Jumat, 02 Juni 2017

# Movie

[Movie Review] (500) Days of Summer (2009)

(500) Days of Summer [source]
Baru kemarin saya menyempatkan nonton film ini, meskipun mungkin sudah ditimbun sejak entah kapan. Benar, memang saya nontonnya telat banget. Itu karena saya mager nonton, meskipun aslinya saya penasaran banget sama film yang banyak diomongin orang ini. Ya, maklum sajalah, film ini termasuk dalam daftar genre yang not my cup of tea, apalagi Hollywood. Saya selalu was-was kalau ada adegan ranjangnya.
Awalnya, saya kira film ini tentang musibah musim panas terpanjang di Amerika Serikat. Gila aja, lima ratus hari alias hampir dua tahun musim panas doang. Apa nggak kering kerontang? Baiklah, anggap saja saya yang dulu terlalu polos (dan dodol).
Seiring berjalannya waktu, ternyata saya salah kira. Film ini bukan film disaster seperti yang saya bayangkan dulu. Banyak yang suka dengan film ini dan jadi perbincangan di mana-mana pada waktu itu. Ketertarikan saya muncul, namun akhirnya pudar setelah tahu genrenya romance. Romance? Hollywood pula? Jangan-jangan nggak jauh beda sama serial American Pie. *ditendang masyarakat*
Namun, selentingan-selentingan itu ternyata makin riuh hingga saya makin penasaran. Apalagi setelah tahu aktornya Joseph Gordon-Levitt (yaa, terus?). Banyak yang bilang sangat recommended. Ratingnya di IMDb pun juga bagus. Sebuah prestasi bagi seorang movie buff bukan penyuka romance, meskipun sekarang sudah zamannya La La Land.
Film ini berkisah tentang 500 hari dalam episode kehidupan Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) yang bak roller-coaster akibat cewek bernama Summer (Zoey Deschanel). Sebelum bertemu Summer, Tom menganggap hidupnya akan senantiasa suram sebelum dia bisa bertemu seseorang yang bisa mencerahkan hari-harinya. Sedangkan Summer, adalah cewek yang meyakini bahwa cinta itu omong kosong pasca perceraian kedua orangtuanya. Lantas kemudian kehidupan mereka pun saling beririsan dengan tetap membawa perspektif bertolak-belakang masing-masing.
Sudut pandang film ini seluruhnya menggambarkan perasaan seorang Tom yang melankolis. Seolah pula, film ini juga menuntut kesetaraan gender di mana nggak hanya perempuan saja yang bisa selalu tersakiti oleh lelaki. Hidup seorang cowok pun bisa jungkir balik nggak karuan akibat seorang cewek. Seperti Tom ini.
[source]
Sebenarnya Tom tahu, kalau Summer bukan tipe wanita kebanyakan yang mudah baper dan menganggap bahwa cinta adalah segalanya. Summer adalah kebalikan, baik dari Tom dan wanita-wanita pada umumnya. Summer yang telanjur menganggap cinta adalah fantasi semu, cenderung menolak komitmen dalam sebuah hubungan. Ia yakin kalau label itu hanya mengungkungnya dan menghindarkannya dari kebebasan. Tom sungguh mengetahui, namun kesulitan memahami anomali Summer. Meskipun kelihatannya gayung Tom bersambut, hubungan keduanya tetap saja timpang.
Secara keseluruhan, film ini menegaskan kalau Tom adalah pihak yang melulu tersakiti. Keintiman yang terjalin selama beratus-ratus hari membuat Tom sukses meruntuhkan dindingnya. Namun tidak bagi Summer. Sebagaimana layaknya hubungan tanpa status pada umumnya, kedekatan mereka hanya sebatas teman. Meskipun bahasa tubuh mereka masing-masing selalu mengindikasikan lebih dari teman.
Tom galau berkepanjangan. Apalagi ketika Tom menuntut timbal balik setimpal karena telah merasa menyerahkan seluruh hatinya pada Summer. Tom hanya butuh penegasan, bahwa hubungan mereka bisa lebih dari teman. Sayangnya, Summer merasa sedang dibuatkan tali kekang oleh Tom. Summer pun perlahan menjaga jarak. Tom makin nelangsa.
Sebagai penonton, saya mafhum mengapa Tom butuh penegasan kejelasan status mereka. Bukan perkara karakternya yang melankolis dan gampang baper saja. Namun sejatinya seorang lelaki, apalagi yang terlibat kedekatan mendalam dengan lawan jenisnya, akan menganggap bahwa lawan jenis tersebut adalah bagian dari teritorinya. Secara psikologis, lelaki menganggap bahwa wanita yang dicintainya adalah sumber kekuatannya. Sebagaimana wilayah kekuasaan, maka harus ada klaim. Semua orang harus tahu bahwa wanita tersebut telah masuk dalam zonanya, sehingga lelaki lain manapun yang mendekat sama saja telah mengusik kekuatannya. Sama saja pula telah mengusik kebanggaannya. Laki-laki juga butuh pengakuan akan keberadaan dirinya. Dengan diakui keberadaannya, maka lelaki merasa dibutuhkan oleh wanita yang dicintainya. Lelaki pun merasa bangga. (Ngg… ini kok kayaknya semacam analisis sok tahu gitu, ya? Hehehe).
Sedangkan dalam hubungan antara Tom dan Summer yang tanpa status, keberadaan Tom bagi Summer hanya biasa saja. Bukan yang vital dan sangat dibutuhkan. Tom tentu sudah kalah banyak, terutama soal kebutuhannya untuk mengklaim ‘teritorinya’ itu. Tom nggak bisa apa-apa. Sayangnya, Tom sudah telanjur into Summer dan attach dengan Summer.
