Sabtu, 16 Agustus 2014

Semester Empat Penuh Cerita

09:09 0 Comments

“Serasa baru saja dibangunkan dari default masa remaja yang penuh dengan khayal serupa FTV dan drama Korea. Setumpuk novel pun sudah harus tergantikan andilnya oleh jurnal ilmiah dan buku tebal yang berat nan memusingkan”
Tahun-tahun berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin saya mengenakan baju putih abu-abu lantas tiba-tiba waktu pun bergulir dengan kecepatan lesatan anak panah hingga sampai pada penghujung akhir masa putih abu-abu. Saya harus menanggalkan seragam kesayangan saya, seragam yang menyimpan banyak kenangan selama masih berstatus sebagai siswi Sekolah Menengah Atas.
Saya pun tersadar, waktu terasa amat singkat. Saya sudah bukan lagi sebagai siswa sekolahan yang masih bergantung dengan tata tertib serta nasihat dari bapak-ibu guru di sekolah. Lulus SMA artinya kita telah memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi, universitas.
Universitas, tempat di mana tak ada lagi bapak-ibu guru mengingatkanmu sampai berbusa jika kamu melakukan kebandelan. Tempat di mana kamu sudah dianggap tahu dan paham akan apa itu salah dan benar, apa tujuan hidupmu di masa depan, serta apa konsekuensi yang kamu lakukan sekarang untuk masa depanmu kelak. Semua itu tercermin dari tak ada lagi seragam yang harus kita kenakan di universitas. Seragam itu telah tergantikan baju bebas. Bebas, namun masih tetap dalam aturan-aturan yang ada. Bebas yang berarti warna serta stylenya berbeda-beda tiap individu namun masih ada aturan tentang jenis pakaian yang digunakan. Peraturan tiap universitas berbeda-beda, bahkan kebijakan setiap fakultas pun berbeda-beda meskipun dalam satu universitas. Jangan dipikir di universitas bisa seenaknya pakai baju yukensi atau rok mini. Mau kuliah atau mau jual diri?
Ya, universitas atau perguruan tinggi. Tempat di mana kamu menemukan daya kritisimu semakin meningkat. Tempat di mana kamu mulai mempertanyakan segala eksistensi yang ada di muka bumi, bahkan mempertanyakan tentang keyakinanmu yang kamu anut sejak belia. Tak jarang akibat dari fenomena ini banyak mahasiswa yang mulai berpindah haluan karena merasa meragu akan apa yang telah lama dianutnya sejak lama.
Hei, tapi itu bukan semata-mata tempat saja yang menentukannya. Semua aspek-aspek perkembangan daya pikir serta psikologis, dari mulai berpikir abstrak sampai kritis, semua itu terjadi karena adanya tugas perkembangan. Tugas perkembangan masa dewasa awal sangat ditempa dalam kehidupan kampus yang serba kritis dan idealis. Tidak hanya butuh pemikiran logis tapi juga analitis. Tidak hanya pasif menerima mentah-mentah suatu informasi atau ide, namun juga perlu pandangan sedikit skeptis. Ya, daya pikir kita sedang berkembang pesat, mungkin bisa saja ini golden age periode kedua dalam masa perkembangan manusia.
Tertatih-tatih terseret oleh sang kala yang melesat sekedipan mata, tanpa sadar saya sudah berada di penghujung usia belasan. Penghujung usia belasan dengan segunung pelajaran berharga untuk menyongsong usia puluhan. Mulai menapaki masa dewasa awal dan menyadarkan diri bahwa kenyataan itu tak selalu indah seperti ketika masa kanak-kanak. Memasuki dunia kampus, terseret oleh arus kegiatan mahasiswa, berputar-putar dalam pusaran kegiatan akademis, terjebak dan terbelenggu oleh keinginan mendapatkan indeks prestasi yang gemilang.
"Ah, nyatanya lollipop dan seperangkat lego pun sudah tergantikan oleh pahitnya kopi tengah malam dan laptop yang menyala."
source: www.google.com
Puncak dari segala ke-hectic-an dunia kampus yang saya alami adalah di semester empat. Entah apakah akan ada klimaks-klimaks lain di semester selanjutnya. Semester empat mengajari saya bahwa hidup ini sudah serba cepat, tantangan ke depan semakin menghadang, bukan saatnya bersantai-santai dengan keadaan. Banyak hal yang saya pelajari, tak hanya di bangku kuliah, tapi di kehidupan luar yang lebih keras. Masalah bertubi-tubi yang serasa mencekik pikiran, menguras perasaan, dan menggumpalkan amarah, telah memberikan hamparan pelajaran sebagai bekal masa depan. Ah, ya, saya telah diseret dalam hiruk pikuk realita yang sebenarnya.
