Kamis, 10 Maret 2016

Sukses = 10.000 Jam Terbang + Semesta Mendukung

16:00 0 Comments

[source]
Beberapa hari lalu, saya baru saja menyelesaikan salah satu buku Malcolm Gladwell yang tidak kalah keren dari Tipping Point dan Blink. Yup, Outliers. Mungkin sudah banyak yang tahu dengan buku ini, karena sudah beredar di Indonesia sejak tahun 2009. Berbeda dengan Tipping Point yang mengulas tentang fenomena getok tular atau Blink yang membahas tentang intuisi dan rapid conclusion, Outliers mengulas tentang fenomena kesuksesan sejumlah orang terkenal.
Seperti kebanyakan buku-buku Malcolm Gladwell lainnya, Outliers mampu menjabarkan fakta tentang kesuksesan yang sangat insightful bagi pembacanya. Saya sampai tercengang-cengang dengan kelihaian penulis dalam memaparkan analisisnya berdasarkan sejumlah data dan fakta penelitian. Semua peristiwa yang dipaparkan saling berkesinambungan satu sama lain sehingga mencipta sebuah hubungan sebab akibat yang runtut.
Dalam statistik, mungkin sudah banyak yang familiar dengan istilah outlier. Ya, outlier dalam statistik berarti sebuah nilai yang berbeda dibanding dengan contoh lainnya. Bisa diartikan bahwa outliers adalah sekelompok entitas yang unik dan berbeda.
Kisah dalam Outliers ini dibuka dengan kisah aneh di sebuah tempat bernama Roseto. Awalnya, Roseto adalah nama sebuah desa di Italia, namun pada abad ke-19, penduduk Roseto mulai melakukan migrasi ke Amerika Serikat. Mereka menempati Pennsylvania dan mendirikan sebuah kota bernama Roseto pula. Nah, pada tahun 1950-an, seorang dokter bernama Stewart Wolf lah yang pertama kali menemukan keunikan pada penduduk Roseto. Pasalnya, ketika dokter Wolf mengisi sebuah seminar di Roseto, seorang dokter di sana bercerita bahwa selama tujuh belas tahun lamanya, dia tidak pernah menangani pasien jantung di Roseto. Padahal pada tahun 1950-an, penyakit jantung merupakan penyakit yang sulit dicegah dan disembuhkan karena obat penurun kolesterol dan semacamnya tersebut belum ditemukan. Menurut dokter Wolf, pada zaman itu sungguh aneh apabila tidak ada dokter yang belum pernah menangani pasien jantung. Jadi, angka kematian di Roseto bukan disebabkan oleh penyakit jantung, penyalahgunaan alkohol, penyakit lambung, kemiskinan, atau penyakit kronis lainnya, akan tetapi hanya perkara mereka sudah uzur saja, memang sudah waktunya.
Nah, akibat dari fenomena tersebut, dokter Wolf pun tertarik untuk melakukan penelitian pada penduduk Roseto. Pertanyaan yang terus bergaung dalam benak dokter Wolf adalah apa yang menyebabkan penduduk Roseto sedemikian sehatnya di tengah semakin banyak bermunculan penyakit-penyakit baru. Akhirnya, terjawab sudah segala tanya dan keanehan yang membuat penasaran itu. Rahasia sehat dari penduduk Roseto adalah bukan karena pola makan penduduk Roseto yang justru lebih banyak mengandung kalori ataupun perilaku olahraga mereka. Jawaban mencengangkan itu ternyata bukanlah hal yang bersifat fisik. Rahasia di balik Roseto terkuak ketika dokter Wolf dan partnernya, Bruhn, berjalan-jalan di Roseto dan menemukan perilaku penduduk Roseto yang saling berkunjung satu sama lain, berhenti untuk saling menyapa dan mengobrol dalam bahasa Italia, atau memasak makanan untuk tetangganya di halaman belakang.
Well, that’s a kind of silaturahim, right?
Sampai di sini saya pun tercengang-cengang dengan fakta penelitian tersebut. Pikiran saya pun berkelana mengingat salah satu materi kuliah Psikologi Sosial yang pernah disampaikan oleh dosen saya semester lampau. Yup, tentang perilaku silaturahim dan hubungannya dengan kesehatan fisik. Bedanya, kisah yang diceritakan dosen saya terjadi di sebuah desa di Jepang, di mana penduduknya juga memiliki usia harapan hidup yang lebih tinggi akibat dari budaya srawung dengan tetangga sangat terjaga. 
