Jumat, 02 Juni 2017

[Movie Review] (500) Days of Summer (2009)

16:16 4 Comments
(500) Days of Summer [source]
Baru kemarin saya menyempatkan nonton film ini, meskipun mungkin sudah ditimbun sejak entah kapan. Benar, memang saya nontonnya telat banget. Itu karena saya mager nonton, meskipun aslinya saya penasaran banget sama film yang banyak diomongin orang ini. Ya, maklum sajalah, film ini termasuk dalam daftar genre yang not my cup of tea, apalagi Hollywood. Saya selalu was-was kalau ada adegan ranjangnya.
Awalnya, saya kira film ini tentang musibah musim panas terpanjang di Amerika Serikat. Gila aja, lima ratus hari alias hampir dua tahun musim panas doang. Apa nggak kering kerontang? Baiklah, anggap saja saya yang dulu terlalu polos (dan dodol).
Seiring berjalannya waktu, ternyata saya salah kira. Film ini bukan film disaster seperti yang saya bayangkan dulu. Banyak yang suka dengan film ini dan jadi perbincangan di mana-mana pada waktu itu. Ketertarikan saya muncul, namun akhirnya pudar setelah tahu genrenya romance. Romance? Hollywood pula? Jangan-jangan nggak jauh beda sama serial American Pie. *ditendang masyarakat*
Namun, selentingan-selentingan itu ternyata makin riuh hingga saya makin penasaran. Apalagi setelah tahu aktornya Joseph Gordon-Levitt (yaa, terus?). Banyak yang bilang sangat recommended. Ratingnya di IMDb pun juga bagus. Sebuah prestasi bagi seorang movie buff bukan penyuka romance, meskipun sekarang sudah zamannya La La Land.
Film ini berkisah tentang 500 hari dalam episode kehidupan Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) yang bak roller-coaster akibat cewek bernama Summer (Zoey Deschanel). Sebelum bertemu Summer, Tom menganggap hidupnya akan senantiasa suram sebelum dia bisa bertemu seseorang yang bisa mencerahkan hari-harinya. Sedangkan Summer, adalah cewek yang meyakini bahwa cinta itu omong kosong pasca perceraian kedua orangtuanya. Lantas kemudian kehidupan mereka pun saling beririsan dengan tetap membawa perspektif bertolak-belakang masing-masing.
Sudut pandang film ini seluruhnya menggambarkan perasaan seorang Tom yang melankolis. Seolah pula, film ini juga menuntut kesetaraan gender di mana nggak hanya perempuan saja yang bisa selalu tersakiti oleh lelaki. Hidup seorang cowok pun bisa jungkir balik nggak karuan akibat seorang cewek. Seperti Tom ini.
[source]
Sebenarnya Tom tahu, kalau Summer bukan tipe wanita kebanyakan yang mudah baper dan menganggap bahwa cinta adalah segalanya. Summer adalah kebalikan, baik dari Tom dan wanita-wanita pada umumnya. Summer yang telanjur menganggap cinta adalah fantasi semu, cenderung menolak komitmen dalam sebuah hubungan. Ia yakin kalau label itu hanya mengungkungnya dan menghindarkannya dari kebebasan. Tom sungguh mengetahui, namun kesulitan memahami anomali Summer. Meskipun kelihatannya gayung Tom bersambut, hubungan keduanya tetap saja timpang.
Secara keseluruhan, film ini menegaskan kalau Tom adalah pihak yang melulu tersakiti. Keintiman yang terjalin selama beratus-ratus hari membuat Tom sukses meruntuhkan dindingnya. Namun tidak bagi Summer. Sebagaimana layaknya hubungan tanpa status pada umumnya, kedekatan mereka hanya sebatas teman. Meskipun bahasa tubuh mereka masing-masing selalu mengindikasikan lebih dari teman.
Tom galau berkepanjangan. Apalagi ketika Tom menuntut timbal balik setimpal karena telah merasa menyerahkan seluruh hatinya pada Summer. Tom hanya butuh penegasan, bahwa hubungan mereka bisa lebih dari teman. Sayangnya, Summer merasa sedang dibuatkan tali kekang oleh Tom. Summer pun perlahan menjaga jarak. Tom makin nelangsa.
Sebagai penonton, saya mafhum mengapa Tom butuh penegasan kejelasan status mereka. Bukan perkara karakternya yang melankolis dan gampang baper saja. Namun sejatinya seorang lelaki, apalagi yang terlibat kedekatan mendalam dengan lawan jenisnya, akan menganggap bahwa lawan jenis tersebut adalah bagian dari teritorinya. Secara psikologis, lelaki menganggap bahwa wanita yang dicintainya adalah sumber kekuatannya. Sebagaimana wilayah kekuasaan, maka harus ada klaim. Semua orang harus tahu bahwa wanita tersebut telah masuk dalam zonanya, sehingga lelaki lain manapun yang mendekat sama saja telah mengusik kekuatannya. Sama saja pula telah mengusik kebanggaannya. Laki-laki juga butuh pengakuan akan keberadaan dirinya. Dengan diakui keberadaannya, maka lelaki merasa dibutuhkan oleh wanita yang dicintainya. Lelaki pun merasa bangga. (Ngg… ini kok kayaknya semacam analisis sok tahu gitu, ya? Hehehe).
