Jumat, 15 Mei 2015

Edisi Kecanduan Korean Drama: Healer (2014)

18:18 0 Comments
“Jangan coba-coba bermain api jika tidak ingin terbakar. Jangan coba-coba menonton Korean Drama jika tidak ingin kecanduan.” (Saya, 2015).
Korean Drama, salah satu jenis drama yang pada awalnya saya pandang sebelah mata. Haha. Yup, jujur saja, saya adalah salah seorang makhluk Venus yang tidak suka dengan jenis serial drama penuh romansa dua anak manusia dengan segala konflik dan intrik di dalamnya. Halah. Menurut saya, sinetron, drama, atau serial yang tema utamanya selalu tentang cinta adalah sedangkal-dangkalnya cerita dan amat sangat membuat seluruh wanita di dunia selalu berdelusi tentang lelaki tampan, kaya raya, dan white-horsed prince atau apapun itu sebutannya. Terlalu utopis, menurut saya. Okay, saya memang terlampau skeptis, dan pasti kalian ketika membaca ini seakan ingin menimpuk saya dengan ujung high-heels. Haha. Nah, tetapi semua berubah ketika negara api menyerang drama Korea telah bertransformasi, tidak melulu konflik tentang cinta tetapi semakin menggunakan jalan cerita bervariasi dengan konflik yang kompleks.
Bermula dari celoteh kawan-kawan sekampus saya yang sering bertransaksi drama Korea ilegal, bahwa genre drama Korea akhir-akhir ini sangat menarik dan banyak bertema gangguan jiwa. Salah satu drama yang pertama kali mampir di telinga saya dan menarik minat saya adalah It’s Okay, That’s Love. Awalnya, saya biasa saja mendengarnya, namun karena teman-teman saya sering membahasnya, lama kelamaan saya jadi penasaran juga. Sampai suatu ketika, sepupu saya bilang kalau data di laptopnya hilang pasca reinstall, termasuk drama-drama Korea dan film-film Western yang susah payah dikumpulkannya dan sebagian besar belum ditonton. Memang parah banget sepupu saya ini. Haha.
Berbekal harddisk eksternal milik sepupu saya, saya pun manut-manut saja disuruh berburu drama ke teman-teman kampus saya. Maklum, sih, sepupu saya sudah bukan anak kuliahan, teman-teman bandar drama Koreanya pun sudah melalang buana entah kemana. Halah. Enam dari belasan drama di harddisk sepupu saya, yang masing-masing memiliki sekitar 16-20 episode tersebut, saya pindah ke laptop saya, salah satunya Healer. Lumayan, lah. Hehehe.
Drama Korea yang pertama kali saya tonton adalah Heart to Heart. Drama ini bagus, tapi masih terlalu banyak konflik cintanya daripada gangguan psikologis. Tapi, sejak nonton Heart to Heart itu saya jadi kecanduan drama Korea. Meskipun cintanya banyak, tapi akting aktor-aktrisnya sangat natural sehingga bikin saya jadi baper. Terutama ketika Detektif Jang Do Soo bertepuk sebelah tangan pada Cha Hong Do. Itu, seriously, nyesek banget. I know what he feels banget, lah. Ah, Do Soo memang sangat terlambat, sampai akhirnya Cha Hong Do berpaling ke Ko Yi Suk. Ini kenapa jadi malah bahas Heart to Heart. Hehe.
Nah, setelah saya menyelesaikan 16 episode Heart to Heart, tentu saja saya kena Drama Hangover. Inilah, salah satu efek samping drama yang membuat saya kesal selain bikin baper, yaitu bikin hangover juga. Hm, buat yang belum tahu istilah nyeleneh saya, drama hangover itu mirip sekali dengan book hangover. Drama atau book hangover adalah suatu keadaan ketika diri kita telanjur menyelami dunia fiksi dalam alur cerita drama atau buku tersebut sampai akhirnya sulit keluar dan sulit berdamai dengan realita. Halah. Rada serem memang. Hahaha. Setelah selama beberapa hari memulihkan diri akibat hangover dari Heart to Heart, akhirnya saya pun memilih menonton Healer.
Healer :3. Source: AsianWiki.com
Episode pertama Healer, sangat menarik, membuat saya penasaran dengan episode selanjutnya. Seorang lelaki mirip mata-mata yang bekerja di bawah arahan seorang ahjumma alias ibu-ibu peretas CCTV sampai sistem keamanan kepolisian. Yeah, such my type of movie banget. Maka, sejak episode awal saya sudah jatuh cinta dengan Healer ini. Hehe.
Pada episode-episode awal, saya sering kesulitan nyambung. Saya masih berusaha menerka-nerka, sebenarnya ini cerita tentang apa, bagaimana, apa hubungannya. Nah, tetapi itulah hal yang membuat saya jatuh cinta dengan drama ini, karena pada episode awal saya kesulitan menebak benang merah dari film ini, berarti memang drama ini sangat cerdas. Hehe. Eng… atau mungkin saya aja yang bolot, ya. Entahlah… Hahaha.
Healer ini bercerita tentang seorang Pesuruh Misterius yang bekerja dengan tugas bermacam-macam, mulai dari melindungi seseorang dari ancaman orang jahat sampai mencari seorang gadis yang terpisah dari ibunya selama 20 tahun. Yup, Pesuruh Misterius itu memiliki nama kode ‘Healer’ (Ji Chang Wook), yang kemudian di episode-episode selanjutnya ketahuan kalau nama asli Healer adalah Seo Jung Hoo. Healer ini bekerja di bawah arahan seorang ahjumma mantan detektif, Jo Min Ja. Selama bekerja, Healer selalu dilengkapi dengan peralatan-peralatan canggih, mirip agen IMF, Ethan Hunt di film Mission Impossible. Huehehe. Bedanya, kacamata Ethan Hunt bisa meledak jika dilempar, kalau kacamata Healer adalah alat untuk mendeteksi wajah musuh dan mengenali objek-objek mencurigakan. Mirip alatnya Conan yang dibuat Profesor Agasa. Halah. Selain itu, Healer juga punya earphone yang ada pelacaknya untuk melacak keberadaannya sekaligus berkomunikasi dengan ahjumma.
Ji Chang Wook as Healer. :3.
Suatu ketika, Healer punya sebuah proyek baru. Kliennya yang bernama Kim Moon Ho (Yo Ji-Tae), seorang reporter televisi (news anchor) terkenal, meminta Healer untuk mencari sampel anggota tubuh yang nantinya akan digunakan sebagai sampel tes DNA. Sampai akhirnya Healer menguntit seorang gadis yang berprofesi sebagai jurnalis kantor berita gosip online kecil, Chae Young Shin (Park Min-Young). Nah, memang awalnya drama ini penuh teka-teki, sampai saya sibuk menerka-nerka perihal siapakah sebenarnya Young Shin? Apa hubungannya dengan Moon Ho? Lalu, apakah Healer dan kedua orang itu saling berhubungan? Lambat laun setiap teka-teki yang saya tanyakan sejak di awal film mulai terbuka tabirnya satu persatu di setiap episode.
Saya suka tema utama dari cerita ini, yaitu seorang anak yang terpisah dari ibunya selama bertahun-tahun. Mengenaskannya lagi, si anak sampai memiliki trauma mendalam akan masa kecilnya, berulangkali keluar masuk panti asuhan, mengalami penganiayaan fisik, sampai akhirnya bertemu dengan orangtua angkat baik hati yang merawatnya hingga dewasa. Namun, latar belakang dari hilang atau terpisahnya si anak dari ibunya itu jangan dibayangkan sesederhana sinetron-sinetron Indonesia yang biasanya selalu mengkaitkannya entah itu hilang dibawa pemulung lalu terdampar di panti asuhan, diculik kemudian melarikan diri, atau hilang karena amnesia. Justru yang membuat kerennya drama ini adalah karena konfliknya yang kompleks dalam mengkaitkan masalah kehilangan anak itu dengan masalah politik. Ah, memang jika dijelaskan hanya dalam beberapa baris tidak akan muat. Lebih baik nonton dramanya saja sendiri. Drama ini sangat recommended, terutama untuk para pecinta film dengan konflik rumit. Eh, tapi jangan salahkan saya jikalau kalian jadi kecanduan. Huehehe.