Rangkaian kisah asam manis lika-liku semester empat pun telah saya lalui selama lima bulan belakang. Mulai dari tugas yang serasa tak ada habis-habisnya sampai kegiatan lain yang banyak menyita energi fisik dan psikis. Langkah penuh keoptimisan di awal semester lambat laun mulai terabrasi dengan ketidakfokusan yang kian melanda batin. Tugas yang sebegitu banyaknya dan amanah yang masih senantiasa menggelayuti bahu rapuh saya membuat saya kurang fokus dalam menyelesaikan semuanya satu demi satu. Pikiran pun bercabang-cabang untuk menyamaratakan porsi supaya deadline tanggungan yang selalu bersamaan dapat diselesaikan tepat waktu. Namun nyatanya, saya harus mengorbankan salah satu hal karena mendahulukan prioritas utama. Tetap saya kerjakan, namun molor melebihi deadline yang diberikan. Saya merasa, separuh diri saya hilang saat itu. Ini bukanlah saya jika mengerjakan hal sampai melebihi tenggat waktu. Merasa sangat bersalah, tentu saja. Selama satu semester terkungkung oleh kecemasan dan perasaan yang sulit diejawantahkan. Saya mulai dijajaki rasa malas, kesal, benci setengah mati, sedih, takut, cemas, campur aduk tidak karuan. Stamina fisik saya menurun, saya sering kecapekan, pusing, terserang flu, mudah sekali stress dan pressure yang bertubi-tubi menurunkan sistem imun saya. Well, saya sedang mencoba beradaptasi dan menata raga supaya lebih kuat.
source; www.google.com
Rangkaian tugas dan kegiatan yang tak ada habis-habisnya membuat saya sering kena komplain orang tua saya karena terlalu malas dan capek mengerjakan pekerjaan rumah, terlambat menjemput adik di sekolah, quality time untuk sekadar membaca novel pun harus rela terenggut oleh saatnya mengerjakan tugas yang kian hari kian bertambah, dan juga waktu untuk menulis pun tersita sepenuhnya. Saya hanya mengupdate tumblr saya, itupun dengan tulisan ringan dan pendek yang tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya. Ide untuk memulai one shot story berulangkali bermunculan, namun jemari terasa kaku untuk merangkaikanya dalam untaian kalimat. Dunia serasa seperti doomsday karena merasa waktu-waktu saya kurang berkualitas tanpa menuliskan apa yang saya ingin tulis.
Apa enaknya, sih, menulis sesuatu karena paksaan bukan karena keinginanmu sendiri? Mau tidak mau menulis sesuatu karena itu merupakan tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan. Ah, ya, dan saya merasa hidup saya terpasung dalam kotak hitam yang tertutup rapat.
Eksperimen Lapangan di TK
Rangkaian tugas yang penuh warna-warni tersebut dimulai dari mata kuliah Psikologi Eksperimen. Mata kuliah yang banyak menyita waktu karena kami harus berkutat dengan praktikum laboratorium kemudian dilanjutkan dengan menulis laporan praktikum. Belum lagi nanti laporan praktikum harus direvisi oleh asisten dosen. Alhamdulillah, kelompok kami dibimbing oleh asisten yang bukan tipe aneh-aneh seperti asisten kelompok lain. Praktikum dilaksanakan sore hari pasca kuliah kemudian langsung dilanjutkan membuat laporan. Pulang melampaui waktu maghrib pun serasa hal biasa. Ah, ini mungkin terlihat masih mending bagi teman-teman lain yang saban harinya selalu berkutat dengan praktikum dan laporan seperti Kedokteran, Teknik, dan bidang ilmu rumpun IPA lainnya. Sedangkan kami, yang terlanjur terkesan santai di awal, tiba-tiba langsung dipaksa berlari cepat setelah terbangun dari tidur lelapnya. Selama empat minggu kami berkutat dengan praktikum lab dan revisi laporan, kami kira praktik sudah benar-benar usai. Ya, memang sudah usai untuk praktikum lab, tapi kemudian dilanjutkan praktikum lapangan! Lemas sudah rasanya badan ini. (Baca selengkapnya).
www.google.com
Selain itu, mata kuliah yang memiliki serangkaian tugas berurutan dan tak kalah padatnya adalah Psikodiagnostika II part Wawancara. Ya, mata kuliah yang juga didampingi oleh asisten ini memiliki rangkaian tugas yang serasa tak ada ujungnya. Mulai dari membuat guideline wawancara plus asistensi dengan segala revisi, kemudian praktek wawancara individual dengan sistem saling bertukar subyek wawancara. Jadi maksudnya seperti ini, saya dipasangkan oleh asisten dengan Tini, kami berdua diharuskan mencari subyek wawancara dari teman yang kami kenal kemudian menentukan tema wawancara sesuai dengan kondisi dari subyek tersebut. Saya mempunyai teman Tinah yang nantinya akan berperan sebagai subyek, sedangkan Tini menghubungi temannya yang bernama Prapti. Nah, pada saat hari H praktek wawancara, teman saya Tinah tadi diwawancarai oleh Tini, sedangkan saya mewawancarai temannya Tini, si Prapti. Terdengar ribet dan rumit, memang. (Baca selengkapnya).
Panitia Psychovison 2014
Selain dua mata kuliah keramat di atas, tentu ada kegiatan lain yang lebih fenomenal serta sensasional. Pada semester empat ini saya juga disibukkan oleh persiapan kegiatan seminar yang sangat menyita perhatian baik fisik maupun mental. Banyak konflik dan tekanan yang terjadi selama masa persiapan tersebut. Tapi, ah sudahlah, toh ini juga konsekuensi dari pilihan saya tempo lalu. (Baca selengkapnya).
