Kamis, 24 November 2022

New Wave

03:03 0 Comments

https://pbs.twimg.com/media/FeHOEhyUYAAVchl.jpg

Bukan. Tulisan ini bukan memprediksi badai pandemi kopid baru ya, Gaes~

Naudzubillahi min dzalik~

Anyway, sudah setahun lebih lamanya saya hiatus menulis di sini. Lebih seringnya saya curhat dengan bahasa sok bijak di akun Tumblr saya. Tahun lalu terlalu banyak hal yang terjadi dan selalu menyelipkan hikmah, jadi saya bisa sok bijak gitu, deh.

Jadi, saya overview tahun sebelumnya dulu, meskipun sebenernya saya sudah tulis perihal ini di Tumblr, sih. Hahaha.

Intinya, tahun lalu terlalu banyak kejadian fluktuatif yang sedikit banyak menempa kematangan pribadi saya yang pemuja hore-hore ini. Berawal dari struggling dengan perubahan organisasi di kantor saya, adaptasi yang lumayan menguras energi fisik dan mental saya. Lalu, memutuskan konseling ke psikolog karena Jakarta (dan kondisi kantor serta hal-hal lain) telah begitu bikin saya fucked up. Hahaha. Hingga kemudian tiba-tiba termotivasi daftar Beasiswa LPDP dan diterima.

Antara kayak takjub dan bingung sendiri. Betapa mak jebret jalan hidup saya itu berbelok. Awalnya saya hanya mikir kerja eight to four (tapi seringkali overtime sih) yang sangat monoton, di Jakarta pula yang super hectic dan menyebalkan kalau udah masuk di jam rush hour. Sekampret-kampretnya Jakarta dan kenangan di dalamnya (Asseeeek~), percayalah saya tetap merindukan city light sepanjang Sudirman-Thamrin. Saya tetap merindukan kemudahan akses KRL dan segala transportasi tersentralisasinya. Merindukan strolling around daerah SCBD dan Dukuh Atas sebelum populer dengan Citayam Fashion Week-nya. Wkwkwk. Merindukan nonton film di CGV Grand Indonesia dan Djakarta Theater, also Metropole. Merindukan view Perpustakaan Nasional dan Monas yang selalu kelihatan kalau naik KRL dari Juanda atau Gondangdia. Merindukan Holywings. Serta, merindukan bakso tusuk yang sering banget saya beli setiap habis pulang kantor di Stasiun Kalibata. Bapaknya pasti lagi mikir nih, soalnya saya sudah nggak beli lagi sejak Juli 2022. Wkwkwk.

Yup, sebenernya sejak pertengahan tahun 2022, tepatnya bulan Agustus, saya hijrah sementara ke daerah pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX untuk melanjutkan studi di sini. Meski sebenarnya saya juga diterima di kampus Depok, tapi saya lebih memilih kampus Sleman. Hahaha. Akhirnya, Surat Tugas Belajar saya turun di akhir Juli, kemudian pindahan besar-besaran dari Jakarta ke Jogja. Welcome, Jogja~

Alasan saya milih ke sini? Nanti aja ceritanya kalau udah longgar, ya, Bestie~

Anyway, saat ini saya lagi kebangun akibat ketiduran bersama migrain. Benar, saat ini saya dan kawan-kawan seperjuangan Magister Psikologi Profesi Industri dan Organisasi sudah berada di penghujung semester pertama. Sebagian besar dari kami sedang merasakan gejala-gejala psikosomatis pasca menamatkan Blok Psikodiagnostika dengan proyek Laporan Hasil Pemeriksaan Psikologis dan kemudian semakin akut lagi sejak memasuki Blok Intervensi dengan segambreng tugas bikin modul intervensi. Asli sampe kena PTSD denger kata ‘Modul’ doang. Hahaha.

Nggak, sih, lebay aja biar dramatis~

Tapi nggak sepenuhnya salah, sih, Gaes~

Kenapa tulisan ini jadi kemana-mana, deh~

Baiklah, jadi intinya di sini saya hanya ingin curhat colongan saja, sih. Selama kuliah ini saya banyak mengambil hikmah. Sebagai yang sudah terlalu lama kerja, lalu bergaul dengan teman seangkatan yang mayoritas dedek-dedek selisih dua hingga enam tahun di bawah, saya merasa menjadi semakin muda. Tapi, memang saya awet muda kok, bapak-bapak ojol aja sering kira saya mahasiswa S1. Wkwkwk. Terima kasih Avoskin dan Somethinc, sebentar lagi saya beli SK-II biar nggak kalah sama Ibu Negara South Korea~

