Minggu, 14 Desember 2014

Sejuta Kisah di Kampus Fiksi Angkatan 10

15:15 0 Comments

WARNING: Tulisan ini panjang sekali. Membosankan. Jangan dibaca apabila iman Anda lemah atau jika Anda memiliki gangguan Bipolar Disorder maupun Skizofrenia tipe Katatonik.
“Nice to meet you, where you’ve been? I could show you incredible things”
Blank Space – Taylor Swift
Sudah dua minggu berlalu, namun nyatanya kenangan itu masih lekat menggelayut di antara kompartemen memori saya. Berawal dari sebuah surel yang saya terima di akhir Oktober tentang sebuah acara pelatihan menulis. Yup, sebuah pelatihan menulis bentukan sebuah penerbit di Jogja, DIVA Press, bernama Kampus Fiksi. Email tersebut menyatakan bahwa kursi di angkatan 10 untuk tanggal 29 – 30 November 2014 masih ada yang kosong. Sedikit pikir panjang, saya pun tertarik untuk menghubungi Mbak Avifah Ve. Ya, sebenarnya saya mendapat jatah kursi di angkatan 11, namun karena saya sudah terlampau kebelet ingin segera ikut pelatihan serta sudah dikompori teman saya yang seharusnya angkatan 12 namun pindah di angkatan 9 bulan September kemarin, maka saya pun segera menghubungi Mbak Avifah Ve menyatakan keberminatan saya untuk mengisi kekosongan kursi tersebut. Tak berapa lama, permohonan saya pun di-accept. Kemudian, saya pun segera mengirimkan segala berkas-berkas persyaratan yang tidak terlalu ribet melalui surel pula. Lega. Akhirnya saya dinyatakan boleh mengikuti Kampus Fiksi Angkatan 10.
Yup, mungkin ada sebagian dari kalian yang bertanya-tanya, kenapa saya bisa ikut pelatihan menulis seperti ini. That’s a long story! So much! Perjuangan tidak mudah, mamen. Halah, kok jadi lebay, to? Mengingat pendaftar Kampus Fiksi ini lumayan bejibun, seluruh Indonesia, saingannya penulis-penulis keren pula, dan saya sering merasa bahwa saya hanyalah remah-remah biskuit kadaluarsa.
Berawal dari sebuah event Kampus Fiksi Roadshow yang sekitaran tahun 2013 lalu diadakan di kota Solo, tepatnya di Toko Buku Togamas, ketika lokasi Togamas tidak terlalu luas dan masih berlokasi di depan lapangan Kota Barat. Ya, di tengah hujan bulan November, tahun lalu, saya nekat menerjang hanya untuk ikut acara Kampus Fiksi Roadshow ini. Sejak itulah saya jadi kenal dengan DIVA Press, dan event Kampus Fiksi Reguler yang kelak saya jadi alumninya. Ceilah… 
Pada pelatihan menulis gratis itu saya mendapat informasi bahwa, barangsiapa yang ingin mengikuti versi lengkap pelatihan menulis ini bisa mengirimkan karya terbaiknya ke email mereka, lantas kemudian mereka akan menyeleksi cerpen-cerpen mana saja yang layak mengikuti Kampus Fiksi Reguler tersebut. Ya, merasa termotivasi, pasca pelatihan roadshow tersebut saya pun mengirimkan cerpen saya yang berjudul Reminisensi. Saya berpikir awalnya, coba dulu sajalah, ikhtiar dulu, meskipun cerpen saya jelek bagaikan bubur bayi expired. Hahaha.
Selang beberapa minggu kemudian, diumumkanlah nama-nama beserta cerpennya yang lolos sebagai peserta Kampus Fiksi Reguler dari angkatan 5 sampai 12, kalau tidak salah ingat. Saat pengumuman itu terpampang di website DIVA Press saya malah hampir lupa bahwa saya pernah mendaftar untuk mengikuti Kampus Fiksi Reguler. Sampai teman saya, Ain, me-Whatsapp saya:
“Mus, cerpen kita masuk! Aku angkatan 12. Yah, kita nggak barengan… :’).”
