Rabu, 30 Agustus 2017

[Booktalk] Supernova #6: Inteligensi Embun Pagi

19:19 0 Comments
Warning: This post may contain some spoilers. Beware of your choice. Once you read it, there’s no way back! Hahaha

[source]
Sengaja nggak kasih judul book/novel review, karena postingan ini sebagian besar akan berisi komentar, keresahan, dan unek-unek saya mengenai seri pamungkas Supernova ini. Sengaja pula saya bikin postingan tersendiri khusus untuk buku ini–padahal biasanya saya hanya puas nge-review buku sebatas di akun Goodreads saja–karena buku ini hampir lumayan menyedot sebagian besar perhatian saya.
Baiklah, mungkin lagi-lagi saya terhitung sangat terlambat baca Inteligensi Embun Pagi yang hype-nya sudah lewat setahun lalu. Saya pun sebenarnya juga sudah beli bukunya setahun yang lalu. But whatever, yang penting saya sudah kelar baca bukunya. Hehehe.
Usai membaca seri terakhir ini, membuat pikiran saya berkelana ke masa-masa ketika saya tertarik melahap lima seri Supernova sebelumnya. Apalagi ketika saya membaca review dan rate para Goodreaders yang tergabung dalam Barisan Pembaca Sakit Hati. Sebagian saya memang setuju, tapi sebagian lain tidak. Anyway, saya nggak sakit hati atau kecewa dengan IEP. Sungguh. Secara umum, saya puas. Sayangnya, masih banyak gelembung tanya yang belum tuntas dipecahkan dalam IEP.
Teringat masa-masa berkenalan dengan serial Supernova saat kuliah dulu. Saat itu, saya langsung baca seri kelima, Gelombang, gara-gara tertarik ikut sebuah event menulis review. Saya pun langsung suka dengan gaya tulisan Mbak Dee Lestari. Hingga akhirnya saya buru-buru pinjam seri paling pertama Supernova; Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Well, KPBJ pun sukses membuat saya terpicu membaca ketiga seri lainnya; #2 Akar, #3 Petir, dan #4 Partikel.
Antusiasme saya makin memuncak manakala Inteligensi Embun Pagi rilis. Dari awal, saya memang tidak pernah meletakkan ekspektasi apa-apa atas seri terakhir ini. Sederhana saja, saya hanya ingin membayar rasa penasaran dengan menyelesaikan seri terakhir ini. Bahkan, saat saya membaca IEP pun saya meniatkan membaca-untuk-hiburan, bukan untuk menilai. Namun, secara tidak sadar, tentu saja kegiatan membaca-tanpa-menilai kedengaran mustahil bagi saya. Semakin diabaikan, malah semakin kentara rasa yang mengganjal.
Seperti yang sudah saya tulis di atas, secara umum saya puas dengan IEP. Sebagian besar rasa penasaran saya atas kelima buku sebelumnya sudah berhasil terjawab di sini. Apalagi di bab-bab terakhir, seperti menonton film aksi dengan visualisasi yang jernih dan nyata. Saya bahkan bisa mengimajinasikan adegan-adegannya dengan sangat jelas. Sejelas menonton film sungguhan.
Jika kalian juga membaca Supernova dari buku pertama, mungkin akan terlihat sangat signifikan perbedaannya. Apa yang dibahas di KPBJ memang jauh sekali dengan apa yang dibahas di IEP. KPBJ lebih kompleks, rumit, dan cenderung filosofis. Pun, dibumbui dengan teori fisika njelimet. Bagi yang nggak kuat, mungkin akan menyerah ketika membaca seri ini. Sedangkan IEP, lebih cenderung teknis dan kelihatan berusaha keras membuat persinggungan kehidupan antartokoh di buku-buku setelah KPBJ.
Sejak saya bersinggungan dengan KPBJ, saya tahu bahwa Supernova bukan sekadar novel fantasi biasa. Itulah mengapa saya antusias membaca keseluruhan serinya hingga IEP. Meski migrain dengan istilah-istilah yang membuat saya dalam mode roaming, namun makna tersirat yang tersaji dalam novel tersebut sukses menarik saya menyelam semakin dalam. Benar-benar salah satu jenis novel yang bikin saya berkontemplasi lumayan lama pasca membacanya.