Selain itu, saya juga kadang sempat merasa insecure. Saya merasa mentah banget teori psikologi industri dan organisasi ini. Waktu S1 skripsi saya jauh banget dari tema keindustrian, malah lebih ke psikologi sosial. Lalu, selama S1 saya lebih suka banget tema-tema mata kuliah yang nyerempet ke psikologi klinis. Bahkan, rasa penasaran dan obsesi saya terhadap psikologi forensik nggak pernah pudar. Hal yang membuat saya berminat ke psikologi industri karena simply muncul sejak saya memasuki dunia kerja dan punya harapan bisa berkontribusi lebih baik terhadap proses manajemen sumber daya manusia, apalagi kantor saya kementerian pusat. Secara praktikal saya paham, tapi secara teori, sumpah saya merasa begoooo banget ya Allah~

Sampai akhirnya saya curhat dan sambat sama teman kantor saya. Lalu mikir, bahwa sambat doang nggak menyelesaikan masalah, tetap harus dikerjakan dan dihadapi (meski sambil nangis, wkwk). Meski saya merasa, setiap saya mengikuti proses pembelajaran sebagai mahasiswa Magister Psikologi Profesi ini rasanya seperti terseok-seok, tapi setiap berhasil menyelesaikan satu tugas yang diberikan dosen, saya merasa Alhamdulillah banget. Yaaa, yang penting Alhamdulillah udah kelar, bisa pindah ke tugas lain. Nggak tahu, deh, bener apa nggak, at least sudah berusaha semampu kapasitas otak saya yang nggak seberapa ini. Huhuhu. Nangis~

Kalau kalian yang baca ini dan mikir:

Halah, merendah untuk meroket. Masa keterima beasiswa LPDP bilang otaknya nggak seberapa?

Asli, Gaes, saya juga kaget kok saya bisa lolos beasiswa ini. Bahkan kadang saya sempat mikir saya beruntung doang. Kayak, semesta mendukung aja gitu, terus tahu-tahu lolos. Nggak tahu, saya akhir-akhir ini selalu merasa hal yang saya dapatkan selama ini karena bantuan doa-doa Bapak Ibu saya dan orang-orang baik yang pernah saya tolong. Saya merasa usaha saya biasa saja, saya melakukan semua semampu saya aja. Meski saya ngerasa saya banyak dosanya, kalau ngomong suka sembarangan, tapi ternyata masih ada orang-orang baik yang doa-doanya didengar Allah dan secara nggak langsung membawa saya sampai ke sini.

Alhamdulillah ‘alaa kulli haal…

Dan… meski sudah hampir menyelesaikan semester pertama ini, saya masih merasa kurang dengan ilmu yang saya usahakan ini. Saya merasa saya harus memperdalam teori dengan banyak baca buku psikologi industri. Saking banyaknya tugas, kadang untuk baca materi demi memperdalam teori saja rasanya kayak nggak sanggup. Ya Allah, kapan aku Netflix-an~ Huhuhu

Ya Allah, kapan saya baca buku dan novel dengan tenang, damai, dan tanpa merasa bersalah karena nggak baca buku diktat kuliah. Huhuhu.

Asli, sih, awal kuliah saya membayangkan bisa dengan bahagia dan semangat membaca buku kuliah dan buku non-kuliah yang mayoritas masih dibungkus plastik itu. Lalu saya bisa dengan bahagia bikin tulisan di blog, tumblr, atau coba balik nulis fiksi lagi kayak waktu kuliah S1 dulu. Tapi memang ekspektasi tidak seindah realita, Bestie. Baiklah, apapun yang terjadi tetap harus dihadapi~

Suatu hari salah satu teman sekelas saya bertanya:

Mbak, kalau dibanding kerja, lebih stress dan capek mana antara kerja dan kuliah?

Momen saat pertanyaan itu dilontarkan adalah pasca kami selesai mengerjakan tugas kelompok di kelas, bersama dengan sejumlah teman kelompok lain, pada pukul 20.00. Saat itu saya dengan percaya diri bilang:

Lebih stress kerja. Sebab kerja itu stress-nya lebih ke drama kantornya aja. Kalau kerjaan itu bisa lah kelar. Hal yang bikin capek itu karena tekanan mental kantornya aja. Apalagi aku ngurusin pegawai, dari yang modelnya bangsat kayak dajjal sampai yang modelnya kayak malaikat. Kalau kuliah, iya aku sekarang stress sama tugasnya yang segambreng ini. Tapi rasanya beda, lebih bernilai dan worth it aja.

Kurang lebih saya jawab seperti itu. Ketika kerja saya selalu diribetkan oleh drama kantor yang sebenernya nggak perlu lah dibesar-besarkan, nggak perlu diberi concern yang serius juga karena sepele. Istilah Bahasa Jawa-nya itu kriwikan dadi grojogan gitu, lho. Hal yang kecil tapi dibesar-besarkan. Itu yang bikin males kalo di kantor.