[source]
That’s why, Rasulullah pun pernah bersabda bahwa barangsiapa yang menjaga silaturahim maka akan dipanjangkan umurnya dan dilapangkan rezekinya. See? Ternyata kalimat dipanjangkan umur itu memang benar-benar bermakna ‘panjang umur’ secara harfiah. Begitu pula dengan dilapangkan rezekinya, tentu sudah banyak yang familiar dengan istilah ‘memperluas jejaring pertemanan’, bukan? Nah, menyambung silaturahim merupakan salah satu sarana memperluas jejaring pertemanan. Lantas, efeknya adalah pintu-pintu rezeki juga akan terbuka lebar. Rezeki tidak melulu masalah pekerjaan, mendapat jodoh juga termasuk mendapat rezeki, kan? Halah…
Sudahlah, lebih baik skip ke bahasan selanjutnya saja, deh. Hehehe.
Nah, sebenarnya bahasan utama Outliers bukan masalah Roseto dan silaturahimnya saja. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa Outliers berbicara tentang kesuksesan yang hanya didapatkan oleh beberapa gelintir berbanding jutaan orang di Amerika Serikat. Salah satu yang mengherankan adalah teori yang diejawantahkan Malcolm Gladwell dalam memandang sebuah kesuksesan itu sendiri. Gladwell memandang bahwa kesuksesan sejatinya bukan hanya semata-mata karena kerja keras seseorang itu saja, seperti yang sering digaungkan dalam buku-buku motivasi atau autobiografi orang-orang sukses. Faktor ‘semesta mendukung’ juga memiliki andil yang besar dalam membentuk sebuah kesuksesan pada sejumlah orang tersebut. 
Salah satu yang mencengangkan adalah teorinya tentang kesuksesan dipengaruhi oleh bulan dan tahun kelahiran. Ini bukanlah perkara hitung-hitungan semacam primbon, numerologi, atau hal metafisik lainnya. Akan tetapi, teorinya tersebut dikaitkan dengan kondisi historis dan peristiwa besar apa saja yang terjadi ketika orang tersebut dilahirkan hingga akhirnya mereka menginjak usia 20 tahunan.
Seperti dalam teori fase perkembangan manusia, usia 20-an merupakan masa dewasa awal. Seseorang yang berada di masa dewasa awal biasanya sedang gencar-gencarnya mengeksplorasi minat dan lingkungan sekitarnya. Masa pencarian karier dan keinginan untuk berkembang pesat terjadi pula pada masa ini. Nah, menurut Gladwell, jika ketika seseorang menginjak usia 20 tahun, lalu pada saat itu ia sedang memiliki minat mendalam terhadap sesuatu yang berprospek tinggi, kemudian ia semakin memperdalam minat tersebut, maka kesuksesan pun perlahan menuju genggamannya.
Oke, mungkin tampak terlalu rumit sekali jika dijelaskan tanpa menggunakan contoh. Jujur saja, saya membaca penjelasan di atas juga pusing sendiri. Hahaha.
Contohnya, seperti yang dijabarkan Malcolm Gladwell pada kisah kesuksesan Bill Gates, sang bos Microsoft; Paul Allen, co-founder Microsoft; Bill Joy, dewa perangkat lunak; dan juga Steve Jobs, bos Apple Inc. Jika ditelisik secara mendalam, para pembesar dunia software tersebut dilahirkan pada rentang tahun 1953 hingga 1956.
Lantas, ada apa dengan tahun tersebut?
Dalam sejarah perkomputeran dunia, tahun 1975 adalah tahun kebangkitan awal dunia komputer pribadi. Dulunya, komputer masih terlampau besar, mulai tahun 1975 komputer sudah mulai sedikit diperkecil ukurannya. Nah, jika para pembesar dunia software tersebut dilahirkan pada rentang tahun 1953-1956, tentu ketika tahun 1975 mereka sudah menginjak awal 20-an, bukan?
Nah, seperti yang sudah dituliskan di atas, bahwa usia 20-an merupakan masa emas seseorang dalam mencari bekal pengetahuan sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan minat dan keahliannya. Sangat tepat sekali momennya bagi mereka, apalagi minat mendalam mereka terhadap teknologi perangkat lunak. Tahun tersebut mereka manfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan semakin memperdalam minatnya dalam dunia komputer. Hingga tahun-tahun mendatang, akhirnya mereka sudah mencapai target minimum untuk menjadi seorang ahli. Ya, 10.000 jam latihan!
