Sabtu, 25 Oktober 2014

Edisi Mahasiswa Hedon: Late Lunch di Restoran Korea

19:19 0 Comments


Halo pembaca setia! Sudah lama sekali rasanya saya tidak mengupdate blogspot saya dengan tulisan curhatan-ringan dan menggunakan bahasa yang ringan pula. Hehehe. Yup, seperti judul yang telah kalian baca, hari ini saya akan bercerita tentang pengalaman ‘sekali-kali’ menjadi mahasiswa hedonisme. Hahaha. Bukan hedonisme dalam arti menghambur-hamburkan uang ber-shopping ria atau makan di restoran dengan menu makanan berharga ratusan ribu hingga jutaan. Bukan. Lagipula, mana kuat, sih, kami makan segitu mahalnya. Urusan perut dan sarana perkuliahan saja masih menengadahkan tangan di depan orang tua. Mana mungkin kami dengan teganya berfoya-foya lebay seperti itu. Hehehe.
Ya, tepatnya hari Rabu kemarin setelah kuliah, kami berencana makan makanan yang tidak biasa. Halah. Maksudnya, makan yang bukan menu makanan sehari-hari (seperti nasi tempe penyet, soto, nasi sayur warung sederhana, ataupun indomie rebus. Hehehe). Kami ingin mencoba makanan yang berbeda di tempat yang berbeda pula. Ya, biasanya kami makan siang di warung sederhana dengan makanan yang sederhana pula. Maka, kami ingin sekali-kali mencicipi makanan lain dengan cita rasa baru. Setelah berdiskusi menentukan tempat makan yang mungkin pas di lidah dan pas di kantong kami, akhirnya terpilihlah satu restoran yang katanya harganya masih bersahabat di kantong mahasiswa apa adanya seperti kami.
Restoran beruntung yang menjadi tempat destinasi kami adalah Kimchi Korean Restaurant. Yup, sebuah restoran yang menyediakan berbagai macam masakan Korea yang berlokasi di daerah Serengan, Solo. Mengapa kami memilih restoran itu? Tentunya, kami memilih restoran itu dengan pertimbangan paling utama di mata mahasiswa: HARGA. Ya, budget-nya tidak boleh lebih dari Rp. 50.000,00. Setelah bertanya kesana kemari mencari rekomendasi restoran ramah kantong mahasiswa-pelajar, akhirnya sampailah kami ke Kimchi ini.
Selesai menginput poin SPKK dan sholat Ashar, kami bertujuh yang terdiri dari, Saya, Sheilla, Rizki, Rizky, Okta, Tera, dan Vinna pun bersama-sama tancap gas dari kampus menuju ke restoran tersebut. Sesampainya di sana, kami disambut oleh standing character pemain drama Korea The Heirs. Okay, saya tidak pernah suka nonton drama Korea, sehingga saya tidak tahu nama-nama para pemainnya. Hehehe. Mohon dimaafkan keluguan saya ini, ya, teman-teman.
Kami memilih tempat di dekat kaca besar sebelah kiri pintu masuk. Sebuah meja panjang dengan sofa merah empuk dan empat kursi kayu berwarna krem dengan bantalan merah empuk. Di samping meja kami, berdiri sebuah pot bunga sakura artifisial yang cantik. Saat itu, restoran masih tidak terlalu ramai, sehingga kami dapat melakukan kenorakan ataupun kealayan tanpa takut ditertawakan banyak orang, hehehe. Tak lama kemudian, seorang mbak pelayan menghampiri kami, mengucapkan selamat datang, kemudian menyodorkan buku menu ke hadapan kami. Kami pun membuka buku menu, membolak-baliknya, memilih makanan dan menyesuaikan harga makanan dengan budget masing-masing. Pilihan pun dijatuhkan, kami mayoritas memesan Ice Tea, sedangkan Rizki memesan minuman berwarna merah apalah-itu-namanya. Makanan yang kami pesan pun bervariasi (yang kemudian berakhir dengan saling cicip-mencicipi), saya dan Rizki memesan Jjang Myeon, Rizky dan Sheilla memesan Bolsot Bbimbab, Tera memilih Shin Ramyeon, Vinna memilih Bento Korea, dan Okta memesan Budae Jjigae.
