Selasa, 15 Oktober 2013

# Agama

Mana yang Lebih Dulu, Iman atau Islam?


Malam takbiran menjelang Idul Adha, saya dan Bapak terlibat diskusi panjang tentang konsep ini. Sebenarnya kami membicarakan tentang ini karena terinspirasi dari sebuah kisah perdebatan konsep Ketuhanan antara si aktivis dakwah dan seorang sekular yang Muslimnya masih 50%. Mereka berdebat dengan menggunakan perspektif pemikiran masing-masing. Si aktivis dakwah yang merupakan seorang Muslim taat menjelaskan dengan dasar-dasar pemikiran Al-Qur’an sedangkan si Muslim abangan yang sekular menjelaskan dengan dasar-dasar pemikiran ilmu pengetahuan yang pada dasarnya masih terkungkung dalam logika.

Kemudian Bapak melontarkan sebuah pertanyaan kepada saya:
 “Dari cerita tersebut, menurut kamu bagaimana urutannya, apakah Iman, Islam, Ihsan atau Islam, Iman, Ihsan?”
“Tentu saja urutan yang sesuai menurut saya adalah Iman dulu baru kemudian Islam lalu Ihsan” saya menjawab dengan begitu percaya diri.
“Nah… mengapa?” Bapak bertanya lagi.
“Karena seseorang itu Iman dulu, baru kemudian dia menyatakan Islamnya dan kemudian ia pun masuk ke kategori Ihsan”
Jawaban saya dibenarkan oleh Bapak. Memang kalau dipikir dengan pemikiran orang awam seperti saya, tentu seseorang itu beriman dulu baru kemudian ia menjadi orang Islam.

Lantas, kemudian Bapak melanjutkan memberikan ulasannya, tetapi mayoritas muslim sekarang itu melalui tahap Islam dulu, baru kemudian Iman. Pun juga seperti kami ini, yang pertama kali pasti Islam dulu baru Iman. Orang-orang yang memang dari semenjak dilahirkan sudah dalam keadaan Islam pasti mereka sudah masuk Islam. Tapi pertanyaannya, apakah mereka sudah memiliki Iman atas agamanya itu?

Karena kita diciptakan menjadi seorang muslim semenjak lahir, terkadang kita terlalu terlena dengan identitas kita. Mentang-mentang kita sudah menjadi muslim sejak lahir, mentang-mentang dari kecil kita sudah didoktrin dengan ilmu-ilmu agama, lantas setelah kita sudah sebesar ini apa yang kita lakukan? Apakah ilmu kita hanya begini begitu saja, tidak bertambah sama sekali, bahkan bisa saja berkurang? Stagnan terus dari sejak masih kecil, dari sejak ikut TPA, sampai dewasa ini? Apakah kita belajar sholat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya hanya karena ikut orang tua atau ikut perkataan pak ustadz? Terkadang kita bahkan tidak pernah melalui proses pemikiran yang panjang, kenapa kita harus begini, kenapa kita harus begitu. Apakah ada dari kalian yang berpikir? Pun juga saya, sebesar ini saya baru sadar. Kemana aja sih saya selama ini? Padahal muslim sejak lahir, tapi ya masih gini-gini aja. Astaghfirullah…

Nah, kembali ke konsep Islam dulu baru Iman. Biasanya, umur-umur seusia saya yang sedang semangat menuntut ilmu agama itu, kalau latar belakang keluarganya muslim memang pada dasarnya ia sudah diberikan doktrin dan keimanan tentang Tuhan sejak kecil. Baru lantas kemudian, mereka semakin mempertebal identitas Islamnya itu dengan menambah keimanan. Bisa saja dengan semakin menyelamkan diri ke dalam majelis ilmu agama, sehingga semakin paripurnalah ilmu agama mereka untuk menjadi seorang Muslim sejati.

Nah, bagaimana dengan Iman dulu baru Islam. Jika sebelumnya seseorang itu belum memiliki keyakinan akan Tuhan, pasti mereka sedang melakukan sebuah proses pencarian Tuhan. Selain itu, sebenarnya ia juga sedang mencari identitas dirinya sebagai manusia. Ia sudah mulai berpikir akan eksistensinya. Ia sudah mulai berpikir, siapakah manusia itu, untuk apa mereka diciptakan, siapa yang menciptakan, dan lain sebagainya. Memang, ia terkadang menggunakan logikanya terlalu berlebihan. Tetapi, namanya juga manusia, yang diciptakan oleh Allah sebagai sesuatu yang amat terbatas, dari segi pengetahuannya dan segalanya amat terbatas, tentu logikanya tidak akan mampu untuk berpikir tentang Dzat Allah.

