Kamis, 31 Desember 2015

Everybody's Changing, Right?

18:18 2 Comments

Waktu melesat laksana anak panah yang terlepas dari busurnya. Cepat sekali. Besok, tahun 2015 pun berganti menjadi 2016. Tiba-tiba saja sudah berada di paling ujung dunia perkuliahan. Padahal, rasanya baru kemarin masa-masa Osmaru. Anyway, akhir-akhir ini saya memang sudah jarang posting tulisan di sini dan Tumblr. Yup, kesibukan mengejar sisa-sisa kredit semester yang wajib lunas, KKN dan Skripsi. Sebenarnya, ini bukanlah postingan yang penting-penting amat. Saya hanya ingin curhat saja, curhat kilas balik di tahun yang beberapa jam lagi kita tinggalkan. Mungkin, tulisan ini akan sedikit random, karena saya menulis ini tidak dengan satu topik utama, bahkan banyak flight of ideas-nya. Jadi, bagi kalian yang sudah repot-repot membaca, saya ucapkan banyak terima kasih. Hehehe.
Tahun 2015, menurut saya full of blessings. I am blessed, for sure. Banyak kenikmatan yang saya peroleh di tahun ini, bahkan beberapa resolusi di tahun-tahun lalu perlahan mulai terjadi. Namun, juga masih banyak pula target-target yang harus segera saya penuhi. Jika tidak di tahun 2015, mungkin di tahun 2016 lah saya harus bisa mewujudkannya. Semua orang tentu menginginkan perubahan dalam kehidupannya, bukan? Begitu pula saya dan kalian.
Hm, ngomong-ngomong tentang perubahan, jadi akhir-akhir ini saya sedang addicted dengan Everybody’s Changing-nya Keane. Setelah sekian lama mencari judul lagunya tanpa tahu liriknya, hanya berbekal melodinya yang terus menerus terngiang-ngiang di benak saya, akhirnya ketemu juga. Itu pun karena lagunya 99.99% mirip dengan salah satu lagu Noah yang tidak sengaja saya dengar ketika perjalanan ke luar kota. Hahaha. Yup, sebenarnya lagu ini sudah ada sejak tahun 2004. Telat banget, kan? Hahaha.
“So little time. Try to understand that I’m trying to make a move just to stay in the game. I try to stay awake, can’t remember my name. But, everybody’s changing and I don’t feel the same~”
Entah, saya merasa suka saja dengan lirik di bagian refrain itu. Setiap mendengarkan bagian itu, pikiran pun mulai berkelana, merangkai serangkaian peristiwa yang akhir-akhir ini kerap saya temui. Yup, everybody’s changing, and I don’t feel the same. Tentu saja, seiring berjalannya waktu, semuanya tidak akan pernah sama dengan yang dulu. Manusia makhluk dinamis, tentu mengalami perubahan. Bisa perubahan ke arah yang lebih baik, bisa pula sebaliknya.
Sayangnya, saya sering berjumpa dengan yang sebaliknya.
Saking seringnya, hingga acap kali mengusik pikiran saya. Mengapa bisa begini? Mengapa bisa begitu? Ah, memang terkadang hal remeh temeh gemar sekali menyusup ke kepala saya. Naifnya juga, saya pun meresponnya dengan memikirkannya dalam-dalam. Berlebihan, sih, memang. Padahal, tidak semua hal perlu terlalu dipikirkan, bukan? Ah, entahlah. Rasanya, tulisan ini jadi semakin random.
Mari ganti topik!
Beberapa bulan lalu, Don’t Love You No More-nya Craig David tiba-tiba terhapus di memori handphone saya. Mungkin efek jarang didengerin dan sudah terdistrak dengan lagu baru yang lebih hitz bingitz. Hehehe. Lalu, baru beberapa hari lalu saya re-download, kualitasnya lebih bagus daripada yang sebelumnya. Kemudian, saya pun CLBK dengan lagu ini. Apalagi yang bagian ini;
“Rain outside my window, pouring down. What now? You’re gone. My fault. I’m sorry~”
Cocok banget, kan, didengerin pas hujan-hujan seperti ini. Musim hujan, saatnya melankolis berjamaah. Halah.
Lalu, ada satu lagu lagi yang tiba-tiba saya suka gara-gara denger di radio. Mirror-nya Sarasvati feat Cholil Machmud Efek Rumah Kaca. Padahal, lagu ini udah lama, sejak tahun 2012 kalau tidak salah. Intronya itu, lho, bikin saya jatuh cinta. Dentingan piano dengan tempo cepat. Aaaaakkk~
“Everything’s going wrong when reality bites my heart. It’s a most carelessly part~” 
Ganti topik lagi, ya?
Yup, besok 1 Januari 2016. It means, Sherlock episode spesial, Abominable Bride, rilis! For God’s sake, I’m so excited! Jadi ingat salah satu lines-nya dr. John Watson di trailernya:
“You are Sherlock Holmes. Wear your damn hat!”
Episode Abominable Bride ini juga jadi semacam pertanda kalau Sherlock season 4 bakal rilis! Duh, tak sabar nonton aksi Uncle Ben Cumberbatch~~. Sudah terlampau lama menanggung rindu tak berkesudahan menunggu Sherlock season 4. Sama kayak nunggu jodoh masa depan kali, ya. Hahaha.
*makin ke bawah, bahasannya makin nge-random*
Ta-tapi, kemudian ingat kalau nggak punya TV kabel. *garuk-garuk tanah*
Ganti topik, sekali lagi!
Tahun ini, saya ikut Reading Challenge di Goodreads. Bodohnya, saya nge-set target membaca buku sejumlah 75 judul ketika akhir September lalu. Lalu, sampai bulan ini, baru berhasil membaca 28 buku. Terus, kalau ganti tahun, berarti Reading Challenge saya gagal dong. Huft. Menyedihkan…
Ganti topik lagi. Boleh?
Di tahun ini lah, pertama kalinya saya ngerasain patah hati. Sepatah-patahnya. Udah, gitu aja.
*kemudian dilempar sandal*
Yup, mungkin cukup sekian tulisan abal-abal ini. Semoga kalian yang sering mampir ke sini, tidak ilang feeling (ilfeel) setelah membaca tulisan agak sampah ini. Hehehe.
Goodbye, 2015! Hello, 2016!
And, Goodbye, You~~
*now playing Hello by Adele*