Saya menyadari, sebagaimana review dari Barisan Pembaca Sakit Hati, bahwa gaya bahasa di KPBJ dengan seri-seri setelahnya sangat berbeda. Jika menurut pembaca mainstream, gaya bahasa di KPBJ sungguh tidak ‘manusiawi’. Lebih mirip makalah hasil penelitian disertasi dibanding novel fantasi. Sedangkan para pengagum KPBJ berpikir sebaliknya. Supernova tidak seharusnya ‘menurunkan’ diri dengan berusaha ‘nge-pop’ di seri-seri setelah KPBJ.
Well, saya sih tidak ambil pusing perihal gaya bahasa yang mirip makalah disertasi atau gaya bahasa nge-pop. Selama kualitas cerita masih tetap terjaga, style apapun yang dipakai bukan masalah besar. Namun, sebagaimana komentar Barisan Pembaca Sakit Hati yang dengan kecewa saya setujui, seiring dengan pertambahan seri, nyawa yang berhasil penulis tiupkan dalam KPBJ perlahan terkikis. Kulminasinya ada di IEP.
Dengan berat hati saya merasa makna filosofis yang sudah terbangun sedemikian rupa, runtuh satu persatu. Saya pun merasa kehilangan muatan filosofisnya ketika menyentuh IEP. Supernova pun berubah menjadi novel fantasi biasa ketika dipungkasi IEP.
Jauh dalam lubuk hati, saya tidak bisa menyangkal selama membaca IEP saya berusaha mencerna dan mencari-cari. Sayangnya, saya tak kunjung menemukan. Entah memang hanya diselipkan sedikit hingga saya kurang menyadarinya atau memang benar-benar secara nggak sengaja telah dilenyapkan. Jujur saja, saya menunggu-nunggu pemahaman kontemplatif saya disempurnakan di IEP. Saya juga menunggu-nunggu aroma filsafat ekstensial kembali menyeruak sebagai resolusi di novel penutupnya.
Saya pikir, mungkin saja perubahan-perubahan tersebut terjadi karena banyak alasan dan faktor. Salah satunya adalah mengenai ‘rumah’ yang dinaungi oleh serial Supernova kini. Jika kalian pembaca Supernova garis keras, mungkin sudah tahu bahwa cetakan pertama KPBJ bernaung di bawah penerbit independen. Hingga kemudian ketika Supernova makin tenar, rumah mereka pun berpindah pada penerbit mayor. Penerbit mayor means menyesuaikan selera pasar.
Ah, mungkin saja saya memang agak sok tahu. Namun, jika dikait-kaitkan bisa jadi ada hubungannya juga. Saya mengira perubahan gaya tersebut dilakukan supaya serial Supernova bisa menyasar segmen pembaca yang lebih luas. Jika sasaran pembaca semakin luas, tentu kepopuleran Supernova semakin meroket sehingga mendulang keuntungan berlimpah bagi ‘rumah’ keduanya.
Saya tegaskan sekali lagi, perubahan gaya bahasa bukan hal yang buruk-buruk amat. Sejujurnya, saya pribadi sungguh bersyukur karena dengan bahasa yang lebih ‘merakyat’ membuat otak saya yang cetek ini bisa lebih mudah mencerna dan saya jadi nggak perlu susah-susah buka KBBI atau googling istilah-istilah rumit. Hehehe.
