Selasa, 28 Februari 2017

# Ocehan

Belajar Kehidupan dari Webtoon

Beberapa minggu terakhir ini saya sedang gandrung baca komik di Line Webtoon. Awal Webtoon booming, saya nggak begitu tertarik. Hingga suatu hari, Line Today pun menampilkan beberapa cerita di Webtoon yang lagi populer. Akibat suwung dan kurang kerjaan, saya iseng-iseng baca Pasutri Gaje dan Eggnoid yang authornya orang Indonesia. Banyak yang bilang kalau dua judul ini punya cerita menarik. Setelah baca beberapa episode, saya pun ketagihan. Saya suka banget sama gambarnya yang mirip manga Jepang. Cakep! Hehehe.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai cari-cari cerita lain yang––menurut saya––bagus, hingga saya pun nyangkut di Spirit Fingers. Baca beberapa episode, saya ketagihan juga. Hal tersebut berlanjut dengan beberapa judul lain seperti Lookism, Girls’ World, Ghost Path, dan Creep. Bagi penggemar komik horor saya merekomendasikan Ghost Path karena sound effect-nya menegangkan dan bikin deg-degan maksimal!
Anyway, ketiga judul yang saya sebutkan di atas––Spirit Fingers, Lookism, dan Girls’ World––sukses membuat saya baper. Sebenarnya, ketiga judul tersebut punya tema cerita yang hampir mirip, namun karena pesan ceritanya sangat kuat, sukses bikin saya enggan berhenti di tengah-tengah. Saya bahkan bisa nangis banjir dan merasa relate dengan konflik yang dialami tokoh-tokohnya. Jarang banget saya bisa nangis baca komik, lho. Mungkin memang karena beberapa pengalaman dan konflik para tokohnya pernah saya alami juga.
Spirit Fingers [source]
 Konflik yang dialami Song Woo-yeon di Spirit Fingers, misalnya. Saya merasa kayak ngaca karena tokoh Song Woo-yeon hampir mirip saya banget. Cupu, buruk rupa, pesimis, rendah diri, merasa tidak berguna in everything, mirip banget dengan saya ketika masih pelajar dulu. Bahkan, konfliknya pun sama banget! Song Woo-yeon punya sifat seperti itu akibat dari perlakuan ibunya yang gemar merendahkan kemampuannya. Ibu Song Woo-yeon sebelas duabelas lah sama ibu saya. Salah satu tipe orangtua yang merasa tidak puas dengan kehidupan masa lalunya sehingga dilampiaskan kepada anaknya. Pokoknya anak harus belajar setiap hari termasuk hari libur, harus ranking satu, dan persetan dengan bakat atau hobi yang nggak ada hubungannya dengan akademik. Hal-hal itulah yang bikin saya merasa relate dengan Song Woo-yeon dan berasa pengen bilang; “I feel youuu!”
Hingga akhirnya, Woo-yeon bertemu klub menggambar Spirit Fingers dan menemukan jati dirinya di sana. Meski kadang harus sembunyi-sembunyi karena ibunya bakal ngomel kalau menggambar itu sama sekali nggak berguna dibandingkan belajar matematika. Saya kadang gedek juga kalau Woo-yeon harus diomeli ibunya yang super menyebalkan itu. Huft! Apalagi kalau ibunya Woo-yeon sudah nyangkut ke kekerasan verbal dengan mengatai fisik anaknya yang nggak menarik dan otaknya yang nggak sepintar saudaranya. Duh, lagi-lagi saya merasa kalau Song Woo-yeon adalah cerminan saya banget. Hiks.
Girls' World [source]
Sama halnya ketika saya baca Lookism dan Girls’ World. Kedua cerita tersebut berkisah mengenai perjuangan tokoh utama dalam menghadapi peer group bullying. Duh, kalau berbicara mengenai bullying rasanya seperti sedang mengorek-korek luka masa lalu. Seperti di Lookism, saya juga pernah mengalami bullying verbal yang merendahkan fisik. Bedanya, kalau di Lookism lebih parah, karena tokoh utamanya cowok dan konfliknya lebih banyak melibatkan kekerasan fisik. Konflik di Girls’ World pun juga pernah saya rasakan yaitu berupa pengucilan sosial oleh peer group.
Waktu SD saya gendut, keling, kribo, dan jelek. Badan saya yang bongsor dan tidak seperti anak normal pada umumnya menjadi bulan-bulanan beberapa teman cowok sebaya saya. Ditambah lagi gigi saya yang mirip kelinci ini. Semakin paripurnalah keburukrupaan saya ini. Akibatnya, sedikit banyak saya tumbuh menjadi seseorang yang kurang percaya diri–terutama masalah fisik. Ah, sayang dulu saya belum kenal Felicity Jones yang cantik itu, sih.
Meskipun kesannya merana banget, saya bukan anak yang lemah dan gampang menyerah dengan keadaan. Awalnya melankolis, namun kemudian berubah garang. Meskipun banyak teman sebaya yang membombardir dengan cap-cap buruk rupa, saya berhasil membela diri. Entah bisa dibanggakan atau tidak, biasanya saya menghampiri si perisak lalu mulai membalas perlakuannya. Bisa dengan menendang, memukul, mencakar, atau menjambak. Biasanya mereka lari terbirit-birit dan menyerah. Badan bongsor dan mirip gajah ini kadang ada untungnya.