Selanjutnya, momen yang menyongsong akhir semester empat adalah, menjadi panitia wisuda. Ya, tahun ini adalah jatah angkatan 2012 membantu prodi untuk melaksanakan wisuda kakak tingkat. Lagi-lagi, saya bergumul dengan padatnya tugas serta aktivitas yang kian menghimpit di penghujung semester empat. Pikir di awal, akhir semester akan lebih longgar karena tugas-tugas sudah menumpuk di pertengahan semester, nyatanya malah semakin bertambah menyesak akibat adanya ujian-ujian yang dirapel. Fiuh…
Suasana di area cafetaria 3030show
Nah, setelah acara wisuda tersebut, rasanya paru-paru sudah mulai dapat bernafas lega. Tugas dan ujian tinggal beberapa gelintir, liburan pun sudah di depan mata. Sebagai penutup semester empat, saya menyempatkan diri untuk menonton 3030show. Pertunjukan yang dilaksanakan di lapangan dekat keraton Mangkunegaran Solo ini merupakan show yang diusung oleh sebuah provider telepon seluler dengan produk andalannya, internetan 2 GB dan masa aktif 12 bulan. Berawal dari retweet-an following saya yang me-retweet akun twitter 3030 yaitu, @3030solo , saya pun iseng-iseng kepo timeline-nya. Tertarik, saya pun scrolling timeline, buka tab favorite, dan akhirnya menemukan link untuk melakukan registrasi via online. Saya juga berkoar-koar lewat grup angkatan di Whatsapp mengajak teman-teman seangkatan untuk jangan pulang kampung dulu sebelum menonton show ini. Banyak yang tertarik, kemudian beberapa dari mereka pun mendaftar via online. Acara tersebut berlangsung antara tanggal 19 – 25 Juni 2014. Jam pertunjukannya pun bisa kita pilih sesuai keinginan. Saya dan beberapa teman saya memilih pertunjukan hari Sabtu, tanggal 22 Juni 2014, pukul 19.00 – selesai, sekalian malam mingguan. (Baca selengkapnya).
Nah, itulah serentetan kegiatan di semester empat yang kemudian ditutup dengan kegiatan yang lumayan happy ending. Meskipun lelah, namun semester empat menyuguhkan kenangan dan momen-momen bersama teman-teman seperjuangan tak terlupakan. Sifat, tingkah laku, kelebihan dan kekurangan masing-masing individu pun menjadi semakin terlihat ketika menghadapi suatu kegiatan yang penuh tekanan. Justru dengan mengetahui kekurangan mereka lah yang memupuk toleransi dan rasa saling menghormati antar individu. Nobody’s flawless, right?
(Seperti halnya tulisan-tulisan saya sebelumnya, selalu menyajikan pembukaan yang terlalu panjang dan membosankan. Jangan berharap kalau saya menulis dengan bahasa yang tertata rapi seperti ini, strukturnya juga menjadi lebih tertata rapi dari sebelumnya. Sekali-kali belum! Saya masih belajar menulis, sebenarnya. Jadi, siapapun jangan anggap saya ahli atau pandai merangkai diksi liris seperti yang sering saya guratkan dalam tulisan-tulisan saya di tumblr. Sesungguhnya, saya masih perlu banyak belajar. Hehehe. Maka, tolong maafkan segala kekhilafan saya dalam dunia tulis menulis ini)

Jumat, 15 Agustus 2014

Psikodiagnostika II: Berkunjung ke Balai Rehabilitasi Sosial

20:20 0 Comments

“Tugas lapangan paling keren yang pernah saya lakukan. Bertemu orang dan mendengar kisah hidup mereka memberikan pelajaran berharga kepada saya tentang arti hidup yang sebenarnya. Seperti pengakuan seorang gadis belia yang harus terperosok ke dalam jerat lembah hitam dan kisah masa lalunya yang kelam”
Psikodiagnostika adalah mata kuliah wajib bagi mahasiswa Psikologi yang memberikan bekal keterampilan dasar bagi para calon Psikolog untuk melakukan asesmen kepada klien. Ada dua bagian dalam mata kuliah Psikodiagnostika ini. Pada semester tiga lalu kami mendapatkan mata kuliah Psikodiagnostika I yaitu Observasi, sedangkan pada semester empat kami mendapatkan Psikodiagnostika II yang mengulas tentang seluk beluk wawancara. Nah, pada semester empat ini karena mengulas tentang semua hal yang berkaitan dengan proses wawancara, maka saya akan bercerita tentang pengalaman saya menyelesaikan tugas wawancara dalam Psikodiagnostika II.