Maka, rumus sukses tidak hanya karena dipengaruhi oleh faktor ‘semesta mendukung’ saja, namun juga perlu ditambah dengan faktor ‘10.000 jam latihan’.
Anyway, kisah 10.000 jam latihan menuju kesuksesan ini bukanlah sebuah mitos belaka. Nyatanya, semua ahli di dunia dari berbagai latar belakang, mulai dari musisi, aktor, penulis, ahli software, ahli matematika, atlit bulutangkis, pemain catur, penjahat kelas kakap, dan ahli-ahli lainnya, tentu telah mengarungi apa yang dinamakan ’sepuluh ribu jam terbang’.
Ada kisah dalam buku tersebut yang berkaitan dengan fenomena sepuluh ribu jam terbang, yaitu kisah perjalanan karir salah satu band paling legendaris di dunia, The Beatles. Seperti yang kita tahu, The Beatles adalah grup band yang sohor di zaman ketika belum ditemukannya Youtube, Twitter, ataupun Instagram. Untuk mendulang kesuksesan sebagai musisi pada masa itu, tentu tidak seinstan masa sekarang. The Beatles tentu tidak meng-upload video performa mereka di Youtube, ataupun merekam suara mereka di Soundcloud, lantas menunggu viewers, likes, dan subscribers mereka merangkak naik hingga menjadikan mereka tenar. Tidak. Justru, perjuangan The Beatles bermula dari satu klub ke klub lain, hingga akhirnya mereka terdampar di sebuah klub di Hamburg, Jerman. Sejak saat itu, mereka bekerja selama delapan jam setiap hari. Kerja dan latihan delapan jam sehari selama tujuh hari dalam seminggu dari tahun 1960 hingga 1962.
Lantas, lihatlah The Beatles sekarang. Siapa yang tidak kenal mereka, karyanya, dan prestasi mereka? Itulah salah satu efek dari 10.000 jam latihan, menjadikan mereka tidak semata musisi musiman Youtube atau Instagram. Karya mereka senantiasa bergema meskipun keberadaan mereka sudah berkalang tanah.
Nah, sesuai dengan kaidah 10.000 jam terbang, untuk menjadi sukses memang perlu usaha yang lebih keras, lebih banyak, dan lebih mendalam dibandingkan dengan kebanyakan orang lainnya. Untuk yang bagian ini, seperti yang sering digaungkan dalam buku-buku motivasi kesuksesan, sangat berbanding lurus.
Ya, sebenarnya banyak sekali printilan-printilan fakta mencengangkan mengenai kesuksesan yang dijabarkan Malcolm Gladwell dalam Outliers ini. Selain faktor ‘semesta mendukung’ dan ’10.000 jam terbang’, ternyata ada faktor lain yang turut menentukan kesuksesan seseorang, terutama dalam hal keuletan dan ketangguhannya. Apa itu? Faktor tersebut adalah faktor latar belakang budaya dan latar belakang historis keluarga. Jika saya jabarkan satu-satu dengan panjang lebar, tentu akan semakin membosankan jadinya postingan ini.
Maka, bagi yang penasaran, lebih baik baca Outliers dari awal sampai akhir. Saya berani bertaruh, kalian akan jatuh cinta berat dengan buku ini karena penyajiannya yang sangat membuka wawasan dan tidak membosankan. Ya, tentu saja tidak seperti buku diktat kuliah yang banyak bertebaran kutipan menjengkelkan seperti ini;
Menurut Spears (2009) bahwa blahblahblah dalam blahblahblah merupakan blahblahblah (dalam William, 2012).
Kemudian ingat skripsi. Ah, sudahlah...
Tentu saja, dibanding membaca buku diktat kuliah, apalagi jurnal ilmiah bahan skripsi, lebih betah membaca seribu lembar buku nonfiksi semacam Outliers ini, kan?
Halah, tenane, Rif? :p
Yup, buku ini sangat inspiratif sekali. Terutama di bab ‘Kaidah 10.000 Jam’ itu, sungguh menampar saya sekeras-kerasnya.