Sedangkan dalam hubungan antara Tom dan Summer yang tanpa status, keberadaan Tom bagi Summer hanya biasa saja. Bukan yang vital dan sangat dibutuhkan. Tom tentu sudah kalah banyak, terutama soal kebutuhannya untuk mengklaim ‘teritorinya’ itu. Tom nggak bisa apa-apa. Sayangnya, Tom sudah telanjur into Summer dan attach dengan Summer.
Tom yang awalnya selalu terbang melayang akibat Summer, kini jatuh berdebam keras karena Summer pula. Apalagi ketika hari-hari pasca Summer resign dari kantor tempat mereka bekerja, hari-hari Tom di kantor tampak makin keruh dibanding hari-hari sebelum Summer mengisi hatinya. Semangat hidup Tom yang pernah menyala-nyala akibat kehadiran Summer, kini seolah tercerabut bersama dengan kepergian Summer. Tom makin putus asa.
Kasarnya, menggunakan sudut pandang secara umum, Summer semacam tipe cewek pemberi harapan palsu. Semua cowok yang menonton (500) Days of Summer ini akan merasa relate banget dengan tokoh Tom. Apalagi jika pernah berada dalam situasi yang sama, mungkin para penonton cowok akan mengasihani Tom mati-matian dan menghujat Summer dengan amarah. Saya pun (meskipun saya cewek). Ingin sekali nge-puk-puk-in Tom dan bilang; “Semangat, Tom! Kamu setrong, kamu kuwadh! *emoticon tangan kekar*.”
Kemudian, hari-hari hampa Tom pun berlalu, hingga mereka pun bertemu secara tidak sengaja dalam perjalanan di kereta. Summer seperti biasa, masih ramah dan masih menganggap Tom adalah teman baiknya. Lalu, cerita itu kembali terulang, namun dengan kenyataan di depan yang lebih menyakitkan. Tom masih berharap, tapi Summer tidak demikian.
Selama menonton film ini, saya kadang tertawa sambil sesekali tersenyum. Bukan mengejek sifat Tom yang terlalu baperianisme itu. Saya tertawa dan tersenyum dengan miris. Apalagi ketika menjelang ending, perspektif awal Tom dan Summer mengenai cinta tiba-tiba tertukar. Tom kini sedikit agak suram memandang cinta, sedangkan Summer seperti menjilat ludah sendiri, mulai mempercayai cinta. Sayangnya, definisi cinta Summer bukan bersumber dari Tom–tidak seperti Tom yang memperoleh keyakinan barunya akibat masa lalunya bersama Summer–, namun dari lelaki yang kini jadi suaminya.
Meskipun hati Tom retak dan nyaris membuat hidupnya pincang selama berhari-hari, namun Tom masih berusaha membongkar alasan Summer tersebut. Namun, jawaban Summer sungguh agak menjengkelkan, Saudara-saudara! Seolah mensahihkan kalau Summer sudah menjilat ludahnya sendiri. Definisi cinta bagi Summer kini sungguh simpel, it was like; “BAM! Okay, I think I love him!” Persis kayak Tom ketika mulai jatuh cinta dengan Summer dulu.
[source]
Lalu, satu yang bikin nyesek adalah, ketika secara implisit Summer menjawab mengapa bukan Tom yang jadi “the one”-nya. Summer menjawab bahwa ketika dia terbangun di pagi hari, Summer semakin merasa tidak yakin dengan Tom. Meskipun selama hubungan mereka telah menciptakan keintiman yang dalam, tapi bagi Summer hanya biasa saja. Urusan klik dan nggak klik memang sulit dipaksakan, Kawan. Meskipun Tom merasa klik dengan Summer, tapi ternyata Summer nggak klik. Meskipun mungkin saja Summer menikmati kedekatan di antara mereka, namun bunyi klik itu nggak pernah terdengar di kedalaman diri Summer. #tsaaahh
Saya berkesimpulan kalau selama itu hubungan mereka memang sahih hanya berupa cinta satu sisi dari pihak Tom. Sedangkan Summer saat itu masih ‘mencari’. Saya mungkin bisa sedikit berempati dengan Summer, karena mungkin saja perilakunya yang seakan-akan selalu menyambut Tom hingga bikin Tom berharap lebih adalah dalam rangka meyakinkan dirinya sendiri tentang definisi cinta versi dirinya. Mungkin saja. Hingga akhirnya Summer menemukan lelaki yang benar-benar membuatnya yakin akan cinta dan menyambutnya dengan tangan terbuka–yang sayang sekali bukan Tom. Proses pencarian Summer: mission accomplished!
Pukpuk, Tom... :( [source]
Hmm… sungguh panjang sekali review ini. Saya tidak menyangka bisa menulis ulasan genre film romance sepanjang ini. Mungkin akibat sering nonton drama Korea yang sering banget ngasih bumbu roman meskipun ceritanya thriller sekalipun. Hehehe.
Satu lagi, sebelum postingan ini saya akhiri, saya ingin bilang kalau saya suka banget sama salah satu soundtrack di (500) Days of Summer, Sweet Disposition dari The Temper Trap. Ya, sebelum nonton film ini saya sudah tahu lagunya duluan soalnya. Hehehe.
Okay, sampai jumpa di postingan selanjutnya (yang bakal makin jarang)~~