Sebelum memulai praktek wawancara, tentu sebelumnya kami telah mendapatkan sejumlah teori sebagai panduan untuk melaksanakan praktek sesungguhnya. Setelah sejumlah teori didapatkan, maka untuk benar-benar mematangkan teori, kami pun mendapatkan tugas pertama yaitu membuat guideline wawancara individual. Pada wawancara individual ini asisten menggunakan sistem saling bertukar subyek wawancara. Misalnya, saya dipasangkan oleh asisten dengan Tini, kami berdua diharuskan mencari subyek wawancara dari teman yang kami kenal kemudian menentukan tema wawancara sesuai dengan kondisi dari subyek tersebut. Saya mempunyai teman Tinah yang nantinya akan berperan sebagai subyek, sedangkan Tini menghubungi temannya yang bernama Prapti. Nah, pada saat hari H praktek wawancara, teman saya Tinah tadi diwawancarai oleh Tini, sedangkan saya mewawancarai temannya Tini, si Prapti. Ya, ribet sekali, memang. Hehe.
Setelah membuat guideline dengan serangkaian koreksi-revisi akhirnya tepat pada Sabtu, 26 April 2014 diadakan ujian praktek wawancara individual secara serentak. Saya mendapatkan subyek dari partner saya yang salah satu temannya memiliki fobia pada hewan. Sedikit lucu karena seseorang yang memiliki fobia hewan ini adalah laki-laki. Haha. Pada tanggal itu semua subyek wawancara diminta datang ke kampus kami dan kemudian diwawancarai. Yeah, tantangan baru bagi saya, mengajak ngobrol cowok yang notabene saya belum kenal sama sekali. Haduh, tepok jidat banget. Saya harus membangun rapport terlebih dahulu dengan interviewee supaya dia dapat membuka dirinya tentang masalah fobianya. Hehe. Yup, sebenarnya saya agak grogi karena saya belum pernah sama sekali ngajak kenalan duluan dengan cowok. Oke, karena di sini saya harus professional, maka mau tidak mau saya harus sok ramah, sok care, sok menyenangkan kepada cowok yang belum pernah saya kenal sama sekali. Padahal, tahu sendiri kalau saya orangnya jutek, pemalu, dan sok cool kepada cowok yang belum dikenal sama sekali. Hehe. 
www.google.com
Pada saat wawancara berlangsung saya menemukan fenomena bahwa cowok ini memang ngomongnya dikit banget. Maka, jurus kedua saya yang mau tidak mau harus saya keluarkan, harus cerewet dan harus banyak probing. Duh, saya merasa absurd kala itu karena saya harus ngalay dan sok humoris demi mendapatkan sebuah informasi yang nantinya harus dianalisa dan dilaporkan. Well, it’s okay, saya pikir. Bahkan pada saat saya mengecek rekaman wawancara saya, paling banyak di sana adalah suara saya. Saat wawancara pun saya sampai kehabisan bahan pertanyaan saking tidak tahu harus menanyakan apalagi, padahal waktu wawancara masih kurang dari 50 menit. Maka, saya pun mengeluarkan jurus ketiga, sok tanya kegiatan sehari-hari, kegiatan yang disukai, hobi, kegiatan orang tua, bahkan punya pacar atau enggak sampai saya tanyakan. Haduh, berasa aneh sekali pada saat itu -_-.
Anyway, sebenarnya sehari sebelum praktek wawancara saya terserang demam, saat hari H praktek pun sebenarnya saya belum sembuh benar, masih meriang dan pusing. Namun, saya tetap memaksakan diri saya karena tidak ada kesempatan lain kalau saya tidak masuk hari itu. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya hari itu, meriang dan pusing, harus ekstra kerja keras untuk menggali informasi. Fuuh… perjuangan sekali rasanya. Haha. Setelah wawancara usai, tentu saja kami memberikan tanda terima kasih berupa sekotak snack kepada para subyek yang telah bersedia meluangkan waktunya membantu kami. Setelah acara usai, saya pun cepat-cepat pulang ke rumah, sampai rumah meriang saya kambuh lagi. Tuh, kan….
Yup, itulah tadi sesi wawancara individual sebagai ujian praktek Psikodiagnostika II. Sudah lega? Belum. Masih ada satu lagi tugas wawancara, kali ini wawancara kelompok. Pada wawancara kelompok ini tantangannya semakin besar. Pada wawancara kali ini kami disuruh mencari fenomena sendiri, mencari subyek sendiri, dan membuat laporan plus verbatim wajib dilampirkan. Saat pembagian kelompok, saya mendapatkan teman seperjuangan antara lain, Reza, Naila (lagi), Jaqueline, dan Rizka, dan kelompok kami menyoroti kasus dalam ranah Klinis. Selama berhari-hari kami memikirkan fenomena yang akan kami soroti. Terkadang kami juga kurang fokus terhadap tugas kami yang satu ini karena tugas kuliah yang lain juga memerlukan ekstra perhatian dari kami. Akhirnya, setelah melalui hasil diskusi via Whatsapp maupun offline, serta bertanya dengan asisten, kami pun memutuskan untuk menyoroti fenomena Resiliensi pada Mantan PSK. Kami juga memutuskan akan melakukan wawancara di Balai Rehabilitasi Sosial Wanita Utama, Laweyan, Solo. Yup, balai rehabilitasi khusus untuk PSK yang terjaring razia.