Saya tertampar, Mas! Saya tertampar! *mulai drama, lalu gaje*
Ternyata, memang saya perlu usaha lebih keras, lebih giat, lebih ulet, dan lebih pantang menyerah lagi untuk menggapai apa yang saya inginkan di masa depan kelak. Mumpung masih 21 tahun juga, pikiran masih cemerlang, mana jomblo pula, kapan lagi mengeksplorasi diri sebesar-besarnya hingga akhirnya menemukan kebermaknaan hidup dalam sebuah kepuasan menjadi ‘berarti’ sebagai makhluk eksistensial hablablablah…. *lalu otak mulai korslet*
Hmm… daripada postingan ini semakin nggak jelas juntrungannya, lebih baik saya akhiri saja. Sampai jumpa di postingan selanjutnya… :)
[source]

Rabu, 09 Maret 2016

[Edisi KKN] Satu Atap 45 Hari

16:00 2 Comments
Warning: Tulisan ini (mungkin) berisi aib sejumlah orang. Bagi pembaca yang merasa namanya tercantum, berbahagialah. Hanya orang-orang keren yang namanya bisa masuk di blog ini.

Cepat sekali rasanya, tiba-tiba saja sudah berada di pertengahan Maret. Pun, sebagai penanda dua bulan sudah blog ini tidak terisi postingan barang satu pun. Baru kemarin juga rasanya sibuk ke sana kemari mengurus persiapan KKN hingga terdampar di sebuah desa paling timur di Kabupaten Klaten. Padahal, sudah lebih dari berminggu-minggu lalu juga kami ditarik dari desa tersebut, kembali ke habitat masing-masing, menjalani rutinitas semula, serta menghadapi realita yang melambai-lambai di pelupuk mata (baca: SKRIPSI).
Well, meskipun pada awalnya saya memandang bahwa KKN sama sekali tidak penting, membuang-buang waktu mengerjakan skripsi, dan segala keluh kesah saya tempo lalu. Akan tetapi, paradigma saya pun langsung berubah 180 derajat ketika sudah terjun dan mengalami KKN secara langsung. Sebagai seorang INFJ yang filosofis dan meaning-seeker terhadap segala sesuatu, tentu saja selama masa-masa tersebut pikiran saya terus mencari-cari makna yang terkandung dalam kegiatan tersebut (Halah, opo, Rif?). Banyak sekali makna yang saya dapatkan, hingga akhirnya pun saya menikmati segala prosesnya dengan senang hati. Sebenarnya, bukan perkara pencarian makna saja, sih, ada faktor lain yang turut membuat saya betah sekali menenggelamkan diri dalam kesibukan KKN hingga lupa dengan kehidupan-kehidupan lain yang saya jalani (Well, memang terdengar berlebihan, tapi ini kenyataan. Hahaha). Salah satu faktor itu adalah teman-teman satu kelompok saya yang seru, kompak, dan asyik.
Yup, sejujurnya saya adalah tipe orang yang tidak gampang mingle dengan sekelompok orang banyak. Lain halnya apabila orang-orang tersebut satu frekuensi dengan saya. Meskipun berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, namun rasanya masing-masing dari kita punya konektivitas radar yang seirama. Halah. (Okay, bahasanya terlalu ‘ehem’, mungkin ini efek kebanyakan baca bukunya Malcolm Gladwell)
Ngg… intinya, sih, di postingan kali ini saya berusaha kembali menyusun kepingan-kepingan memori saya selama KKN. Salah satu yang tidak akan saya biarkan menguap begitu saja adalah tentang teman-teman sekelompok KKN. Lalu, siapa sajakah mereka? Check this out!
Hmm... adanya foto yang ini. Sayangnya saya keliatan kucel
Part 1: The Lonely Guys (dari kiri ke kanan)
1.    Galang Perwira
Leader-nya kelompok kami ini biasa dipanggil Galang, bisa juga dipanggil Pak Kordes, akronim dari Koordinator Desa. Mahasiswa Ilmu Komunikasi ini memang memiliki kemampuan komunikasi yang paling memadai dibanding kami semua. Cowok yang ngaku mirip Stefan William KW Super ini lumayan banyak fansnya, terutama dari kalangan anak-anak cewek SD Sidowarno. Kebiasannya selama KKN yang kadang membuat cewek bergidik adalah ketika dia mengucapkan ini:
“Cantik, makan, yuk!”