Jjang Myeon. Mie ala Korea. Yummy! :3
Yup, mungkin ada yang belum tahu jenis-jenis makanan Korea dengan nama aneh dan susah dihafal ini. Jjang Myeon yang dipesan Rizki dan saya adalah mie ala Korea. Mie ini semacam mie goreng dengan saus kedelai hitam (semacam kecap, mungkin) dicampur irisan jamur, daging sapi, bakso ikan, telur ceplok dan acar. Sedangkan Bolsot Bbimbab, adalah makanan berisi sayur bayam, wortel dipotong panjang, tauge, daging sapi, bakso ikan, saus, dan potongan lobak yang menutupi nasi di bawahnya. Bolsot Bbimbab disajikan dalam hot-bowl dengan tatakan kayu yang menghadirkan bunyi keretak saat dihidangkan (saking panasnya) plus kuah yang disajikan di mangkuk terpisah. Kemudian, Shin Ramyeon adalah mie rebus Korea yang mirip seperti Mie Ramen, namun memiliki aroma minyak wijen yang sangat kuat. Bento Korea yang dipesan Vinna adalah nasi kotak ala Korea. Isinya antara lain, nasi, daging, sayur, dan buah-buahan. Sedangkan Budae Jjigae, adalah sup Korea yang berisi ham sapi, bakso ikan, tahu, dengan kuah berwarna merah membara plus potongan cabai. Semua makanan tersebut dihidangkan dengan porsi lumayan besar dan mengenyangkan. Bahkan saya tidak perlu makan malam lagi setelah menyantap seporsi Jjang Myeon.
Such a yummy appetizer. Kimchi! :)
Sebelum makanan kami terhidang di meja, salah satu mbak pelayan yang lain menghampiri meja kami dengan membawa Kimchi, jamur krispi, oseng tahu, dan potongan kecil semangka. Mulanya kami berpikir, jangan-jangan makanan yang dihidangkan ini dikenai biaya tambahan. Setelah beberapa saat kami mendiamkan makanan-makanan itu, mbak pelayan yang tadi pun datang membaya Ice Tea ke meja kami. Saat itulah salah satu dari kami berinisiatif bertanya kepada mbak pelayan tadi:
“Mbak, ini makanannya harus bayar lagi, nggak?” tentu saja dengan wajah sedikit malu-malu. Hehehe.
“Oh, enggak, kok.” Kata mbak pelayan. Kami pun lega dan dengan senang hati menyantap makanan-makanan itu. Lagi-lagi kami tegaskan, kami adalah mahasiswa apa adanya yang mikir-mikir dulu sebelum makan karena belum punya gaji. Hehehe.
Yang paling pertama kami coba adalah Kimchi. Kimchi adalah sawi fermentasi yang berbumbu pedas. Kata Sheilla, yang sudah berpengalaman makan Kimchi, rasanya enak sekali. Namun, rasa Kimchi untuk yang masih newbie makanan Korea seperti saya ini, tentu akan terasa aneh. Sawi ini rasanya masam, pedas, dan gurih. Sedikit kaget juga saat memasukkan sawi tersebut ke lidah saya yang belum terbiasa makanan Korea ini. Setelah dikunyah-kunyah rasanya lumayan enak karena rasa masamnya tertimbun oleh rasa pedasnya. Kalau belum terbiasa, jangan coba-coba makan Kimchi banyak-banyak, sedikit saja dulu. Pelan-pelan, rasakan sensasi masam dan pedas di setiap kunyahannya. Ceilah…
 Tak berapa lama kemudian, satu persatu makanan terhidang di meja kami. Kami pun saling mencicip-cicipi makanan satu sama lain. Dari semua makanan yang terhidang di atas meja, saya paling menyukai rasa Budae Jjigae milik Okta. Tentu saja, karena sup ini isinya daging-dagingan dan harganya yang paling mahal di antara makanan kami yang lain (Rp. 35.000,00/porsi). Selain itu, saya juga menyukai cita rasa Jjang Myeon yang manis, gurih, dan mengenyangkan. Recommended buat kalian para pecinta segala jenis mie (seperti saya, hehe). Untuk Shin Ramyeon, rasanya sedikit mirip mie rebus Jawa, karena di dalamnya selain ada daging dan bakso ikan juga ada sayuran dan telur yang dicampur dengan kuah mie. Untuk Bolsot Bbimbab, makanan ini sedikit unik, karena cara memmakan makanan ini adalah dengan mencampur semua komponennya secara merata.