www.google.com
Mengapa kami memilih Resiliensi dan mantan PSK di Balai Rehabilitasi Sosial? Berawal dari hasil observasi dan survei kami saat mengunjungi balai tersebut untuk pertama kali. Kelompok kami mewawancarai para pegawai balai tersebut tentang kasus-kasus yang ada di sana. Ternyata, setelah melalui perbincangan panjang, kami menemukan fakta bahwa banyak dari penghuni balai rehabilitasi tersebut yang mengalami stress dan depresi akibat tidak betah hidup di balai. Bahkan ada yang sampai masuk rumah sakit jiwa dan butuh penanganan psikolog maupun psikiater. Seram dan miris, tentu saja. Namun, dari semua kenyataan pahit itu, kami menemukan bahwa ada beberapa dari mereka yang pernah mengalami depresi namun tetap masih bisa survive sehingga dapat menjalani kehidupan normal dan mampu bekerja secara halal. Tidak banyak yang bisa bangkit dari keterpurukan seperti itu. Apalagi untuk mereka yang merupakan mantan PSK sekaligus juga pernah mengalami riwayat gangguan jiwa. Maka, dari fenomena itulah kami ingin mengetahui lebih mendalam, bagaimana cara mereka mampu menjadi survivor dari masa lalu yang teramat kelam, penuh cibiran dan anggapan miring dari masyarakat.
Pukul 09.00 pagi, hari Kamis 12 Juni 2014, kami berangkat bersama ke Balai Rehabilitasi Sosial, minus Rizka. Rizka terpaksa tidak ikut karena dia harus mempersiapkan kelompoknya untuk sidang eksperimen. Sampai di sana kami dipertemukan dengan dua orang yang memiliki riwayat sama. Mereka pernah mengalami depresi dan perasaan tidak betah tinggal di balai rehabilitasi. Kami yang berjumlah empat orang membagi tugas wawancara, setiap subyek diwawancarai dua orang. Tugas kedua orang tadi berbeda pula, salah satu mencatat perilaku non-verbal, sedangkan yang lain bertugas melontarkan pertanyaan. Reza dan Jaqueline bertugas mewawancarai seorang mantan PSK, sebut saja bu Inem, berusia sekitar 40 tahun. Sedangkan saya dan Naila bertugas mewawancarai seorang wanita yang usianya lebih muda, sebut saja Melati. (Nama yang ditampilkan di sini merupakan nama samaran untuk melindungi privasi subyek)
Kami diantar oleh pegawai balai rehabilitasi ke sebuah ruangan luas, seperti ruang pertemuan. Ruangan yang luas membuat kami leluasa mencari tempat untuk mengobrol. Saya dan Naila sengaja mengambil tempat terpisah agak jauh dari Reza dan Jaqueline.
(Warning: Pada bagian ini sedikit memuat konten dewasa. Hanya untuk 18 tahun ke atas!)
Melati, gadis belia asal Bantul, Yogyakarta, yang pada awalnya saya pikir berusia antara 17 dan 18 tahun. Setelah kami menanyakan identitas lengkap Melati, barulah kami mengetahui bahwa ternyata Melati masih berusia 15 tahun! Wajahnya memang terlihat lebih dewasa daripada umur biologisnya. Barulah saya tahu kemudian bahwa Melati memang memiliki kisah hidup yang teramat berat. Itulah sebabnya guratan kepahitan hidup terlukis pada garis-garis wajahnya yang membuatnya sedikit tampak lebih tua dibandingkan usia sebenarnya.
Ia mulai bertutur tentang kisahnya yang mengakibatkan dirinya bisa ‘terperangkap’ di tempat tersebut. Ya, bisa dibilang bahwa mereka – PSK yang terjaring razia – menganggap bahwa balai rehabilitasi merupakan tempat pemasungan hidup mereka. Mereka merasa bahwa di tempat itu mereka tidak bisa hidup ‘normal’ seperti sebelumnya. Seperti halnya yang dirasakan oleh Melati. Ia juga sering merasa bahwa hidupnya tidak sebebas dulu. Itulah mengapa kebanyakan dari mereka tidak kuat sehingga depresi berat dan mengalami gejala gangguan jiwa.
Beruntungnya kami, Melati adalah seorang yang kooperatif. Kami tidak perlu terlalu banyak mengeluarkan jurus untuk mencapai rapport yang baik, Melati bahkan dengan sangat terbuka menyatakan semua kisah masa lalunya. Namun, sempat terbersit keraguan dalam benak saya, apakah kiranya benar seluruh cerita yang dituturkan oleh Melati? Bahkan saya juga sempat mengira bahwa, ada hal-hal yang sengaja ia selimuti dengan tabir, semacam faking good. Ah, ya sudahlah, pikir saya saat itu.
Melati pun berkisah, awal mula kejadian yang merubah masa depannya hingga terdampar di tempat ini terjadi saat ia masih sekitar kelas 5 atau 6 SD. Melati tinggal bersama dengan kedua orang tua beserta dua kakak, lelaki dan perempuan. Kakak perempuan Melati sudah menikah, sehingga suaminya pun juga ikut menumpang hidup di rumah orang tua Melati. Melati mengaku bahwa pada usia itu ia merupakan gadis yang sedikit ‘centil’. Ia sudah mengenal apa itu kosmetik dan pandai menggunakan alat make-up. Akibat kesenangannya pada benda-benda pembentuk kecantikan artifisial tersebut, ia tentu saja membutuhkan banyak uang untuk memuaskan kegemarannya itu. Namun, jika ia harus meminta orang tuanya yang bukan orang kaya raya itu tentu tidak akan tercapai keinginannya.