Rabu, 31 Mei 2017

Virtual Persona: Topeng yang Tercipta di Dunia Maya

16:16 2 Comments
Lama sekali rasanya saya malas membuka segala jenis media sosial. Facebook, Twitter, Path, dan Instagram saya seakan tampak mati suri. Postingan saya paling-paling berisi tautan tulisan di blog atau tumblr. Bahkan, saya hampir nggak pernah membuka linimasa yang sering berseliweran segala jenis informasi, mulai dari yang nggak penting sampai berita terkini. Okelah, untuk berita nasional terkini saya yakin selalu update karena mudah diakses di segala platform. Namun, berita-berita yang nggak ada hubungannya dengan stabilitas nasional, tentu saja saya sering ketinggalan. Berita tentang teman lama yang sudah menikah, misalnya. Atau berita tentang si Fulan dapat beasiswa ke luar negeri, mungkin. Tentu saja, semua berita remeh-tapi-lumayan-penting-untuk-bahan-ngobrol-ngalor-ngidul-bersama-teman-lama tersebut hanya bisa saya dapatkan jika saya rajin membuka beranda dan saban hari memelototi berbagai postingan yang berseliweran di linimasa.

Baiklah, mungkin keengganan saya terhadap membuka linimasa di segala media sosial lahir akibat kelelahan saya menjadi manusia terlampau digital. Saya sungguh lelah menjadi manusia yang hidupnya hanya didedikasikan dengan mengecek notifikasi, membalas komentar atau pesan, menekuri linimasa, ikut berkomentar, lalu berulang lagi keesokan harinya. Rasanya seperti diperbudak oleh kemajuan teknologi. Saya pun juga sering kelelahan sendiri mengurusi notifikasi pesan di Whatsapp dan Line yang sekedipan mata saja sudah mencapai ratusan.

