Minggu, 20 Oktober 2013

Ibu, Tiang Peradaban Dunia

18:53 0 Comments



Menjadi ibu dalam sebuah rumah tangga adalah sebuah profesi yang tidak bisa dianggap remeh. Ibu adalah sebagai “tiang rumah tangga” amatlah penting bagi terselenggaranya rumah tangga yang sakinah. Apa itu rumah tangga yang sakinah? Yaitu keluarga yang sehat dan bahagia, karena peran ibu yang mengatur, membuat rumah tangga menjadi surga bagi setiap anggota keluarga. Untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan dalam keluarga dibutuhkan ibu yang mengerti dan memahami  suami serta mendidik dan mengasuh anak dengan baik.

Ibu merupakan sekolah-sekolah paling utama dalam pembentukan kepribadian anak, serta sarana untuk memenuhi mereka dengan berbagai sifat mulia. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Surga di bawah telapak kaki ibu”. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa tanggung jawab ibu sungguh besar terhadap masa depan anaknya, sehingga ibu memiliki kemuliaan tersebut. Dari segi psikologis dan pendidikan, sabda Rasulullah tersebut ditujukan kepada ibu bahwa ibu harus bekerja keras dalam mendidik anak dan mengawasi tingkah laku mereka dengan menanamkan berbagai perilaku terpuji serta tujuan-tujuan mulia.

Para ibu memiliki tanggung jawab besar dalam menyusun wilayah-wilayah mental serta sosial dalam pencapaian kesempurnaan serta pertumbuhan anak. Jadi, ibu tidak hanya bertugas melahirkan anak saja tetapi juga memiliki andil besar dalam proses tumbuh kembang baik secara fisik maupun psikis sang anak. Berhasil atau tidaknya anak-anak tersebut di masa depan, dilihat juga dari kiprah ibu dalam mendidik dan membimbing anaknya.

Dalam usia-usia perkembangan awal masa anak-anak, ibu memiliki peran besar dalam memenuhi kebutuhan akan fisik dan psikis anak. Jika ibu hanya memberikan kebutuhan fisik anak saja, tetapi mengabaikan kebutuhan psikis sang anak, maka perkembangan anak akan mengalami kekurangan. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang kasih sayang dan cenderung semaunya sendiri. Hal itu terjadi karena ibu kurang memberikan kasih sayang dan kurang membangun kedekatan emosional dengan sang anak.

Kita tentu ingat pepatah, Behind every successful man, there’s a great woman. Kalimat itu cocok juga dalam menggambarkan peran ibu dalam keluarga. Di belakang pria yang sukses selalu ada wanita yang hebat. Istri yang hebat memiliki andil besar dalam memotivasi suaminya untuk menjadi pribadi yang hebat, ibu yang hebat tentu akan menghasilkan anak-anak yang hebat pula. Anak yang hebat, tak terkecuali itu perempuan atau laki-laki, jika ia memiliki ibu yang bertanggung jawab dalam setiap proses tumbuh kembang anak, maka akan menghasilkan anak yang cerdas dan matang secara kepribadian serta emosional.

Wanita adalah komponen utama dalam peradaban suatu bangsa dan negara. Jika seorang wanita bisa mendidik anak dengan baik maka ia sudah memberikan kontribusi untuk memajukan peradaban bangsa. Maka dari itu, persiapan sejak dini itu sangat perlu. Ibu juga perlu pendidikan dan intelektualitas yang baik, karena kelak ibu yang akan mendidik anaknya sesuai dengan pendidikan yang pernah ia dapatkan. 

Setiap wanita, baik yang sudah menikah ataupun yang masih lajang, hendaknya sudah sejak awal mempersiapkan rencana-rencana untuk menghasilkan generasi cemerlang, menghasilkan anak-anak yang hebat. Anak yang hebat merupakan cikal bakal pemimpin generasi masa depan yang tantangannya lebih kompleks. Kita tahu bahwa, semakin bertambahnya zaman, tantangan global pun kian mendominasi setiap aspek kehidupan. Maka, pandai-pandailah kita sebagai para wanita untuk berusaha mempersiapkan menjadi yang terbaik saat ini, kelak semuanya akan berguna untuk masa depan anak-anak kita.   

