Selasa, 28 Februari 2017

Belajar Kehidupan dari Webtoon

18:18 6 Comments
Beberapa minggu terakhir ini saya sedang gandrung baca komik di Line Webtoon. Awal Webtoon booming, saya nggak begitu tertarik. Hingga suatu hari, Line Today pun menampilkan beberapa cerita di Webtoon yang lagi populer. Akibat suwung dan kurang kerjaan, saya iseng-iseng baca Pasutri Gaje dan Eggnoid yang authornya orang Indonesia. Banyak yang bilang kalau dua judul ini punya cerita menarik. Setelah baca beberapa episode, saya pun ketagihan. Saya suka banget sama gambarnya yang mirip manga Jepang. Cakep! Hehehe.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai cari-cari cerita lain yang––menurut saya––bagus, hingga saya pun nyangkut di Spirit Fingers. Baca beberapa episode, saya ketagihan juga. Hal tersebut berlanjut dengan beberapa judul lain seperti Lookism, Girls’ World, Ghost Path, dan Creep. Bagi penggemar komik horor saya merekomendasikan Ghost Path karena sound effect-nya menegangkan dan bikin deg-degan maksimal!
Anyway, ketiga judul yang saya sebutkan di atas––Spirit Fingers, Lookism, dan Girls’ World––sukses membuat saya baper. Sebenarnya, ketiga judul tersebut punya tema cerita yang hampir mirip, namun karena pesan ceritanya sangat kuat, sukses bikin saya enggan berhenti di tengah-tengah. Saya bahkan bisa nangis banjir dan merasa relate dengan konflik yang dialami tokoh-tokohnya. Jarang banget saya bisa nangis baca komik, lho. Mungkin memang karena beberapa pengalaman dan konflik para tokohnya pernah saya alami juga.
Spirit Fingers [source]
 Konflik yang dialami Song Woo-yeon di Spirit Fingers, misalnya. Saya merasa kayak ngaca karena tokoh Song Woo-yeon hampir mirip saya banget. Cupu, buruk rupa, pesimis, rendah diri, merasa tidak berguna in everything, mirip banget dengan saya ketika masih pelajar dulu. Bahkan, konfliknya pun sama banget! Song Woo-yeon punya sifat seperti itu akibat dari perlakuan ibunya yang gemar merendahkan kemampuannya. Ibu Song Woo-yeon sebelas duabelas lah sama ibu saya. Salah satu tipe orangtua yang merasa tidak puas dengan kehidupan masa lalunya sehingga dilampiaskan kepada anaknya. Pokoknya anak harus belajar setiap hari termasuk hari libur, harus ranking satu, dan persetan dengan bakat atau hobi yang nggak ada hubungannya dengan akademik. Hal-hal itulah yang bikin saya merasa relate dengan Song Woo-yeon dan berasa pengen bilang; “I feel youuu!”
Hingga akhirnya, Woo-yeon bertemu klub menggambar Spirit Fingers dan menemukan jati dirinya di sana. Meski kadang harus sembunyi-sembunyi karena ibunya bakal ngomel kalau menggambar itu sama sekali nggak berguna dibandingkan belajar matematika. Saya kadang gedek juga kalau Woo-yeon harus diomeli ibunya yang super menyebalkan itu. Huft! Apalagi kalau ibunya Woo-yeon sudah nyangkut ke kekerasan verbal dengan mengatai fisik anaknya yang nggak menarik dan otaknya yang nggak sepintar saudaranya. Duh, lagi-lagi saya merasa kalau Song Woo-yeon adalah cerminan saya banget. Hiks.
Girls' World [source]
Sama halnya ketika saya baca Lookism dan Girls’ World. Kedua cerita tersebut berkisah mengenai perjuangan tokoh utama dalam menghadapi peer group bullying. Duh, kalau berbicara mengenai bullying rasanya seperti sedang mengorek-korek luka masa lalu. Seperti di Lookism, saya juga pernah mengalami bullying verbal yang merendahkan fisik. Bedanya, kalau di Lookism lebih parah, karena tokoh utamanya cowok dan konfliknya lebih banyak melibatkan kekerasan fisik. Konflik di Girls’ World pun juga pernah saya rasakan yaitu berupa pengucilan sosial oleh peer group.
Waktu SD saya gendut, keling, kribo, dan jelek. Badan saya yang bongsor dan tidak seperti anak normal pada umumnya menjadi bulan-bulanan beberapa teman cowok sebaya saya. Ditambah lagi gigi saya yang mirip kelinci ini. Semakin paripurnalah keburukrupaan saya ini. Akibatnya, sedikit banyak saya tumbuh menjadi seseorang yang kurang percaya diri–terutama masalah fisik. Ah, sayang dulu saya belum kenal Felicity Jones yang cantik itu, sih.