Keengganan saya untuk terlalu sering membuka media sosial–terutama yang berseliweran di linimasa–adalah juga untuk menghindari pikiran ‘rumput tetangga selalu lebih hijau dibandingkan rumput sendiri’. Saya tidak memungkiri bahwa terlalu mencurahkan sebagian besar waktu melihat postingan-postingan teman dunia maya akan menimbulkan perasaan insecure. Lantas, munculah perbandingan diri yang kadang kadarnya hingga ambang toxic untuk sistem kepercayaan diri. Setuju atau tidak, pasti kebanyakan dari kita merasa kalau kehidupan orang-orang di luar sana jauh lebih asyik. Bisa pula muncul pikiran bahwa hidup kita seakan terasa jalan di tempat, gini-gini aja.

Rasanya media sosial hanyalah sebagai panggung pameran kehidupan pribadi semata. Setiap orang seakan berlomba-lomba menunjukkan kepada khalayak bahwa hidupnya teramat keren. Setiap orang seakan sibuk memoles cuplikan kehidupannya supaya tampak lebih mentereng. Apalagi sekarang banyak sekali media sosial yang menambahkan fitur-fitur aneh semacam story atau video live. Lama-lama saya merasa jadi manusia purba gaptek yang belum pernah sama sekali menyentuh fitur tersebut.

Fitur-fitur aneh tersebut membuat hasrat pamer sebagian besar pecandu sosial media jadi terfasilitasi. Seakan repot sekali mereka membentuk citra positif diri dalam masyarakat dunia digital. Contohnya seperti di Instagram. Banyak yang repot-repot posting foto dengan sebelumnya melakukan ritual editing. Bisa saja dengan repot membuat warna yang seragam, tema foto yang dikonsep jauh-jauh hari, dan segala keribetan lainnya demi feed instagram yang classy. Tentu saja amat berfaedah, terutama dalam mendulang tambahan followers.

Baiklah, saya bukan mau menghakimi mereka-mereka yang gemar repot-repot memoles sosial medianya. Tentu saja nggak semua yang melakukan hal tersebut hanya menginginkan tambahan followers semata. Bisa saja sosial media tersebut digunakan sebagai sarana mereka dalam personal branding. Bisa saja juga sosial media mereka memang digunakan untuk portofolio yang menunjang profesinya sebagai fotografer, misalnya. Atau bisa saja pula sosial media tersebut sebagai ladang rezeki mereka. Sah-sah saja.

Hanya saja, saya hanya menyayangkan perilaku pecandu sosial media yang menggunakan sosial medianya untuk panjat sosial. Mereka menggunakan sosial medianya sebagai topeng untuk menutupi rasa insecure-nya di dunia nyata. Banyak sekali contohnya.

Suatu hari salah satu teman saya bercerita, seorang temannya ada yang suka memposting kehidupan glamornya di dunia maya. Bergaya seolah anak orang kaya. Namun mirisnya, kehidupan dunia nyatanya jauh berbeda. Dia bukanlah anak seorang kaya raya seperti yang sering ia tampakkan di sosial media. Bahkan, teman saya ini prihatin dan sempat bilang; “Apa nggak kasihan sama orang tuanya? Ya mbok sudah, nggak usah aneh-aneh.” Saya hanya mengangguk setuju.

Ya, memang mungkin generasi dunia digital saat ini sangat butuh pengakuan. Hingga akhirnya menggunakan segala cara untuk mendapatkan pengakuan itu, meskipun harus tersaruk-saruk kesulitan dengan menggunakan berlapis-lapis topeng dunia maya. Mungkin saja mereka juga merasa insecure akan kehidupan dunia nyatanya hingga mencoba memperbaiki citranya dengan berupaya membohongi diri demi dianggap memiliki status lebih tinggi, meskipun hanya  oleh warga dunia maya.

Semakin lama, kehidupan di sosial media semakin absurd saja rasanya. Atau mungkin saja saya sudah makin bosan dengan segala kehidupan digital. Entahlah, yang jelas saya yang sekarang bukanlah saya yang dulu. Saya yang sekarang sudah tidak terlalu merasa repot menambah followers atau pusing ketika followers berkurang drastis. Saya yang sekarang lebih sibuk menikmat kehidupan dunia nyata saya dan berhenti membandingkan diri dengan orang di luar sana yang bahkan secara personal tidak terlalu kenal.