Selain itu, ada hal lain lagi yang agak mengganjal bagi saya mengenai penokohan di IEP. Lagi-lagi, dengan berat hati, saya juga menyetujui pendapat Barisan Pembaca Sakit Hati. Saya setuju kalau karakter Reuben, Dimas, dan Ferre yang di awal ‘kelihatan’ tampak vital peranannya, berubah menjadi hanya tokoh figuran pelengkap di IEP. Apalagi si Bintang Jatuh. Padahal saya menunggu-nunggu kemunculan gamblang tokoh Bintang Jatuh ini. Sayangnya, tokoh ini di IEP hanya digambarkan sebagai sebuah entitas yang samar, hampir serupa mimpi penuh khayalan. Saya sedih :(
Saya juga merasa kalau karakter yang awalnya kelihatan nggak terlalu penting–sebut saja Gio–peranannya jadi sangat penting banget di IEP ini. Bahkan malah dijadikan Sang Juru Selamat. Selain itu lagi, karena saya #TimElektra, saya jadi sedih kenapa karakter Etra di IEP jadi semacam tukang bawa sial. Hiks~
Ah, meskipun agak sedih, mungkin saja hal tersebut memang sengaja dilakukan oleh Mbak Dee Lestari supaya IEP punya ending yang nggak ketebak. Mungkin saja, kan? Urusan tokoh mau diapain, sebagai pembaca saya sih manut saja sama penulisnya~
Anyway, tidak semua komentar Barisan Pembaca Sakit Hati saya setujui seratus persen. Bahkan, ada review salah satu pembaca yang bikin saya agak kesel. Entah mungkin ingin pamer bacaan atau bagaimana, si pembaca ini dengan absurd-nya menggunakan karya Leo Tolstoy, War and Peace, sebagai pembanding IEP. Well, di situ saya merasa ingin bilang; “Yha, elu ngebandinginnya jomplang! Itu kayak lu ngebandingin Dear Nathan sama Anna Karenina. Ya, Lord!”
Baiklah, memang saya tidak (atau belum) pernah membaca karya Leo Tolstoy satu pun, apalagi War and Peace. Otak saya memang nggak kuat baca sastra klasik yang berat-berat. Apalagi masih dalam terjemahan Inggris, belum ada versi Indonesianya. Lha wong baca A Brief History of Time-nya Stephen Hawking yang versi Inggris aja saya megap-megap. Bisa muntah darah kalau saya baca sastra klasik versi bahasa Inggris. (Oke, ini memang rada lebay)
Hmm, jujur saya lumayan nggak habis pikir dengan tukang pembuat-perbandingan-nggak-masuk-akal seperti si pembaca itu. Kurang bijaksana saja, menurut saya. Banyak elemen-elemen yang sudah jauh berbeda dari karya di atas. Selain soal kedalaman makna dalam kedua karya tersebut, latar belakang pemikiran penulis dan rentang masa ketika kedua karya tersebut dibuat memengaruhi aspek psikologis dalam suatu karya.
Gampangnya begini, menurut sepemahaman saya yang dangkal ini, kurang bijaksana apabila membandingkan novel klasik dengan novel masa kini. Kenapa? Karena masing-masing mereka dibuat pada latar masa yang berbeda. Masing-masing dari mereka dibuat oleh penulis yang hidup di masa yang berbeda dan tentu saja memengaruhi perbedaan perasaan dan pemikiran ketika suatu karya tersebut dibuat. Mengutip tulisan seorang pecinta buku yang pernah saya baca di Line; “Toh, suatu hari nanti, karya masa kini akan menjadi karya klasik pada waktunya”. Tentu saja, hanya beberapa karya masa kini berkualitas yang akan menjadi karya klasik di masa depan. Ini pendapat saya, mungkin saja kalian berbeda.
Entah mengapa, postingan ini makin lama jadi mbleber ke mana-mana~
Well, seperti yang sudah saya tulis paling awal, postingan ini hanya berisi keresahan dan unek-unek saya seputar serial Supernova. Terlepas dari kekurangan dan protes kanan-kiri dari Barisan Pembaca Sakit Hati, saya tetap merekomendasikan kalian untuk membaca Supernova dari KPBJ hingga IEP. Terutama bagi pembaca genre fantasi yang tidak ambil pusing dengan segala tetek bengek unsur intrinsik di atas dan menggunakan kegiatan membaca sebagai hiburan semata.
Cukup sekian postingan dari saya. Apabila tulisan ini kurang berfaedah, ambil yang faedahnya saja (?)
