Sabtu, 28 Desember 2019

[Random Talk] Kaleidoskop 2019

09:09 0 Comments

Rasanya cepat sekali. Seperti baru kemarin saya resign menjadi budak korporat akibat alih profesi menjadi budak birokrat. Padahal itu sudah sejak bulan Maret lalu. Seperti tahun sebelumnya, tahun 2019 ini penuh kejutan. Jika boleh mengulang setahun lalu, tahun 2018, saya juga pernah resign dari tempat kerja saya di kota kelahiran untuk merantau di ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Kalau dipikir-pikir, setiap tahun saya selalu pindah kerja ternyata. Hahaha.
Kalau saya masih jadi budak korporat, mungkin track record pindah kerja setiap setahun sekali langsung dilabeli sebagai 'kutu loncat'yang nggak worth it buat dipertahankan oleh perusahaan. Tipikal generasi milenial, sih. Salary memang penting, tapi passion dan challenge juga nggak bisa diabaikan karena berpengaruh pada pengembangan diri nantinya.
Anyway, ngobrolin tentang pekerjaan saya sekarang, memang benar bahwa pressure dan load pekerjaan punya intensitas lebih tinggi dibanding pekerjaan lama saya. Satu sisi saya merasa tertantang dengan keadaan itu, lain sisi saya merasa overwhelmed. Sering banget saya lembur sampai malam akibat distribusi pekerjaan yang kurang merata, mentang-mentang saya masih anak baru juga sih sebenernya. Dalih atasan dan senior; "supaya kamu banyak belajar". Oh, baiklah, Pak Bos!
Saking kewalahannya handling pekerjaan yang menerjang tanpa ampun, saya sering banget mengalami ketidakstabilan emosi. Teman satu unit saya akhirnya yang jadi sasaran tempat sampah saya, mulai dari ngedumel sampai nangis-nangis. Selain teman satu unit di kantor, teman satu kosan juga dengan lapang dadanya - atau keterpaksaan - menjadi tempat sampah kedua saya. Tapi simbiosis mutualisme sih, kami saling menjadikan tempat sampah karena saling ngedumel betapa kampret dan toxic-nya lingkungan di unit kerja masing-masing serta berghibah mengenai beberapa atasan yang level kecerdasannya di ambang memprihatinkan.
Lantas, selain berusaha untuk mengeluarkan sampah-sampah emosional dari subconscious dan unconscious mind saya dengan ngobrol plus berghibah, saya juga sering melakukan pelarian lain yaitu; nonton film. Saking seringnya escape, sampai saya mendeklarasikan diri sebagai anggota Gerakan Eskapisme. Hahaha.
By the way, jika diingat-ingat, waktu saya bekerja di kantor lama, saya terhitung jarang sekali nonton film di bioskop. Padahal kantor lama saya yang di Jalan Gatot Subroto sangat dekat sekali dengan Hollywood XXI. Tinggal naik JPO, langsung sampai. Tapi, frekuensi nonton saya dulu bahkan bisa dihitung jari.
Sedangkan sekarang, frekuensi nonton saya sudah mencapai level akut. Saya merasa kalau saya sering sekali bolak-balik nonton selama kurun waktu tiga bulan terakhir. Baik itu di CGV Grand Indonesia - yang tiketnya betapa mahalnya, apalagi kalau weekend - atau ke XXI di Djakarta Theatre atau Plaza Atrium. Padahal, kantor saya sekarang - yang berada di lingkungan kantor-kantor kementerian di sekitar Monas - jauh dari bioskop, harus naik ojol dulu. Boros banget, tahu nggak sih.
Tapi, meskipun saya merasa dompet saya bocor tipis-tipis akibat keseringan nonton, saya merasa film-film yang saya tonton memang worth to watch banget. Saya merasa nggak menyesal dan sia-sia ngeluarin duit. Film-film tersebut di antaranya, Parasite, Knives Out, dan Kim Ji-young, Born 1982.
Sebenarnya, setiap selesai nonton film saya selalu ingin sekali untuk nulis review-nya di sini. Namun apadaya karena kemalasan saya sebab terlampau lelah dibombardir oleh pekerjaan-pekerjaan yang menguras mental, akhirnya nulis review hanya sebatas rencana hingga saya berganti nonton film lain dan menulis review film sebelumnya terasa basi. Hvft!
Mumpung saya sedang mood nulis dan dalam rangka mengisi ke-suwung-an blog ini - seperti hati saya, suwung plus bersarang laba-laba - saya mau nulis flash review ketiga film keren yang sudah saya tonton di tahun 2019 ini.
Mari kita mulai dengan; Parasite.
[source]
Film Korea ini terlalu keren untuk dilewatkan. Akibat secara nggak sengaja baca rubrik Misbar di Tirto tentang film ini membuat saya triggered untuk nonton. Review film di Tirto ini sangat jujur dan detail  hingga saya yakin dalam membuat keputusan untuk menonton di bioskop atau terima nonton di IndoXX1 saja. Hehehe.