Saya telah tersadar bahwa setiap detik kehidupan dunia nyata saya sangat berharga. Saya ingin lebih bisa memandang dunia dengan murni, tanpa terkontaminasi segala yang berusaha ditampilkan dalam dunia maya.

Selasa, 11 April 2017

Edisi Kecanduan Korean Drama: Signal (2016)

20:20 0 Comments
Televisi di rumah masih teronggok dalam kesunyian. Sepertinya memang terancam nggak akan diperbaiki. Baiknya mungkin begitu, supaya adik saya nggak ngejogrog seharian di depan TV, bahkan sampai males mandi atau belajar. Akibat televisi yang masih rusak tanpa kejelasan perbaikan layaknya jalan aspal kampung, sumber hiburan visual saya berkurang. Beruntungnya, di laptop masih banyak tersimpan sejumlah film dan drama korea yang belum tersentuh sama sekali.
Sejak awal tahun 2016, drama korea yang menumpuk belum semuanya sempat saya tonton. Hingga akhirnya, setelah skripsi kelar, saya pun balas dendam dengan berbuka puasa drama korea. Hehehe.
Drama pertama yang saya tonton setelah merampungkan skripsi adalah The Girl Who Sees Smells (Sensory Couple). Lalu, selang beberapa minggu hiatus untuk menetralisir drama hangover akibat terlalu attach dengan karakter drama sebelumnya, saya mulai nonton Kill Me Heal Me. Okay, saya memang telat banget nonton Kill Me Heal Me. Meskipun saya nonton ketika hype-nya sudah tergantikan dengan drama lain yang sedang on going waktu itu, tapi drama ini sukses bikin saya baper maksimal. Saya suka banget aktingnya Ji Sung yang mampu menonjolkan karakter khas dari masing-masing kepribadian yang dimiliki Cha Do-hyun. Ah, tatapan mata Shin Se-gi yang tajam menghunjam dan centilnya Ahn Yo-na yang bikin ngakak maksimal sukses bikin saya kangen berat. Hehehe.
Setelah hiatus beberapa minggu lagi untuk menetralisir hangover, saya pun nonton It’s Okay That’s Love. Saya juga telat banget nonton ini, memang. Setelah nonton beberapa episode, saya merasa muatan romance di drama ini too much. Bikin saya jadi lumayan overdosis, diabetes adegan sweet, dan meratapi kejombloan saya. Hiks. Saya memang nggak terbiasa nonton drama yang terlalu mengekspos banyak adegan romantis. Ah, tapi tetap saja tatapan Jo In Sung ahjussi memang tiada duanya. Bikin pengen pingsan. Huehehe.
Akibat merasa terlalu mengalami overdosis akut adegan romance setelah nonton It’s Okay That’s Love, akhirnya saya cepat-cepat pindah ke Hyde Jekyll and Me. Hyde Jekyll and Me punya tema yang sama seperti Kill Me Heal Me tentang Dissociative Identity Disorder. Tetapi saya masih tetap suka Kill Me Heal Me. Setidaknya, adegan romance di Hyde Jekyll and Me nggak sebanyak It’s Okay That’s Love dan saya nggak kena overdosis jilid dua.
Haduh, kebiasaan pembukaannya terlalu panjang kayak keretaaaaaa…..
Selama menonton Hyde Jekyll and Me, saya tergoda juga nonton Signal. Well, biasanya saya anti mendua nonton drama korea, tapi ketika saya nonton Hyde Jekyll and Me saya iseng nonton episode pertama Signal. Banyak yang bilang Signal sangat recommended bagi yang suka dengan tema detektif-kriminal. Apalagi ada tambahan fantasi yang nggak terlalu surealis banget. Halah. Saya pun jadi penasaran banget nonton drama ini, tentu saja.
Signal [source]
Signal berkisah tentang sebuah tim kepolisian yang dibentuk di tahun 2015 untuk memecahkan kasus-kasus kriminal dingin. Kasus-kasus dingin tersebut adalah kasus yang pernah heboh namun sampai berpuluh-puluh tahun lamanya tak kunjung dapat terpecahkan. Bahkan, sebenarnya sudah kadaluarsa menurut peraturan hukum Korea Selatan.