Bagaikan pucuk dicinta ulam pun tiba, kakak iparnya (suami kakak perempuan Melati) memberikannya sejumlah uang. Hei, tapi tentu saja ada syarat khusus, Melati harus mau memenuhi, maaf, hasrat seksual sang kakak ipar. Astagfirullahal’adzim, pada bagian ini saya merasa amat miris. Ekspresi muka saya saat itu memang terlihat emotionless, tapi di dalam dada saya bergejolak perasaan sebal, sedih, jijik, campur aduk tidak karuan. Bisa-bisanya…
Sejak saat itulah ia selalu terus menerus menuruti keinginan biadab kakak iparnya tersebut. Ia juga diancam untuk tidak memberitahukan semua itu kepada kakak perempuannya dan kedua orang tuanya. Namun, sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga, sepandai-pandai orang menyembunyikan keburukan pasti akan ketahuan juga. Saat Melati akan menginjak bangku SMP, dia pun hamil. Orangtuanya tentu saja terkejut, seluruh keluarganya terkejut. Mereka mendesak Melati untuk memberitahukan siapa yang dengan biadabnya menanam benih di rahim Melati. Namun, Melati tetap bersikeras dan tutup mulut. Baru setelah kandungannya semakin membesar, Melati pun mengaku bahwa ayah dari anak yang dikandungnya adalah kakak iparnya sendiri. Well, mirip sinetron, bukan?
Prahara pun terjadi, kakak perempuannya marah besar terhadap suaminya dan Melati. Kakaknya amat kecewa dengan Melati, juga kepada suaminya. Melati pun merasa bersalah karena telah meretakkan rumah tangga kakaknya. Akhirnya, kakaknya pun pergi jauh dan menganggap bahwa Melati bukan adiknya lagi. Meskipun keluarganya berantakan dan nama keluarga mereka tercoreng, Melati masih berupaya untuk tetap tidak menggugurkan kandungannya.
Tak lama kemudian, bayinya pun lahir. Melati pun mulai melanjutkan sekolahnya. Ia merasa senang saat mengikuti setiap kegiatan di sekolah. Namun, kisah masa lalunya yang pahit tersebut senantiasa membayanginya. Perasaan bersalah yang terus menerus berkecamuk membuatnya mengalami gejala depresi dan trauma berkepanjangan. Bahkan sampai harus konsultasi ke Psikolog selama beberapa kali.
Selang beberapa bulan kemudian, Melati diajak tinggal bersama di rumah seorang wanita hampir paruh baya, sebut saja tante Minah. Tante Minah ternyata adalah seorang wanita hedonis yang suka menghambur-hamburkan uang, menurut penuturan Melati. Di rumah tante Minah lah ternyata Melati dipekerjakan sebagai seorang pemuas hasrat lelaki hidung belang. Uang hasil menjajakan diri tersebut sebagian tentu diberikan kepada tante Minah yang tak lain adalah agen penyalur gadis-gadis belia penjaja diri. Ada satu yang membuat saya heran pada saat itu. Melati berkata bahwa ia selalu kembali ke rumah tante Minah setelah berulangkali diajak pulang. Orangtuanya pada awalnya tidak tahu bahwa anaknya melakukan pekerjaan seperti itu. Beberapa waktu kemudian orangtuanya pun tahu bersamaan dengan penggerebekan yang terjadi di rumah tante Minah. Tante Minah pun ditangkap polisi karena telah mempekerjakan gadis di bawah umur. Lantas, Melati pun harus dibawa ke Panti Rehabilitasi di Yogyakarta.
Saat menginap di panti rehabilitasi, jiwanya kembali terguncang. Beberapa Psikolog pernah menanganinya. Bahkan hampir beberapa kali ia harus berpindah panti. Ia mengaku sudah capek dengan semua ini, ia ingin pulang dan bertemu dengan orang tuanya serta anaknya yang masih kecil. Sampai pada akhirnya ia terdampar di Balai Rehabilitasi ini. Di tempat ini ia juga merasa tidak betah, ia ingin pulang. Bahkan trauma dan depresinya juga sering kumat di tempat ini. Psikolog berulang kali didatangkan untuk menangani permasalahannya. Ia pernah berjanji bahwa ia tidak akan kembali ke rumah tante Minah. Jika sampai ia nekat kembali ke rumah tante Minah, orangtuanya tidak akan menganggapnya sebagai anak lagi. Namun, rasanya balai rehabilitasi ini belum memberikan kepercayaan penuh kepada Melati untuk keluar secepatnya dari tempat itu. Melati masih harus tinggal di sini selama beberapa waktu sampai akhirnya Melati benar-benar dinyatakan siap untuk kembali ke rumah.