Kira-kira seperti itu. Awalnya saya mikir: “Ah, tenane….” Maklum lah, saya tipe pembelajar visualis, kalau nggak lihat sendiri nggak bakal percaya. Akhirnya saya pun membuka pengumuman tersebut, lantas menemukan nama saya beserta judul cerpen pada kolom Angkatan 11. Subhanallah, Alhamdulillah, saya merasa beruntung saat itu. Sangat. Padahal cerpen saya tidak bagus-bagus amat, sih, hanya alurnya saja yang dibikin maju mundur cantik kayak Syahrini. Halah. Setelah saya melihat tanggalnya, ternyata Angkatan 11 itu kebagian jatah bulan Januari 2015. DUA RIBU LIMA BELAS! Oh man… Padahal saat saya melihat pengumuman itu masih bulan Desember 2013. Hiks, artinya harus menunggu setahun. Namun, ternyata akhirnya saya malah maju satu angkatan dan bisa pindah ke angkatan 10 yang diadakan bulan November 2014 kemarin. Alhamdulillah….
Meskipun pelatihan dilaksanakan tanggal 29 – 30 November, namun kami diwajibkan datang H-1 acara. Berbekal tiket KA Sriwedari saya pun meluncur menuju Jogja pukul 15.25 tanggal 28 November 2014. Berbekal tugas Psikologi Lintas Budaya yang harus dikumpulkan hari Senin, saya duduk di gerbong pertama. Rasanya ngenes sekali saat itu, niatnya ikut pelatihan kan untuk melupakan realita dan segala kepenatan dunia akademis, malah harus terbebani tugas essay itu. Hiks.
Nah, tepat pukul 16.40 saya tiba di Stasiun Tugu, Jogja. Sendirian dan kepayahan menenteng tas berisi laptop plus bawaan baju untuk tiga malam dua hari. Berat. Sampai di sana, saya dijemput oleh driver DIVA Press, Mas Kiki. Setelah selama bermenit-menit cari kesana-kemari sambil membawa barang bawaan yang tidak ringan, akhirnya ketemu juga mobilnya. Hehehe. Di dalam mobil sudah ada peserta Kampus Fiksi angkatan 10 yang datang lebih dulu. Ada Rofie Khaliffa, dari Tangerang, Mbak Merry Wulan, dari Jakarta, dan Kak Ahmad Kocil dari Jakarta juga. Kemudian ada juga Kak Reza Nufa, alumni Kampus Fiksi angkatan pertama, yang karyanya sudah di mana-mana baik fiksi maupun non fiksi dari berbagai genre serta berbagai nama pena. Halah.
Sekitar pukul 18.30 kami pun sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah yang khusus dibangun untuk event Kampus Fiksi tersebut terletak di samping kantor DIVA Press. Sesampainya di sana, kami disambut oleh kakak-kakak panitia Kampus Fiksi. Ramah dan kesan kekeluargaannya kental sekali. Meskipun kami belum saling mengenal, sama-sama merasa asing, rasanya nyaman saja berada di sana. Saya, Rofie, dan Mbak Wulan menempati sebuah kamar kecil di samping dapur. Beberapa kasur berseprai Manchester United sudah siap untuk direbahi. Melihat kasur empuk tersebut, rasanya saya ingin merebahkan diri di atasnya, sejenak untuk melemaskan otot-otot yang kaku. Setelah sholat dan membersihkan diri, kami disiapkan makan malam. Beberapa menit kemudian, satu persatu peserta yang lainnya datang. Saya pun masuk ke kamar khusus cewek yang lain kemudian berkenalan dengan masing-masing penghuninya. Di kamar itu ada Mbak Altami Nurmila, mahasiswa S2 Universitas Airlangga (yang sebentar lagi novelnya bakal terbit di Gramedia. Aaakk… :3). Kemudian, ada Dian Safitri, mahasiswa angkatan 2012 Psikologi Universitas Brawijaya. Ya ampun, merasa menemukan rekan sejawat. Halah. Ada juga Lina Purwati, mahasiswa Universitas Negeri Semarang jurusan Matematika. Lantas ada juga Mbak Endah, yang kelak cerpennya jadi cerpen terbaik di Kampus Fiksi Angkatan 10. Ada satu lagi, pelajar SMA kelas 12, namanya Nida. Masih imut-imut. Hehehe.
