Rabu, 31 Mei 2017

Virtual Persona: Topeng yang Tercipta di Dunia Maya

16:16 2 Comments
Lama sekali rasanya saya malas membuka segala jenis media sosial. Facebook, Twitter, Path, dan Instagram saya seakan tampak mati suri. Postingan saya paling-paling berisi tautan tulisan di blog atau tumblr. Bahkan, saya hampir nggak pernah membuka linimasa yang sering berseliweran segala jenis informasi, mulai dari yang nggak penting sampai berita terkini. Okelah, untuk berita nasional terkini saya yakin selalu update karena mudah diakses di segala platform. Namun, berita-berita yang nggak ada hubungannya dengan stabilitas nasional, tentu saja saya sering ketinggalan. Berita tentang teman lama yang sudah menikah, misalnya. Atau berita tentang si Fulan dapat beasiswa ke luar negeri, mungkin. Tentu saja, semua berita remeh-tapi-lumayan-penting-untuk-bahan-ngobrol-ngalor-ngidul-bersama-teman-lama tersebut hanya bisa saya dapatkan jika saya rajin membuka beranda dan saban hari memelototi berbagai postingan yang berseliweran di linimasa.

Baiklah, mungkin keengganan saya terhadap membuka linimasa di segala media sosial lahir akibat kelelahan saya menjadi manusia terlampau digital. Saya sungguh lelah menjadi manusia yang hidupnya hanya didedikasikan dengan mengecek notifikasi, membalas komentar atau pesan, menekuri linimasa, ikut berkomentar, lalu berulang lagi keesokan harinya. Rasanya seperti diperbudak oleh kemajuan teknologi. Saya pun juga sering kelelahan sendiri mengurusi notifikasi pesan di Whatsapp dan Line yang sekedipan mata saja sudah mencapai ratusan.

Keengganan saya untuk terlalu sering membuka media sosial–terutama yang berseliweran di linimasa–adalah juga untuk menghindari pikiran ‘rumput tetangga selalu lebih hijau dibandingkan rumput sendiri’. Saya tidak memungkiri bahwa terlalu mencurahkan sebagian besar waktu melihat postingan-postingan teman dunia maya akan menimbulkan perasaan insecure. Lantas, munculah perbandingan diri yang kadang kadarnya hingga ambang toxic untuk sistem kepercayaan diri. Setuju atau tidak, pasti kebanyakan dari kita merasa kalau kehidupan orang-orang di luar sana jauh lebih asyik. Bisa pula muncul pikiran bahwa hidup kita seakan terasa jalan di tempat, gini-gini aja.

Rasanya media sosial hanyalah sebagai panggung pameran kehidupan pribadi semata. Setiap orang seakan berlomba-lomba menunjukkan kepada khalayak bahwa hidupnya teramat keren. Setiap orang seakan sibuk memoles cuplikan kehidupannya supaya tampak lebih mentereng. Apalagi sekarang banyak sekali media sosial yang menambahkan fitur-fitur aneh semacam story atau video live. Lama-lama saya merasa jadi manusia purba gaptek yang belum pernah sama sekali menyentuh fitur tersebut.

Fitur-fitur aneh tersebut membuat hasrat pamer sebagian besar pecandu sosial media jadi terfasilitasi. Seakan repot sekali mereka membentuk citra positif diri dalam masyarakat dunia digital. Contohnya seperti di Instagram. Banyak yang repot-repot posting foto dengan sebelumnya melakukan ritual editing. Bisa saja dengan repot membuat warna yang seragam, tema foto yang dikonsep jauh-jauh hari, dan segala keribetan lainnya demi feed instagram yang classy. Tentu saja amat berfaedah, terutama dalam mendulang tambahan followers.

Baiklah, saya bukan mau menghakimi mereka-mereka yang gemar repot-repot memoles sosial medianya. Tentu saja nggak semua yang melakukan hal tersebut hanya menginginkan tambahan followers semata. Bisa saja sosial media tersebut digunakan sebagai sarana mereka dalam personal branding. Bisa saja juga sosial media mereka memang digunakan untuk portofolio yang menunjang profesinya sebagai fotografer, misalnya. Atau bisa saja pula sosial media tersebut sebagai ladang rezeki mereka. Sah-sah saja.

Hanya saja, saya hanya menyayangkan perilaku pecandu sosial media yang menggunakan sosial medianya untuk panjat sosial. Mereka menggunakan sosial medianya sebagai topeng untuk menutupi rasa insecure-nya di dunia nyata. Banyak sekali contohnya.

Suatu hari salah satu teman saya bercerita, seorang temannya ada yang suka memposting kehidupan glamornya di dunia maya. Bergaya seolah anak orang kaya. Namun mirisnya, kehidupan dunia nyatanya jauh berbeda. Dia bukanlah anak seorang kaya raya seperti yang sering ia tampakkan di sosial media. Bahkan, teman saya ini prihatin dan sempat bilang; “Apa nggak kasihan sama orang tuanya? Ya mbok sudah, nggak usah aneh-aneh.” Saya hanya mengangguk setuju.

Ya, memang mungkin generasi dunia digital saat ini sangat butuh pengakuan. Hingga akhirnya menggunakan segala cara untuk mendapatkan pengakuan itu, meskipun harus tersaruk-saruk kesulitan dengan menggunakan berlapis-lapis topeng dunia maya. Mungkin saja mereka juga merasa insecure akan kehidupan dunia nyatanya hingga mencoba memperbaiki citranya dengan berupaya membohongi diri demi dianggap memiliki status lebih tinggi, meskipun hanya  oleh warga dunia maya.

Semakin lama, kehidupan di sosial media semakin absurd saja rasanya. Atau mungkin saja saya sudah makin bosan dengan segala kehidupan digital. Entahlah, yang jelas saya yang sekarang bukanlah saya yang dulu. Saya yang sekarang sudah tidak terlalu merasa repot menambah followers atau pusing ketika followers berkurang drastis. Saya yang sekarang lebih sibuk menikmat kehidupan dunia nyata saya dan berhenti membandingkan diri dengan orang di luar sana yang bahkan secara personal tidak terlalu kenal.

Saya telah tersadar bahwa setiap detik kehidupan dunia nyata saya sangat berharga. Saya ingin lebih bisa memandang dunia dengan murni, tanpa terkontaminasi segala yang berusaha ditampilkan dalam dunia maya.