Tom yang awalnya selalu terbang melayang akibat Summer, kini jatuh berdebam keras karena Summer pula. Apalagi ketika hari-hari pasca Summer resign dari kantor tempat mereka bekerja, hari-hari Tom di kantor tampak makin keruh dibanding hari-hari sebelum Summer mengisi hatinya. Semangat hidup Tom yang pernah menyala-nyala akibat kehadiran Summer, kini seolah tercerabut bersama dengan kepergian Summer. Tom makin putus asa.
Kasarnya, menggunakan sudut pandang secara umum, Summer semacam tipe cewek pemberi harapan palsu. Semua cowok yang menonton (500) Days of Summer ini akan merasa relate banget dengan tokoh Tom. Apalagi jika pernah berada dalam situasi yang sama, mungkin para penonton cowok akan mengasihani Tom mati-matian dan menghujat Summer dengan amarah. Saya pun (meskipun saya cewek). Ingin sekali nge-puk-puk-in Tom dan bilang; “Semangat, Tom! Kamu setrong, kamu kuwadh! *emoticon tangan kekar*.”
Kemudian, hari-hari hampa Tom pun berlalu, hingga mereka pun bertemu secara tidak sengaja dalam perjalanan di kereta. Summer seperti biasa, masih ramah dan masih menganggap Tom adalah teman baiknya. Lalu, cerita itu kembali terulang, namun dengan kenyataan di depan yang lebih menyakitkan. Tom masih berharap, tapi Summer tidak demikian.
Selama menonton film ini, saya kadang tertawa sambil sesekali tersenyum. Bukan mengejek sifat Tom yang terlalu baperianisme itu. Saya tertawa dan tersenyum dengan miris. Apalagi ketika menjelang ending, perspektif awal Tom dan Summer mengenai cinta tiba-tiba tertukar. Tom kini sedikit agak suram memandang cinta, sedangkan Summer seperti menjilat ludah sendiri, mulai mempercayai cinta. Sayangnya, definisi cinta Summer bukan bersumber dari Tom–tidak seperti Tom yang memperoleh keyakinan barunya akibat masa lalunya bersama Summer–, namun dari lelaki yang kini jadi suaminya.
Meskipun hati Tom retak dan nyaris membuat hidupnya pincang selama berhari-hari, namun Tom masih berusaha membongkar alasan Summer tersebut. Namun, jawaban Summer sungguh agak menjengkelkan, Saudara-saudara! Seolah mensahihkan kalau Summer sudah menjilat ludahnya sendiri. Definisi cinta bagi Summer kini sungguh simpel, it was like; “BAM! Okay, I think I love him!” Persis kayak Tom ketika mulai jatuh cinta dengan Summer dulu.
[source]
Lalu, satu yang bikin nyesek adalah, ketika secara implisit Summer menjawab mengapa bukan Tom yang jadi “the one”-nya. Summer menjawab bahwa ketika dia terbangun di pagi hari, Summer semakin merasa tidak yakin dengan Tom. Meskipun selama hubungan mereka telah menciptakan keintiman yang dalam, tapi bagi Summer hanya biasa saja. Urusan klik dan nggak klik memang sulit dipaksakan, Kawan. Meskipun Tom merasa klik dengan Summer, tapi ternyata Summer nggak klik. Meskipun mungkin saja Summer menikmati kedekatan di antara mereka, namun bunyi klik itu nggak pernah terdengar di kedalaman diri Summer. #tsaaahh
Saya berkesimpulan kalau selama itu hubungan mereka memang sahih hanya berupa cinta satu sisi dari pihak Tom. Sedangkan Summer saat itu masih ‘mencari’. Saya mungkin bisa sedikit berempati dengan Summer, karena mungkin saja perilakunya yang seakan-akan selalu menyambut Tom hingga bikin Tom berharap lebih adalah dalam rangka meyakinkan dirinya sendiri tentang definisi cinta versi dirinya. Mungkin saja. Hingga akhirnya Summer menemukan lelaki yang benar-benar membuatnya yakin akan cinta dan menyambutnya dengan tangan terbuka–yang sayang sekali bukan Tom. Proses pencarian Summer: mission accomplished!
Pukpuk, Tom... :( [source]
Hmm… sungguh panjang sekali review ini. Saya tidak menyangka bisa menulis ulasan genre film romance sepanjang ini. Mungkin akibat sering nonton drama Korea yang sering banget ngasih bumbu roman meskipun ceritanya thriller sekalipun. Hehehe.
Satu lagi, sebelum postingan ini saya akhiri, saya ingin bilang kalau saya suka banget sama salah satu soundtrack di (500) Days of Summer, Sweet Disposition dari The Temper Trap. Ya, sebelum nonton film ini saya sudah tahu lagunya duluan soalnya. Hehehe.
Okay, sampai jumpa di postingan selanjutnya (yang bakal makin jarang)~~

4 komentar:

  1. aku belum pernah ini nonton filmnya, padahal SC filmnya dijadikan meme dimana-mana ya mbak, salam kenal ya ^^
    keep blogging :D

    BalasHapus
  2. Cuman baca bagian awalnya aja, karena takut ada spoiler dan langsung pengen donlod film ini. Tar kalau udah nonton, baru aku baca keseluruhan reviewnya hehehe

    Kalau untuk film, aku nggak mau yang berat-berat, pengennya buat haha hihi doang, dan kayanya ini film yang cocok buat aku karena genrenya romance.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener mba, di review ini spoiler sampai ending. Gara2 mikirnya udah pada banyak yang nonton juga paling. Wkwk untung ngga dibaca semuanya 😂

      Hapus