Sabtu, 28 Februari 2015

Problematika Dunia Pendidikan

09:09 0 Comments

source: www.google.com

Sudah memasuki akhir Februari dan blog ini mulai menampakkan kesunyiannya. Biasalah, mahasiswa semester akhir itu (sok) sibuk. Sibuk galauin judul skripsi, galauin tempat magang, galau KKN, galau IPK (ini sudah pasti), dan galau jodoh–mengingat sedang tren nikah muda. Halah. Apalagi, ditambah galau-galau pribadi, semisal galau resolusi tahun 2015. Yup, mengingat tahun ini saya punya resolusi yang lumayan gede, jadi mungkin harus pandai-pandai buat manajemen waktu.
Di tengah kegalauan yang menyita waktu dan tenaga ini, Alhamdulillah saya mendapatkan kerjaan baru yang lumayan bermanfaat dan menambah wawasan saya yang lumayan sempit ini. Hahaha. Daripada galau nggak ada kerjaan, lebih baik galau sambil melakukan sesuatu, kan?
Jadi ceritanya begini, kebetulan dosen pembimbing akademik atau dosen wali saya sedang dalam proses menyelesaikan disertasinya. Nah, dosen saya ini melakukan penelitian di sekolah-sekolah menengah pertama negeri di lima kecamatan yang tersebar seantero Solo. Yup, pasca konsultasi KRS kemarin, kami–angkatan 2012 anak wali dosen saya itu–pun diajak dan dimintai tolong oleh beliau untuk mengambil data di sekolah-sekolah tersebut.
Nah, hari Sabtu yang lalu adalah hari kedua saya mengambil data, setelah sebelumnya kami mengunjungi SMP Negeri 9 Solo. Pengalaman berkunjung ke SMP Negeri 9 menurut saya terkesan biasa saja, mengingat sekolah tersebut adalah salah satu SMP favorit di kota Solo. Pastilah, sebagian besar anaknya lumayan good boys, dari keluarga terpelajar, dan cerdas. Dinamika lingkungannya pun menurut saya biasa saja, karena hampir sebagian besar anak-anaknya berasal dari keluarga masyarakat sejahtera–dengan kehidupan sosial ekonomi menengah sampai menengah ke atas. Masih normal dan cenderung tidak menuai berbagai masalah.
Sedangkan, pada hari kedua ini, kami berpindah ke sekolah lain yang berlokasi sangat dekat dengan Balaikota Surakarta (Solo), wawasan saya pun kemudian menjadi semakin terbuka. Menurut saya, di SMP tersebut menyajikan fenomena sosial dan pengalaman sangat berbeda bagi kami. Berbeda jauh dengan sekolah yang kami kunjungi sebelumnya. Fenomena yang amat sangat tampak betul adalah dari aspek sosial ekonomi. Entah mengapa, saya tidak begitu paham juga, sekolah-sekolah di Solo itu tampak sekali jurang pemisah amat lebar antara anak dari keluarga menengah ke atas dan menengah ke bawah.
Biasanya, sekolah-sekolah favorit, didominasi oleh anak-anak berkemampuan di atas rata-rata yang kebanyakan pun juga anak orang berpunya. Pulang sekolah dijemput mobil, sampai-sampai jalanan di sekitarnya penuh dengan jajaran mobil-mobil para orang tua murid. Namun, berbeda sekali dengan sekolah negeri yang bernomor belasan hingga puluhan di kota Solo. Biasanya mereka yang bersekolah di sana adalah anak-anak yang gagal masuk sekolah-sekolah favorit–dikarenakan kemampuan akademik yang lebih rendah atau karena sedang tidak beruntung saja ketika beradu NEM dengan anak-anak lain di situs pendaftaran online. Selain memiliki kemampuan lebih rendah, kebanyakan dari mereka juga anak dari keluarga tidak mampu.
Seperti halnya yang dituturkan oleh guru-guru di sekolah tersebut, membuat saya merasa tersayat-sayat ketika mendengarnya. Para guru mengeluhkan tentang kondisi ruang kelas yang kurang memadai, lahan sekolah yang kurang representatif, sehingga kegiatan belajar mengajar menjadi kurang kondusif. Mereka harus bekerja ekstra keras dengan segala tenaga dan peluh yang tersisa guna mentransfer ilmu untuk anak didiknya, mengingat para siswa-siswi di sana memiliki daya serap ilmu yang berbeda dari anak-anak cerdas di sekolah favorit. Selain itu pula, hal yang membuat para guru di sana mengurut dada dan miris adalah adanya ketidakpedulian dari para orang tua siswa terhadap pendidikan anaknya.
“Ya, namanya juga masyarakat ekonomi ke bawah, Mbak,” tutur salah seorang guru.
Kendala ekonomi yang kurang sejahtera menjadikan para orang tua siswa terkesan menyerahkan tanggung jawab pendidikan seluruhnya kepada guru di sekolah. Mereka berpikir, bahwa orang tua hanya bertugas mencari nafkah untuk anak-anaknya, sedangkan urusan pendidikan sepenuhnya tanggung jawab guru.
“Cari duit saja susah, gimana mau ngurusin sekolah anak. Mending cari duit, kan, buat makan dan bayar kontrakan.” Mungkin begitulah isi pikiran para orang tua siswa tersebut. Menyedihkan, memang.
Padahal, campur tangan orang tua dalam proses pendidikan bagi anak-anak mereka itu tidak kalah pentingnya dalam meningkatkan kemampuan akademik anak. Selain karena kendala ekonomi pula, mungkin saja ketidakpedulian itu terjadi karena adanya ketidaktahuan mereka terhadap seluk beluk pendidikan.