Rabu, 09 Desember 2015

Budaya Main Serobot

17:17 2 Comments

Sebagai orang yang lahir dan besar di negeri gemah ripah loh jinawi ini, pasti kita sudah sangat akrab dengan perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia satu ini, budaya main serobot. Sering sekali kita mendapati antrian yang tidak tertib, entah itu tidak berjajar rapi atau ada yang dengan muka badaknya memotong antrian orang. Saya pernah beberapa kali menjadi korban serobot antrian, ketika mengantri di kasir swalayan dan ketika mengantri membeli bensin. Kesal, tentu saja. Sayangnya, saya adalah tipe orang yang terlalu nerimo dan tidak suka bikin ribut, jadilah saya diam saja. Rasanya ingin marah sambil menyumpah-serapahi juga, tapi saya masih terlalu waras untuk meledak-ledak impulsif di ruang publik.
source: www.summareconserpong.com
Kejadian-kejadian tersebut memang sering kita temui di mana pun selama kita masih tinggal di Indonesia. Tidak hanya serobot dalam hal mengantri, serobot dalam hal berkendara di jalan raya pun bukan hal aneh di negeri kita tercinta ini. Keselamatan diri sendiri dan orang lain seolah menjadi barang murahan, sehingga bisa seenak jidat digadaikan demi mengejar hal-hal kurang esensial lainnya. Seperti peristiwa kecelakaan yang sedang viral akhir-akhir ini. Mulai dari kecelakaan mobil sport Lamborghini yang menelan dua korban jiwa di Surabaya sampai kecelakaan antara metromini dengan kereta Commuter Line di Jakarta Barat. Dua hal tersebut menjadi contoh bahwa sudah mendarah dagingnya budaya main serobot sana serobot sini hingga mengakibatkan kerugian besar bagi orang lain.
Lantas, saya pun jadi teringat dengan perkataan salah seorang teman saya, sebut saja Nisa (memang nama asli, hehehe). Ketika itu, kami sedang terlibat percakapan tentang budaya naik kendaraan antara orang Solo dan Jakarta. Tibalah pada sebuah celetukan Nisa yang nempel di kepala saya dan selalu terngiang ketika saya mengendarai motor:
“Sempet heran juga, sih, kenapa masih banyak orang Indonesia yang masih bisa hidup dengan kondisi jalan raya kayak gini.”
Benar juga, pengendara kendaraan pribadi maupun kendaraan umum di Indonesia sangat sangat sangaaaaattt tidak bersahabat dengan sesama pengguna jalan lainnya. Boro-boro bersahabat dengan sesama pengguna alat transportasi lain, pejalan kaki dan pengguna sepeda saja sering didiskrimanasi. Saya pun ingat momen ketika mengendarai sepeda di jalan raya, meskipun sudah di paling pinggir dan hampir nyemplung comberan, tetap saja pengendara mobil dan motor iseng mempermainkan klaksonnya. Huft, masya Allah!
Ya, saya juga mengakui bahwa saya juga pernah mendiskriminasi pejalan kaki dan pengguna sepeda. Namun, ketika saya sudah mencoba berada di posisi pejalan kaki dan pengguna sepeda itu, saya pun mulai menurunkan egoisme saya, mencoba memaklumi dan memberi kesempatan sesama pengguna jalan umum lainnya. Lagipula, jalanan umum ‘kan milik negara, bukan milik sendiri yang lain sewa.
Ada juga cerita yang pernah saya baca di sebuah buku catatan perjalanan. Suatu ketika si penulis pernah berkendara bersama dengan bos besarnya yang orang Belanda. Ketika di Indonesia, bos Belanda itu tidak berani mengendarai mobil sendiri, selalu ditemani oleh supir. Tentu saja, mengendarai kendaraan di Indonesia harus punya stok sembilan nyawa. Memang, masyarakat Indonesia adalah masyarakat tertangguh abad ini, yang masih bisa hidup di tengah kondisi carut marut transportasi seperti ini.
source: www.radarcirebon.com