Meskipun kesannya merana banget, saya bukan anak yang lemah dan gampang menyerah dengan keadaan. Awalnya melankolis, namun kemudian berubah garang. Meskipun banyak teman sebaya yang membombardir dengan cap-cap buruk rupa, saya berhasil membela diri. Entah bisa dibanggakan atau tidak, biasanya saya menghampiri si perisak lalu mulai membalas perlakuannya. Bisa dengan menendang, memukul, mencakar, atau menjambak. Biasanya mereka lari terbirit-birit dan menyerah. Badan bongsor dan mirip gajah ini kadang ada untungnya.
Beruntungnya juga, saya masih punya Bapak yang bisa jadi tempat menumpahkan keluh kesah dan kesedihan. Setidaknya, Bapak saya masih lebih normal dibandingkan Bapaknya Woo-yeon yang jarang di rumah. Halah. Hahaha.
Lookism [source]
Ngomong-ngomong tentang Lookism, saya jadi tahu kalau bullying di Korea Selatan lebih kejam dibandingkan di Indonesia. Bersyukur banget hidup dan lahir di Indonesia, meskipun masih banyak yang suka menghina fisik, namun efek sosialnya nggak sekejam di Korea sana. Sebagaimana realita yang kita tahu, kultur budaya Korea yang menjunjung tinggi penampilan fisik memang sama sekali tidak ramah bagi mereka yang terlahir tidak menarik. Sehingga jalan satu-satunya adalah melakukan operasi plastik sebagai upaya mendapatkan kemudahan dalam kehidupan sosial (termasuk menghindar dari bullying). Bagi yang kurang beruntung, apalagi kurang mendapatkan dukungan sosial, bisa saja mengalami mental breakdown yang berujung depresi dan bunuh diri.
Sekuat apapun korban bullying menghadapi perisakan, luka psikologis tersebut akan tetap membekas selamanya. Efek yang ditimbulkan bahkan bisa jangka panjang; pembunuhan karakter. Ibarat besi, sekuat apapun tampaknya, kalau dihantam berbagai macam benda secara bertubi-tubi tentu bakal meninggalkan bekas penyok juga. Meskipun si korban bullying sekarang tampak baik-baik saja, namun jauh di dalam dirinya they are struggling for their fears.
Ketiga Webtoon di atas, selain mengritik betapa tidak manusiawinya perilaku para tukang risak, juga membawa pesan-pesan kehidupan. Lookism membawa misi don’t judge a book by its cover, Spirit Fingers mengajak untuk tidak terus terpuruk merutuki kekurangan diri, dan Girls’ World berpesan bahwa dukungan sosial adalah obat dari segala kesedihan dan keterpurukan. Poin besar yang juga perlu digarisbawahi adalah jangan menyerah dan terus berjuang dalam menghadapi segala tantangan kehidupan.
Sebagian besar ceritanya yang bertema konflik peer group anak sekolahan sangat menggambarkan realita masa-masa kritis di usia remaja. Sebagai orang yang pernah mengalami masa remaja, saya juga merasakan betapa beratnya masa-masa itu. Belum dewasa dalam sisi emosionalitas, banyak mengalami konflik intrapersonal dalam menemukan identitas diri, serta kadang dibumbui konflik interpersonal teman sebaya yang menguras batin.
Itulah sebabnya, seseorang perlu mendapatkan dukungan yang besar pada masa-masa remajanya. Mereka yang sedang belajar kehidupan dengan segala dinamikanya sangat membutuhkan pendampingan dari lingkaran keluarganya. Apabila seseorang selalu mendapatkan dukungan dalam hal apapun selama masa-masa remajanya, maka masa depan kehidupan sosialnya akan mengalami improvement yang baik. Sebaliknya, apabila mereka hanya dibiarkan sendirian melalui masa remajanya tanpa dukungan, kehidupan sosialnya akan rentan mengalami kesulitan di masa mendatang. Ya, meskipun rada sok tahu, tapi postulat abal-abal di atas lahir dari analisis––yang juga abal-abal––kehidupan pribadi saya. Hehehe.