Setelah kami semua makan malam, datang Teteh Inggy, disusul kedatangan Viki dan Vina, pasangan kakak-adik-beda-setahun yang wajahnya seperti anak kembar. Lantas, ada juga Feni, pelajar SMK kelas 12 yang selalu cerewet dan curhat masalah cowok. Hahaha, merasa menemukan adik baru. Menjelang larut, datanglah Mbak Meka. Kamar kami kemudian jadi rame, deh. Jadi tambah sempit juga. Hahaha. Saling berbincang dari topik random sampai masalah cowok-cowoknya Feni, rasanya kami jadi semakin akrab satu sama lain.
Kemudian langsung terjebak nostalgia. Ah, kangen merekaaa…. :’)
Keesokan paginya, tepat hari Sabtu, 29 November 2014, acara pembukaan Kampus Fiksi pun dimulai. Peserta Kampus Fiksi angkatan ini terdiri dari 16 perempuan dan 4 laki-laki. Well, saya sangat terbiasa dengan fenomena lelaki adalah minoritas. Di jurusan saya, Psikologi, apalagi di angkatan saya, dari 80 mahasiswa, hanya ada sekitar 10 cowok. Itu masih belum dipisah antara cowok tulen dan setengah tulen. Halah.
Kami duduk di tengah ruangan yang sudah dipasang meja membentuk huruf U. Setiap meja sudah dipasangi papan nama peserta. Saya duduk di sebelah Mbak Wulan dan Mbak Nursaadah. Selain itu saya menemukan wajah baru lainnya, ada Sani, Sri Siska, Mas Sugianto, Kak Wawan, dan Mas Fatta.
Pada hari pertama tersebut, acara lumayan padat. Pagi-pagi kami sudah di-brainstorming ide untuk praktik nulis pukul 14.30. Tada! Tema yang digunakan untuk praktik menulis nantinya adalah; Magic, Madness, Heaven, Sin. Well, kata Mbak Rina, editor DIVA Press, ia mendapatkan ide itu karena terinspirasi dengan lagu Blank Space-nya Taylor Swift. Ya ampun, lagu Taylor Swift paling baru yang saya tahu hanya Shake It Off. Dan saya tidak terlalu suka dengan lagu Taylor Swift di album terbarunya ‘1989’. Menurut saya dia sudah keluar jalur dari genre pop-country yang memberi warna khas pada lagu-lagunya.
Halah, iki piye to, malah bahas Taylor Swift? -_-
Oke, lanjut! Setelah mendapatkan berbagai materi teori tentang teknik menulis sampai self-editing. Acara yang ditunggu pun tiba, praktik menulis bersama mentor. Saya merasa mulas saat itu. Terang saja, kami hanya diberikan waktu menulis selama tiga jam plus cerita harus mencakup keempat komponen Magic, Madness, Heaven, Sin tadi. Hiks.
Saya satu kelompok dengan Lina, Mbak Meka, dan Mbak Wulan, dengan mentor Mbak Ayun. Mbak Ayun ini sudah punya novel juga, judulnya Handim, Pistim, Yandim, dan menang di Festival Sastra juga, kalau tidak salah. Keren banget, ya. :)
Setelah tiga jam otak saya berasap, kebul-kebul, malam harinya setiap kelompok ditugaskan menampilkan puisi, drama, dan yel-yel. Hahaha. Hasilnya? Hancur! Meskipun Mbak Meka sudah berusaha gokil, tapi ternyata kami bertiga yang lain tidak bisa gokil. Apalagi saya. Saya kan pemalu. Nanti kalau saya gokil, jatuhnya malah malu-maluin. Ah, sudahlah….