Rencana-rencana yang bisa kita lakukan untuk menyongsong hadirnya anak-anak generasi penerus bangsa adalah:

1.      Mempersiapkan kesehatan fisik kita dengan banyak berolahraga
Sebagai calon ibu, penting sekali untuk senantiasa menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Salah satunya dengan cara berolahraga. Biasakan sejak muda untuk berolahraga, karena olahraga membuat tubuh kita bugar dan melenturkan otot-otot supaya tidak mudah kaku. Lakukan olahraga yang ringan-ringan saja, asal rutin, dua sampai tiga kali dalam seminggu. Mengapa olahraga penting? Karena ibu yang kondisi fisiknya selalu bugar, tidak akan mudah terserang penyakit. Generasi yang sehat dihasilkan oleh ibu yang sehat pula.

2.      Jaga asupan pola makan, makan teratur setiap hari
Jangan tergoda oleh diet yang berlebihan. Tubuh perlu asupan nutrisi yang cukup dan seimbang setiap harinya. Hal itu didukung dengan pola makan yang teratur. Makan teratur menyediakan tubuh asupan nutrisi yang cukup sehingga tubuh tidak mudah lelah atau lemas.

3.      Makan-makanan yang bergizi. Makan banyak sayur dan buah yang mengandung vitamin
Sayuran dan buah merupakan komponen penting dalam memenuhi kebutuhan vitamin tubuh kita. Dalam sayur dan buah terdapat serat yang sangat berguna untuk kesehatan pencernaan kita. Selain bervitamin tinggi, sayur dan buah juga mengandung banyak air yang bisa mencukupi konsumsi kebutuhan air pada tubuh kita. Calon ibu yang sudah sejak dini membiasakan memakan buah-buahan dan sayuran, kelak akan menghasilkan anak yang sehat. Selama anak masih di dalam kandungan, jika ibu teratur mengonsumsi buah-buahan dan sayuran maka bayi akan memiliki fisik yang sehat saat lahir.

4.      Jaga kesehatan dengan membuat tubuh tidak terlalu letih
Jangan memforsir tenaga terlalu berat. Tubuh juga perlu istirahat. Jika banyak pekerjaan, tetapi tubuh sudah terasa lelah, biarkan tubuh istirahat walaupun hanya beberapa jam.  Hal ini sangat penting untuk kesehatan tubuh kita. Apalagi untuk ibu-ibu hamil maka harus memiliki pola tidur yang cukup dan teratur supaya tidak terlalu capek yang bisa mengganggu kesehatan ibu dan bayi.

5.      Menambah asupan pengetahuan dengan rajin membaca buku
Membaca buku sangat penting untuk nutrisi otak. Otak yang sering dibiasakan untuk membaca akan tidak mudah lupa. Apalagi untuk calon ibu, sering-sering membaca seputar mengasuh dan mendidik anak supaya nantinya ibu dapat mendidik dan mengasuh anak dengan benar. Ibu yang memiliki pengetahuan luas, juga memberikan dampak langsung yang besar kepada anaknya. Ibu yang berpengetahuan memadai maka akan dapat mendidik anak dengan benar dan bisa menghasilkan anak yang berkualitas dalam segi fisik dan mental.

6.      Mendidik anak tanpa kekerasan
Anak bukanlah sebuah boneka, yang bisa dilempar-lempar atau dibentak-bentak saat kita sedang kesal dengan kelakuan mereka. Mereka sejatinya masih belum paham, maka tugas orang tualah yang memberikan teladan dan menasihati dengan baik. Anak jangan diberi tekanan psikologis yang dapat menimbulkan luka jiwanya. Biarkan anak menyalurkan segala tingkah kreativitasnya, jangan serta merta dilarang. Nasihati dengan baik jika mereka melakukan kesalahan atau melakukan sesuatu yang berbahaya. Jika anak nakal, maka hendaknya jangan dibentak atau dimaki-maki dengan kata-kata kasar apalagi dipukul, karena hal tersebut dapat menimbulkan luka psikologis yang susah disembuhkan sampai ia dewasa nanti. Berikan hukuman yang sewajarnya jika anak melakukan kesalahan yang tidak bisa ditoleransi. Hukuman untuk anak yang tepat adalah dengan mengurangi kesenangannya. Jika anak sedari kecil sudah sering dibentak atau dipukul, ia akan tumbuh menjadi anak pembangkang dan tidak taat aturan. 