Awalnya, rencana menguak kasus dingin yang biasanya berakhir terabaikan tanpa terpecahkan ini dilatarbelakangi oleh kasus penculikan tahun 2000. Pada tahun itu, seorang anak gadis diculik dan dinyatakan hilang. Hingga tahun 2015, kasus tersebut tak kunjung terungkap, padahal masa kadaluarsa kasus tersebut tinggal menghitung hari. Jika sampai melewati tenggat waktu kadaluarsa, meskipun terungkap siapa pelakunya, tentu akan percuma saja karena sanksi bagi si pelaku menjadi tidak berlaku lagi. Namun, ternyata keajaiban terjadi menjelang tanggal kadaluarsa kasus penculikan tersebut.
Adalah Park Hae-young (Lee Je-hoon), seorang letnan kepolisian yang tiba-tiba menemukan sebuah walkie-talkie misterius di tumpukan sampah kantor polisi. Walkie-talkie itu bersuara memanggil nama Park Hae-young berulangkali. Penasaran, Park Hae-young pun menjawab panggilan tersebut. Suara misterius di walkie-talkie itu bilang kalau dia telah menemukan mayat di halaman belakang bekas rumah sakit jiwa. Suara tersebut juga menyebut-nyebut mengenai kasus penculikan yang heboh di tahun 2000. Antara merasa aneh dan penasaran, malam itu juga Park Hae-young segera meluncur ke rumah sakit jiwa tua tersebut dan nekat membuktikan kebenaran keberadaan mayat itu sendiri.
Lalu, apa yang terjadi? Park Hae-young benar-benar menemukan mayat yang sudah jadi kerangka di saluran pembuangan bekas rumah sakit jiwa. Ciri-cirinya persis dengan yang disebutkan oleh si suara misterius. Mayat itu tidak memiliki jempol!
Setelah dilakukan investigasi oleh pihak kepolisian, ternyata mayat tersebut adalah lelaki yang pernah menjadi buron karena dicurigai sebagai tersangka penculikan tahun 2000. Pers rilis digelar, menyatakan bahwa setelah melakukan penculikan di tahun 2000, lelaki itu bunuh diri. Namun, Park Hae-young mencurigai adanya kejanggalan. Selain karena kondisi mayat yang tidak punya jempol dan ditemukan di saluran pembuangan, dia sendiri meyakini bahwa penculik sebenarnya bukan berjenis kelamin laki-laki seperti yang marak diberitakan tahun itu, melainkan wanita! Tentu saja Park Hae-young yakin karena korban penculikan adalah teman satu SD-nya dan dia sempat melihat sendiri teman perempuannya tersebut pulang bersama seorang wanita sehari sebelum berita penculikan tersiar.
Wow, ceritanya seru sekali, kan? Saya sampai berdebar-debar nonton episode ini. Apalagi sensasinya semakin menjadi-jadi dengan ditambah hitung mundur menjelang penutupan kasus itu. Semacam berpacu dengan waktu. Sepanjang episode itu banyak banget yang lari kesana-kemari, marah-marah, tertekan, karena dikejar waktu yang terus berjalan tanpa peduli. Adrenalin saya naik, merasakan campuran semangat membara dan geregetan. Penasaran, cemas, khawatir, marah, sukses mengaduk-aduk saya. Ah, kayak yang saya sudah lama banget nggak nonton film detektif. Hahaha.
Lalu, apakah penculik sebenarnya tertangkap? Sempat terkecoh dengan mencurigai tersangka lain karena dikelabui si tersangka asli, namun dengan kemampuan profiling Park Hae-young yang bikin saya jatuh cinta, tentu saja penculik aslinya berhasil tertangkap. Jawaban kasus penculikan itu ternyata ada di episode kedua. Akibat saking penasarannya, saya sampai nggak tahan untuk segera lanjut nonton episode dua saat itu juga. Argh! Gila gila gila! Episode pertama dan kedua Signal benar-benar bikin saya kena drama hangover jilid kesekian!