Terselip kisah lucu, ada cinlok di Kampus Fiksi. Hahaha. Ceritanya begini, Feni dan ketiga teman satu kelompoknya, Teh Inggy, Kak Wawan, Mas Fatta, sedang menampilkan sebuah drama romance. Saat itu, Feni dan Mas Fatta dikisahkan sedang belajar untuk ujian kemudian datanglah cowok ganteng yang diperankan Kak Wawan. Ceritanya, Feni terpesona, kemudian dia naksir dan pedekate dengan Kak Wawan. Nah, sewaktu pedekate itu, Feni membacakan sebuah puisi romantis untuk Kak Wawan. Kena deh, satu ruangan pun teriak heboh.
“Cieee… Ciee….!” Feni pun salah tingkah. Hahaha.
Alhasil, sepanjang malam dan hari berikutnya Feni pun kena diciein. Kami pun juga iseng menggoda si Feni. Pukpuk Feni. Setiap kali kami goda, Feni berulang kali bilang;
“Nggak naksir, kok. Cuma dia mirip sama Mas Rizal aja.” Siapa lagi Mas Rizal? Ah, mungkin gebetannya. Hahaha.
Keesokan harinya, hari Minggu, 30 November 2014, kami mendapatkan materi tentang keredaksian, marketing dan pasar buku Indonesia, dan evaluasi cerpen yang kami buat kemarin. Anyway, cerpen saya yang berjudul Perempuan-Perempuan ini memang sangat absurd. Mbak Ayun bahkan sampai bilang kalau cerpen saya masih ada missed logika. Hahaha. Kurang terlatih menulis tiga jam, sih, jadinya hancur kan. Nah, saat semua cerpen selesai dievaluasi terpilihlah satu cerpen terbaik yaitu cerpen Mbak Endah. Salute!
Selanjutnya, penutup dari rangkaian materi Kampus Fiksi adalah penjelasan tentang bimbingan menulis novel oleh Mbak Rina. Ya, fasilitas menarik yang membuat saya semakin menggebu mengikuti Kampus Fiksi Reguler adalah karena adanya fasilitas bimbingan online. Bahkan, jikalau nantinya novel kita benar-benar jadi, kita boleh tidak menerbitkannya di DIVA Press.
Kebahagiaan dan manfaat sangat kami dapatkan dari Kampus Fiksi ini. Akomodasi, biaya makan, biaya coffee break yang hampir setiap kali ada ketika ishoma, sampai antar-jemput ke Stasiun, 100% GRATIS! Saya sampai tidak habis pikir, Pak Edi (owner DIVA Press), bisa sekali membuat event seperti ini. Kalau dihitung-hitung, beliau pasti sudah keluar kocek banyak sekali, tapi beliau tampaknya malah sangat senang. Menurutnya, kreatifitas anak muda yang punya minat menulis besar itu harus diwadahi dengan acara-acara semacam ini. Selama dua hari kemarin beliau juga selalu mendampingi kami dan membagi tips-tips menarik seputar dunia menulis. Tepuk salut buat Pak Edi, semoga kedermawanan beliau dan kepeduliannya terhadap penulis pemula-amatir seperti kami ini, mendapat balasan dari Allah berupa rezeki yang tidak putus-putus. Aamiin. Doa para alumni menyertaimu, Pak… :’).
Nah, kemudian, tidak terasa acara sudah berada di penghujung. Pukul 19.00 kami pun sampai pada acara penutupan. Hiks. Masing-masing raga terasa tak ingin segera beranjak meninggalkan keluarga baru mereka di tempat baru ini. Saya pun juga. Well, setiap pertemuan pasti berujung pada perpisahan. We have to deal with it.