Beruntungnya juga, saya masih punya Bapak yang bisa jadi tempat menumpahkan keluh kesah dan kesedihan. Setidaknya, Bapak saya masih lebih normal dibandingkan Bapaknya Woo-yeon yang jarang di rumah. Halah. Hahaha.
Lookism [source]
Ngomong-ngomong tentang Lookism, saya jadi tahu kalau bullying di Korea Selatan lebih kejam dibandingkan di Indonesia. Bersyukur banget hidup dan lahir di Indonesia, meskipun masih banyak yang suka menghina fisik, namun efek sosialnya nggak sekejam di Korea sana. Sebagaimana realita yang kita tahu, kultur budaya Korea yang menjunjung tinggi penampilan fisik memang sama sekali tidak ramah bagi mereka yang terlahir tidak menarik. Sehingga jalan satu-satunya adalah melakukan operasi plastik sebagai upaya mendapatkan kemudahan dalam kehidupan sosial (termasuk menghindar dari bullying). Bagi yang kurang beruntung, apalagi kurang mendapatkan dukungan sosial, bisa saja mengalami mental breakdown yang berujung depresi dan bunuh diri.
Sekuat apapun korban bullying menghadapi perisakan, luka psikologis tersebut akan tetap membekas selamanya. Efek yang ditimbulkan bahkan bisa jangka panjang; pembunuhan karakter. Ibarat besi, sekuat apapun tampaknya, kalau dihantam berbagai macam benda secara bertubi-tubi tentu bakal meninggalkan bekas penyok juga. Meskipun si korban bullying sekarang tampak baik-baik saja, namun jauh di dalam dirinya they are struggling for their fears.
Ketiga Webtoon di atas, selain mengritik betapa tidak manusiawinya perilaku para tukang risak, juga membawa pesan-pesan kehidupan. Lookism membawa misi don’t judge a book by its cover, Spirit Fingers mengajak untuk tidak terus terpuruk merutuki kekurangan diri, dan Girls’ World berpesan bahwa dukungan sosial adalah obat dari segala kesedihan dan keterpurukan. Poin besar yang juga perlu digarisbawahi adalah jangan menyerah dan terus berjuang dalam menghadapi segala tantangan kehidupan.
Sebagian besar ceritanya yang bertema konflik peer group anak sekolahan sangat menggambarkan realita masa-masa kritis di usia remaja. Sebagai orang yang pernah mengalami masa remaja, saya juga merasakan betapa beratnya masa-masa itu. Belum dewasa dalam sisi emosionalitas, banyak mengalami konflik intrapersonal dalam menemukan identitas diri, serta kadang dibumbui konflik interpersonal teman sebaya yang menguras batin.
Itulah sebabnya, seseorang perlu mendapatkan dukungan yang besar pada masa-masa remajanya. Mereka yang sedang belajar kehidupan dengan segala dinamikanya sangat membutuhkan pendampingan dari lingkaran keluarganya. Apabila seseorang selalu mendapatkan dukungan dalam hal apapun selama masa-masa remajanya, maka masa depan kehidupan sosialnya akan mengalami improvement yang baik. Sebaliknya, apabila mereka hanya dibiarkan sendirian melalui masa remajanya tanpa dukungan, kehidupan sosialnya akan rentan mengalami kesulitan di masa mendatang. Ya, meskipun rada sok tahu, tapi postulat abal-abal di atas lahir dari analisis––yang juga abal-abal––kehidupan pribadi saya. Hehehe.
Selain tentang kisah-kisah manis persahabatan, ketiga Webtoon favorit saya juga ada bumbu-bumbu romance ala remaja yang lucu-lucu bego. Saya paling suka Spirit Fingers. Awal gabung di Spirit Fingers, Woo-yeon naksir berat dengan Blue Finger, hingga akhirnya datanglah anggota baru bernama Nam Ki-jeong alias Red Finger yang tukang boker tapi tampan bak model. Sebenarnya Woo-yeon nggak terlalu naksir sama Ki-jeong, tapi ternyata Ki-jeong yang malah naksir berat sama Woo-yeon. Haduh, kalau sudah masuk bagian Kijeong-Wooyeon langsung bikin ngakak parah. Ki-jeong adalah tipe cowok tampan-tampan bego nan menggemaskan. Impulsif tapi sok cool di depan Woo-yeon. Saya jadi berharap kalau Spirit Fingers juga dibikin versi dramanya. Pasti bagus. Bahkan saya suka bayangin kalau misal jadi drama, Nam Ki-Jeong should be Lee Jong-suk!
Ngg… saya juga berharap kalau Lookism dibikin dramanya. Park Hyung-seok versi ganteng harus diperanin Kim Soo-hyun. Atau Ji Chang-wook my luv juga boleh. Huehehe.
Ah, saya jadi kebanyakan mengkhayal oppa-oppa Korea gara-gara Webtoon, nih. Wkwkwk.
Hmm… kalau begitu cukup sampai di sini saja, deh, postingan nggak jelas ini. Saya sudah capek ngetik. Hehehe.