“Cantik, cepetan keluar, dong! Jangan di kamar terus!
Hahaha. Alhamdulillah-nya tidak sampai bilang gini: “Cantik, nikah, yuk!” (#krik). Okay, penulisnya minta digampar kayaknya, sudah durhaka mengata-ngatai senior.
Meskipun begitu, Pak Kordes tetaplah Pak Kordes. Kemampuan komunikasinya yang lebih mumpuni dibanding kami semua telah berhasil menyatukan kami menjadi makin kompak dan solid satu sama lain. Saya akui, kemampuan persuasifnya bagus sekali.
2.      Andi Cahyono
Biasa dipanggil Andi atau Cahyono, tapi lebih sering dipanggil Cahyono. Cowok yang ngaku-ngaku mirip Aliando ini memang ternyata agak mirip Aliando (#krik). Termasuk salah satu personil The Lonely Guys yang juga banyak fansnya, lagi-lagi dari kalangan anak-anak cewek SD yang centil itu. Haha. Salah satu kelebihannya yang disukai para cewek (terutama Tya) adalah bertanggungjawab dalam menyelesaikan tugas. Selain itu, kelebihan mahasiswa Peternakan ini adalah selalu bangun lebih pagi dibandingkan teman cowoknya yang lain, terutama ketika ada jadwal ngurusin kandang. Awal kenal Andi ini memang orangnya tampak kalem dan good boy banget, tapi semua berbeda ketika KKN dimulai….
3.      Anang Adi Susila
Teman satu fakultasnya Andi namun beda jurusan ini, entah mengapa dijuluki Pak Bowo oleh Tya dan Rima. Anang ini orangnya kadang-kadang tampak pendiam tapi kadang-kadang juga bisa cerewet. Partner piket hariannya Nita ini memang agak nggak doyan sayuran, jadi kadang-kadang cewek-cewek kebingungan harus masak makanan macam apa. Hehe.
4.      Ijokio Harto
Lelaki ini paling cerewet di antara temannya yang lain. Biasa dipanggil Ijo, tapi pernah memperkenalkan dirinya sebagai Kio. Hahaha. Suka banget ngajak ngobrol, terutama ngajak ngobrol cewek. Dia juga salah satu oknum yang tiba-tiba saja manggil saya Hayati pasca nonton Tenggelamnya Kapan van Der Wijck. Huft. Sering juga salah sebut nama orang dan ganti-ganti nama orang sesuka hati. Meskipun begitu, ternyata Ijo ini agak pemalu ketika dihadapkan dengan cewek cantiks bingits. Hahaha. Ya, begitulah…
Part 2: The Alpha Girls! (dari kiri ke kanan)
1.      Ifni Farida
Gadis yang lemah lembut ini memang yang paling gampang dekat dengan para personil boyband The Lonely Guys, karena memang asyik buat diajak ngobrol. Awal KKN, teman satu jurusan Uul ini memang sering banget digodain oleh Ijo sampai saya kasihan lihatnya. Hehehe. Selain itu, cewek asli Magelang ini juga seorang movie buff, terbukti dengan laptopnya yang penuh sekali dengan koleksi film dan selalu update! Semacam rentalan DVD gitu.
2.      Nurul Widowati
Cewek yang biasa disapa Uul ini meskipun kelihatan paling kecil, tapi paling berpengalaman dibanding personil girlband The Alpha Girls lainnya. Terutama dalam urusan percintaan (#eaaaaa). Selain urusan percintaan, mahasiswi Planologi ini juga mahir sekali dalam urusan masak-memasak. Pokoknya semua tetek bengek dunia kerumahtanggaan Uul sudah jago 100%. Kalau ada Uul, penghuni posko tidak akan khawatir dengan urusan perut. Hehehe.