Ji Chang Wook lagi :3 Aww...
Anyway, saya juga suka dengan karakter para aktor dan aktris di drama ini. Natural, tidak terkesan dibuat-buat, dan setiap tokoh memiliki ciri khas masing-masing yang sangat kuat dan kental. Itu mungkin salah satu kelebihan drama-drama Korea karena para aktor dan aktrisnya benar-benar menyajikan performa yang pantas diapresiasi. Akibat dari karakter pemainnya yang natural itu, setelah selama seminggu saya melahap 18 episode dari total 20 episode, sepertinya saya merasa totally terkena drama hangover. Tidak!!! Ah, sungguh saya tidak mau menyelesaikan dua episode terakhir, karena itu artinya saya harus segera mengakhirinya. Halah. Aduh, kenapa malah jadi baper gini, yak? :’)
Pokoknya, saya belum mau move on dari Ji Chang Wook! *Eh (?)
Ngomong-ngomong tentang Ji Chang Wook, sejak saya melihat aktingnya sebagai Healer kemudian menyamar menjadi Park Bong-Soo membuat saya kesengsem berat. Selain karena wajahnya yang tampan dan imut kekanak-kanakan itu, juga karena karakternya di Healer yang dingin, keras hati, susah ditebak, itu bikin geregetan! Saking dia kurang kasih sayang, Seo Jung Hoo alias Healer ini sampai kesulitan mendefinisikan rasa kebutuhan untuk dicintai. Yap, kasihan memang si Seo Jung Hoo ini, masa kecilnya yang tragis membuatnya kesulitan untuk merasakan perasaan hangat yang menjalar dalam ceruk hatinya. Halah.
Ini apaan sih, malah jadi sok puitis.
Hm, kalau dalam Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow, Seo Jung Hoo memiliki defisiensi dalam Love and Belongingness Need. *Apa sih, Mus?* Tapi, setelah bertemu dengan Young-Shin, kemudian Jung-Hoo pun menjadi gampang baper dan gampang meleleh. Ah… :3
Memorable scene; Aww, cocok banget, deh!
Yap, begitulah, karena itu semua kemudian saya jadi fangirlnya Oppa Chang-Wook ini. Jatuh cinta itu memang sederhana, Gais. Hehehe. Oiya, anyway, saya juga suka chemistry antara Ji Chang-Wook dan Park Min-Young di drama ini. Menurut saya, mereka berdua sangat cocok! Aaaaaakkk! Apalagi ketika adegan Young-Shin dan Bong-Soo menyamar jadi sosialita saat akan meliput konferensi pers calon walikota Seoul, Kim Eui Chan. Cocok bangeeeettt! (Hm, mohon maaf bagi yang belum nonton dramanya, mungkin kalian harus nonton dulu sebelum membaca bagian ini. Huehehe). Selain itu, saya juga jadi suka berat sama Eternal Love-nya Michael Learns to Rock. Nggak nyangka aja lagunya MLTR jadi soundtrack Healer. :’)
My heart’s a flame. And it’s burning in your name~~ *langsung berubah jadi penyanyi kamar mandi*
Ya, begitulah. Sekali lagi, saya tidak mau move on dari Ji Chang Wook! *pasang ikat kepala*
Saranghaeyo, Oppa~~ *kemudian berubah jadi anak alay SMA fans boyband Korea*
Ah, sudah dagelannya, nanti saya malah ditimpukin K-Popers. Huehehe.
Okay, sekian post edisi Korea-koreaan saya kali ini sebagai pengisi blog saya yang makin hari makin suwung saja. See ya to the next post~~
Saranghae… <3
*Kemudian nyampurin Jjang Myeon ke mangkuk Bolsott Bbimbab, lalu disiram kuah Kimchi. Nggak tahu deh, rasanya jadi kayak gimana?*

P.S: Pokoknya saya nggak mau move on dari Ji Chang Wook! :D
Ji Chang Wook lagi pokoknyaaa :*

“Senja yang Mendadak Bisu” dan Kampus Fiksi Emas 2015

15:15 0 Comments
Seharusnya tulisan ini saya buat tiga minggu yang lalu, tapi karena tugas dan ujian yang makin hari makin membadai membuat saya lupa jikalau wajib banget nulis postingan semacam ini. Ya, tiga minggu yang lalu, tepatnya tanggal 26 April 2015, kaki saya kembali menjejak di kota pelajar yang menyimpan beribu kenangan (tsaaaahh). Yup, kali ini saya melancong ke Jogja dalam rangka memenuhi undangan untuk menghadiri acara ulang tahun kedua Kampus Fiksi. Nah, pada acara ulang tahun KampusFiksi juga terdapat acara launching kumpulan cerpen “Senja yang Mendadak Bisu”. Alhamdulillah, cerpen saya menjadi salah satu dari dua puluh cerpen yang mendapatkan kesempatan untuk dibukukan DivaPress. :’)
Jadi ceritanya begini, beberapa bulan lalu Kampus Fiksi mengadakan sebuah event lomba cerpen bertema lokalitas. Jadi, dalam cerpen tersebut harus memuat unsur lokalitas kebudayaan suatu daerah di Indonesia. Selain menitikberatkan pada khasanah budaya Indonesia, cerpen tersebut juga harus detail dalam menggambarkan unsur lokalitas serta memiliki pesan moral yang mendalam. Pada awalnya saya kurang begitu berniat untuk mengikuti lomba ini. Pertama, tema lokalitas adalah hal yang paling sulit, menurut saya. Kedua, kalau mau nulis lokalitas Jawa itu sudah terlalu mainstream dan sebagai anak yang dilahirkan di keluarga Jawa, saya sama sekali tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang keunikan adat Jawa. Ketiga, lokalitas bukan genre saya banget, entahlah saya bisa membuatnya atau tidak. Berbagai pikiran yang sebenarnya kurang rasional tersebut terus menghantui saya. Sampai akhirnya deadline sudah makin dekat, tinggal sebulan lagi, dan saya baru mendapat ide untuk menulis lokalitas budaya Aceh. Yup, keinginan saya yang sebenarnya setengah-setengah itu menjadi semakin menggebu ketika teman-teman KF10 saling menyemangati dengan tagline; “Kalau bisa semua KF10 harus ikutan!”. Karena saya orangnya gampang panas, saya pun jadi semakin semangat. Halah.
Nah, masa-masa pengeksekusian ide mengenai cerpen lokalitas saya tersebut memerlukan waktu yang terbilang lama, bahkan cenderung lambat progress-nya dibandingkan cerpen-cerpen teman saya yang lain. Dimulai dari surfing di internet sampai bertanya dengan teman-keren-sebangku-kelas-sepuluh-ketika-SMA yang keturunan Aceh, Cut Khusnul Khotimah alias Ika. Sungguh, tanpa bantuan Ika rasa-rasanya cerpen saya mustahil selesai. Serius. Mustahil. Bahkan, selama masa-masa pengeksekusian cerpen tersebut saya jadi suka tidur-tiduran, dengan mata menerawang, kemudian duduk di depan laptop seraya memandang nanar lembar kosong Microsoft Word. Benar-benar seperti orang setengah gila. Untung saja pada saat itu masih masa-masa liburan semester, jadi mungkin setengah gila untuk beberapa waktu tidak akan menjadi masalah. Hahaha.
Voila! Setelah melalui fase pengendapan, penggodokan, hingga penyulingan ide yang memakan waktu sekitar dua sampai tiga minggu, akhirnya cerpen saya pun selesai. Waktu pun semakin menghimpit, deadline sudah tinggal beberapa hari. Saya mengirim cerpen saya untuk dikoreksi dan dikritisi ke beberapa teman KF10 dan salah satu teman saya yang nantinya akan menjadi peserta Kampus Fiksi angkatan 22, Arina Sabila Haq. Yup, orang kedua yang memiliki andil besar pada cerpen saya kali ini. Melalui koreksinya, saya menemukan beberapa bagian janggal yang luput dari pengamatan saya. Setelah melalui kritik dan saran kemudian dilanjutkan pada proses revisi plus self-editing, akhirnya saya pun memberanikan diri mengirimkan cerpen saya itu tepat H-2 sebelum deadline. Leganya….
Ah, saya mah pasrah saja ketika melihat seratus lebih cerpen yang masuk di list peserta lomba. Saat itu, saya memang pesimis masuk nominasi, mengingat saingannya bukan penulis sembarangan. Kebanyakan peserta lomba adalah alumni Kampus Fiksi senior di atas saya, yang tentu saja dari kualitas tulisan jauh lebih baik daripada saya. Hiks banget, memang. Sebelum jatuh tercerai berai, saya sudah menyiapkan mental jikalau lagi-lagi tulisan saya nantinya bakal masuk tong sampah. Hehe.
Waktu kian berjalan, saya sudah mulai masuk kuliah, ikut membantu penelitian disertasi dosen, hingga input hasil kuesioner penelitian dosen, sampai akhirnya waktu pengumuman pun tiba. Parahnya, saya lupa kalau hari itu adalah pengumuman nominasi dua puluh besar lomba cerpen lokalitas Kampus Fiksi. Sampai kemudian Mbak Meka, teman saya KF10, mengetag nama saya di Facebook beserta link pengumuman lomba cerpen. Kaget! Berdebar-debar saya membuka link tersebut dan menemukan nama beserta cerpen saya terselip di antara nominee yang lain, membuat saya speechless selama beberapa jeda. Okay, ini memang sedikit alay, tetapi memang begitulah yang saya rasakan. Ah, akhirnya setelah melalui proses selama dua tahun menghidupkan kembali semangat menulis saya yang pernah mati suri, baru kali ini saya berhasil menembus penerbit mayor meskipun hanya masuk kumpulan cerpen. Hehe.
Sebelum-sebelumnya, saya memang sudah banyak ikut event menulis cerpen, dan sering pula dibukukan, tapi kebanyakan masih di penerbit indie, jadi belum terlalu nampak gregetnya. Hehe. Alhamdulillah, setelah melalui proses panjang akhirnya salah satu cerpen saya berhasil masuk antologi cerpen dari penerbit mayor, setelah sebelumnya tanggal 2 Februari 2015, cerpen saya juga berhasil masuk di koran, meskipun hanya koran lokal kota Solo. Hehe.
Anyway, saya lupa ngasih tahu, cerpen saya yang masuk di antologi Senja yang Mendadak Bisu tersebut bercerita tentang sistem pemberian mahar dalam menikahi gadis Aceh. Nah, untuk lebih jelasnya, silahkan beli kumcer “Senja yang Mendadak Bisu” yang sudah tersedia di toko-toko buku seluruh Indonesia. Ada dua puluh cerpen yang menunggu untuk dimaknai dan diresapi kedalaman lokalitas dan pesan moralnya. Atau, jika kalian adalah seorang yang berjiwa kompetitif dan sangat menyukai kompetisi sekaligus ingin buku gratis, silahkan mampir ke event giveaway-nya di sini.
Ulasan garis besar mengenai cerpen-cerpen di buku tersebut bisa kalian lihat juga di goodreads ini.
Okay, sekian cuap-cuap saya di pertengahan Mei yang semakin panas dan jarang hujan ini. Sampai jumpa di postingan saya selanjutnya… :’)

P.S.: Jangan lupa beli Senja yang Mendadak Bisu, ya! Semoga yang beli cepet didekatkan jodohnya bagi yang masih jomblo, cepet dilamar bagi yang sudah punya pasangan, cepet punya anak bagi yang sudah menikah, dan cepet wisuda bagi yang masih berkutat dengan skripsi.