Ada satu cerita yang membuat sedikit miris pula. Guru sekolah tersebut menuturkan bahwa kebanyakan anak-anak yang bersekolah di sekolah tersebut tidak selesai menjalankan masa studinya. Banyak siswa-siswi di sana yang drop out menjelang tahun-tahun terakhir mereka mengenyam bangku sekolah. Bukan, bukan karena kondisi sosial ekonomi saja, karena biasanya anak-anak kurang mampu sudah mendapatkan keringanan biaya dari pemerintah. Hanya saja, mereka memilih drop out karena sudah merasa bosan dan malas untuk bersekolah lagi. Bahkan, guru-guru di sana pun juga berusaha keras untuk membujuk sang anak kembali ke sekolah mengingat sudah hampir mendekati ujian akhir. Paling tidak si anak bisa menyelesaikan studinya sampai lulus dan mendapatkan ijazah SMP.
Orang tua yang kurang aware dengan pendidikan anak ditambah pula si anak yang memiliki minat minim terhadap sekolah, menjadikan sebuah lingkaran setan tersendiri bagi pemerintah terhadap satu masalah pokok umum, kemiskinan. Padahal, pendidikan itu perlu sekali, lho, sebagai bekal mereka nantinya dalam mengembangkan ketrampilan mereka untuk memasuki dunia kerja. Baik itu memilih bekerja menjadi pegawai ataupun wiraswasta.
Saya melihat sebuah ketulusan dan perjuangan berharga yang telah diberikan guru-guru tersebut. Saya sangat salut dan respect terhadap perjuangan para guru di sekolah-sekolah kurang bonafit dalam mengajar dan mentransfer ilmu kepada anak didiknya. Dedikasi mereka itu luar biasa, menurut saya. Mereka rela blusukan ke rumah siswa yang mogok sekolah, membujuk mereka kembali ke sekolah. Selain itu juga, tatkala mengajar mereka berusaha tetap sabar dan tabah meskipun kadang mereka merasa geregetan sendiri ketika banyak anak didiknya yang tidak cepat paham pada materi pelajaran tersebut padahal sang guru sudah menjelaskan sampai berbusa-busa. Namun, terkadang pemerintah pun kurang aware dengan perjuangan guru-guru tersebut dalam membantu negara mewujudkan cita-citanya sesuai dengan pembukaan UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal guru-guru yang bertugas di daerah terpencil ataupun di sekolah-sekolah yang memiliki siswa kurang pandai perlu diberikan apresiasi lebih oleh pemerintah.
Masih ada banyak lagi masalah yang menyita perhatian kita. Masalah pendidikan itu tidak melulu berpusar-pusar dalam masalah kurikulum saja, bahkan malah lebih kompleks sebenarnya. Ada banyak masalah-masalah sampingan yang turut berperan menentukan nasib perkembangan dunia pendidikan Indonesia selanjutnya. Biasanya masalah tersebut kurang begitu diperhatikan karena skalanya yang kecil dan terlihat remeh. Padahal masalah-masalah tersebut justru berperan besar dalam menciptakan masalah yang lebih kompleks. Seperti dalam teori Broken Windows–sebagaimana yang pernah saya baca di buku Tipping Point karya Malcolm Gladwell–bahwa masalah-masalah besar nan kompleks sejatinya adalah berasal dari masalah-masalah kecil yang terakumulasi dan belum terselesaikan. Kebanyakan orang akan melihat masalah besarnya, kemudian berusaha menyelesaikan masalah besar itu. Namun, kebanyakan pula, penyelesaian dari masalah besar itu terlalu rumit dan sulit sekali diselesaikan saking kompleksnya. Jika toh bisa terselesaikan itupun dampaknya tidak begitu signifikan. Jadi, mungkin salah satu solusi lain yang perlu dicoba untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang sangat kompleks tersebut adalah dengan mulai memberi perhatian pada hal-hal kecil kemudian berusaha menyelesaikannya. Mungkin bagian ini nampak terlampau teoritis sekali, namun saya yakin mereka yang lebih paham masalah pendidikan akan mampu menemukan simpulan sederhana di atas.
Sebenarnya, kompleks sekali, ‘kan, permasalahan pendidikan di Indonesia ini. Bukan hanya tentang masalah pergantian kurikulum setiap lima tahun sekali ditambah pula kisruh kurikulum 2013 yang menyita perhatian khalayak publik, tapi ada berbagai masalah sederhana yang tidak kalah pentingnya untuk diberikan perhatian dan dicarikan solusinya.
Saya jadi teringat cerita Bapak saya beberapa hari lalu. Suatu ketika, Bapak saya sedang duduk menunggu bus di pinggir jalan Solo-Tawangmangu bersama sekumpulan anak-anak usia SMP. Mereka tampak masih menggunakan seragam. Bapak saya pun kemudian bertanya:
Le, kok wayah semene lagi mulih?[1]” tanya Bapak saya.
Bar neng alun-alun, Pak,[2]” jawab salah satu dari mereka dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko. Rada kurang sopan, sih. Haha.
Ngopo nyang alun-alun?[3]
Iku lho, Pak, nonton dangdutan OM. Sera[4],” jawab mereka polos.
Saya tertawa mendengar cerita Bapak. Ya, begitulah gambaran pelajar Indonesia masa kini.


[1] Nak (laki-laki), kok jam segini baru pulang?
[2] Habis dari alun-alun, Pak.
[3] Ngapain ke alun-alun?
[4] Itu lho, Pak, nonton dangdut OM. Sera.