Bolsot Bbimbab. Highly recommended! :)
Cara makan Bbimbab ala Rizky, seperti yang dia sering lihat di drama Korea, adalah dengan dicampur dan diaduk-aduk sampai nasi dan topping-nya tercampur rata. Setelah semunya tercampur rata, Rizky pun memasukkan kuah Bbimbab ke dalam hot-bowl menyatu dengan nasi yang tercampur tersebut. Namun ternyata, cara makan Bbimbab tersebut salah. Seorang mas pelayan baik hati memberitahukan cara makan Bbimbab yang benar yaitu, nasi dan topping sayuran dicampur jadi satu sampai merata, namun kuah yang berada di mangkuk terpisah jangan dicampurkan ke dalam campuran nasi tersebut. Kuah tersebut dimakan setelah kita menyantap beberapa sendok Bbimbab. Kami pun melongo ketika dijelaskan cara makan Bbimbab oleh mas pelayan baik hati tadi. Ternyata caranya begitu… Hehehe.
Karena Bbimbab Rizky sudah hampir habis ketika mas-baik-hati menjelaskan perihal cara makan Bbimbab, mas-baik-hati pun menawarkan bagaimana kalau kami pesan lagi. Mulanya, kami ragu kalau pesanan Bbimbab kami yang kedua dikenai biaya, namun mas baik hati tadi pun bilang kalau Bbimbab kedua itu gratis. Akhirnya, Rizky pun setuju Bbimbab-nya ditambah lagi. Hahaha. Setelah pesanan Bbimbab-kedua-yang-gratis hadir, kami pun mulai menerapkan cara yang diajarkan mas baik hati tadi. Tada! Ternyata rasa Bbimbab-nya lebih enak daripada sebelumnya. Hehehe. Yummy!
Narsis dulu. Biasa, kan baru kali ini makan di resto Korea XD
Setelah kenyang makan dengan porsi lumayan banyak nan berharga terjangkau, kami pun menyempatkan diri berfoto selfie beberapa kali. Oh iya, hampir lupa, harga semua makanan yang kami pesan tadi rata-rata berkisar di bawah Rp. 30.000,00/porsi (kecuali Budae Jjigae). Restoran yang sangat recommended untuk dikunjungi bagi kalian yang ingin makan masakan Korea di restoran dengan pelayanan bagus dan tempat yang nyaman namun harga ramah kantong mahasiswa. Makanan yang disajikan pun juga sangat enak. Restoran ini tidak ada salahnya dijadikan tempat nongkrong favorit sembari menyantap masakan Korea yang menggoyang lidah ketika tanggal muda tiba. Halah.
Foto selfie pake tongsis. Tongsis = Tolong, Sis... XD
Anyway, sebelum kami pulang, Rizki dan Rizky menyempatkan diri berfoto dengan standing character The Heirs. Tentu saja mereka memilih berfoto dengan standing character yang cowok. Ketika mereka dengan alaynya berfoto bersama standing character itu, seorang mbak pengunjung lain memperhatikan tingkah laku kami lantas menertawakan ke-ndeso-an kami. Sheilla yang awalnya juga ingin berfoto dengan standing character pun mengurungkan niatnya karena malu setelah melihat mbak pengunjung yang tertawa tadi. Kami pun tertawa keras-keras saat keluar dari restoran tersebut. Benar-benar kelakuan ndeso mahasiswa-baru-pertama-kali-makan-di-restoran-Korea. Hahaha.
Okay, sekian postingan curhatan-ringan saya kali ini. Mohon maaf jika tulisan saya garing dan krik-krik. Maklum, sudah terlampau lama sekali saya hiatus menulis blog, hehehe. Sampai jumpa di postingan selanjutnya…. ­:)

[Movie Review] The Shawshank Redemption (1994)

15:00 0 Comments



Beberapa waktu lalu, entah tepatnya kapan, saya menyempatkan diri menonton film ini. Film yang amat sangat menarik dan meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Bukan karena sinematografinya atau tampilan kecanggihan teknologi seperti halnya film-film produksi negeri Paman Sam pada umumnya. Saya menyukai film ini karena film ini menyelipkan sebuah realita gelap sebuah sistem dan birokrasi, even di negara se-adidaya United States.