Malam itu, suasana haru melingkupi acara penutupan tersebut. Bahkan, saya, yang sering sekali baper (bawa perasaan) ini ingin menangis ketika lagu Home-nya Michael Bubblè mengalun sebagai backsong dari video yang berisi slideshow foto-foto kami selama mengikuti rangkaian acara Kampus Fiksi. Namun, tangis saya yang hampir luruh itu menguap sekejap ketika melihat foto-foto yang diedit mirip Meme Comic. Halah. Suara tawa kami pun pecah memenuhi setiap sudut ruangan itu. Saya tertawa sampai nangis-nangis. :”)). Setelah sesi nonton video, kami pun jeprat-jepret bersama panitia dan alumni Kampu Fiksi angkatan atas. Ini hasilnya
Keluarga Baru. Kampus Fiksi Angkatan 10 :')
Keesokan harinya, Senin, 1 Desember 2014, pukul 06.00 saya berpamitan untuk bertolak ke Stasiun Tugu kembali menuju Solo, kota kelahiran dan kota menimba ilmu. Diantar dengan Mas Kiki bersama Kak Sayfullan, alumni Kampus Fiksi angakatan atas yang minta diantar ke terminal. Oh iya, Kak Sayful ini alumni Teknik Kimia Universitas Diponegoro, lho. Wah, alumni Kampus Fiksi ini keren-keren semua, ya. Saya jadi merasa bagaikan remah-remah roti bagelan yang sudah dikeringkan sepuluh kali kemudian kadaluarsa. Metaforanya kok elek, ya. Hahah. Wis ben, lah. Hahaha.
Sampai di Stasiun Tugu saya langsung membeli tiket KA Prambanan Ekspres untuk jam 07.30. Ya, saya membolos mata kuliah Penyusunan Rancangan Pelatihan. Hahaha, HORE! Sebenarnya, kalau hari ini tidak mengumpulkan tugas, saya memilih bolos kuliah seharian ikut teman-teman yang lain jalan-jalan ke kantor DIVA Press. Hiks. Namun, akibat tugas PLB yang harus saya kumpulkan di jam kedua, maka saya mau tidak mau harus masuk. Hiks, nggak bisa ikutan jalan-jalan. Hiks….
Sampai di Stasiun Balapan, Solo, sekitar pukul 08.30, saya langsung naik Batik Solo Trans menuju ke kampus. Cuaca saat itu memang sedikit mendung. Namun bulir-bulir peluh menguliti seluruh tubuh saya karena saya harus menenteng tas ransel berisi baju plus laptop, goodie bag berisi lima eksemplar buku, dan satu kerdus besar berisi 50 eksemplar buku. Berasa kayak mau mudik lebaran. Alhamdulillah, meskipun berat, saya tetap senang karena manfaat yang saya dapatkan sangat berlipat ganda. Ikut Kampus Fiksi, Gratis, pulang masih dikasih buku 50 eksemplar. Hiks, terharu. :’)
Terima Kasih Kampus Fiksi, Pak Edi, dan DIVA Press!

P.S: Yang mau baca cerpen saya Perempuan-Perempuan dan Reminisensi, sabar ya. Sedang proses self-editing, memperbaiki cacat EYD dan cacat logika. Semoga setelah diperbaiki tidak semakin cacat atau absurd. Hahaha.

P.S.S: Ternyata saya malah jadi suka lagunya Taylor Swift yang Blank Space. Fine :D  *nggak ada yang nanya -_-

Damn Bad Bureaucracy!

12:12 0 Comments
Sebel sih, tapi masih imut, kan? source: www.google.com
Maaf, jikalau judulnya tampak kasar. Sejujurnya, saya sedang sedikit kesal kemarin. Sebenarnya, antara kesal dan sedikit senang, sih. Pasalnya, Jumat kemarin adalah hari yang lumayan mengesalkan namun masih terselip pengalaman dan pelajaran yang berharga. Sejak pagi, sebenarnya saya baik-baik saja, namun sisi bad prejudice saya muncul ketika saya mengunjungi sebuah instansi di kota tempat saya tinggal dan menuntut ilmu.
Ya, jadi begini, Jumat kemarin adalah jadwal saya dan keempat teman sekelompok saya mengunjungi sebuah rumah sakit di kota Solo. Sebut saja Rumah Sakit X. Kami mengunjungi rumah sakit ini dalam rangka akan mengadakan wawancara dan observasi berkaitan dengan tugas mata kuliah Psikologi Abnormal.