P.S.S: Anyway, saya juga sedang proses mikirin judul skripsi, nih. S.(kri)Psi. Semoga (kri)-nya segera tercoret dan akhirnya bisa S.Psi. Kalau bisa ya ditambah M.Psi., Psi., Ph.D. Halah. Aamiin. Hehehe. *ini kenapa penulisnya malah ikutan curhat*

Minggu, 03 Mei 2015

Mengenang Aplikasi Curhat Anonim: SECRET

13:50 0 Comments

Adek sedih, Bang. :'(
“Tepat hari Minggu pukul 00.00 waktu GMT atau pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat, salah satu aplikasi sosial media curhat anonim Secret sudah ditutup oleh pengelolanya.”
Merasa perlu banget nulis tentang aplikasi gokil satu ini, Secret. Mungkin sudah banyak yang tahu atau mungkin juga masih banyak juga yang belum tahu tentang aplikasi bersimbol rubah ini. Ya, seperti namanya, Secret adalah sebuah aplikasi media sosial yang memungkinkan penggunanya bisa curhat dan ngobrol antar sesamanya tanpa diketahui identitas masing-masing alias anonim. Jadi, ketika setiap penggunanya berkomentar di status Secret seorang anonim hanya dibedakan dengan ikon-ikon berbeda warna dan gambar.
Logo Secret. Source: Google.
Mungkin kalian akan bertanya-tanya, apa alasan dibalik saya menginstall aplikasi Secret? Haha. Ceritanya memang sedikit konyol, sih. Jadi, suatu ketika saya sedang super duper kurang kerjaan. Saya didera kebosanan yang amat sangat. Saya sudah bosan dengan Twitter, kemudian saya pun juga sudah jarang bermain Facebook. Instagram? Punya juga, sih. Tapi, saya bukan semacam gadis narsis yang saban hari posting-posting foto atau cewek yang demen ngabisin duit traveling kemana-mana (bilang aja nggak punya duit, haha). Lagipula instagram hanya aplikasi yang saya gunakan untuk stalking… eng…. seseorang nun jauh di sana. Namun, apa daya, karena Instagram seseorang itu diprotect, alhasil saya sudah nggak bisa stalking lagi. Hehe, Instagram saya juga diprotect, sih. Biar aman. Haha.
Lalu, saya juga sudah jenuh bermain Path, karena menurut saya aplikasi satu itu benar-benar platform media sosial untuk ajang pamer, check in di resto atau café keren biar disangka anak hitz bangetz, atau watching or listening something biar disangka anak gaul bingits.
Ah, adek lelah, Bang.
Jadi, satu-satunya aplikasi yang masih sering saya pakai hanya Line, BBM, dan Whatsapp. Yap, karena lebih privasi mungkin, dan lebih sedikit konten yang bikin iri dengki. Haha. Itulah mengapa akhir-akhir ini saya tidak pernah tampak di Facebook atau Twitter, karena saya telah jenuh.
Lantas, suatu ketika, karena jenuh bermain dengan aplikasi-aplikasi mainstream, saya pun mulai searching di Google Play tentang aplikasi curhat colongan. Pertama kali, saya menginstall Legatalk, karena isinya mesum dan bikin hoek, maka saya pun menghapusnya. Melalui rekomendasi seorang user di Legatalk bahwa ada aplikasi yang lumayan ngehitz di Jakarta dan isinya jauh dari mesum, maka saya pun menginstall Secret.
Yap, jadi di Secret ini ada tab Nearby, karena saya tinggal di Solo, maka Nearby saya di daerah Solo dan sekitarnya. Selain tab Nearby, ada pula tab Jakarta. Semua pengguna Secret seluruh Indonesia dapat membuka forum Jakarta, tapi nggak bisa ngepost atau komen status user Jakarta. Hanya bisa ngelike postingan mereka atau baca-baca postingan mereka saja.
Nah, karena saya lihat postingan user Solo tidak mengandung konten berbahaya, maka saya pun kemudian mempertahankan Secret, saya anggap aplikasi ini aman, bebas konten saru. Hehe.