Nah, kayak contohnya si bos bertitah suatu hal yang nggak substansi dan nggak penting bagi keberlangsungan pegawai, tapi karena itu perintah (balik lagi saya kerja di birokrasi yang budayanya “Yes, Sir” dan dilarang membantah) ya tetap harus dikerjakan. Betul atau salah, berguna atau nggak, kalau bos sudah bersabda, ya pokoknya harus dikerjakan. Itu hal yang bikin saya stress di kerjaan sih.

Iya, sebagai anak rebel pasif agresif memang sebenernya lumayan ngeyelan deep inside. Kalau bos mulai bikin kebijakan offside, rasanya ingin meluruskan. Tapi apalah atuh aing cuma umbi-umbian. Istilahnya, semacam strata terbawah dari perbirokrasian ini. Kami nggak ada kewenangan, meskipun kami tahu argumen kami masuk akal, tetap saja ujung-ujungnya dipandang sebelah mata dan dimentahin aja. Capek akutuuuuh~

Nah, makanya saya usaha cari beasiswa biar bisa tugas belajar alias sekolah lagi. Saya merasa, kalau saya sekolah, saya tidak akan jadi umbi-umbian busuk yang terjebak dengan segala kebodohan kantor. Saya nggak mau menua di kantor dengan goblok. Jujur, awalnya saya memang lumayan menjadikan tugas belajar ini untuk escape for a while to pursue my internal zen. Hahaha.

Lalu, kemudian salah satu teman kantor saya yang dapat beasiswa LPDP lebih dulu daripada saya menasehati:

Luruskan lagi niat sekolahnya. Jangan karena kamu capek di kantor terus pengen melarikan diri dari sini. Sebab sekolah juga nggak mudah.

Kurang lebih seperti itu dia bilang. Seperti ditampar, saya benar-benar meresapi kalimat itu hingga sekarang.

Ya, hingga saat ini saya merasakan betapa sekolah ini berat, penuh perjuangan, so much pain. Hahaha. Namanya juga sedang berproses untuk berubah, mana ada sih perubahan bikin nyaman. Perubahan itu menimbulkan gejolak, tentu rasanya nggak nyaman. Sebab dalam perubahan, kita bergerak dari suatu keadaan statis, menuju keadaan yang dinamis.

Gilaaa keren banget gue. Apakah ini efek kuliah Filsafat Ilmu? Wkwkwk.

Benar banget, sih, kata teman saya itu. Sejak saat itu saya pelan-pelan meluruskan niat, hingga ketika saya menemui kesulitan-kesulitan selama berproses dalam pembelajaran ini saya kembali merenungi tujuan dan niat saya ke sini. Sejauh ini, hal itu cukup berhasil membuat saya tetap berdiri tegak dan berusaha bangkit, meski rasanya kayak ingin mengibarkan white flag.

Iya, setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Sekolah S2 adalah pilihan besar yang saat ini saya pilih. Sebab dalam pilihan ini akan mengarahkan jalan hidup saya ke depan nantinya.

Okelah, akan saya hadapi sisa dua minggu semester pertama ini dengan Bismillahirohmanirrohim~

Bismillah, yuk bisa yuk!

Meskipun selama seminggu ini setiap dosen selesai kasih materi, saya selalu anxious dengan bentuk tugas apalagi yang akan disumpalkan ke kami. Hahaha. Sampai dengar kata ‘Tugas’ sudah cukup membuat otot leher saya tegang dan mata saya pedih, hingga timbullah migrain.

Meskipun sebenernya saya ragu dengan performa tugas saya selama semester ini. Sudah di tahap tawakkal banget deh menyangkut nilai di semester ini. Bismillah lah semoga baik-baik saja, nggak ada yang fail. Agak takut, tapi tetep optimis meski tipis-tipis.

Semangaaaat, bentar lagi liburan, bisa Netflix-an sak jebolmu, Rif~

Semangat juga buat kalian, terutama teman-temanku sekelas. Badai pasti berlaluuu~~

Selamat menyambut liburan.

Habis UAS semoga bisa piknik sekelas ke candi untuk melihat kinerja kita selama satu semester yang sering banget dapet tugas per-candian. Wkwkwk.

 

Yogyakarta, 24 November 2022

 

P.S.:

1.  Tulisan ini dibuat pukul 23.45 hingga 01.14, khawatir kalau nggak one shot nanti nggak ada waktu lagi karena keburu males

2.   Candi adalah terminologi yang kami buat merujuk pada tugas-tugas kuliah dengan deadline mendadak seperti deadline bikin paparan esmelon, mintanya jam 08.00 dipakai rapat jam 09.00. Wkwkwk. Salam, Umbies~