Merunut dari identitas si sekular yang pada awalnya memang seorang Muslim tetapi masih 50%, tentunya ia juga melalui Islam dulu. Tapi, mungkin saja karena fondasi keimanan yang ditanamkan oleh orang tuanya semenjak dini masih belum kokoh, maka ia pun menjadi semacam agak liberal bahkan menyangsikan identitasnya sebagai seorang muslim, karena ia masih belum paham tentang konsep Ketuhanan. Nah, kalau di sini, siklusnya menjadi mundur kembali, jadi ia kembali belum memiliki Iman maupun Islam. Ia masih menjadi pribadi yang kosong. Maka, untuk mengembalikannya ke jalan yang benar, dengan menggiringnya ke dalam keimanan. Si sekular yang terlalu melihat sudut pandang dari sesuatu yang empirik, sesuatu yang tampak mata, sesuatu yang berwujud, tentu jika ia diajak berbicara tentang konsep Ketuhanan – pada dasarnya sesuatu yang ghaib – tentu akal pikirannya tidak akan sampai. Tapi, jika ada seseorang yang dapat memberikan pencerahan kepadanya – yang mungkin bisa saja menjelaskan tentang eksistensi Tuhan menggunakan bukti ilmu pengetahuan – si sekular ini mungkin akan semakin beriman kepada Tuhan. Jika ia menjadi seorang Muslim paripurna, bisa saja ia akan menjadi lebih taat dibandingkan si muslim yang beragama Islam sejak lahir.

Saya akan memberikan contoh nyata. Orang yang semenjak kecil belum muslim, tetapi kemudian setelah melalui proses yang panjang akhirnya ia pun menemukan dirinya, kemudian ia beriman kepada Allah lantas melangkahkan dirinya ke dalam Islam, maka ia terlihat lebih semangat dalam menuntut ilmu agama dibandingkan dengan kita yang semenjak kecil sudah muslim. Karena apa? Karena seseorang itu telah melalui proses melewati keimanan. Ia telah mengalami sebuah pemikiran yang panjang, yang kemudian menunjukkan ia ke jalan kebenaran. Tentu kalau ia sudah beriman, dalam hatinya akan meyakini dengan sepenuh hati. Ia kemudian menyempurnakan keimanannya dengan menjadi muslim dan masuk Islam. Tentu tidak berhenti sampai di situ. Ia akan semakin menyempurnakan pengetahuan agamanya dengan mengkaji agamanya semakin dalam. Karena ia juga telah meyakini, bahwa beriman adalah pilihannya dan menjadi Islam juga sebuah pilihan. Ia juga merasa memiliki konsekuensi atas pilihan yang ia yakini kebenarannya itu. Seperti contoh, banyak ilmuwan-ilmuwan yang dulunya atheis, tetapi setelah menemukan suatu penemuan fantastis – yang di dalam Al-Qur’an pun sudah ada – ilmuwan tersebut akhirnya meyakini bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab sembarangan. Al-Qur’an adalah kitab yang berasal dari firman Allah. Itu juga berarti, Allah itu ada. Akhirnya ilmuwan atheis itupun akhirnya masuk islam. Bahkan ia menjadi lebih taat dibandingkan muslim lainnya.

Lantas, melihat contoh di atas. Bagaimana dengan kita yang sejak lahir sudah Muslim? Apakah kita akan menjadi semakin bersemangat lagi dalam menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya dan memperdalam ilmu agama kita setelah membaca ini?

Nah, inilah, dalam tulisan saya kali ini, saya tidak akan memberikan sebuah kesimpulan. Saya hanya ingin menuliskan apa yang ada dalam pikiran saya saja. Untuk masalah pengambilan kesimpulan, saya serahkan kepada kalian semua. Saya di sini juga masih perlu banyak belajar. Tulisan ini bukan bermaksud untuk menggurui siapapun, hanya untuk saling mengingatkan, mari kita berkaca pada diri sendiri. Kita sebagai seorang Muslim yang sejak lahir sudah beragama Islam, apakah sudah benar-benar mengerti hakikat menjadi seorang muslim? Apakah kita hanya sekedar ikut-ikutan? Nasihat ini juga berlaku untuk yang menulis, tentu saja yang menulis belum tentu lebih pandai atau lebih tahu daripada yang membaca.

Sekian tulisan saya kali ini. Tulisan ini edisi khusus Idul Adha, jadi tidak ada unsur gaje-gaje seperti tulisan saya sebelumnya. Jika ada yang punya pendapat berbeda dengan saya, silahkan saja, karena kita juga sama-sama sedang belajar. Saya di sini juga sedang menyampaikan pendapat saya saja :)
Sampai jumpa di postingan saya selanjutnya :) 

P.S: Maaf, tulisannya bahasanya amburadul. Malah lebih amburadul daripada tulisan gaje saya. Biasalah otak mikirnya udah sampai Z tapi tangan ngetiknya baru sampai J, impuls listriknya terlalu cepat. Aaaaaaaaaaakkkkkkkkkk!! *sudah Mus, jangan gaje lagi :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar