Sabtu, 19 September 2015

Yuk, Baca Banyak Buku di Perpustakaan Daerah!

18:18 4 Comments

source: www.tumblr.com
Beberapa bulan belakang, saya jadi semakin rajin membaca buku. Entah itu fiksi maupun non fiksi. Aktivitas membaca sembari menulis menjadi sarana pelarian terbaik, sebagai kompensasi dari efek semakin menipisnya jumlah kewajiban SKS. Sampai suatu ketika, tibalah saya pada satu titik, merasa stok bacaan sudah semakin berkurang. Saya teringat perpustakaan. Iya, perpustakaan. Sebenarnya, lebih teringat perpustakaan SMA dulu. Bacaan fiksi di sana lebih banyak, dibandingkan perpustakaan kampus saya kini. Mulai Agatha Christie, Sir Arthur Conan Doyle, J.K. Rowling, Jostein Gaarder, sampai Stephenie Meyer pun ada di sana. Tidak menutup kemungkinan sekarang koleksinya bertambah lagi. Mungkin, bisa saja bertambah dengan The Cuckoo’s Calling, Paper Towns, The Fault In Our Stars, The Silkworm, Hunger Games Trilogy, The Maze Runner Trilogy, Divergent, atau serial Supernova-nya Dewi Lestari. Sayangnya, satu-satunya novel yang ada di perpustakaan kampus saya hanya 24 Wajah Billy. Hahaha.
Kerinduan saya akan perpustakaan–yang benar-benar perpustakaan–bukan tanpa alasan. Hanya saja, saya benar-benar sedang butuh asupan buku baru. Lalu, petunjuk itu datang. Bagaikan angin segar di tengah padang gurun kerontang, seorang teman mengirimkan info lomba resensi di grup whatsapp. Ya, penyelenggaranya Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Solo. Bukan lombanya yang saya incar, melainkan di mana gerangan lokasi Kantor Arpusda yang selama bertahun-tahun tidak pernah saya ketahui rimbanya. Halah.
Ngg, ini kenapa bahasanya jadi ala Zainudin-Hayati, ya?
Berulang kali bertanya pada Bapak, yang notabene sejak lahir hingga paruh baya tak pernah beranjak dari kota ini, namun sayangnya jawaban yang diterima tidak begitu memuaskan. Well, sebagai seorang pecinta buku pula, Bapak saya memang sumber potensial untuk ditanyai masalah perpustakaan. Sayangnya, malah saya disuruh ke perpustakaan Keraton. Hellaw, saya mau cari novel bukan Serat Centhini! Sampai akhirnya, setelah diingatkan oleh lomba resensi itu, saya teringat bahwa ada teknologi bernama Google Map *kemudian tepok jidat*.  Hm, sebenarnya, saya terkadang meragukan Google Map. Tahu teori relativitas, kan? GPS yang cara kerjanya terpengaruh teori relativitas tentu bisa meleset. Itu baru teori relativitas, kalau meleset karena human error. Wis embuh. Huft. Ya, hidup saya memang ribet, tolong dimaklumi.
Lewat Google Map, saya menelusuri lokasi kantor itu. Hingga akhirnya ketemu. Saya sempat terheran-heran, lokasinya kira-kira 100 meter ke barat dari Hotel Loji, daerah dekat Stasiun Balapan. Padahal, sejak sekolah menengah atas saya sering lewat situ, tapi perasaan tidak ada kantor perpustakaan itu, deh. Setelah saya membuktikan dengan mengunjungi lokasi langsung, ternyata memang benar ada. Dulunya memang di situ bukan kantor Arpusda, tetapi kantor Dikpora. Lalu, setelah Dikpora dipindah dekat SMP Negeri 4, jadilah di situ kantor Arpusda dengan gedung baru dibangun kinclong masih gres.
Lega. Sudah ketemu. Akhirnya, saya bisa tidur nyenyak. Halah. Tapi, saya sedih. Iya.  Kenapa takdir begitu kejam mempertemukan kita saat saya sudah semester tujuh seperti ini? Ketika saya sudah harus berjibaku dengan yang namanya Skripsi dan KKN? Kenapa?! *mulai sinetron*. Ngg, tolong maafkan saya, mungkin efek habis baca serial Supernova: Partikel. Hehehe.
Hal yang membuat saya semakin miris dan ingin nangis berguling-guling sembari berteriak kesetanan adalah ketika memasuki perpustakaan langsung disambut deretan buku-buku. Iya. Buku-bukunya… masih baru! Bahkan dari novel remaja alay hingga novel terjemahan ada di sana. The Cuckoo’s Calling, Dunia Sophie, Paper Towns, The Maze Runner, dan yang paling sinting ada SHERLOCK HOLMES! Blimey! Iya, Sherlock Holmes yang versi hardcover. HARDCOVER! Abso-bloody-lutely, HARDCOVER! Okay, saya mendadak alay ketika bertemu apapun yang berbau Sherlock Holmes. Tolong maafkan saya. Hiks.
Selain novel, banyak juga buku-buku nonfiksi. Malah lebih banyak. Ada novel sastra juga. Kalau saja nantinya koleksi novel sastra bertambah dengan Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan, saya akan jadi semakin betah ke sana. Well, saya ingin sekali beli novel itu, tapi karena harganya yang lebih mahal dari The Cuckoo’s Calling, niat saya pun urung. Jadi, saya akan sangat berbahagia sekali jika perpustakaan mau menambah novel-novel sastra juga terjemahan. Mungkin, bisa ditambah lagi dengan bukunya Haruki Murakami dan Orhan Pamuk. Hehehe.
Hey, saya jadi lupa, tulisan ini sungguh jadi melenceng jauh dari judulnya. Pardon my silly fault.
Jadi, sebenarnya saya hanya ingin promosi kepada masyarakat Solo dan sekitarnya supaya sering-sering berkunjung ke Kantor Arpusda Solo. Lebih enak baca di perpustakaan, udah adem, gratis lagi. Hehehe. Lagipula, koleksi buku-buku di sana juga sudah terupdate. Bisa juga dijadikan basecamp nongkrong anak hits kutu buku. Halah. Tidak perlu beli untuk bisa banyak baca buku, pinjam pun tidak diharamkan, kok. Kalau hanya ingin membaca saja, boleh pinjam lalu dibaca di ruang baca perpustakaan. Bisa juga membuat kartu anggota perpustakaan jika ingin meminjam lebih lama.
Kalau ingin membuat kartu perpustakaan, tinggal bilang sama petugas perpustakaan. Kalian akan diberi sebuah kartu yang nantinya harus diisi sesuai identitas kalian. Di bagian belakang kartu itu ada referensi. Bagian itu diisi oleh orang yang bisa memberi referensi, seperti, kalau di kampus bisa dekan atau kepala jurusan, kalau di kantor bisa atasan, kalau di sekolah tentunya kepala sekolah, kalau di lingkungan rumah bisa minta tanda tangan ketua RT atau ketua RW. Lalu, nanti di bagian referensi itu distempel sebagai pengesahan dari pihak yang memberi referensi.
Sungguh, membaca buku itu hal yang mengasyikkan. Hemat. Tidak perlu keluar biaya banyak pula. Lain cerita kalau memang pecinta buku sejati, kurang afdhol kalau baca tapi nggak punya buku. Kalau yang ini bisa dipastikan akan keluar biaya banyak. Hehehe.
source: www.merdeka.com
 Jangan terpaku pada satu jenis buku, misal hanya suka baca buku fiksi saja atau nonfiksi saja. Kalau bisa dua-duanya, supaya duniamu makin berwarna. Membaca fiksi membuat pikiran kaya imajinasi, membaca nonfiksi membuat struktur berpikir semakin logis. Apalagi untuk yang memiliki intensi tinggi terhadap dunia kepenulisan, membaca kedua jenis buku itu layaknya asupan gizi yang harus terpenuhi.
Semakin banyak membaca buku, perspektif kita akan dunia semakin kaya. Kita dapat menjadi orang yang bijaksana, tidak suka main hakim sendiri, serta dalam menghadapi masalah tidak mudah gegabah. Pikiran kita semakin terbuka, kita juga akan cenderung menjadi orang yang lebih toleransi ketika dihadapkan pada perbedaan. Karena pikiran kita kaya akan pengetahuan, tentu kita tidak akan suka sesumbar tanpa dasar layaknya orang-orang picik. Ingat peribahasa ‘tong kosong berbunyi nyaring’ dan ‘air beriak tanda tak dalam’ kan? Begitulah gambaran orang-orang yang sesumbar banyak namun tanpa isi. Semakin banyak membaca, semakin bijaksana kita, maka semakin tenang pula perangai kita. Layaknya peribahasa ‘air tenang menghanyutkan’.
