Rabu, 30 Agustus 2017

[Booktalk] Supernova #6: Inteligensi Embun Pagi

19:19 0 Comments
Warning: This post may contain some spoilers. Beware of your choice. Once you read it, there’s no way back! Hahaha

[source]
Sengaja nggak kasih judul book/novel review, karena postingan ini sebagian besar akan berisi komentar, keresahan, dan unek-unek saya mengenai seri pamungkas Supernova ini. Sengaja pula saya bikin postingan tersendiri khusus untuk buku ini–padahal biasanya saya hanya puas nge-review buku sebatas di akun Goodreads saja–karena buku ini hampir lumayan menyedot sebagian besar perhatian saya.
Baiklah, mungkin lagi-lagi saya terhitung sangat terlambat baca Inteligensi Embun Pagi yang hype-nya sudah lewat setahun lalu. Saya pun sebenarnya juga sudah beli bukunya setahun yang lalu. But whatever, yang penting saya sudah kelar baca bukunya. Hehehe.
Usai membaca seri terakhir ini, membuat pikiran saya berkelana ke masa-masa ketika saya tertarik melahap lima seri Supernova sebelumnya. Apalagi ketika saya membaca review dan rate para Goodreaders yang tergabung dalam Barisan Pembaca Sakit Hati. Sebagian saya memang setuju, tapi sebagian lain tidak. Anyway, saya nggak sakit hati atau kecewa dengan IEP. Sungguh. Secara umum, saya puas. Sayangnya, masih banyak gelembung tanya yang belum tuntas dipecahkan dalam IEP.
Teringat masa-masa berkenalan dengan serial Supernova saat kuliah dulu. Saat itu, saya langsung baca seri kelima, Gelombang, gara-gara tertarik ikut sebuah event menulis review. Saya pun langsung suka dengan gaya tulisan Mbak Dee Lestari. Hingga akhirnya saya buru-buru pinjam seri paling pertama Supernova; Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Well, KPBJ pun sukses membuat saya terpicu membaca ketiga seri lainnya; #2 Akar, #3 Petir, dan #4 Partikel.
Antusiasme saya makin memuncak manakala Inteligensi Embun Pagi rilis. Dari awal, saya memang tidak pernah meletakkan ekspektasi apa-apa atas seri terakhir ini. Sederhana saja, saya hanya ingin membayar rasa penasaran dengan menyelesaikan seri terakhir ini. Bahkan, saat saya membaca IEP pun saya meniatkan membaca-untuk-hiburan, bukan untuk menilai. Namun, secara tidak sadar, tentu saja kegiatan membaca-tanpa-menilai kedengaran mustahil bagi saya. Semakin diabaikan, malah semakin kentara rasa yang mengganjal.
Seperti yang sudah saya tulis di atas, secara umum saya puas dengan IEP. Sebagian besar rasa penasaran saya atas kelima buku sebelumnya sudah berhasil terjawab di sini. Apalagi di bab-bab terakhir, seperti menonton film aksi dengan visualisasi yang jernih dan nyata. Saya bahkan bisa mengimajinasikan adegan-adegannya dengan sangat jelas. Sejelas menonton film sungguhan.
Jika kalian juga membaca Supernova dari buku pertama, mungkin akan terlihat sangat signifikan perbedaannya. Apa yang dibahas di KPBJ memang jauh sekali dengan apa yang dibahas di IEP. KPBJ lebih kompleks, rumit, dan cenderung filosofis. Pun, dibumbui dengan teori fisika njelimet. Bagi yang nggak kuat, mungkin akan menyerah ketika membaca seri ini. Sedangkan IEP, lebih cenderung teknis dan kelihatan berusaha keras membuat persinggungan kehidupan antartokoh di buku-buku setelah KPBJ.
Sejak saya bersinggungan dengan KPBJ, saya tahu bahwa Supernova bukan sekadar novel fantasi biasa. Itulah mengapa saya antusias membaca keseluruhan serinya hingga IEP. Meski migrain dengan istilah-istilah yang membuat saya dalam mode roaming, namun makna tersirat yang tersaji dalam novel tersebut sukses menarik saya menyelam semakin dalam. Benar-benar salah satu jenis novel yang bikin saya berkontemplasi lumayan lama pasca membacanya.
Saya menyadari, sebagaimana review dari Barisan Pembaca Sakit Hati, bahwa gaya bahasa di KPBJ dengan seri-seri setelahnya sangat berbeda. Jika menurut pembaca mainstream, gaya bahasa di KPBJ sungguh tidak ‘manusiawi’. Lebih mirip makalah hasil penelitian disertasi dibanding novel fantasi. Sedangkan para pengagum KPBJ berpikir sebaliknya. Supernova tidak seharusnya ‘menurunkan’ diri dengan berusaha ‘nge-pop’ di seri-seri setelah KPBJ.
Well, saya sih tidak ambil pusing perihal gaya bahasa yang mirip makalah disertasi atau gaya bahasa nge-pop. Selama kualitas cerita masih tetap terjaga, style apapun yang dipakai bukan masalah besar. Namun, sebagaimana komentar Barisan Pembaca Sakit Hati yang dengan kecewa saya setujui, seiring dengan pertambahan seri, nyawa yang berhasil penulis tiupkan dalam KPBJ perlahan terkikis. Kulminasinya ada di IEP.
Dengan berat hati saya merasa makna filosofis yang sudah terbangun sedemikian rupa, runtuh satu persatu. Saya pun merasa kehilangan muatan filosofisnya ketika menyentuh IEP. Supernova pun berubah menjadi novel fantasi biasa ketika dipungkasi IEP.
Jauh dalam lubuk hati, saya tidak bisa menyangkal selama membaca IEP saya berusaha mencerna dan mencari-cari. Sayangnya, saya tak kunjung menemukan. Entah memang hanya diselipkan sedikit hingga saya kurang menyadarinya atau memang benar-benar secara nggak sengaja telah dilenyapkan. Jujur saja, saya menunggu-nunggu pemahaman kontemplatif saya disempurnakan di IEP. Saya juga menunggu-nunggu aroma filsafat ekstensial kembali menyeruak sebagai resolusi di novel penutupnya.
Saya pikir, mungkin saja perubahan-perubahan tersebut terjadi karena banyak alasan dan faktor. Salah satunya adalah mengenai ‘rumah’ yang dinaungi oleh serial Supernova kini. Jika kalian pembaca Supernova garis keras, mungkin sudah tahu bahwa cetakan pertama KPBJ bernaung di bawah penerbit independen. Hingga kemudian ketika Supernova makin tenar, rumah mereka pun berpindah pada penerbit mayor. Penerbit mayor means menyesuaikan selera pasar.
Ah, mungkin saja saya memang agak sok tahu. Namun, jika dikait-kaitkan bisa jadi ada hubungannya juga. Saya mengira perubahan gaya tersebut dilakukan supaya serial Supernova bisa menyasar segmen pembaca yang lebih luas. Jika sasaran pembaca semakin luas, tentu kepopuleran Supernova semakin meroket sehingga mendulang keuntungan berlimpah bagi ‘rumah’ keduanya.
Saya tegaskan sekali lagi, perubahan gaya bahasa bukan hal yang buruk-buruk amat. Sejujurnya, saya pribadi sungguh bersyukur karena dengan bahasa yang lebih ‘merakyat’ membuat otak saya yang cetek ini bisa lebih mudah mencerna dan saya jadi nggak perlu susah-susah buka KBBI atau googling istilah-istilah rumit. Hehehe.
Selain itu, ada hal lain lagi yang agak mengganjal bagi saya mengenai penokohan di IEP. Lagi-lagi, dengan berat hati, saya juga menyetujui pendapat Barisan Pembaca Sakit Hati. Saya setuju kalau karakter Reuben, Dimas, dan Ferre yang di awal ‘kelihatan’ tampak vital peranannya, berubah menjadi hanya tokoh figuran pelengkap di IEP. Apalagi si Bintang Jatuh. Padahal saya menunggu-nunggu kemunculan gamblang tokoh Bintang Jatuh ini. Sayangnya, tokoh ini di IEP hanya digambarkan sebagai sebuah entitas yang samar, hampir serupa mimpi penuh khayalan. Saya sedih :(
Saya juga merasa kalau karakter yang awalnya kelihatan nggak terlalu penting–sebut saja Gio–peranannya jadi sangat penting banget di IEP ini. Bahkan malah dijadikan Sang Juru Selamat. Selain itu lagi, karena saya #TimElektra, saya jadi sedih kenapa karakter Etra di IEP jadi semacam tukang bawa sial. Hiks~
Ah, meskipun agak sedih, mungkin saja hal tersebut memang sengaja dilakukan oleh Mbak Dee Lestari supaya IEP punya ending yang nggak ketebak. Mungkin saja, kan? Urusan tokoh mau diapain, sebagai pembaca saya sih manut saja sama penulisnya~
Anyway, tidak semua komentar Barisan Pembaca Sakit Hati saya setujui seratus persen. Bahkan, ada review salah satu pembaca yang bikin saya agak kesel. Entah mungkin ingin pamer bacaan atau bagaimana, si pembaca ini dengan absurd-nya menggunakan karya Leo Tolstoy, War and Peace, sebagai pembanding IEP. Well, di situ saya merasa ingin bilang; “Yha, elu ngebandinginnya jomplang! Itu kayak lu ngebandingin Dear Nathan sama Anna Karenina. Ya, Lord!”
Baiklah, memang saya tidak (atau belum) pernah membaca karya Leo Tolstoy satu pun, apalagi War and Peace. Otak saya memang nggak kuat baca sastra klasik yang berat-berat. Apalagi masih dalam terjemahan Inggris, belum ada versi Indonesianya. Lha wong baca A Brief History of Time-nya Stephen Hawking yang versi Inggris aja saya megap-megap. Bisa muntah darah kalau saya baca sastra klasik versi bahasa Inggris. (Oke, ini memang rada lebay)
Hmm, jujur saya lumayan nggak habis pikir dengan tukang pembuat-perbandingan-nggak-masuk-akal seperti si pembaca itu. Kurang bijaksana saja, menurut saya. Banyak elemen-elemen yang sudah jauh berbeda dari karya di atas. Selain soal kedalaman makna dalam kedua karya tersebut, latar belakang pemikiran penulis dan rentang masa ketika kedua karya tersebut dibuat memengaruhi aspek psikologis dalam suatu karya.
Gampangnya begini, menurut sepemahaman saya yang dangkal ini, kurang bijaksana apabila membandingkan novel klasik dengan novel masa kini. Kenapa? Karena masing-masing mereka dibuat pada latar masa yang berbeda. Masing-masing dari mereka dibuat oleh penulis yang hidup di masa yang berbeda dan tentu saja memengaruhi perbedaan perasaan dan pemikiran ketika suatu karya tersebut dibuat. Mengutip tulisan seorang pecinta buku yang pernah saya baca di Line; “Toh, suatu hari nanti, karya masa kini akan menjadi karya klasik pada waktunya”. Tentu saja, hanya beberapa karya masa kini berkualitas yang akan menjadi karya klasik di masa depan. Ini pendapat saya, mungkin saja kalian berbeda.
Entah mengapa, postingan ini makin lama jadi mbleber ke mana-mana~
Well, seperti yang sudah saya tulis paling awal, postingan ini hanya berisi keresahan dan unek-unek saya seputar serial Supernova. Terlepas dari kekurangan dan protes kanan-kiri dari Barisan Pembaca Sakit Hati, saya tetap merekomendasikan kalian untuk membaca Supernova dari KPBJ hingga IEP. Terutama bagi pembaca genre fantasi yang tidak ambil pusing dengan segala tetek bengek unsur intrinsik di atas dan menggunakan kegiatan membaca sebagai hiburan semata.
Cukup sekian postingan dari saya. Apabila tulisan ini kurang berfaedah, ambil yang faedahnya saja (?)
Terima kasih~
Sampai jumpa di postingan selanjutnya~