Bukan perkara aktornya atau sutradaranya saya tertarik menonton film ini. Bahkan saya ngga terlalu kenal dengan aktor dan aktrisnya meskipun saya sering nonton drama Korea. Apalagi sutradaranya yang katanya terkenal dengan film-filmnya yang berkualitas. Namun, saya tertarik dengan tema yang mereka angkat dalam Parasite. Oh, selain itu film ini juga menang Festival Film Cannes, yang bikin saya berpikir kalau film ini tentu tidak akan mengecewakan.
Film ini mengangkat tentang kekontrasan strata sosial serta segala konflik di dalamnya. Saya paling demen memang sama film-film yang menyoroti realitas sosial (selain film misteri-detektif, horror, dan Harry Potter Universe). Hal yang saya suka adalah karakter di film ini tidak hitam-putih, tidak murni protagonis atau antagonis. Setiap tindakan yang mereka lakukan selalu ada alasan di baliknya. Itu yang bikin saya suka banget dengan film ini, selain karena potret sosialnya yang kena banget.
Kesinisan si keluarga miskin dalam memandang kehidupan akibat terkungkung dalam keadaan yang tidak bersahabat serta kemakmuran keluarga si kaya yang kenyang dengan privileges kontras banget digambarkan dalam film ini. Hingga kemudian kehidupan mereka saling beririsan dan menghasilkan konflik sosial yang lebih jauh. Saya suka dengan drama thriller berbalut komedi gelap sebagai kritisisasi kesenjangan sosial antara masyarakat proletar dan borjuis di Korea Selatan sana.
Saya merasa kalau alur film ini dijahit dengan rapi banget oleh sutradaranya, Bong Joon-ho. Setiap situasi ada pemicu dan konsekuensinya. Setiap plot yang dihamparkan juga nggak ada yang useless, memang pantas kalau dapat piala Palme D'Or di Cannes Festival. Saya nggak mau berpanjang lebar bahas filmnya, karena lebih baik nonton sendiri dan rasakan sensasinya. Bener-bener salah satu film yang akan saya nobatkan sebagai Movie You Should Watch Before You Die. Hehehe.
Satu lagi, anyway, saya sempat kaget waktu tahu Park Seo-joon jadi cameo di sini. Ya ampun, oppa-kuuu~
*Sudah, Rif, jangan kebanyakan fangirling!
Next; Knives Out.
[source]
Film yang membuat saya mengumpat; "what the hell!" ketika menjelang ending. Bahkan, lelaki yang duduk di samping saya waktu nonton film ini juga secara spontan ikut mengumpat; "what the fuck!". Anyway, lelaki itu bukan teman nonton saya ya, Gengs.
Mengapa saya sampai mengumpat begitu? Tentu saja akibat plot twist-nya yang bikin saya hampir kena serangan jantung dan nafas saya tercekat di kerongkongan sepersekian detik. Gila, sih! Kalau bisa standing ovation, saya bakal melakukan itu di bioskop. Hahaha.
Sesungguhnya, Knives Out nggak jauh beda dengan film misteri-detektif biasanya.  Alurnya juga tipikal cerita detektif kebanyakan, ada pembunuhan, lalu datanglah detektif partikelir yang seolah-olah tanpa diundang, menginvestigasi dengan mewawancarai semua orang yang berpotensi sebagai suspect, mencari petunjuk lain, dan seterusnya. Bahkan, alurnya cenderung klasik, sebelas-dua belas dengan serial Hercule Poirot-nya Agatha Christie. Semua alur yang terjalin dalam film ini, bener-bener tipikal alur Agatha Christie banget.
Namun, sebagaimana pengalaman saya membaca atau menonton film detektif, selalu terkecoh ketika berusaha menebak siapa tersangka utamanya. Bahkan, saya sudah salah tebak sebab dikecoh dengan potensi dan alibi yang dipaparkan masing-masing orang. Lalu, keterkecohan saya divalidasi dengan pengalihan paripurna ke orang yang secara alibi potensial menjadi tersangka. Tetapi, sebagaimana rule dalam cerita detektif bahwa tidak akan semudah itu tersangka terungkap di tengah-tengah cerita. Bahkan, akibat pengalihan isu cerita itu, saya jadi lupa memikirkan kemungkinan suspect lain yang secara subtle punya alibi janggal. Padahal, si penulis skenario sudah memberikan sedikit clue agar penonton bisa berpikir dan menganalisis sendiri bahwa ada kemungkinan tersangka lain yang lebih utama.
Lagi-lagi, sebagaimana tipikal cerita detektif, bukan asal menebak dari potensi kesempatan dan alibi melakukan pembunuhan, tetapi yang paling penting adalah motif! Kesempatan dan alibi masuk akal, tetapi kemungkinan motif kurang pas, bisa jadi memang bukan dia pembunuhnya. Dan ternyata, memang benar.
Meskipun alur di awal film ini yang terkesan alur klasik cerita detektif banget, tapi ternyata ketika menjelang ke tengah film, banyak kejutan-kejutan yang dimuntahkan oleh sutradara film ini. Keren, sih. Inilah yang membuat Knives Out bukan film detektif kebanyakan. Bahkan, para tukang review film di youtube dan artikel web menobatkan film ini sebagai salah satu film yang worth to watch banget banget bangeeeet!