Selain tentang kisah-kisah manis persahabatan, ketiga Webtoon favorit saya juga ada bumbu-bumbu romance ala remaja yang lucu-lucu bego. Saya paling suka Spirit Fingers. Awal gabung di Spirit Fingers, Woo-yeon naksir berat dengan Blue Finger, hingga akhirnya datanglah anggota baru bernama Nam Ki-jeong alias Red Finger yang tukang boker tapi tampan bak model. Sebenarnya Woo-yeon nggak terlalu naksir sama Ki-jeong, tapi ternyata Ki-jeong yang malah naksir berat sama Woo-yeon. Haduh, kalau sudah masuk bagian Kijeong-Wooyeon langsung bikin ngakak parah. Ki-jeong adalah tipe cowok tampan-tampan bego nan menggemaskan. Impulsif tapi sok cool di depan Woo-yeon. Saya jadi berharap kalau Spirit Fingers juga dibikin versi dramanya. Pasti bagus. Bahkan saya suka bayangin kalau misal jadi drama, Nam Ki-Jeong should be Lee Jong-suk!
Ngg… saya juga berharap kalau Lookism dibikin dramanya. Park Hyung-seok versi ganteng harus diperanin Kim Soo-hyun. Atau Ji Chang-wook my luv juga boleh. Huehehe.
Ah, saya jadi kebanyakan mengkhayal oppa-oppa Korea gara-gara Webtoon, nih. Wkwkwk.
Hmm… kalau begitu cukup sampai di sini saja, deh, postingan nggak jelas ini. Saya sudah capek ngetik. Hehehe.

Sabtu, 25 Februari 2017

Lempar Komentar, Sembunyi Nama

18:18 2 Comments
Sudah hampir dua bulan TV di rumah rusak. Antara sedih dan senang, sih. Sedih karena nggak bisa nonton Rising Star dan Doraemon, tapi senang karena nggak perlu lagi nonton Anak Jalanan (yang sekarang pindah channel dan ganti judul-tapi-pemain-dan-ceritanya-sama-aja). Sejak TV di rumah rusak, segala sumber informasi di luar pun hanya bisa saya dapatkan via internet dan radio. Iya, radio. Itu pun seringnya radio RRI, bukan Prambors kayak waktu SMA dulu. Akibat sering dengerin radio pula, saya akhirnya jadi tahu I Feel It Coming The Weeknd yang range-suaranya-mirip-Michael-Jackson itu dan Mercy-nya Muse yang ternyata sudah rilis sejak 2015 lalu. Oke, ini nggak penting.
SKIP!!!
Segala sumber informasi yang biasanya saya cari via internet, sebagian besar saya dapatkan dari Line Today. Saya jadi tahu skandal misuh-misuh Dewi Perssik vs Nassar tanpa harus nonton infotainmen. Saya jadi tahu Awkarin rilis single baru yang dislikes-nya lebih banyak daripada likes-nya. Saya jadi tahu juga seputar pilkada DKI Jakarta serta hal yang faedah dan tidak faedah lainnya. Terima kasih, Line Today!
Kalau kalian sering baca berita di Line Today, mungkin familiar dengan kolom komentar yang disediakan di setiap akhir artikel. Biasanya, banyak sekali pengguna Line sekaligus pembaca setia Line Today yang menyalurkan unek-unek dan pendapatnya melalui kolom komentar tersebut. Pada berita-berita yang mengangkat isu panas––seperti isu politik yang semakin garang akhir-akhir ini––jumlah netizen yang berkomentar bisa mencapai ribuan. Tiga yang paling banyak upvote-nya akan menempati posisi puncak.
Sebagai seorang pembaca setia Line Today, tentu saja saya sering baca komentar-komentar teratas tersebut. Sering saya mengklik upvote pada komentar yang saya suka, kadang juga saya ikut nimbrung di kolom komentar di bawah komentar-komentar itu. Biasa, kerjaan orang suwung. Hehehe. Tapi, nggak jarang pula saya dibuat kesal dengan komentar-komentar teratas yang menyebalkan, terutama pada berita-berita yang sering menyentil isu sensitif sekarang ini. Biasanya saya abaikan dan menganggap bahwa sang komentator hanya satu dari sekian generasi micin Indonesia Raya yang paling micin. Halah. Tapi ketika saya sedang ikutan gedek, biasanya saya ikut komen masih dengan mengedepankan adab dan norma yang berlaku, tanpa perlu mengetikkan nama-nama binatang atau alat kelamin.
Akibat seringnya baca komentar-komentar dengan beraneka macam karakteristik tersebut membuat saya berpikir dan memutar memori masa lalu. Saya dulu pernah begitu micin dan alaynya ketika pertama kali punya sosial media. Salah satu sosial media yang jadi saksi bisu kemicinan saya adalah Twitter. Kadang kalau saya baca komentar netizen micin di Line Today yang sering melontarkan kalimat pedas bin sadis tersebut, bikin saya ingat kalau dulunya saya pernah seperti itu. Hahaha. Waktu SMA saya pernah fanwar di Twitter, baik against fanbase sebelah yang suka kata-katain artis favorit saya maupun against netizen negara sebelah ketika masa-masa piala AFF 2010. Saat itu Indonesia masuk final kontra Malaysia.