7.      Memberikan nutrisi yang cukup untuk anak-anak
Sejak dini, anak harus diberi ASI yang cukup dan nutrisi makanan yang sehat dan bergizi. Jika anak susah makan, maka berikan motivasi supaya anak mau makan, terutama makan sayur dan buah. Biasanya anak memang susah diberi makan sayur dan buah. Maka tugas ibu, mensiasati supaya anak suka memakan sayur dan buah. Bisa dengan dibiasakan sedikit-sedikit memakan sayuran dan buah-buahan, maka lama-kelamaan lidahnya akan terbiasa akan rasa sayur dan buah.
Anak yang sejak dini sudah dibiasakan makan bergizi, maka ia pada tahun-tahun awal pertumbuhannya memiliki fisik yang kuat serta tidak mudah terserang penyakit. Memberikan fondasi fisik awal untuk anak pada saat tahun-tahun pertumbuhan awal mereka akan memberikan dampak besar pada pertumbuhan fisik pada tahun-tahun berikutnya. Jika anak sedari kecil jarang sakit atau tidak pernah sakit parah, maka pada usia remaja atau dewasanya tubuhnya akan berkembang sempurna, sehat dan bugar, serta jarang terserang penyakit berbahaya. 

8.      Biasakan anak melakukan hal-hal yang positif
Biasakan anak melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan kreativitas dan kinerja otaknya. Bisa dengan, sejak dini anak sudah dibiasakan membaca buku, maka ia lama-kelamaan semakin gemar membaca buku. Selain itu, biasakan anak melakukan kebutuhan sehari-harinya sendiri, hal itu dapat melatih kemandirian anak pada pertumbuhannya di masa yang akan datang. Anak yang mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain akan menjadi pribadi yang tangguh. Ia tidak mudah mengeluh dalam menghadapi masalahnya, ia terus berusaha untuk menyelesaikan masalahnya dengan baik. Hal itu merupakan sebuah sarana menumbuhkan jiwa kepemimpinan kepada anak sejak dini. 

9.    Paling penting, memberikan fondasi budi pekerti serta keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
Anak yang sejak dini sudah ditanamkan nilai-nilai budi pekerti dan norma-norma agama, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang memiliki keparipurnaan kepribadian. Ia akan tumbuh menjadi anak yang memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang mumpuni, menjadi sebuah bibit pemimpin peradaban dunia yang sangat unggul. Anak yang memiliki rasa keimanan dan ketakwaan akan Tuhannya, ia akan senantiasa mendasarkan setiap perbuatannya dengan niat ikhlas karena Tuhannya. Ia akan berbuat dengan sesuai norma agama, tidak akan menyimpang dari norma dan nilai agama yang dianut karena norma dan nilai tersebut telah ditanamkan sejak kecil sehingga otomatis merasuk dan terinternalisasikan dalam jiwanya. 

Perencanaan yang matang tidak akan menghasilkan apapun jika tidak disertai niat dan kemauan untuk merealisasikan rencana tersebut. Ibu adalah tiang peradaban, dari ibulah dihasilkan calon-calon pemegang peradaban dunia. Ibu yang sehat dan memiliki intelektual tinggi, akan menghasilkan generasi-generasi yang sehat dan berintelektual tinggi pula. Ibu yang memiliki jiwa dan fisik tangguh akan menghasilkan generasi calon penerus bangsa yang memiliki fisik dan jiwa yang tangguh. Jadi, biasakan mendidik anak dengan aturan yang benar, sehingga dapat menghasilkan bibit-bibit unggul yang dapat diandalkan di masa yang akan datang.

Selasa, 15 Oktober 2013

Mana yang Lebih Dulu, Iman atau Islam?

09:45 0 Comments

Malam takbiran menjelang Idul Adha, saya dan Bapak terlibat diskusi panjang tentang konsep ini. Sebenarnya kami membicarakan tentang ini karena terinspirasi dari sebuah kisah perdebatan konsep Ketuhanan antara si aktivis dakwah dan seorang sekular yang Muslimnya masih 50%. Mereka berdebat dengan menggunakan perspektif pemikiran masing-masing. Si aktivis dakwah yang merupakan seorang Muslim taat menjelaskan dengan dasar-dasar pemikiran Al-Qur’an sedangkan si Muslim abangan yang sekular menjelaskan dengan dasar-dasar pemikiran ilmu pengetahuan yang pada dasarnya masih terkungkung dalam logika.