Sebenarnya, siapa si pemilik suara misterius yang dengan ajaibnya membantu kepolisian mengungkap kasus penculikan tersebut? Pemilik suara misterius itu adalah Detektif Lee Jae-han (Cho Jin-woong), seorang detektif yang juga pernah menyelidiki kasus tersebut pada tahun 2000. Sayang, ketika tahun 2001 dan kasus tersebut masih belum terungkap, Detektif Lee Jae-han dinyatakan hilang. Sedihnya, Ya Allah!
Sampai saat ini saya sudah sampai episode sebelas. Ada 16 episode, berarti tinggal lima episode lagi menjelang ending. Saya berusaha nonton dengan nggak ngoyo lanjut episode selanjurnya, membiarkan diri tersiksa rasa penasaran. Saya nggak mau cepat-cepat menghabiskan drama ini dan beralih ke drama lain. Saya kadung suka banget drama ini! Huwaaaaa…!
Saya suka banget sinematografinya, alur ceritanya, emosinya, karakternya, semuanya! Semuanya! Drama ini cenderung kelam, bahkan serial BBC Sherlock (2010-2017) yang punya genre sama pun kalah kelam. Kekelaman drama ini akibat ceritanya yang cenderung serius, berat, pencahayaan yang khas film neo-noir, dan butuh mikir. Nggak bisa nonton ini disambi makan bakmi, meskipun saya sering begini karena enaknya nonton drama korea itu sambil makan bakmi. Hahaha.
Saya suka banget sama alur drama ini yang berkategori campuran. Penonton diajak bolak-balik dari tahun 1989, 2000, 1997, 1995, dan 2015. Meskipun maju-mundur dan campuran, alurnya nggak begitu njelimet kayak filmnya Christopher Nolan, Memento (2000). Meskipun nonton ini nggak bisa sambil makan bakmi, namun kalian masih bisa sambil makan yang lainnya.
Saya juga suka banget detail yang dibangun di film ini, terutama dalam hal pembedaan suasana tahun 1990-an dengan tahun 2015. Meskipun saya nggak tahu-tahu banget suasana Korea Selatan tahun 1990-an itu kayak gimana, tapi atmosfer jadulnya terasa banget lewat drama ini. Komputer Pentium Satu yang monitornya segede gaban, warna putih, sistem operasinya pun pakai Microsoft yang warnanya masih abu-abu itu. Hahaha. Desain mobil yang dipakai pun juga kaku dan konservatif khas mobil tahun segitu. Apalagi ketika setting-nya di pemukiman padat penduduk yang sempit, kumuh, dan suram, saat Detektif Lee Jae-han berusaha menyelidiki setiap kasus-kasus yang mengusik nuraninya.
Bagi yang terbiasa nonton drama bergenre komedi romantis bertabur oppa-ahjussi ganteng dan eonni manis dengan fashion style yang bisa dijadikan ide #ootd, mungkin kalian akan bosan nonton drama ini. Visual kalian tidak akan termanjakan dengan suasana kelam dan suram di drama ini. Emosi kalian tidak terpuaskan dengan adegan romantis dan komedi yang cenderung irit banget ditampilkan di drama ini.
Bahkan, kayaknya adegan sweet di drama ini nggak terlalu gamblang, cenderung jaim. Kayak relationship-nya Detektif Lee Jae-han dan Detektif Cha Soo-hyun (Kim Hye-soo) ketika masih jadi petugas junior. Cha Soo-hyun selalu perhatian banget sama Lee Jae-han, meskipun sering dicuekin, digalakin, disemprot, dan ditatap dengan tatapan males banget. Bahkan ketika Detektif Lee Jae-han dinyatakan hilang, Detektif Cha Soo-hyun terus berjuang mencari keberadaan kerangkanya hingga tahun 2015. Selalu sedih ketika adegan flashback masa-masa Lee Jae-han dan Cha Soo-hyun masih jadi partner-in-crime. Tambah sedih lagi saat harapan Cha Soo-hyun selalu menyala ketika forensik menemukan kerangka misterius, berharap kalau kerangka Lee Jae-han ditemukan, namun seketika pupus saat mengetahui bahwa kerangka yang ditemukan bukan milik Lee Jae-han. Retak hati Adek, Bang!
