yang tidak pantas untuk dipikirkan. Misalnya, memikirkan keburukan orang hingga memupuk dendam tiada ujung atau memikirkan seseorang yang kenal dan mikirin saya pun nggak pernah. Ya, saya memang tipe pemikir. Semua hal dipikir, sampai saya pusing sendiri. Jadi, salah satu hal untuk membersihkan tumpukan memori tidak berguna dan menyisakan loker memori yang lebih lapang adalah dengan meminimalisiasi pikiran-pikiran yang sama sekali nggak penting. Saya tidak akan menyiksa diri lagi dengan menambah tumpukan memori yang sebenarnya pantas untuk diabaikan di sudut tergelap.
Sungguh abstrak sekali ternyata janji saya di atas. Hahaha. Baiklah, sekian tulisan penutup pada tantangan menulis sepuluh hari ini. Meskipun sebagian besar tulisan saya cengengesan, abstrak, dan absurd, semoga yang membaca dapat mengambil hikmah dari tulisan-tulisan saya tersebut. Semoga di challenge Kampus Fiksi selanjutnya saya bisa ikutan lagi. Hehehe.

Solo, 27 Januari 2017

Kamis, 26 Januari 2017

[#KampusFiksi 10 Days Writing Challenge] Day #9 – Dear Kamu…

19:45 2 Comments
Dear Kamu,
Apa kabarmu? Semoga selalu berbahagia di setiap situasi dan kondisi. Bagaimana keadaanmu? Semoga sehat selalu. Ingatkah kamu ketika kita pertama kali bertemu? Aku ingat sekali, kamu adalah gadis yang asyik dan mudah bergaul. Kamu juga humoris dan sedikit sarkas. Setiap orang mudah dekat dan nyambung denganmu. Sifatmu yang straight to the point memang kadang-kadang menyebalkan, tapi itu lebih baik daripada ngomong di belakang. Kepribadianmu yang ekstrover membuatmu jadi mudah populer di berbagai kalangan. Apalagi kamu sangat multitalent, semakin banyak yang senang bisa berteman denganmu.
Namun, dirimu tetaplah manusia yang tidak sempurna. Bahkan, teman satu kamar pun juga masih tidak percaya ada rahasia yang kamu sembunyikan. Hingga akhirnya semuanya terkuak! Dua teman sekamar kita yang pertama kali mengetahuinya. Diam-diam mereka sudah saling waspada terhadapmu. Hingga akhirnya, demi kesejahteraan teman sekamarmu yang lainnya, dua temanmu yang awalnya ingin menyembunyikan aibmu, memberitahukan kepada tiga teman sekamarmu yang lain–termasuk aku. Saat itu, kamu sedang pulang. Kami berlima berkumpul di kamar dengan pintu tertutup rapat, supaya empat lelaki teman sekelompok kita di kamar sebelah tidak mendengar.
Dua temanmu mewanti-wanti tiga temanmu yang lain supaya setelah mengetahui kejadian ini kami dilarang menjauhi kamu. Pokoknya, jangan memperlihatkan gelagat bahwa kami berlima sebenarnya sudah tahu rahasiamu. Lalu, dengan segenap rasa penasaran, kami bertiga (yang belum tahu) mendengarkan dengan saksama. Dua temanmu itu pun mulai merendahkan suara hingga hampir berbisik, supaya tidak terdengar sampai ke luar. Rahasiamu sungguh mengejutkan, mengagetkan dan mencengangkan dunia seluruh perempuan yang mendengarnya. Ternyata diam-diam kamu memelihara kutu di rambutmu!
Aku tercengang, tubuhku bergetar, tiba-tiba saja aku merasa ada sesuatu yang berjalan di antara rambutku. Geremet-geremet! Rasanya kuingin teriak! Rasanya kuingin menangis dalam hati! Sungguh, jika aku sampai tertular kutu, itu artinya rambutku pernah kutuan tiga kali. Pertama waktu SD tertular teman yang rambutnya kayak gembel, kedua waktu SMP karena tinggal di asrama, dan ketiga waktu KKN karena tertular kamu! Allahu akbar!
Tiga teman yang lainnya juga terkejut, tercekat, dan terpekik tertahan. Mimpi buruk setiap wanita seolah membayang di depan mata! Tentu saja kami dilanda kecemasan, sebab kami sudah hampir sebulan berbagi kamar denganmu, tidur di sampingmu, berbagi bantal denganmu! Dan setelah mengetahui kejadian ini, masih ada beberapa minggu lagi sampai tanggal penarikan dari pihak universitas. Cemas dan takut selalui menghantui sisa-sisa hari kami menjelang tanggal penarikan. Dua temanmu yang lebih awal tahu, sudah lebih dulu diam-diam membeli sisir serit (sisir bergerigi rapat). Diam-diam mereka sudah saling mencari di antara rambut masing-masing, kalau-kalau ada telur kutu, gabug (telur kutu yang sudah menetas), kor (anak kutu), ataupun induk kutu.