Lalu, sebenarnya apa sih yang menyebabkan budaya main serobot sana serobot sini yang sangat menjengkelkan ini? Kalau boleh akal pikiran saya yang sempit ini menganalisa, mungkin ini akibat dari banyaknya peristiwa-peristiwa besar yang sering terjadi di Indonesia. Mulai dari merasakan betapa keras dan pahitnya hidup ratusan tahun menjadi rakyat jajahan hingga krisis moneter tujuh belas tahun silam. Begitu besarnya jumlah populasi masyarakat Indonesia kerap kali berbanding terbalik dengan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan. Ibaratnya, permintaan lebih besar dari penawaran, kebutuhan lebih besar dari ketersediaan. Sehingga, terkadang satu sama lain perlu berlomba-lomba untuk bisa survive supaya perut sendiri bisa terisi. Jatah yang limited edition tersebut memang terkadang membentuk karakter kita menjadi agak terlalu kompetitif. Bagaimana tidak, kalau kita hanya menunggu saja pasti akan kehabisan jatah, tidak kebagian. Padahal, sebenarnya butuh. Jadi serba salah, bukan? Berbeda dengan negara lain yang angka pertumbuhan penduduknya nyaris 0%, tentu saja jumlah penduduknya juga tidak sebesar Indonesia. Biasanya pun mereka juga berlimpah sumber daya sehingga selalu cukup tersedia stoknya. Bisa dipastikan bahwa jatah untuk masing-masing individu akan bisa terpenuhi, bukan?
Hm, sebenaranya ini hanya analisis saya yang cetek dan kurang banyak data pembanding juga, sih. Boleh dibantah, boleh dikritik juga. Hehehe. Lagipula, saya memandang ini dari kerangka berpikir saya yang lebih sering mengaitkan suatu persoalan dari kejadian masa lalu (kemudian berasa ngubek-ngubek Psikoanalisis).
Jika dihubungkan dengan ketidakpastian atau uncertainty, dunia ini memang penuh peristiwa yang tidak pasti, uncertainty events. Mungkin, kebiasaan orang Indonesia untuk main serobot itu adalah salah satu cara dalam mengatasi ketidakpastian. Sebagai orang Indonesia, kita sangat terlatih untuk menjadi orang yang hidup mentah dalam ketidakpastian. Kalau ada yang sering membuka situs www.geert-hofstede.com pasti sudah pernah mencoba membandingkan budaya antara satu negara dengan negara lain. Salah satu indikator dalam perbandingan tersebut adalah uncertainty avoidance. Jika dibandingkan dengan Jepang, jelas bahwa Indonesia memiliki kemampuan menghindar dalam ketidakpastian yang kalah jauh. Ya, sebagai orang Indonesia yang sejak lahir hingga dewasa tinggal di Indonesia, tentu akan akrab dengan ketidakpastian-yang-tidak-dicoba-untuk-dihindari tersebut. Mulai dari jam datang-berangkat kereta api, bus, atau pesawat yang lebih sering tidak pastinya karena lebih sering delay, sampai menghindari ketidakpastian semacam bencana alam. Jelas beda lah jika dibandingkan dengan negara dunia pertama. (Oke, pembandingnya memang terlalu njomplang, sih. Hehehe).
Hei, namun dengan seringnya kita hidup dalam ketidakpastian tersebut, selain memiliki dampak negatif suka main serobot, ada pula dampak positifnya. Kita menjadi tidak tergantung dengan keadaan serba enak, kita akan mencoba untuk mencari celah, semakin lama akan semakin mengasah daya kreativitas kita. Tentu saja, karena kita sudah terlatih hidup dalam keadaan serba susah, kita menjadi bisa memutar otak untuk mencari cara bagaimana keluar dari keadaan tersebut. Jadi, hidup dalam negara berbudaya kurang antisipatif dalam mengatasi peristiwa yang penuh ketidakpastian itu tidak selamanya buruk, kok. Hahaha. (Sekali lagi, ini berdasarkan analisis abal-abal saya yang cetek parah).
Apapun keadaannya, saya tetap cinta Indonesia. Meskipun rupiah melemah, harga bensin merangkak naik, hingga tarif dasar listrik mulai ikut menanjak, saya tetap cinta Indonesia. Ya, walaupun kemarin sempat marah-marah juga dengan keadaan itu. Hehehe.
 Ya, daripada capek-capek mengkritik, menghujat, dan menyumpah-serapahi keadaan negeri yang permasalahannya saling sengkarut ini, lebih baik mulai bergerak menjadi agen-agen pembaharuan ke arah yang lebih baik. Masih ada harapan, tentu saja. :)

Selasa, 08 Desember 2015

TEDx UNS: Symphony of Ideas

15:15 0 Comments

Lama sekali rasanya saya tidak pernah posting tentang event atau seminar yang saya ikuti. Sebenarnya saya ingin cerita tentang bedah buku Lautan Langit-nya Mas Kurniawan Gunadi Oktober lalu. Tapi, akibat terlampau capek setelah seharian bolak-balik kemana-mana, alhasil pun jadi lupa. Hehehe. Yup, lantas akhirnya ada sebuah event yang mau tak mau harus saya tuliskan untuk mengabadikan. Maklum lah, saya memang agak pelupa. Hehehe. Yup, seperti judulnya, event yang saya ikuti ini adalah TEDx. Bagi yang belum tahu, TEDx adalah event TED yang dibikin secara independen. TEDx di sini bukan terinspirasi dari film TED yang dibintangi Mark Wahlberg itu, malah lebih dulu ada sebelum film TED rilis. Atau jangan-jangan, film TED itu terinspirasi dari TED ini. Halah. Saya juga sebenarnya tidak tahu, sih. Hehehe. Nah, mungkin bagi yang ingin tahu lebih jelas dan lengkap bisa kunjungi ini.
Ahad, 6 Desember 2015 lalu acara TEDx diselenggarakan di aula FH UNS. Acara TEDx ini sebenarnya memiliki konten yang hampir serupa dengan seminar pada umumnya. Akan tetapi, kemasan yang ditampilkan memang agak sedikit berbeda. Tidak hanya itu pula, pembicaranya pun tidak dibatasi tema tertentu seperti seminar-seminar pada umumnya. Pun, TEDx ini 100% free, tanpa dipungut biaya asal bisa lolos seleksi call for audience. Hehe. Entahlah, setelah sebelumnya saya iseng mendaftar TEDx, beberapa hari kemudian nama saya pun tiba-tiba ada dalam list audience TEDx. Wah, lumayan. Saya bisa memuaskan rasa penasaran saya yang sebelumnya tidak tahu apapun mengenai TEDx.
Dalam TEDx ini mengusung tema Symphony of Ideas, di mana sejumlah pembicara dihadirkan sebagai penyebar ide-ide pembaharuan. Jadi, pembicara yang dihadirkan bukan orang sembarangan. Mereka adalah para agent of change di bidang dan lingkungannya masing-masing. Ada sekitar delapan pembicara yang mengisi TEDx, masing-masing memiliki waktu cukup singkat saat memperkenalkan gagasan-gagasan mereka. Acara ini dibagi dua sesi. Sesi pertama terasa lebih panjang karena ada lima pembicara, meskipun waktunya singkat sekali. Sesi kedua yang dibuka setelah ishoma, diisi oleh tiga pembicara.
Empat dari delapan pembicara TEDx tersebut meninggalkan kesan yang mendalam bagi diri saya pribadi. Kesan yang mereka timbulkan tersebut mungkin lebih dikarenakan konten yang mereka usung lumayan related pada diri saya. Salah satu yang paling nempel adalah gagasan Komunitas Baca Dua Lima yang digagas oleh Mas Syukri. Iya, saya sudah lama tahu beliau dan saya juga sudah tahu Komunitas Baca Dua Lima itu apa. Tentu saja, karena teman-teman saya yang anak Kedokteran, secara bersamaan memasang twibbon di display picture sosial medianya yang berisi opini setelah mengikuti gerakan baca buku dua puluh lima halaman per hari. Sesuai namanya, Komunitas Baca Dua Lima adalah gerakan yang digagas beliau untuk mengajak masyarakat supaya mau meluangkan waktunya dalam sehari untuk membaca buku minimal dua puluh lima halaman. Ini adalah sebuah gerakan yang sangat keren, menurut saya. Gerakan ini berangkat dari suatu fenomena budaya membaca masyarakat Indonesia yang sangat rendah sekali. Nggak usah gede-gede selingkup Indonesia, deh, selingkup Solo saja budaya membacanya masih cetek. Gagasan tersebut merupakan sebuah angin segar tersendiri dalam menghadapi fenomena semacam itu. Sangat berguna menghidupkan kembali budaya membaca buku yang sudah hampir tergerus oleh semakin merajalelanya teknologi dan internet penyedia segala bentuk kemudahan.
Tersihir, saya merasa sangat related dan serta merta menyetujui data dan fakta yang dipaparkan. Saya juga punya impian sama, membudayakan membaca. Sebagai pembaca buku minded, saya memang getol sekali untuk menyerukan wajib baca buku dalam seminggu. Bahkan, semenjak kuliah, saya mulai lebih getol lagi menjejali diri dengan berbagai macam genre buku. Tidak terbatas pada fiksi, namun juga nonfiksi. Lalu akhir-akhir ini pun saya malah sering kecantol dengan buku nonfiksi yang international best-seller. Hehehe.
Yup, pada intinya membaca adalah sebuah kebiasaan (habits). Supaya gemar membaca kian membudaya, maka kebiasaan membaca perlu dimulai dari diri sendiri serta mulai dari sekarang. Bagi para orang tua muda, perlu sekali menanamkan kebiasaan membaca pada anak-anaknya sejak kecil. Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya adalah Muslim tentu perlu sekali untuk membudayakan membaca sedari belia. Lagipula, wahyu pertama yang diberikan Allah kepada Rasulullah melalui perantara malaikat Jibril adalah Surat Al-‘Alaq, di mana kata pertama pada ayat pertamanya berbunyi Iqra’–Bacalah! Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu. Jadi, membaca itu sudah seperti kewajiban, bukan?
Pembicara kedua yang membuat saya terjerat lagi adalah Pak Eri Koeswoyo. Beliau adalah founder dari Dompet Dhuafa, seorang social entrepreneur yang keren, menurut saya. Pemaparan tentang kondisi Indonesia saat ini beserta quotes keren yang terselip dalam setiap kalimat yang terlontar dari beliau tersebut sukses mencuri sebagian besar fokus saya. Tema yang beliau bicarakan berkisar tentang pendidikan karakter. Masalah terbesar bagi Indonesia adalah kurangnya karakter jujur dan disiplin. Banyak sih, orang jujur di Indonesia, namun orang yang amanah masih sedikit. Pemimpin yang tidak amanah saja masih banyak. Lalu, ada satu quotes agak nge-jleb yang beliau paparkan:
“Sebuah negara yang belum disiplin, jangan bercita-cita menjadi negara maju.”
Ya, sebelum mendisiplinkan orang lain, mulailah budaya disiplin itu dari sendiri. Mulai dari yang terkecil saja, deh, misal berangkat kuliah jangan sampai lebih lambat dari dosen. Perkara si dosen datang terlambat tidak perlu diurusin, malah bagusnya jangan dicontoh. Kita kan mahasiswa, sudah pandai membedakan mana yang baik dan mana yang baruk. Masa hanya datang kuliah saja telat? Juga, jangan lupa, kalau janjian ketemuan dengan teman, entah hanya hangout atau ada agenda rapat, usahakan datang tepat waktu. Sesungguhnya, ketika kalian datang tepat waktu, kalian sudah menghargai diri sendiri. Namun, apabila kalian datang terlambat, tidak disiplin waktu, kalian sedang merugikan orang lain karena telah dengan semena-mena membuang-buang waktu mereka. Padahal, jika tidak menunggu kalian yang hobi terlambat, waktu tersebut bisa mereka manfaatkan untuk melakukan hal yang lebih produktif, bukan?
Pembicara selanjutnya yang menurut saya keren adalah Ibu Endah Laras. Mungkin, kalangan seniman sudah banyak yang mengenal beliau ini, tapi masih banyak orang yang belum mengenal beliau. Ya, Ibu Endah ini adalah seorang seniman yang sangat multitalenta. Pengalaman berkesenian sejak SMP telah membawanya pergi menjelajah negara-negara Eropa dan Asia dalam rangka memperkenalkan kebudayaan Indonesia. Saya sempat terkesima dengan kepiawaian beliau dalam menyanyikan berbagai genre lagu khas Indonesia. Mulai dari tembang Macapat Jawa, lagu Sunda dengan cengkok khas sinden Sunda, lagu Banyuwangi yang khas dengan falsetto ala lagu Jawa Timur-an, sampai campursari pun bisa dibawakannya dengan apik. Suaranya yang bening serta mampu menjangkau nada-nada tinggi membuat telinga saya serasa dimanjakan. Sampai ketika Ibu Endah selesai bercerita sambil menyanyi semua hadirin bertepuk tangan riuh, seolah menyatakan sangat puas dengan penampilan Ibu Endah yang menghibur sekaligus inspiratif.
Pembicara berikutnya yang membuat saya terbawa juga adalah Bapak Suyudi. Beliau adalah founder Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS). Ya, SABS ini semacam antimainstream di antara pendidikan formal mainstream lainnya. Sebagaimana namanya, sekolah alam ini berfokus dengan metode pembelajaran dan pendidikan back to nature. Tidak melulu hanya berkutat pada teori-teori, namun sekolah ini mengajak siswa untuk mengeksplorasi dunia sekitarnya sambil belajar. Jadi, sekolah menjadi tidak membosankan, malah terasa lebih menyenangkan. Meskipun sebenarnya mereka sedang belajar, namun mereka melakukannya seperti bermain.
Pada dasarnya, pendidikan itu bukan melulu harus hapalan teori lalu kemudian diujikan di Ujian Tengah Semester atau Ujian Akhir Sekolah saja, lantas ketika ujian usai, ilmu yang susah payah dihafalkan pun hilang terlupakan, tak berbekas. Inilah salah satu problem bagi sebagian besar pelajar di Indonesia. Pendidikan saat ini memang hanya menitikberatkan pada menghafal data dan fakta informasi saja, tanpa dibarengi dengan pendidikan karakter serta pembelajaran yang menuntut analisis dan sintesis. Padahal, pandai itu bukan hanya bisa hafalan saja, pandai itu juga harus bisa menganalisis masalah serta mencari solusi terbaiknya. Kalau kata Bapak Suyudi, sih:
“Manusia diharapkan tumbuh untuk berpikir dan memikirkan sekitarnya.”
Sayangnya, kurikulum Indonesia masih sedikit mewajibkan anak didiknya untuk bisa berpikir analitis. Hasil tes PISA yang memasukkan Indonesia dalam kategori nilai paling rendah membuktikan bahwa kemampuan menganalisis soal siswa Indonesia jauh di bawah rata-rata siswa di negara lainnya. Ya, salah satu indikator dalam tes PISA yaitu kemampuan berpikir analisis memberikan nilai rendah bagi siswa Indonesia. Sedih, kan?
Tentang kemampuan analisis ini, saya pun jadi teringat celoteh dosen saya yang gemar sekali memberi tugas membuat esai dan paper tentang suatu masalah. Beliau mengatakan bahwa, sebagian besar analisis pada tulisan kami tersebut sangat kurang. Ya, saya pun mengakui bahwa kami terlalu terjebak pada sistem pendidikan hafalan sejak SD hingga SMA. Kami sudah terbiasa menghafal serta menjawab pertanyaan berdasarkan memori hafalan
Coba contoh Finlandia, yang mewajibkan siswanya untuk membaca minimal 300 halaman buku per-tahun. Indonesia, masih nol halaman per-tahun. Padahal, membaca buku itu juga salah satu cara untuk bisa mengasah daya berpikir kritis, analitis, dan sintesis. Jadi, sebenarnya banyak sekali, lho, permasalahan yang terjadi serta menuntut untuk segera diperbaiki. Semua faktornya hampir saling berkesinambungan satu sama lain. Mungkin, memang saatnya kita, para pemuda-pemudi Indonesia, menjadi agen perubahan dalam mengurai problema negara yang masih saling sengkarut ini.
Selain menghadirkan berbagai kalanganpembicara, acara ini juga memutar beberapa video TED talks dari negara lain. Salah satu yang paling berkesan adalah video TED talks seorang violinist asal Korea Selatan, Park Ji-hae, yang memainkan biolanya dengan sangat energik dan penuh penghayatan. Permainan biolanya itu menceritakan tentang kehidupan dirinya yang pernah dirundung depresi berat. Sampai saya sempat berkaca-kaca–bahkan, sudah hampir menangis–mendengarkan nada ballad yang berkesan depresif pada setiap notasinya. Saya hanya mampu merasakan saja, karena saya tidak begitu paham musik. Pokoknya, keren sekali!
Acara TEDx tersebut ditutup pada pukul 15.00 WIB. Banyak kesan dan ide-ide yang terejawantah dalam acara ini. Pembicara yang beragam latar belakang pendidikan, beragam keahlian, dan beragam impian, berusaha mentransfer gagasan-gagasan pembaharuannya pada para calon penerus bangsa. Yup, ini merupakan acara pertama TEDx di Solo, semoga di acara selanjutnya semakin lebih keren lagi. Hm, mungkin di acara TEDx tahun depan bisa mengundang dr. Gamal Albinsaid, seorang dokter muda yang berhasil mengatasi permasalahan lingkungan serta menciptakan lapangan pekerjaan akibat sampah.
Okay, sekian postingan saya kali ini. Sampai jumpa di postingan selanjutnya….:)
source: www.ted.com
P.S.: Saya tidak pernah bosan untuk meneror banyak orang dengan quotes andalan saya:
“Ayo membaca! Sudah baca bukukah kalian hari ini?”