Cieee... :3 Cha Soo-hyun diapeli Lee Jae-han [source]
Saya suka drama ini karena sebagian besar ceritanya bernuansa teka-teki. Seperti yang saya tulis di atas, romantis dan komedi tetap ada, tapi hanya semacam garnish saja. Saya nggak terlalu masalah, karena saya nggak mau kena overdosis adegan sweet jilid ketiga seraya meratapi kejombloan saya. Hahaha.
Saya suka banget Detektif Cha Soo-hyun yang merepresentasikan jenis wanita pemberani, cerdas, androgini (meskipun feminin tapi dia bisa maskulin), dan tahan banting. Like a person I wanna be. Wanita tangguh banget lah! Cocok jadi teladan wanita masa kini. Biar nggak terus-terusan lebay atau dikit-dikit galau cuma gara-gara dipehapein gebetan. Hidup di dunia millenial itu keras, Bos!
Letnan Park Hae-young ft. Detektif Lee Jae-han [source]
Saya juga suka chemistry Letnan Park Hae-young dan Detektif Lee Jae-han. Mereka sama-sama jenis polisi yang menjunjung tinggi kemanusiaan, nggak korup, nggak gila kekuasaan, cerdas, kreatif, berdedikasi, dan berintegritas. Pokoknya teladan banget! Andai polisi jenis kayak gini ada banyak, terutama di Indonesia, pasti dunia akan bahagia nan sejahtera.
Detektif Cha Soo-hyun ft. Letnan Park Hae-young [source]
Salah satu scene yang menurut saya paling lucu adalah ketika Park Hae-young berkunjung ke rumah Cha Soo-hyun. Akibat ibunya Cha Soo-hyun yang ingin banget anaknya segera nikah, Park Hae-young pun jadi kandidat inceran calon mantu juga. Saya nggak tahu nanti akhirnya gimana antara Park Hae-young dan Cha Soo-hyun. Tapi sejauh ini, kayaknya Park Hae-young lumayan perhatian sama Cha Soo-hyun. Hehehe.
Ada satu adegan lagi yang sukses bikin saya ngakak malem-malem. Adegan ketika Cha Soo-hyun kesengsem sama Lee Jae-han karena dibantuin bikin kopi. Padahal saat itu Lee Jae-han jengkel banget karena Cha Soo-hyun pasang tampang innocent.
“[…] dan kenapa kamu selalu berkedip-kedip dengan mata cantikmu itu?!”
Salah satu lines Detektif Lee Jae-han yang bikin ngakak karena ngomong itu sambil marah-marah ke Cha Soo-hyun. Hahaha.
Anyway, kasus-kasus di drama ini, menurut beberapa sumber yang saya baca di internet, terinspirasi dari kasus-kasus yang pernah booming di Korea Selatan dan bahkan ada yang belum terpecahkan sampai sekarang. Sejauh yang saya tahu, salah satu peristiwa nyata yang sempat disorot juga di drama ini adalah runtuhnya Jembatan Hanyoung. Akibat baca webtoon Dr. Frost, saya jadi tahu. Hehehe.
Selama tayang, rating Signal selalu tinggi dan sambutannya positif banget. Bahkan, menang beberapa award bergengsi Korea Selatan. Rumor beredar kalau Signal bakal dibikin musim keduanya. Kalau pun benar ada, saya bakal bahagia banget. Asal pemainnya sama dan eksplorasi ceritanya tambah kaya.
Well, nggak terasa postingan ini jadi panjang banget. Ah, sebenarnya masih belum seberapa. Banyak banget hal yang masih belum terungkapkan. Sulit memang merefleksikan buncahan perasaan dengan kata-kata. Pokoknya saya suka banget sama drama ini. Suka suka suka!!!
Drama ini daebak!
Rating versi saya buat Signal: 8.9/10! (dan akan bertambah lagi setelah saya nonton endingnya).