Setelah diberitahu hal itu, tiga temanmu–termasuk aku–langsung buru-buru membeli sisir serit juga, tentu saja tanpa sepengetahuanmu. Kami menyembunyikannya dengan rapi. Sesuai dengan janji kami kepada dua temanmu, kami tetap baik padamu, tidak tiba-tiba menjauhi kamu, dan tidak tiba-tiba kesal padamu. Hanya saja, satu perilaku kami yang jika kamu amati akan sangat janggal; tiba-tiba kami semua tidur dengan memakai jilbab. Salah satu upaya agar bisa tetap tidur di sampingmu tanpa tertular langsung kutu rambutmu.
Selama hari-hari penuh kecemasan itu, selalu terbayang di benakku masa-masa kelam ketika rambutku pernah berkutu. Saking frustrasinya, aku pernah mencuci rambutku dengan deterjen dengan harapan supaya induk kutu sampai telur kutu yang belum menetas langsung mati tak bersisa. Rambutku sampai jelek, kusut, dan bercabang akibat setiap seminggu sekali kucuci pakai deterjen. Sungguh, saat itu aku sangat takut jika ternyata aku tertular kutumu hingga beranak pinak dan banyak, sehingga susah diberangus meskipun sudah pakai Peditox (obat kutu) sekalipun. Maka, sebelum benar-benar gatal maksimal, kami melakukan tindakan pencegahan.
Kamu tahu tidak, bagaimana cemasnya lima temanmu itu? Setiap kamu pergi keluar kamar, entah dapat jatah giliran belanja, pulang sebentar ke rumahmu, diajak teman-teman lelaki ke kota, menyempatkan ke kampus sebentar, atau ketika kamu sedang mandi, kami langsung menutup pintu kamar rapat-rapat, melepas jilbab, saling mencari kutu di rambut masing-masing, dan menyisir rambut menggunakan sisir serit. Kami akan terpekik sedih ketika menemukan telur kutu yang belum menetas, lalu buru-buru menggilasnya dengan kuku. Kami akan memasang wajah waspada ketika menemukan anak kutu atau induk kutu, lalu buru-buru membunuhnya. Dan akan memekik keras ketika menemukan sejumlah gabug-gabug yang berguguran dari sisir serit. Tahu artinya, kan? Sudah banyak anak kutu yang menetas!
Ketika aku dapat jatah pulang sebentar ke rumah, aku curhat dengan bapak dan ibuku. Bapak dan ibu malah tertawa, lalu meledekku; “masih jaman anak kuliah rambutnya kutuan?”. Akhirnya, aku memutuskan untuk beli Peditox di apotek terdekat. Sambil menahan malu, karena mbak pegawai apotek menatapku dengan kening berkerut, seolah heran setua aku ini masih bisa kutuan.
Hingga berakhir masa KKN kita, kelima temanmu tetap tidak pernah menanyaimu terus terang. Sungguh, kami tidak suka konfrontasi dan tidak tega, terutama untuk hal-hal sensitif bagi wanita seperti; rambut berkutu. Tapi sungguh, empat lelaki teman sekelompok kita tidak tahu rahasiamu. Jadi, kamu bisa bernafas lega tanpa harus takut jatuh image-mu, terutama pada lelaki pujaanmu.
Itu kejadian setahun yang lalu. Bahkan sampai sekarang kamu tidak tahu kalau kami tahu rahasiamu. Alhamdulillah, pasca penarikan dan pulang ke rumah, setiap sehari sekali aku memakai Peditox di rambutku, rutin menyisir menggunakan sisir serit, dan keramas menggunakan sampo. Beberapa hari kemudian, kutu-kutu yang pernah bersarang di kepalaku telah lenyap tak berbekas. Aku lega. Namun, rekor rambutku pernah berkutu telah genap menjadi tiga kali. Sungguh, pengalaman selama KKN yang menyedihkan sekaligus tak terlupakan.
Jika kamu membaca ini, aku sungguh memohon maaf tidak pernah tega berterus terang padamu. Kami hanya sanggup menyimpannya dan memasang wajah manis di depanmu. Semoga sekarang kutu-kutumu sudah benar-benar lenyap dan tidak menular ke rambut teman perempuanmu yang lain. Kami tidak menyalahkanmu dengan rambut berkutumu itu. Kami yakin, kamu juga pasti sudah tertular kutu dari rambut lain. Mungkin saja, dari adikmu yang berambut sedikit lebih aneh daripada kamu. Maaf ya, Temanku….