Ya, intinya, sih, di tulisan ini pada umumnya bertujuan untuk mengajak seluruh masyarakat, terutama anak sekolahan yang masa depannya masih panjang, untuk sering dan banyak membaca buku. Pada khususnya, tulisan ini juga mengajak masyarakat Solo dan sekitarnya untuk meramaikan perpustakaan kota. Asal tahu saja, budaya membaca suatu bangsa itu mencerminkan tingkat kemajuan bangsa tersebut. Buku yang dibaca juga tidak harus buku fisik, e-book pun tidak masalah. Tapi, memang lebih nyaman baca buku fisik, sih. Heheh.
Jika semakin banyak orang Indonesia suka membaca–dibanding nonton konser atau sinetron–maka semakin maju pula tingkat pengetahuan bangsa ini. Cobalah pula membuat target membaca buku selama sebulan sebanyak lima sampai delapan judul buku. Atau jika terlalu berat, mungkin bisa membuat target selama setahun harus menamatkan dari awal sampai akhir sebanyak 100 sampai 200 judul buku.
Bah! Itu mah tambah berat, Rif.
Ya, terserah kalian sajalah, yang penting jangan sampai selama sebulan kalian tidak membaca buku satupun. Meskipun sekarang era digital dan bisa pula mengakses informasi di Google tanpa perlu susah-susah membaca buku, tapi tidak semua tulisan terbaik akan selalu dengan mudah didapatkan melalui dunia maya. Tulisan terbaik dan terbukti kesahihannya pasti sudah diterbitkan dalam bentuk buku, bukan diumbar dengan copy-paste di dunia maya.
Jadi, intinya, serupa lagu opening Upin Ipin; Baca bukumu! Jangan biarkan sampai berdebu. Iya, gitu. Udah, nggak usah mbantah!
Sebagai penutup dari postingan abal-abal ini–yang kebanyakan curcol daripada ngajakin baca buku–ijinkan saya menanyakan sesuatu kepada kalian semua;
Lalu, sudah membaca buku kah kalian hari ini?
source: www.hello-pet.com
P.S.: Saya baru saja menamatkan Partikel-nya Dewi Lestari. Sayangnya, dua buku nonfiksi yang lebih dulu saya baca belum dilanjutkan lagi. A Brief History of Time yang baru saya baca sampai bab sembilan dan The Mind At Night yang kurang dua bab terakhir. Hiks. Jangan dicontoh. Kalau baca buku, ya satu-satu. Jangan seperti kutu loncat, lompat-lompat. Hiks.
P.S.S.: Eh, tapi, kan bukunya full English. Jadi, nggak apa-apa, ya. Otak manusia kan butuh rehat sejenak~ Nananana~~ (Halah. Alasan -_-).
P.S.S.S: Sampai jumpa di postingan selanjutnya~ :D

Rabu, 09 September 2015

Time Flies, People Change. Okay, I’m Fine

21:41 2 Comments

Confusion. Yeah. Although I’ve been through almost four years as Psychology major scholar, sometimes I feel that I can’t understand why people do this, why people do that. Especially, their mood swings or something related with. I always pay attention on everybody’s face. I always know when they are uncomfortable or threatened. Unfortunately, I don’t always know what deep down inside their mind.
Keep asking myself, why does their attitude change rapidly? One day they smiled at me, laughed with me, and everything was okay. But, on the next day, they were so cold at me. And I felt abandoned. It’s not a matter of their problem which they’ve been through. I found their expressionless face and uncomfortable body language. I thought, maybe, I was making a big mistake so they went away without saying anything.
Oh-so please tell me what kind of mistake that I did. If you keep shut your mouth up, it makes me feel like a bloody gullible donkey.
Okay. The fact that people change as time passes totally drives me insane. It strengthen my conviction that everything won’t stay forever. There’s always an ‘end’ in the ‘beginning’. Time flies, people change, I’m still here, and I’m trying to be fine. Bye.

PS.: I’m not good enough in English. I couldn’t write well in grammatical order. Pardon my poor vocabularies and my bad grammar.