Minggu, 06 Desember 2015

Kurang Bahagia? Mungkin, Tiga Hal Ini Jarang Kamu Lakukan

18:18 0 Comments
Pernahkah kalian merasa bahwa hidup kalian terasa flat, terlalu biasa, dan kurang seru? Pasti membosankan, bukan? Rasanya seperti kurang ‘wah’ dan kurang membangkitkan gairah hidup berkali-kali lipat. Selalu merasa terperangkap oleh seabrek rutinitas hidup yang itu-itu saja dan tuntutan hidup yang ini lagi itu lagi. Ya, mungkin saja kalian kurang sering melakukan tiga hal di bawah ini:

1.    Membaca
source: bacakilat.com
Orang yang tidak gemar membaca, menurut saya adalah orang-orang kurang bahagia yang masih bisa hidup di dunia ini. Hahaha. Agak terlalu jleb, sih. Hm, tapi coba deh wahai para manusia kurang gemar membaca, tanyakanlah pada teman-teman kalian yang gemar membaca. Bagaimana tanggapan mereka terhadap hobinya tersebut? Sebagai seorang kutu buku, saya juga ingin angkat bicara, bahwa membaca itu lebih dari sekadar menyenangkan. Menggairahkan, malah. Biasanya, seorang pecinta membaca akan merasa bahwa separuh jiwanya ada di dalam buku-buku itu.
Mengapa membaca buku itu menyenangkan? Tentu saja, karena membaca itu membuat hidup kita menjadi kian berwarna. Membaca membuat isi pikiran kita menjadi semakin kaya karena kita disuguhkan dengan berbagai hal-hal baru yang belum pernah kita ketahui sama sekali. Para pembaca juga akan menjadi seorang yang bijak dalam menyikapi sesuatu. Selain itu, membaca adalah salah satu escape from reality yang paling manjur, terutama membaca novel. Membaca mengasah daya imajinasi, membuat pikiran kita berkelana menjelajah berbagai dimensi. Tentu saja, jika kalian sudah mengenal dan mencintai membaca, pasti kalian akan menemukan bahwa membaca tidak se-membosankan yang dibayangkan. Bahkan, malah membuat diri kalian yang semula suntuk, penat, dan frustrasi dengan tuntutan hidup akan ternetralisir dengan aktivitas ini.
Sejumlah penelitian di dunia kedokteran membuktikan bahwa dengan gemar membaca akan mencegah seseorang menderita demensia dan Alzheimer. Coba lihat Presiden RI ke-3 kita, Pak B.J. Habibie, beliau adalah orang yang gemar membaca. Coba lihatlah sekarang, meskipun usia beliau sudah semakin renta namun daya pikirnya masih tidak kalah hebat dibanding para cendekiawan muda. Terbukti, kan, selain membahagiakan, membaca juga menyehatkan fungsi otak.