Solo, 26 Januari 2017

[#KampusFiksi 10 Days Writing Challenge] Day #8 – Sebenarnya Saya…

09:09 6 Comments
Sebenarnya saya mirip Felicity Jones *dirajam massa* [source]
Sebuah pertanyaan yang cukup sulit, membuat saya menggali ingatan-ingatan tentang pendapat sejumlah orang mengenai diri saya. Sejujurnya, saya tidak begitu yakin karena semacam lupa-lupa ingat dengan kesan awal beberapa orang yang kenal dengan saya. Baiklah, saya akan mencoba menulis lima opini orang lain berdasarkan memori yang berhasil saya ingat, tapi tidak sesuai dengan fakta tentang saya sebenarnya.
Opini 1: Pendiam dan Kalem. Fakta: Cerewet dan Galak
Banyak yang bilang awal kenal dengan saya, kesan yang ditampilkan adalah pendiam dan kalem. Sesungguhnya, itu hanya pencitraan. Hahaha. Akibat wajah saya yang bertipe melas dan menyedihkan ini jadi banyak yang menganggap saya pendiam. Awalnya, memang saya pendiam, sebab saya belum benar-benar mengenal lawan bicara saya dan saya nggak bisa ala-ala sok kenal sok dekat. Tapi setelah kenal, kalian akan tahu betapa cerewetnya saya. Kadang (atau sering) saya galak pada hal-hal yang menuntut saya untuk bersikap agak galak. Halah. Tapi saya nggak gigit, kok.
Opini 2: Kaku. Fakta: Cengengesan
Hanya karena saya suka belajar, bukan berarti wajah saya mirip buku diktat. Hanya karena saya menyukai ketepatan waktu, bukan berarti saya nggak bisa fleksibel. Hanya karena saya suka membaca hal-hal serius, bukan berarti saya nggak bisa bercanda. Saya malah nggak suka suasana kaku, dingin, dan mencekam. Suasana itu malah membuat saya tercekat, grogi, dan cemas. Saya malah suka suasana yang hangat dan penuh humor. Teman-teman saya pun banyak yang bertipe cengengesan. Ah, kalau kalian sudah kenal dekat dengan saya, mungkin akan paham betapa cengengesannya saya. Bahkan cengengesan saya sudah menular ke adik saya. Hmmm….
Opini 3: Cuek. Fakta: Sebenarnya peduli, hanya saja sengaja nggak kentara~
Kalau ada yang bilang saya cuek dan nggak peka, mungkin dia belum mampu menembus kepribadian INFJ saya yang super misterius. Saya suka mengamati tingkah laku orang-orang, gaya berbicara mereka, gaya berpakaian mereka, ekspresi wajah mereka, bahkan hingga bahasa yang mereka gunakan ketika chatting. Beware, I can see through your soul! Bentuk kepedulian saya memang tidak pernah saya tunjukkan terang-terangan, karena saya berusaha supaya nggak kelihatan mencolok sekali. (Halah, alasan! Bilang saja gengsi kalau kelihatan peduli banget!). Eh, tapi kadang-kadang saya cuek untuk hal-hal yang saya anggap nggak penting, sih. Daripada buang-buang waktu, lebih baik cuekin saja. Jadi, cuek atau peduli? Saya juga bingung sebenarnya. #krik
Opini 4: Rajin. Fakta: Prokrastinasi
Bukan berarti jika saya melakukan hal-hal produktif secara berkala itu tergolong rajin. Saya malah lebih sering menjadi deadliner, menyelesaikan sesuatu ketika detik-detik terakhir. Prokrastinasi itu memang enak di awal, tapi menderita di akhir. Saat ini saya juga sedang berjuang untuk memanajemen prokrastinasi saya supaya tidak terlalu parah. Untuk mengatasi prokrastinasi, biasanya saya suka mencicil pekerjaan sedikit-sedikit dari awal, hingga ketika menjelang deadline tinggal menambah yang kurang. Salah satu hal yang membuat saya kadang prokrastinasi adalah sifat perfeksionis saya yang kadung mendarah daging. Perfeksionis berlebihan itu melelahkan, Kawan. Kadang-kadang bikin pekerjaan jadi lama selesai karena terlalu kepikiran dengan hasil akhirnya, apakah sesuai ekspektasi atau tidak. Saya bisa tiba-tiba bad mood kalau baca buku banyak salah eja dan langsung gelisah kalau menemukan satu typo dalam tulisan saya. Huft, melelahkan!
Opini 5: Pintar. Fakta: Gampang penasaran (atau kalian kena hallo effect)
Saya mah apa atuh, hanyalah butiran molekul gas kentut orang yang habis makan jengkol. Bukan berarti saya pintar kalau buku yang saya baca (agak) banyak. Justru baca buku tersebut hanya untuk memuaskan rasa penasaran saya yang menggunung ini. Justru karena saya sebenarnya tidak banyak tahu dibanding kalian, maka saya merasa harus baca banyak buku. Intinya, saya tidak pintar! Masih lebih pintar kamu. Iya kamu, cucunya Einstein. Wkwkwk.