Sekarang kegiatan Melati sehari-hari adalah belajar keterampilan di balai rehabilitasi ini. Keterampilan yang ia tekuni adalah kerajinan celup ikat dan keterampilan sebagai kapster salon. Ia berharap bahwa dengan keterampilannya tersebut ia nantinya dapat membuka usaha sendiri di kampung sehingga dapat membantu perekonomian keluarganya. Ia ingin dapat bekerja secara halal meskipun penghasilannya tidak terlalu besar dibandingkan saat ia bekerja sebagai penjaja raga. Yang terpenting bagi dirinya adalah ia dapat berkumpul dengan anaknya yang sekarang telah berusia 5 tahun dan kedua orangtuanya.
Hampir satu setengah jam berlalu, Jaqueline dan Reza sudah lebih dulu menyelesaikan sesi wawancaranya. Waktu berlalu sangat singkat, curhat dan obrolan tadi telah memberikan banyak pelajaran hidup berharga bagi saya. Usai wawancara dengan Melati, saya dan Naila bergegas menyusul Jaqueline dan Reza. Ternyata dua orang itu sedang minum es teh di warung bu Inem yang masih berada di kompleks Balai Rehabilitasi. Saat kami akan membayar jajanan kami kepada bu Inem, bu Inem malah menggratiskan semuanya. Aduh, kami jadi tidak enak. Dengan wajah tersipu malu kami pun mengucapkan banyak terima kasih dan kemudian berpamitan pulang.
Doa kami selalu, semoga bu Inem dan Melati dapat selalu istiqomah untuk terus melakukan pekerjaan halal dan tidak kembali ke jurang penuh kehinaan seperti tempo lalu. Semoga mereka selalu diberikan ketabahan dan kekuatan dalam mengahadapi masalah dan ujian hidup yang senantiasa menghadang. Aamiin…
“Hidup itu teramat singkat untuk disia-siakan. Lakukanlah hal yang berguna di masa sekarang, agar tidak berbuah penyesalan di hari kemudian.”

Kamus istilah
Rapport           : Membangun hubungan baik sebelum memulai wawancara
Interviewee      : Orang yang diwawancarai
Probing           : Menanyakan sesuatu secara lebih mendalam.
Verbatim         : Hasil rekaman percakapan asli yang diuraikan dalam tulisan
Resiliensi         : Kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan

Bukan Isapan Jempol Belaka

20:20 0 Comments
Sebulan sudah umat Muslim seluruh dunia menahan hawa nafsu, lapar, dan dahaga di bulan yang penuh rahmat dan ampunan, Ramadhan. Seminggu sudah hari kemenangan usai. Namun, nuansa-nuansa lebaran masih sedikit terasa di beberapa tempat. Satu yang paling terasa adalah arus lalu lintas yang macet, seperti halnya yang diberitakan oleh media massa.
source: www.google.com
Mudik. Libur panjang dan cuti bersama lebaran seperti ini masyarakat berbondong-bondong memadati stasiun, terminal, bandara, pelabuhan, bahkan jalan raya hanya untuk mengunjungi sanak saudara dan handai taulan di kampung halaman. Ya, mudik atau pulang kampung, salah satu budaya yang sangat identik melekat pada masyarakat Indonesia. Tak peduli apa strata sosial atau jabatan yang mereka sandang, mudik seolah menjadi suatu tradisi yang pantang untuk ditinggalkan saat momen lebaran tiba.
Selintas teringat perkataan dosen tempo lalu. Beliau berkata, orang-orang asing sangat heran dengan tradisi mudik masyarakat Indonesia setiap menjelang lebaran. Mereka pikir, aneh saja kebanyakan masyarakat Indonesia rela berpanas-panas dan berjubel mengantri sebuah tiket kereta api ataupun bermacet-macet ria di jalanan Pantura, bahkan ada yang harus meregang nyawa di jalan raya akibat mengantuk atau terlalu capek. Semua itu mungkin terasa aneh di benak para orang-orang asing itu, terutama masyarakat Western. Apalagi mereka tidak terlalu memahami budaya Timur yang sangat sosialis dibanding budaya Barat. 
Indonesia, meskipun cara pandang dan pola pikir kebanyakan masyarakatnya sudah terwesternisasi, namun nilai-nilai budaya ketimuran masih melekat dalam diri mereka. Satu jawaban dari segala keheranan orang asing itu adalah kelekatan. Kelekatan keluarga dalam budaya Timur lebih kuat dibanding pada keluarga Barat. Masyarakat Timur yang sangat sosial dan menjunjung tinggi nilai kolektif (kebersamaan) merasa perlu untuk tetap menjaga tali silaturahim tetap tersimpul rapi, tak terburai. Lagipula, Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim tentu sudah sering mendengar bahwa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk menyambung tali silaturahim. Nilai-nilai budaya Timur yang sangat menjunjung kebermasyarakatan dan rasa menghormati kepada orang tua adalah salah satu faktor dari fenomena mudik ini. Mengunjungi orang tua atau kakek-nenek di kampung adalah salah satu cara untuk menghormati dan menunjukkan rasa kasih sayang kepada mereka. Berkumpul serta menghabiskan waktu bersama dengan sanak saudara di kampung adalah salah satu cara untuk tetap menjaga tali silaturahim tetap utuh, tak terputus. Segala aral dan hambatan pun rela diterjang, demi menemui saudara-saudara tercinta di kampung halaman yang sudah terlampau lama tak bersua. Momen lebaran memang paling tepat untuk mengunjungi kampung halaman.