Kemudian Bapak melontarkan sebuah pertanyaan kepada saya:
 “Dari cerita tersebut, menurut kamu bagaimana urutannya, apakah Iman, Islam, Ihsan atau Islam, Iman, Ihsan?”
“Tentu saja urutan yang sesuai menurut saya adalah Iman dulu baru kemudian Islam lalu Ihsan” saya menjawab dengan begitu percaya diri.
“Nah… mengapa?” Bapak bertanya lagi.
“Karena seseorang itu Iman dulu, baru kemudian dia menyatakan Islamnya dan kemudian ia pun masuk ke kategori Ihsan”
Jawaban saya dibenarkan oleh Bapak. Memang kalau dipikir dengan pemikiran orang awam seperti saya, tentu seseorang itu beriman dulu baru kemudian ia menjadi orang Islam.

Lantas, kemudian Bapak melanjutkan memberikan ulasannya, tetapi mayoritas muslim sekarang itu melalui tahap Islam dulu, baru kemudian Iman. Pun juga seperti kami ini, yang pertama kali pasti Islam dulu baru Iman. Orang-orang yang memang dari semenjak dilahirkan sudah dalam keadaan Islam pasti mereka sudah masuk Islam. Tapi pertanyaannya, apakah mereka sudah memiliki Iman atas agamanya itu?

Karena kita diciptakan menjadi seorang muslim semenjak lahir, terkadang kita terlalu terlena dengan identitas kita. Mentang-mentang kita sudah menjadi muslim sejak lahir, mentang-mentang dari kecil kita sudah didoktrin dengan ilmu-ilmu agama, lantas setelah kita sudah sebesar ini apa yang kita lakukan? Apakah ilmu kita hanya begini begitu saja, tidak bertambah sama sekali, bahkan bisa saja berkurang? Stagnan terus dari sejak masih kecil, dari sejak ikut TPA, sampai dewasa ini? Apakah kita belajar sholat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya hanya karena ikut orang tua atau ikut perkataan pak ustadz? Terkadang kita bahkan tidak pernah melalui proses pemikiran yang panjang, kenapa kita harus begini, kenapa kita harus begitu. Apakah ada dari kalian yang berpikir? Pun juga saya, sebesar ini saya baru sadar. Kemana aja sih saya selama ini? Padahal muslim sejak lahir, tapi ya masih gini-gini aja. Astaghfirullah…

Nah, kembali ke konsep Islam dulu baru Iman. Biasanya, umur-umur seusia saya yang sedang semangat menuntut ilmu agama itu, kalau latar belakang keluarganya muslim memang pada dasarnya ia sudah diberikan doktrin dan keimanan tentang Tuhan sejak kecil. Baru lantas kemudian, mereka semakin mempertebal identitas Islamnya itu dengan menambah keimanan. Bisa saja dengan semakin menyelamkan diri ke dalam majelis ilmu agama, sehingga semakin paripurnalah ilmu agama mereka untuk menjadi seorang Muslim sejati.

Nah, bagaimana dengan Iman dulu baru Islam. Jika sebelumnya seseorang itu belum memiliki keyakinan akan Tuhan, pasti mereka sedang melakukan sebuah proses pencarian Tuhan. Selain itu, sebenarnya ia juga sedang mencari identitas dirinya sebagai manusia. Ia sudah mulai berpikir akan eksistensinya. Ia sudah mulai berpikir, siapakah manusia itu, untuk apa mereka diciptakan, siapa yang menciptakan, dan lain sebagainya. Memang, ia terkadang menggunakan logikanya terlalu berlebihan. Tetapi, namanya juga manusia, yang diciptakan oleh Allah sebagai sesuatu yang amat terbatas, dari segi pengetahuannya dan segalanya amat terbatas, tentu logikanya tidak akan mampu untuk berpikir tentang Dzat Allah.