Sebenarnya film ini sudah lama mendekam di antara tumpukan-tumpukan file film di laptop saya, namun rasa-rasanya saya baru saja sempat menontonnya beberapa waktu lalu.  Yup, kalian pasti berpikir film ini sangat jadul dan sepertinya membosankan. Nampak jelas dari periode perilisan film ini yang sezaman dengan tahun kelahiran saya. Bisa dibayangkan se-tuwir apa film itu. Hahaha.
Film yang menuai apresiasi positif di masanya ini berhasil saya temukan dari hasil googling dan searching di internet. Pasca melihat ratingnya, membaca sinopsisnya, bahkan mencari terstimoni-testimoni penikmat film yang sebagian besar bernada positif, akhirnya saya pun tertarik untuk segera menonton film ini.
Ini bukanlah film dokumenter membosankan yang lekas membuat orang terkantuk-kantuk di seperempat bagian awal. Bukan pula film yang menampilkan banyak dialog panjang dan memusingkan seperti film Mindwalk. Film yang sebenarnya bergenre drama ini bahkan tidak membumbui alurnya dengan drama percintaan, seperti yang sering kita temukan di film-film pada umumnya. 

Dibintangi oleh Tim Robbins dan Morgan Freeman, film ini menyoroti kehidupan penjara yang keras beserta kelicikan-kelicikan aparat di dalamnya. Sebagian besar film ini bercerita menggunakan sudut pandang tokoh orang pertama pelaku sampingan. Morgan Freeman yang berperan sebagai Ellis Redding, sang tokoh sampingan, menceritakan kehidupan sang tokoh utama, Andy Dufresne (Tim Robbins).
Berkisah tentang seorang akuntan, Andy Dufresne, yang tersangkut kasus pembunuhan kepada istrinya. Jaksa penuntut menyatakan akuntan tersebut bersalah karena memiliki motif kuat untuk membunuh istrinya. Diduga kuat bahwa Dufresne dendam kepada istrinya yang berselingkuh, sehingga ia membunuh istri dan selingkuhannya sekaligus. Namun, ia berulang kali menyangkal bahwa dirinya bersalah dan bukan merupakan pembunuh istrinya. Namun, pernyataannya ditolak karena alibinya sangat lemah. Pada saat kejadian, Andy Dufrense terbukti sedang mabuk sehingga ingatannya yang kurang jelas tersebut meragukan sang hakim. Menilik dari bukti pecahan botol dan pistol yang berbekas sidik jarinya, akhirnya akuntan tersebut diputus bersalah dan dihukum seumur hidup.
Akibat dari kesalahannya yang amat berat itu, ia pun dikirim ke sebuah penjara yang terisolasi jauh dari peradaban kota, di pedalaman Amerika Serikat bernama penjara Shawshank. Penjara Shawshank dihuni oleh berbagai narapidana dengan kasus kriminal berat. Terlebih lagi, penjara itu juga dijaga oleh sipir-sipir yang kejam dan kasar. Bahkan ada pula narapidana yang mati karena sipir-sipir penjara tersebut melakukan penganiayaan dengan amat kejam.
Hal yang sangat menarik dari film ini adalah saat Dufresne secara tidak sengaja mendengar pembicaraan salah seorang sipir penjara yang mendapatkan harta warisan sangat besar dari kakak iparnya. Namun, ia merasa sedikit kecewa dengan banyaknya harta warisan yang diterimanya. Ia kecewa karena dengan adanya harta melimpah yang diterimanya tersebut pemerintah Amerika Serikat akan ‘memerasnya’ dengan pajak yang tidak sedikit pula. Tentu sama saja dengan tidak dapat menikmati harta warisan tersebut sepenuhnya. Mendengar itu, Dufresne pun menyatakan bahwa ia dapat mengatasi kesulitan si sipir penjara. Ia dapat membuat sang sipir tidak perlu mengeluarkan pajak terlalu banyak yang bisa menguras hartanya.