Ya, saya pun juga mengikuti tradisi mudik itu. Menginap di rumah kakek di desa, jauh dari hiruk pikuk kota dan polusi udara. Perjalanan antara rumah saya dengan rumah kakek tidak memakan waktu berhari-hari. Hanya satu sampai dua jam. Hahaha, memang aneh kenapa saya harus menginap di rumah kakek yang hanya berjarak dua jam dari rumah, kemudian menyebutnya dengan istilah; mudik. Well, mungkin lebih tepatnya, menginap di desa untuk menjauhi realitas barang sejenak saja. Halah.
Yup, rumah saya terletak di sebuah pinggiran kota kecil di Jawa Tengah. Bahkan daerah rumah saya pun juga masih bisa disebut sebagai desa. Namun bedanya rumah saya ada di sebuah desa yang sudah mulai terjamah oleh arus modernisasi. Mini market, supermarket, warnet, beauty center, restoran, café, bakery, karaoke, dan kepikukan jalan raya yang hampir setiap hari. Ya, saya sangat menantikan momen di mana saya merasa bahwa ada suatu tempat di belahan lain dunia ini yang belum terjamah kebisingan kendaraan dan tempat-tempat pengumbar hedonisme.
www.google.com
Rumah kakek saya terletak di sebuah desa yang masyarakatnya masih kental sekali dengan adat-adat pedesaan. Bahkan ada beberapa adat pedesaan yang saya tidak suka karena bertentangan dengan adat-adat yang selama ini saya anut sebagaimana masyarakat pinggiran kota pada umumnya.
Selama seminggu saya menginap di rumah kakek saya, banyak pelajaran dan pengalaman yang saya ambil selama seminggu penuh di desa. Salah satu yang paling saya soroti adalah perbedaan adat antara masyarakat desa dan masyarakat kota. Saya juga belum tahu apakah tata cara masyarakat di desa kakek saya ini sama seperti di semua desa di Indonesia.
Hal yang membuat saya heran adalah, masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Ya, saya tahu bahwa tetangga kakek saya itu sangat akrab dengan kami, namun saya melihat bahwa keakraban tersebut seperti disalahartikan dengan bertingkah laku seenaknya memasuki rumah orang lain tanpa salam atau ketok pintu. Langsung masuk ruang tamu, bahkan sampai masuk ke ruangan-ruangan yang sangat privasi bagi keluarga kami, dapur misalnya. Bahkan keluarga kakek saya yang lain pun merasa biasa dan tidak risih dengan kehadiran orang itu. Setahu saya, meskipun orang itu sudah akrab, apabila bertamu tetap harus mengucap salam atau ketok pintu. Selain itu juga tidak boleh sembarangan masuk ke ruang-ruang pribadi milik si tuan rumah kalau tidak atau belum diijinkan. Sangat mengganggu menurut saya. Hal tersebut tidak dilakukan satu-dua orang, namun beberapa orang.
Sebenarnya masih ada banyak tingkah laku mereka yang aneh dan kurang sopan menurut saya. Namun, untuk masalah tata cara bertamu itulah yang sangat penting untuk dikeluhkan. Tata cara bertamu yang baik dan sopan tentu saja seperti yang telah dicontohkan Rasulullah yaitu pertama-tama dengan mengucapkan salam sampai terdengar jawaban dari tuan rumah. Lantas, tamu tidak boleh seenaknya masuk sebelum dipersilahkan oleh tuan rumah. Selain itu, setahu saya, tamu hanya boleh sampai di ruang tamu saja tidak boleh tiba-tiba seenaknya masuk ke dapur atau kamar si tuan rumah, kecuali jika tuan rumah mengijinkan.  
Memang hal tersebut terdengar sepele dan remeh temeh. Namun, kita wajib tahu karena sebagai makhluk sosial yang senang bermasyarakat tentu tidak luput dari kegiatan tamu-bertamu. Kesopanan dan kesantunan dalam bertamu bukanlah isapan jempol belaka. Sebagai tamu seharusnya kita menghormati tuan rumah sebagai pemilik rumah. Jangan seenaknya saja karena dalam bermasyarakat tentu harus paham etika.
Anyway, tulisan ini sebenarnya tidak nyambung dengan pembukaannya yang terlalu panjang serta judulnya yang aneh. Otak saya sedang bekerja amat sangat random akhir-akhir ini. Well, postingan ini terasa aneh dan sebenarnya hanyalah curhatan random untuk menumpahkan sebagian unek-unek saya mengenai tata perilaku orang desa yang berbeda dengan apa yang pernah saya ketahui.
Sekian curhatan tidak jelas dari saya. Akhir-akhir ini saya sedang membangunkan semangat menulis saya karena sudah berbulan-bulan terakhir mati suri. Serpihan semangat yang masih menyala membantu saya bertempur menghalau rasa malas saya. Well, mungkin nanti saya akan menceritakan kisah yang menyebabkan saya ‘mematisurikan’ sementara semangat menulis saya.
Sampai jumpa di postingan selanjutnya… :)