Sebelumnya, kami sudah menyerahkan surat perijinan untuk mengadakan wawancara dan observasi di rumah sakit tersebut. And, you know what? Kami menyerahkan surat itu kira-kira sejak November minggu ketiga, rasanya. Kata petugasnya, sih, kami akan dihubungi lagi setelah seminggu. Namun jelang dua minggu, belum ada kabar sama sekali. Akhirnya, kami mencari-cari alternatif lain. Sampai saya kasihan dengan Irfa’, teman satu kelompok saya, dia yang paling aktif lari-lari kesana kemari. Sementara saya? Well, saya sedang prokrastinasi dan sedikit kurang tanggap plus masa bodoh-an, maklum akhir tahun menjelang liburan, penyakit menahun. Sampai kami berulang kali ke sana kemari, dan puncaknya hari Rabu kemarin, Irfa’ dihubungi pihak rumah sakit bahwa surat kami telah di-accept. Artinya, kami boleh melakukan wawancara di sana. Well, tentu saja kami senang. Lantas keesokan harinya, saya dan Sadhu mem-follow-up dan membuat kesepakatan hari kepada pihak rumah sakit untuk melakukan wawancara. Dibuatlah kesepakatan kami melakukan wawancara dengan dokter hari Jumat pagi.
Yup, anyway, sebenarnya saya mafhum. Mungkin kelambanan dari pihak rumah sakit dalam merespon sebegitu bejibunnya surat perijinan yang masuk diakibatkan karena sudah menjelang akhir tahun dan saatnya tutup buku. Inilah kesedihan mahasiswa, asal kalian tahu wahai pelajar SMA dan SMP di luar sana. Ketika kalian nanti sebagai mahasiswa dan kemudian kalian ditugaskan untuk ke lapangan, entah itu observasi, wawancara, penelitian, dan segala tetek bengek dunia akademis, maka pasti kalian akan pontang-panting dengan masalah perijinan! Perlu diingat, kalian tinggal di Indonesia, di mana sistem organisasinya banyak yang masih menggunakan tipe Latin dengan hierarki panjang. Halah. Apalagi di masa-masa tutup buku akhir tahun seperti ini. Kalian harus me-restock kembali kesabaran kalian. Sangat.
Okay, lanjut ke permasalahan awal. Nah, kemudian pada hari Jumat, kami pun bersama-sama datang ke rumah sakit tersebut. Setelah menunggu beberapa jeda, akhirnya sekitar jam sepuluh kami dipertemukan dengan sang dokter, yang merupakan seorang psikiater. Yup, kami di sini mendapat tugas untuk mewawancarai sang psikiater perihal Psikoterapi kepada pasien gangguan mental. Awalnya, kami disuruh menunggu sebentar karena sang psikiater sedang makan. Lantas, kami menunggu kira-kira sampai jam sepuluh lebih lima menit. Kami pun dipersilahkan masuk ke ruang dokter psikiater tersebut. Sebut saja dokter Maria (nama samaran).
“Ayo mbak, cepet masuk!” seru dokter itu. “Cepet, mau tanya apa? Saya ini keburu-buru, lanjutnya kemudian.
source: www.google.com
Yup, kami sih tidak masalah dengan welcome greeting si dokter ini. Maklum, dokter, spesialis kejiwaan pula, jam terbangnya kan padat, Bro. Kemudian, kami pun mulai mewawancarai dokter tersebut tentang Psikoterapi. Tera pun mengawali percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan ringan sedangkan Ulfah bertugas merekam menggunakan ponsel sambil sesekali bertanya. Namun, betapa kecewanya kami, ketika mendengar jawaban-jawaban sang dokter.
“Bu, bagaimana langkah-langkah Psikoterapi yang ibu lakukan kepada pasien?”