2.    Jalan-jalan
source: vemale.com
Jalan-jalan itu mahal? Nggak juga, tuh. Jalan-jalan gratis juga bisa, lho. Jalan-jalan seru nggak melulu harus ke luar negeri yang menjebolkan tabungan. Jalan-jalan juga tidak melulu harus dibarengi dengan membeli barang-barang yang akhirnya hanya berakhir di tumpukan lemari. Jalan-jalan, kan, bisa ke mana saja, bahkan bisa tanpa mengeluarkan terlalu banyak uang. Mungkin kalian bisa jalan-jalan ke pedesaan yang masih terdapat hamparan hijau sawah, menghirup udara yang masih belum tercemar polusi, sambil sejenak melepaskan penat melupakan rutinitas dunia perkotaan. Bisa juga, jalan-jalan ke taman-taman kota yang rindang penuh pepohonan, sambil membaca buku atau sekadar mengamati lalu lalang pengunjung. Siapa tahu selama jalan-jalan tersebut kalian bisa bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru. Siapa tahu, bisa bertemu jodoh juga, kan? Halah.

3.    Sedekah
source: majalahdia.net
Inilah salah satu hal yang kadang-kadang terlupakan oleh kita. Sedekah. Ya, sedekah. Kenapa sedekah bisa membahagiakan? Jelas, karena sedekah adalah memberi. Lebih membahagiakan mana, memberi atau diberi? Banyak terdapat bukti bahwa orang yang lebih bahagia adalah orang yang senang memberi. Agak aneh, ya, tapi itu memang benar-benar terjadi. Seseorang yang gemar memberi akan merasa bahwa dirinya berguna.
Manusia adalah makhluk eksistensial, sehingga manusia membutuhkan pengakuan bahwa dirinya ada. Tapi, tidak hanya dianggap ‘ada’ saja, manusia tentu ingin dianggap lebih dari sekadar ‘ada’, yaitu ‘berarti’. Jadi, salah satu cara untuk bisa menjadi berarti adalah dengan menunjukkan keberartian dirinya kepada orang lain, yaitu dengan cara memberi. Nah, apabila kalian masih merasa kosong dengan kehidupan ini, coba diingat kembali apakah kebutuhan eksistensi tersebut sudah benar-benar terpenuhi?
Nah, pasti ada dari kalian yang bingung, bagaimana caranya memberi padahal diri sendiri saja kekurangan? Bagaimana mau memberi orang lain, padahal untuk makan saja masih ngutang? Tenang saja. Memberi sesuatu kepada orang lain itu tidak melulu harus berupa uang atau emas berlian. Memberi itu banyak macamnya, misalnya, memberikan kebahagiaan, memberikan perhatian, memberikan bantuan tenaga, dan lain-lain. Bahkan menebarkan senyum pun juga termasuk sedekah, bukan?
Apabila merasa belum mampu bersedekah dengan harta, mungkin kita juga bisa bersedekah dengan tenaga atau pikiran. Misalnya, dengan mengikuti kegiatan sosial, menjadi volunteer di komunitas sosial. Intinya, buatlah dirimu merasa menjadi berguna bagi orang lain bagaimanapun caranya. Bantuan yang diberikan juga tidak perlu muluk-muluk. Berikan saja sesuatu yang kalian mampu berikan, misalnya, memberikan semangat, motivasi, bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain, atau menyumbang saran bagi mereka yang meminta. Apalagi jika bantuan kita mendapat penghargaan berupa ucapan tulus terima kasih, pasti rasanya lebih membahagiakan dibanding apapun, karena berarti kita sudah menjadi berguna untuk orang lain. Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi orang lain, bukan?

Yup, sekian postingan dalam rangka mengisi blog yang makin lama makin sepi saja. Semoga tulisan ini bisa menjadi tulisan yang (agak) inspiratif bagi pembaca setia semuanya. Terima kasih sudah bersedia mampir dan menghabiskan waktu untuk membaca tulisan abal-abal ini.
Sampai jumpa di postingan selanjutnya… :)