Ya, tentu yang dilakukan sang akuntan bukan tanpa motif di belakangnya. Ia diam-diam sedang merencanakan sesuatu. Sesuatu yang bahkan tidak akan pernah terbersit sedikit pun di benak kalian sebagai penontonnya. Kepandaian dan ketrampilannya dalam ‘membantu’ memanipulasi laporan keuangan sang sipir sampailah ke telinga kepala penjara Shawshank. Ia pun kemudian mendapat tambahan pekerjaan mengolah data keuangan yang penuh dengan praktek kecurangan dan manipulasi.
Dufresne berhasil membuat para sipir dan kepala penjara memberi kepercayaan penuh kepadanya. Semua laporan keuangan dikerjakan olehnya, alhasil segala rahasia busuk dalam penjara itu berada dalam genggamannya. Selain itu juga, berkat Andy Dufresne, perpustakaan penjara yang semula kondisinya amat meprihatinkan dan hanya diisi buku-buku tua, mendapatkan renovasi dan sumbangan buku-buku bekas yang masih layak baca dari pemerintah pusat. Benar-benar seorang narapidana yang sangat menginspirasi.
Anyway, ada sebuah fakta pahit di balik terpenjaranya Andy Dufresne. Saya sempat aneh saat sejak awal film Andy selalu mengatakan bahwa ia tidak bersalah dan tidak pernah membunuh istrinya. Bahkan saat dipenjara pun ia seolah tidak pernah mau mengakui kalau ia membunuh istrinya. Dan ternyata kebenaran tersebut terkuak di seperempat akhir cerita. Bermula dari datangnya seorang narapidana muda bernama Tommy - kalau saya tidak salah ingat - yang menjadi narapidana di penjara Shawshank. Tommy sangat berpengalaman dengan kehidupan penjara karena sejak remaja ia sering keluar masuk penjara, bahkan berpindah-pindah penjara sampai akhirnya terdampar di Shawshank. Suatu ketika, Tommy bercerita pernah bertemu seseorang yang mengaku membunuh istri seorang akuntan kaya yang sedang berselingkuh. Namun, orang tersebut lolos dari tuduhan karena bukti-bukti yang ditemukan polisi malah mengarah kepada si akuntan yang pada saat itu sedang berada di lokasi kejadian. Kesaksian Tommy tersebut sampailah ke telinga kepala penjara. Namun ternyata, akibat kesaksiannya yang mungkin bisa 'menyelamatkan' Andy Dufresne tersebut, Tommy dibunuh. Saya sebenarnya masih bingung, kenapa Tommy dicegah untuk mengungkapkan fakta sebenarnya yang bisa membersihkan nama baik Andy Dufresne. Ya, mungkin film ini sedang memberikan potret nyata penyimpangan penegakan hukum beserta aparat-aparatnya.
Ending pada film ini agak tidak terduga. Mulanya di awal, film ini bakal berjalan datar-datar saja tanpa twist mengejutkan. Namun, saya salah, justru akhir film ini yang bakal membuat kalian tercengang dan tak habis pikir. Seorang Andy Dufresne yang terlihat kalem, pendiam, dan terpelajar namun sedang sial tersebut menyimpan sesuatu yang dalam sifat-sifatnya yang mudah dipercayai itu. Jika kalian penasaran dengan alur selamjutnya, silahkan menonton sendiri. Tidak akan menyesal karena film ini bukan jenis film yang membosankan namun masih menyelipkan pelajaran dan pesan moral berharga bagi penikmatnya.
Okay, mungkin segini saja review film pada kali ini. Anyway, saya merasa sedikit aneh karena tiba-tiba bahasa tulis saya menjadi sedikit mirip seperti bahasa makalah. (Oh God!) Maaf jikalau tiba-tiba tulisan saya jadi sedikit - atau malah sangat - membosankan. Sampai jumpa di postingan selanjutnya... Insyaa Allah postingan selanjutnya saya akan menuliskannya dengan bahasa yang sedikit lebih santai seperti biasa dan tidak terlalu kaku seperti ini. :)