Merunut dari identitas si sekular yang pada awalnya memang seorang Muslim tetapi masih 50%, tentunya ia juga melalui Islam dulu. Tapi, mungkin saja karena fondasi keimanan yang ditanamkan oleh orang tuanya semenjak dini masih belum kokoh, maka ia pun menjadi semacam agak liberal bahkan menyangsikan identitasnya sebagai seorang muslim, karena ia masih belum paham tentang konsep Ketuhanan. Nah, kalau di sini, siklusnya menjadi mundur kembali, jadi ia kembali belum memiliki Iman maupun Islam. Ia masih menjadi pribadi yang kosong. Maka, untuk mengembalikannya ke jalan yang benar, dengan menggiringnya ke dalam keimanan. Si sekular yang terlalu melihat sudut pandang dari sesuatu yang empirik, sesuatu yang tampak mata, sesuatu yang berwujud, tentu jika ia diajak berbicara tentang konsep Ketuhanan – pada dasarnya sesuatu yang ghaib – tentu akal pikirannya tidak akan sampai. Tapi, jika ada seseorang yang dapat memberikan pencerahan kepadanya – yang mungkin bisa saja menjelaskan tentang eksistensi Tuhan menggunakan bukti ilmu pengetahuan – si sekular ini mungkin akan semakin beriman kepada Tuhan. Jika ia menjadi seorang Muslim paripurna, bisa saja ia akan menjadi lebih taat dibandingkan si muslim yang beragama Islam sejak lahir.

Saya akan memberikan contoh nyata. Orang yang semenjak kecil belum muslim, tetapi kemudian setelah melalui proses yang panjang akhirnya ia pun menemukan dirinya, kemudian ia beriman kepada Allah lantas melangkahkan dirinya ke dalam Islam, maka ia terlihat lebih semangat dalam menuntut ilmu agama dibandingkan dengan kita yang semenjak kecil sudah muslim. Karena apa? Karena seseorang itu telah melalui proses melewati keimanan. Ia telah mengalami sebuah pemikiran yang panjang, yang kemudian menunjukkan ia ke jalan kebenaran. Tentu kalau ia sudah beriman, dalam hatinya akan meyakini dengan sepenuh hati. Ia kemudian menyempurnakan keimanannya dengan menjadi muslim dan masuk Islam. Tentu tidak berhenti sampai di situ. Ia akan semakin menyempurnakan pengetahuan agamanya dengan mengkaji agamanya semakin dalam. Karena ia juga telah meyakini, bahwa beriman adalah pilihannya dan menjadi Islam juga sebuah pilihan. Ia juga merasa memiliki konsekuensi atas pilihan yang ia yakini kebenarannya itu. Seperti contoh, banyak ilmuwan-ilmuwan yang dulunya atheis, tetapi setelah menemukan suatu penemuan fantastis – yang di dalam Al-Qur’an pun sudah ada – ilmuwan tersebut akhirnya meyakini bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab sembarangan. Al-Qur’an adalah kitab yang berasal dari firman Allah. Itu juga berarti, Allah itu ada. Akhirnya ilmuwan atheis itupun akhirnya masuk islam. Bahkan ia menjadi lebih taat dibandingkan muslim lainnya.

Lantas, melihat contoh di atas. Bagaimana dengan kita yang sejak lahir sudah Muslim? Apakah kita akan menjadi semakin bersemangat lagi dalam menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya dan memperdalam ilmu agama kita setelah membaca ini?

Nah, inilah, dalam tulisan saya kali ini, saya tidak akan memberikan sebuah kesimpulan. Saya hanya ingin menuliskan apa yang ada dalam pikiran saya saja. Untuk masalah pengambilan kesimpulan, saya serahkan kepada kalian semua. Saya di sini juga masih perlu banyak belajar. Tulisan ini bukan bermaksud untuk menggurui siapapun, hanya untuk saling mengingatkan, mari kita berkaca pada diri sendiri. Kita sebagai seorang Muslim yang sejak lahir sudah beragama Islam, apakah sudah benar-benar mengerti hakikat menjadi seorang muslim? Apakah kita hanya sekedar ikut-ikutan? Nasihat ini juga berlaku untuk yang menulis, tentu saja yang menulis belum tentu lebih pandai atau lebih tahu daripada yang membaca.

Sekian tulisan saya kali ini. Tulisan ini edisi khusus Idul Adha, jadi tidak ada unsur gaje-gaje seperti tulisan saya sebelumnya. Jika ada yang punya pendapat berbeda dengan saya, silahkan saja, karena kita juga sama-sama sedang belajar. Saya di sini juga sedang menyampaikan pendapat saya saja :)
Sampai jumpa di postingan saya selanjutnya :) 

P.S: Maaf, tulisannya bahasanya amburadul. Malah lebih amburadul daripada tulisan gaje saya. Biasalah otak mikirnya udah sampai Z tapi tangan ngetiknya baru sampai J, impuls listriknya terlalu cepat. Aaaaaaaaaaakkkkkkkkkk!! *sudah Mus, jangan gaje lagi :D