Ah, jika saya ingat masa jahiliyah saya waktu itu, kadang-kadang saya sedikit bisa menolerir sikap para netizen micin di jagad dunia maya Indonesia ini. Tapi, sering saya nggak habis pikir dengan kelakuan para netizen micin yang gemar berkomentar menyulut perang dan debat kusir. Apalagi jika ditambah bumbu-bumbu SARA. Semacam kurang kerjaan ngurusin dan komentarin hidup orang lain. Ayolah, masih banyak hal bermanfaat yang bisa dilakukan daripada terus menerus berperang komentar saling menghujat perbedaan masing-masing.
Namun, saya juga mafhum bahwa jenis netizen sumbu pendek yang gampang tersulut tersebut tidak bisa dilepaskan dari andil media massa. Kadang––atau sering––sejumlah media massa membungkus berita-berita mereka dengan misi yang mereka bawa. Misal, ada media pendukung X, tentu isi beritanya banyak yang condong memuji X tapi menyudutkan Y. Tentu saja keadaan seperti ini membuat pendukung X jemawa dan pendukung Y naik pitam. Ah, melihat keadaan tersebut rasanya semakin sedikit saja media massa yang benar-benar netral tanpa ada udang di balik bakwan batu.
Fenomena netizen sadis bin pedas nggak hanya di Line Today saja, di sosial media lain semacam Instagram pun juga banyak sekali. Bahkan mungkin, malah lebih ramai Instagram daripada Line Today. Biasanya para netizen-kurang-kerjaan-yang-gemar-komen-pedas sering menyambangi akun-akun publik figur. Ada artis Z upload foto pamer ketek, netizen komen: “Ih, keteknya kok item”, “Bulu keteknya udah numbuh, tuh”, dan lain-lain. Ada akun gosip yang bongkar aib artis W, kolom komentar di postingannya langsung ribuan. Ada berita tentang kebaikan hati seorang publik figur berbagi kepada kaum dhuafa, komentar yang muncul: “Halah, pencitraan!” Ah, Adek lelah baca komentar negatif mulu, Bang.
Perilaku-perilaku aneh bin ajaib para netizen micin Indonesia memang sensasional, Kawan. Coba para netizen yang gemar perang komentar itu saling dipertemukan dalam satu forum besar, saya yakin seribu persen mereka tidak akan sefrontal ketika di dunia maya. Coba para netizen yang suka komen pedas dan sadis di akun publik figur itu disuruh ngomong face to face, pasti mereka malah senyum gaje dan minta foto. Begitulah potret netizen-micin-yang-gemar-komen-negatif, hanya berani sembunyi di balik nama-nama yang bisa jadi nama-nama tersebut hanya samaran belaka.
 Saya, yang sudah tobat dari segala macam fanwar dan komen negatif (insyaa Allah), merasa prihatin dengan kondisi di atas. Apa sebegitu kurang bahagia dan kurang kerjaan para netizen Indonesia kini? Apa mereka kurang piknik juga? Kayaknya, pemerintah perlu bikin program Indonesia Piknik supaya netizen-micin-kurang-piknik bisa segera piknik dan berhenti bertingkah tidak berfaedah. Yha, saya nulis ini juga sambil berkaca kok. Saya kan juga pernah alay nan micin. Dulu, ketika belum dapat hidayah. Hehehe.
Well, tulisan ini sebenarnya hanya berupa unek-unek saja, tidak ada pembahasan aspek psikologis atau ilmiah lainnya. Saya hanya menuliskan keresahan saya melihat perilaku netizen dunia maya Indonesia Raya masa kini. Tapi netizen Indonesia nggak melulu micin kok, banyak juga yang cerdas dan selalu mengedepankan tabayyun sebelum komentar. Semoga netizen yang masih gemar mengumbar kemicinan segera piknik dan mendapatkan hidayah dari Tuhan yang Maha Kuasa. Semoga pula netizen yang cerdas tidak ketularan micin dan bisa mengedukasi saudaranya yang masih berkubang dalam kemicinan supaya kembali ke jalan yang benar. Aamiin…
(Postingan ini terlalu banyak menggunakan kata ‘micin’)
Baiklah, cukup sekian dan terima mahar~~