“Ya, tergantung gangguannya,” sahut dokter itu dengan nada nyolot. “Kalau sudah diketahui gangguannya, ya kemudian dipsikoterapi sesuai dengan teori yang dipakai. Kalian tahu nggak sih teori Psikoterapi?” Mendengar jawaban dokter yang tidak mengenakkan kuping itu membuat kami langsung tercekat. Ekspresi muka kami pun berubah. Saya, terutama, manusia yang paling nggak suka sama orang yang ditanyain baik-baik tapi jawabnya nyolot, kemudian memilih diam seraya menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskannya dalam keheningan hati yang kemropok. Yaelah, bu dokter yang pintarnya cetar membahana, kalau kami tahu langkah psikoterapi kayak gimana, ya kami nggak bakalan susah-susah masukin surat ke rumah sakit sejak November, kemudian digantungin selama berminggu-minggu, buat ketemu sama panjenengan yang lagaknya sudah kayak professor lulusan Harvard. -_-
Tera, yang paling banyak bertanya, sepertinya sudah berhasil menabahkan hati dengan jawaban-jawaban si dokter itu yang rata-rata menyebalkan dan nyolot. Saya, hanya bertanya beberapa kali, dan kemudian laksana headshot mendengar jawaban yang hanya, “Iyalah!” “Ya nggak lah!” “Lha, menurut kalian seperti apa?” “Kalian tahu nggak sih?” saya pun langsung klakep mencep. Diam.
Saat itu saya mikir, mungkinkah ibu ini adalah salah satu contoh nyata dari Teori Behavioristik. Akibat terlalu sering bersinggungan dengan pasien gangguan kepribadian lantas kepribadiannya menjadi sedikit geser pula. Halah.
Setelah ‘puas’ mendengar kekurang-ramah-tamahan si dokter, kami pun keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk. Kecewa, sebal, merasa nggak worth it susah-susah ke sini, sudah berharap terlampau banyak, namun hasilnya jauh di bawah ekspektasi. Sabar, ya.  Kami sabar sih, tapi ya gitu, nggrundel di belakang. Kami saling menumpahkan kekecewaan kami dengan ngrasani si dokter, ghibah. Sudah capek digantung kepastian oleh pihak rumah sakit berminggu-minggu, datang kena tarif lima belas ribu rupiah per kepala, tapi tidak mendapat informasi yang memadai dan sambutan dari si dokter kurang menyenangkan. Usut punya usut, ternyata teman saya di kelompok lain yang sudah lebih dulu bertemu si dokter ini, mengatakan hal serupa seperti yang kami alami terhadap dokter ini. Ya, pada awalnya kami mengira dokter bersikap seperti itu karena terburu-buru saja, namun ternyata dengan yang lain juga bersikap seperti itu. Sabar lagi, ya. :)
Buat kalian, calon dokter, atau psikiater, hendaknya kalian jangan seperti dr. Maria Sp.KJ (nama samaran) ini, ya. Karena dosen saya yang Psikiater rasa-rasanya nggak senyolot itu juga, deh. Ya, mungkin beda, dosen saya psikiater konsultan jadi bisa konseling, memahami orang lain, kalau dokter yang kemarin itu mungkin belum konsultan. Halah.
Akhirnya, karena kami merasa kurang mendapat informasi yang banyak, kami pun memutuskan untuk mengunjungi Biro Psikologi. Berharap di biro nanti bertemu dengan Psikolog yang bersedia menjawab pertanyaan kami. Saat di biro psikologi, Alhamdulillah ibunya sangat welcome, ramah, kami diceritakan kisah-kisah unik saat menangani klien yang bermasalah, kami mendapat banyak informasi, pertanyaan kami dijawab dengan penjelasan panjang lebar, serta yang membuat kami sangat berterima kasih adalah: GRATIS. Semoga Ibu Psikolog baik hati ini senantiasa mendapat lindungan dari Allah dan mendapat rezeki berlimpah. Aamiin.
Itulah tadi sekelumit curhatan saya tentang latihan sabar dan memahami orang lain. Calon Psikolog itu harus sabar menghadapi orang, entah semenyebalkan apapun ia. Sebuah pelajaran berharga ketika bersinggungan dengan lamban dan buruknya sebuah birokrasi dan sebuah tamparan berharga ketika bertemu dengan orang yang amat sangat menyebalkan. Seperti sebuah pengingat bahwa, jangan-jangan dulunya saya juga pernah memperlakukan orang lain seperti itu, berkata nyolot dan sedikit songong, sehingga saya mendapat balasan dengan diperlakukan seperti itu oleh orang lain. 
Well, setiap pengalaman adalah pelajaran yang tidak hanya diamati sambil lalu, namun juga perlu diresapi sebagai tuntunan berperilaku di masa yang akan datang.