Uul juga punya wawasan yang cemerlang dan ide-idenya sungguh brilian, menurut saya. Terbukti, dia pandai mengkritisi dan memberi masukan setiap program-program yang kami jalankan. Kalau dalam Psikologi Sosial, orang semacam Uul ini sering disebut sebagai The Devil’s Advocate. Meskipun istilahnya gitu banget, namun kehadiran mereka sangat berarti bagi keberlangsungan kelompok. Terkadang kita memang perlu membuka mata, bahwa dalam setiap hal tentu tidak melulu sempurna. Perlu seseorang yang bisa menyadarkan setiap anggota kelompok bahwa ada hal-hal yang perlu diperbaiki. Begitulah…
3.      Rima Astika Dewi
Biasa dipanggil Rima, bisa juga dipanggil Princess (baca: FRINSES, dengan ‘P’ yang diganti dengan ‘F’). Nona satu ini lumayan hits di Sidowarno, terbukti dengan banyaknya jejaka Sidowarno yang minta pin BBM-nya. Salah satunya adalah Mas Arjuna Mandala Putra yang ganteng itu. (Halah!) Namun, ternyata hati Rima tidak terpaut sepenuhnya oleh Mas Juna. Ada lelaki lain yang berulangkali dikode, namun tak kunjung peka! Pasti kamu, kan? Iya, kamu! Malah nengok (-___-). (#krik)
Meskipun kadang tampak sangar dan frontal kalau ngomong, calon desainer interior ini sangat humoris. Saya kadang-kadang susah membedakan antara dia sedang bercanda atau sedang frontal (tratatakdungcess…) Hehehe.
4.      Nita Tri Wahyuni
Biasa dipanggil Nita atau Bu Bos. Kenapa Bu Bos? Karena Nita adalah sumber kehidupan, dialah yang mengendalikan arus keuangan urusan perut. Hehehe. Mahasiswi Pendidikan Kimia ini memang cerminan wanita muslimah banget. Bahkan, kadang saya ngerasa kalah jauh sama dia. Proses hijrahnya untuk bisa jadi dia yang sekarang ini, saya akui sungguh keren. Nita juga orangnya asyik diajak ngobrol, karena kalau ngobrol sama dia selalu berkualitas kontennya. Selain itu, penggemar Daehan-Minguk-Manse ini adalah orang yang selalu saya repotin ketika di KKN, terutama urusan transportasi. Hehehe. Makasih banyak ya, Nit… :3
5.      Tya Astriyani
Cewek penyuka drama Korea beserta soundtrack-nya ini memang soulmate-nya Rima banget. Biasanya, mereka berdua sering mojok berdua di teras posko sambil haha-hihi curhat-curhatan. Lalu, ketika mereka berdua asyik bercurhat ria, datanglah Mas Juna (jengjeng!). Jadilah, mereka… buka forum curhat berjamaah.
Gadis yang jadi partner jadwal masak dengan saya ini memang helpful banget. Dengan ringan tangannya, Tya siap membantu segala kesulitan dan kesusahan teman-temannya. Sampai ada teman cowoknya yang patah hati karena habis diputusin pacarnya, lalu butuh pacar segera, langsung Tya turun tangan mencomblangkan si teman cowok-fakir-asmara itu ke temen ceweknya. Like an angel, kan?
6.      Saya
Biasa dipanggil Rifa, Mbak Ipeh, Mbak Mus, Hayati, dan panggilan lainnya yang saya nggak habis pikir. Pekerjaan rutin selama KKN adalah tukang gedor-gedor pintu kamar setiap Subuh. Sekian dan terima kasih. :D
Yup, itulah berbagai deskripsi ngocol teman-teman satu atap saya selama 45 hari KKN di Sidowarno. Mungkin, jika ada salah satu pembaca yang namanya tercantum dan tidak berkenan dengan deskripsi di atas, saya mohon maaf dengan sebesar-besarnya. Sejujurnya, tulisan ini bukan bermaksud mengata-ngatai, ini murni kekangenan saya kepada kalian semua.
Ceilah… mulai baper
Jadi, kapan kita mau kumpul lagi? Kapan mau makan bareng di warung sambil haha-hihi lagi? Kapan juga sekadar saling menyapa lantas mengejek satu sama lain?
Jangan lupa, kalau wisuda, kabar-kabar ya…
Jangan lupa, kalau nikah, undang-undang juga ya…
Selamat melanjutkan hidup dan studi masing-masing. Semoga kita tetap selalu saling ingat satu sama lain, meskipun jarak dan waktu semakin merentang jeda di antara kita.
Kalau diteruskan, tulisan ini bakal berubah menjadi semakin melankolis.
Okay, cukup sekian tulisan ini dibuat. Sampai jumpa di postingan selanjutnya… :)
Although KKN is over, our friendship will lasts forever
Wuu... wajahnya pada awet muda semua XD

Dua cowok di depan adalah tukang ngerecokin cewek yang lagi foto -_-