Pada pertengahan Maret kalau tidak salah, itu adalah awal saya menginstall Secret. Saya menemukan keseruan ketika bermain dengan Secret. Membaca postingan-postingan tentang curhatan para remaja labil ketika gebetannya nggak peka, atau membaca cerita mereka tentang pertemuan dengan pasangannya akibat aplikasi Secret. Berasa baca skrip FTV, beneran deh. Saya juga sering membaca postingan para remaja alay yang sedang marah karena konflik dengan sahabatnya atau teman dekatnya. Haha. Yap, itung-itung siapa tahu saya bisa dapet ide buat bikin cerpen atau novel (yang sampe saat ini masih sebatas rencana) hehe. Yap, user Secret di Nearby Solo kebanyakan masih berusia SMA dan kuliah, jadi masih lah alay-alay gitu. Haha.
Hm, anyway, pasti kalian bertanya-tanya, apa saya juga ikut-ikutan curhat labil anonim seperti itu? Dan jawabannya adalah: YA! Tujuan saya menginstall aplikasi Secret adalah untuk curhat colongan seanonim mungkin, tanpa diketahui orang lain. Tapi, saya memang terhitung jarang sekali posting di Secret karena tentu saja kerjaan saya yang lain masih banyak. Haha. Ketika saya bete atau bosan, biasanya saya curhat di Secret. Ya, mengisi kesuwungan gitu, deh.
Selain posting curhat anonim, saya juga sering chatting dengan para anonim di luar sana. Bertukar cerita, semacam self-disclosing tetapi tanpa mengetahui identitas masing-masing dengan gamblang. Secret jadi semacam self-confessing para orang-orang yang merasa perlu banget buat curhat tetapi malu kalau harus curhat sama orang yang mereka kenal.
Namun, Secret tak selamanya bersih. Ketika saya bermain di tab Jakarta banyak sekali postingan-postingan mesum yang berbahaya. Ada foto juga, tapi untungnya di Secret saya bentuknya kecil banget, sehingga harus diklik dulu supaya bisa kelihatan. Alhamdulillah, fotonya kecil, jadi ngga kelihatan. Hahaha. Bahkan ada juga postingan yang berisi konten porno penjelasan tentang hubungan perzinaan, atau konten berbau homoseksual dan lesbian. Selain itu juga banyak yang sering bertukar link video porno. Ckck. Miris hati adek, Bang.
Padahal banyak juga anak-anak SMP dan SMA yang mengakses Secret. Ckck. Mentang-mentang anonim, mereka bisa posting seenak udel mereka sendiri. Lama-lama kontennya makin nggak bener. Fuuuh….. karena makin lama Secret makin membosankan dan berbahaya saya pun makin lama makin malas bermain Secret.
Lama tak pernah membuka Secret, tiba-tiba saya mendengar kabar dari teman saya bahwa Secret akan segera ditutup. Mungkin memang saatnya Secret ditutup karena jika malam mulai beranjak larut biasanya kebanyakan berisi konten mesum. Namun, saya juga merasa sedih karena entah di mana lagi saya akan membaca cerita-cerita seru, unyu, sedih, atau bikin marah dari para pengguna Secret yang kebanyakan masih berusia pelajar dan mahasiswa itu. Dan yang paling penting, di mana lagi saya akan curcol anonim tanpa diketahui orang lain lagi. Hiks, adek sedih, Bang. Mungkin hal-hal itulah yang nantinya akan dirindukan dari para pengguna Secret di mana pun mereka berada. :’)
Mungkin memang saatnya para pengguna Secret mulai memberdayakan kembali diary usang mereka yang sudah lama berdebu dan bersarang laba-laba. Begitu pula dengan saya. Haha.
Yup, setidaknya meski waktu berkawan kita hanya sekitar dua bulan, tapi Secret memang menggoreskan seberkas cerita lucu dan konyol yang mungkin akan selalu dikenang bagi tiap para penggunanya. Terutama untuk para pengguna yang menemukan belahan jiwanya di Secret. Halah.
Okay, cukup sekian tulisan saya sebagai pembukaan di bulan Mei yang lembab dan berhujan ini. Sudah mulai akhir semester dan akan magang, sebagai mahasiswa semester tua, maka saya mungkin akan jarang bercerita di blog. Hehe. Okay, see you to the next post!
Screenshoot SECRET. Haha.
P.S: Dear David Byttow (Secret’s Founder), we’re gonna miss Secret so much! Sincerely, The Two-Months Secret’s User.