Anyway, aktor-aktrisnya juga memang nggak kalah keren. Karakter Detektif Benoit Blanc yang  sangat kuat diperankan Daniel Craig membuat saya berharap bahwa jangan hanya persona James Bond saja yang melekat di Daniel Craig. Kalau bisa kayak Benedict Cumberbatch yang personanya udah Sherlock Holmes banget, lah. Daniel Craig juga bisa kali didapuk di sekuel Benoit Blanc selanjutnya. Aseek.
Oh iya, satu lagi. Chris Evans, my teenager celebrity crush, sungguh glowing sekali di sini, ya Allah! Huhuhu monangis, deeeeh.*fangirl mode: ON*
Last but not least; Kim Ji-young, Born 1982.
[source]
Salah satu film yang I highly recommend this banget! Terutama untuk yang akan menikah, masih mikir mau nikah, atau yang sudah menikah. Sebagai wanita, saya merasa  relate banget dengan konflik batin yang dialami Kim Ji-young di sini. Bahkan air mata saya sampai tumpah-tumpah nggak karuan. Perasaan saya semacam diaduk, dijungkirbalikkan, dihempas, terjerembab, berguling-guling, ya memang lebay sih saya. Hehehe.
Tapi, memang benar begitu, sih. Sebab konflik Kim Ji-young ini benar-benar tipikal konflik batin yang bisa terjadi pada wanita mana saja setelah menikah. Bahkan, akibat film ini, saya jadi berpikir ulang dan berusaha melakukan redefinisi mengenai sebuah pernikahan. Saya yang kadang-kadang suka merasa gloomy dan envy sendiri melihat undangan dan foto-foto pernikahan yang terpampang di segala sosial media, memang perlu sesekali ditampar dengan realitas pernikahan yang disuguhkan lewat film ini.
Saya suka banget dengan akting Jung Yu-mi sebagai Kim Ji-young yang rapuhnya the best banget. Bukan tipikal rapuh cewek drama Korea genre romance yang kadang bikin saya enek, justru kerapuhan Kim Ji-young di sini membuat saya jadi berempati dan ikut masuk dalam semesta dan pemikiran Kim Ji-Young. Bahkan, Gong Yoo yang memerankan suami Kim Ji-young, Jung Dae-hyun, ini aktingnya bikin saya meleleh nggak karuan. Huhuhu. Betapa representasi suami impian banget. Huaaaaa.
Sebelumnya memang saya udah suka dengan aktingnya Jung Yu-mi ketika beradu akting dengan Lee Kwang-soo di drama Live, sih. Eh, Live juga recommended banget ditonton, lho. Coba search di Google deh, saya males jelasin panjang-panjang tentang drama Live. Hehehe.
Oh iya, selain itu, setelah kalian nonton Kim Ji-young, Born 1982, kalian perlu banget untuk lanjut nonton drama Hollywood, Marriage Story. Sumpah, sih, film ini membuat saya makin mikir keras lagi.
Film-film tersebut membuat saya mikir, sebagai salah satu anak sulung yang terbiasa mandiri berdikari, apakah saya siap jika suatu saat nanti ketika menikah eksistensi saya melebur dengan suami saya kelak? Salah satu yang akan terasa adalah, saya akan dipanggil dengan, Nyonya/Bu....(insert my husband's name). Apakah saya akan siap juga jika ada plot twist dan kejutan tanpa rencana yang bisa saja tiba-tiba mengambil porsi cerita kehidupan pernikahan saya nantinya? Meskipun saya sering baca buku tentang marriage, love, dan relationship, tapi semua itu hanya sebagai bahan pengetahuan dan panduan nantinya ketika saya akan memasuki fase kehidupan itu. Prakteknya, tentu tidak akan seratus persen sama seperti dalam teori, kan?
Ah, meskipun begitu, saya tetap masih mau menikah, kok. Hahaha. Nggak sampai jadi worry dan takut menikah. Tunggu sampai datang jodoh yang tepat. Serta paling penting, mengingat saya adalah anak sulung yang terbiasa mengambil keputusan sendiri dan independen, maka sosok pendamping saya kelak memang perlu banget yang tipenya Alpha Male. Biar kalau sifat tulang rusuk yang bengkoknya keluar, ada yang meluruskan dengan tegas. Ya, memang butuh sosok yang tegas (tapi lembut). Ahseeek~
Kembali ke dunia nyata, jangan mimpi terus, Rif~
Baiklah, sebab konten tulisan ini sudah sepanjang struk belanjaan saya menyambut End Year Sale, maka saya akhiri saja tulisan pertama dan terakhir di tahun 2019 ini.
Semoga tahun 2020 nanti membawa kejutan menyenangkan lain seperti tahun 2018 dan 2019 kemarin. Entah mengapa saya merasa yakin saja, hehehe.
Sampai jumpa di tahun depan. Semoga saya semakin stabil dan mampu menyongsong fase kehidupan lain yang lebih baik lagi. Aamiin.
Bye, 2019. Welcome, 2020! Be nice, please~