6 komentar:

  1. Ah saya juga suka beberapa Line webtoon :D

    BalasHapus
  2. Aku ngikutin beberapa webtoon tapi yang paling aku suka itu SF. Kijeong-Wooyeon itu... lucu. Aku suka banget sama mereka. Kijeong yang bodoh tapi kadang dia melakukan hal-hal di luar perkiraan kita dan itu langsung nyes baper bacanya. Kijeong juga membawa pengaruh baik banyak banget di hidup Wooyeon. Salah satu OTP fav aku :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama banget! Spirit Fingers itu webtoon yang selalu kutunggu2 setiap minggu. Ceritanya itu sweet-sweet lucu kadang bikin gemes sendiri. Kijeong emang tiada tandingannya 😊💗💖💗

      Hapus
  3. Hi, I just saw your blog by chance and read this post on webtoons. Tbh, I've been hooked on them as well, I love love Cheese in the Trap, Spirit Fingers and Wind Breaker. I'm always checking my phone for the latest updates. I haven't started on Lookism but I'm planning to read it soon.

    Oh, I do blog too, but I haven't really been writing much these days (though I've written a piece on anime). Please feel free to check out my blog: treadwithtine.blogspot.com


    Till you're next webtoon-related post :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi, mate! Sorry for late reply. Thanks for visiting my blog :)

      Hapus