Akhirnya, selesai juga tulisan yang membuka aib diri sendiri ini. Baiklah, cukup sekian lima opini orang yang berlawanan dengan lima aib saya. Tentu saja sebenarnya aib saya masih banyak. Jelas nggak saya tulis semua. Nanti kalau suatu hari calon suami saya baca (kalau calonnya sudah ketemu), bisa anjlok image kalem saya. Huahaha.


Solo, 25 Januari 2017

Rabu, 25 Januari 2017

[#KampusFiksi 10 Days Writing Challenge] Day #7 – It’s Just a Matter of Time

08:29 0 Comments
Sekarang, saya ingin agak serius menulis challenge hari ketujuh. Kebetulan beberapa hari belakangan ini saya sedang berada dalam titik terendah. Banyak kejadian tidak menyenangkan yang saya alami, meskipun tidak terlalu buruk, namun membuat saya merasa agak lelah. Segala pencapaian-pencapaian orang-orang di luar sana membuat saya minder. Saya jadi sering membanding-bandingkan hidup dan diri saya yang nggak seberapa ini dengan mereka. Saya jadi sering mengasihani diri sendiri. Saya jadi hampir ingin menyalahkan keadaan dan segala ketidakberuntungan yang menghadang saya. Lantas, saya lupa bahwa hidup saya masih lebih beruntung daripada orang-orang di luar sana. Mungkin memang, saya terlalu sibuk menatap ke atas, hingga tak sadar bahwa di bawah sana masih banyak yang butuh uluran tangan.
Seringkali saya mencoba mengambil selipan hikmah di setiap kejadian yang saya alami. Namun, seringkali pula saya gagal memaknai, akibat pemahaman saya yang dangkal. Seringkali saya mengkritisi diri sendiri, apa yang kurang dan salah, hingga saya pun mati-matian berusaha menambal kecacatan yang senantiasa menghantui saya. Sembari mengais-kais serpihan semangat yang kadung pupus, saya berusaha memaknai hakikat ‘waktu’.
Sebagaimana quotes yang pernah saya baca di suatu grup bahwa, setiap orang memiliki waktunya masing-masing. Misalnya, ada yang setelah menikah langsung dikaruniai anak, tapi ada juga pasangan yang harus menunggu sampai lima hingga sepuluh tahun sembari jungkir-balik usaha mati-matian baru berhasil memiliki anak. Ada yang baru membuka usaha langsung menuai keuntungan besar, namun ada juga yang harus jatuh-bangun hingga bertahun-tahun lamanya baru berhasil. Ada yang mengerjakan skripsi lancar dan lulus tepat waktu, ada juga yang skripsinya nggak kelar-kelar hampir jadi mahasiswa abadi.
Dalam buku What The Dog Saw Malcolm Gladwell, hal tersebut terjadi karena ada dua tipe orang di dunia ini; orang yang cepat panas dan orang yang lambat panas. Orang yang cepat panas akan cepat menunjukkan ledakan potensinya. Sedangkan orang yang lambat panas, mereka lebih cenderung lambat dalam menunjukkan potensi besar mereka yang sesungguhnya. Namun, jika saya boleh berpendapat, perkara cepat panas itu masih sebatas urusan personal. Sedangkan, manusia tidak hidup dalam dunia personalnya masing-masing. Setiap kejadian yang dialami oleh seseorang tidak hanya bergantung pada faktor personal saja, seperti perkara cepat atau lambat panas. Ada faktor lain yang turut campur dalam kejadian yang menentukan hidup seseorang yaitu; waktu.
Waktu yang dimiliki setiap manusia tertulis dalam takdir. Ada yang memiliki waktu yang cepat, ada yang lambat. Waktu yang dimiliki setiap manusia sudah tertulis, tidak bisa dipercepat atau diperlambat. Tapi manusia bisa mengubah takdir–untuk takdir tertentu yang bisa berubah–dengan melakukan usaha. Namun, banyak yang masih bertanya-tanya, mengapa sudah berusaha jungkir balik berdarah-darah, tapi hasil yang diharapkan tak kunjung tampak? Satu yang masih kurang dalam pemahaman itu adalah memaknai sabar. Sabar dalam menunggu waktu tersebut tiba. Sabar menunggu usaha yang kita upayakan benar-benar tampak hasilnya. Sebab kita tidak tahu, sudah sedekat apa usaha yang kita perjuangkan dengan waktu yang digariskan.
Sayangnya, memaknai sabar itu tidak semudah aplikasinya. Apalagi jika melihat kesuksesan orang lain yang menyilaukan mata. Lagi-lagi kita seperti ingin merutuki nasib yang tak kunjung berubah. Hanya sanggup memandang nanar rumput tetangga selalu tampak lebih hijau dan indah. Padahal, kita tidak tahu saja, sekeras apa perjuangan mereka, seberapa lama mereka menunggu, sesakit apa mereka jatuh-bangun berulang kali. Dan, kita juga tidak tahu, apakah yang sudah terambil dari mereka adalah untuk menebus keberuntungan itu. Apakah keberuntungan yang mereka dapatkan saat ini merupakan ganti dari sesuatu yang telah direnggut dari mereka.
Saya pernah iri dengan salah satu teman saya. Melalui pandangan saya, dia sungguh beruntung karena mendapatkan keberuntungan tanpa perlu menunggu terlalu lama. Sedangkan saya harus berlari ke sana kemari, jatuh bangun, berpeluh menangis, dan berdarah-darah. Awalnya saya mengasihani diri, mengapa seperti dunia ini sungguh tidak adil bagi saya. Namun, ketika saya berusaha menyelami pemaknaan dalam kejadian itu, saya menemukan sebuah pemahaman. Saya teringat kehidupan masa lalu teman saya itu yang tidak seberuntung saya. Kedua orang tuanya meninggal dalam waktu yang berdekatan, seolah ujian selalu mampir menyambanginya. Ia pun menjadi yatim piatu, padahal masa itu adalah masa ia membutuhkan dukungan keluarga. Otomatis sejak saat itu dia harus hidup mandiri bersama kakak-kakaknya.
Di titik itu pun saya sadar kalau teman saya itu pantas mendapatkan keberuntungannya saat ini dibandingkan saya. Waktu ini adalah saatnya mendapatkan tebusan atas apa yang pernah terenggut darinya. Waktu ini adalah saatnya ia merasakan kebahagiaan atas kesabarannya dalam menunggu hasil yang digariskan padanya tiba.
Semua hal yang terjadi pada kita hanya perkara menunggu waktu. Apakah ini sudah saatnya atau belum. Mungkin saja saat ini teman-teman kalian banyak yang sudah menikah, tapi kalian masih sibuk dengan kejombloan tiada ujung. Atau mungkin, skripsi kalian tak kunjung di-acc dosen pembimbing, padahal teman-teman kalian sudah banyak yang bekerja bahkan S2. Atau teman kalian sudah punya anak dua, tiga hingga empat, sedangkan kalian sudah menikah lebih lama tapi satu saja belum punya. Lagi-lagi, semua hanya perkara waktu. Ada hikmah di balik semua kejadian, tinggal kita mau memaknainya atau tidak.
Saya sungguh yakin, jika kita mau memaknai hakikat waktu dan kesabaran, maka ketika waktu yang sebenarnya tiba akan terasa lebih manis dan indah. Sebab kita tidak akan bisa merasakan indahnya pertemuan, sebelum merasakan perihnya penantian. Sebab semua akan mendapatkan bagiannya pada waktunya. Semua akan indah pada waktunya. Tuhan bersama saya, kamu, dan kita semua yang sabar menunggu takdir waktu yang telah digariskan tiba. Aamiin….
 
[source]
When you try your best but you don’t succeed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can’t sleep
Stuck in reverse….
And the tears come streaming down your face
When you lose something you can’t replace
When you love someone but it goes to waste
Could it be worse?
Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you
Fix You (Coldplay)

Solo, 24 Januari 2017