Terima kasih~
Sampai jumpa di postingan selanjutnya~

Jumat, 02 Juni 2017

[Movie Review] (500) Days of Summer (2009)

16:16 4 Comments
(500) Days of Summer [source]
Baru kemarin saya menyempatkan nonton film ini, meskipun mungkin sudah ditimbun sejak entah kapan. Benar, memang saya nontonnya telat banget. Itu karena saya mager nonton, meskipun aslinya saya penasaran banget sama film yang banyak diomongin orang ini. Ya, maklum sajalah, film ini termasuk dalam daftar genre yang not my cup of tea, apalagi Hollywood. Saya selalu was-was kalau ada adegan ranjangnya.
Awalnya, saya kira film ini tentang musibah musim panas terpanjang di Amerika Serikat. Gila aja, lima ratus hari alias hampir dua tahun musim panas doang. Apa nggak kering kerontang? Baiklah, anggap saja saya yang dulu terlalu polos (dan dodol).
Seiring berjalannya waktu, ternyata saya salah kira. Film ini bukan film disaster seperti yang saya bayangkan dulu. Banyak yang suka dengan film ini dan jadi perbincangan di mana-mana pada waktu itu. Ketertarikan saya muncul, namun akhirnya pudar setelah tahu genrenya romance. Romance? Hollywood pula? Jangan-jangan nggak jauh beda sama serial American Pie. *ditendang masyarakat*
Namun, selentingan-selentingan itu ternyata makin riuh hingga saya makin penasaran. Apalagi setelah tahu aktornya Joseph Gordon-Levitt (yaa, terus?). Banyak yang bilang sangat recommended. Ratingnya di IMDb pun juga bagus. Sebuah prestasi bagi seorang movie buff bukan penyuka romance, meskipun sekarang sudah zamannya La La Land.
Film ini berkisah tentang 500 hari dalam episode kehidupan Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) yang bak roller-coaster akibat cewek bernama Summer (Zoey Deschanel). Sebelum bertemu Summer, Tom menganggap hidupnya akan senantiasa suram sebelum dia bisa bertemu seseorang yang bisa mencerahkan hari-harinya. Sedangkan Summer, adalah cewek yang meyakini bahwa cinta itu omong kosong pasca perceraian kedua orangtuanya. Lantas kemudian kehidupan mereka pun saling beririsan dengan tetap membawa perspektif bertolak-belakang masing-masing.
Sudut pandang film ini seluruhnya menggambarkan perasaan seorang Tom yang melankolis. Seolah pula, film ini juga menuntut kesetaraan gender di mana nggak hanya perempuan saja yang bisa selalu tersakiti oleh lelaki. Hidup seorang cowok pun bisa jungkir balik nggak karuan akibat seorang cewek. Seperti Tom ini.
[source]
Sebenarnya Tom tahu, kalau Summer bukan tipe wanita kebanyakan yang mudah baper dan menganggap bahwa cinta adalah segalanya. Summer adalah kebalikan, baik dari Tom dan wanita-wanita pada umumnya. Summer yang telanjur menganggap cinta adalah fantasi semu, cenderung menolak komitmen dalam sebuah hubungan. Ia yakin kalau label itu hanya mengungkungnya dan menghindarkannya dari kebebasan. Tom sungguh mengetahui, namun kesulitan memahami anomali Summer. Meskipun kelihatannya gayung Tom bersambut, hubungan keduanya tetap saja timpang.
Secara keseluruhan, film ini menegaskan kalau Tom adalah pihak yang melulu tersakiti. Keintiman yang terjalin selama beratus-ratus hari membuat Tom sukses meruntuhkan dindingnya. Namun tidak bagi Summer. Sebagaimana layaknya hubungan tanpa status pada umumnya, kedekatan mereka hanya sebatas teman. Meskipun bahasa tubuh mereka masing-masing selalu mengindikasikan lebih dari teman.
Tom galau berkepanjangan. Apalagi ketika Tom menuntut timbal balik setimpal karena telah merasa menyerahkan seluruh hatinya pada Summer. Tom hanya butuh penegasan, bahwa hubungan mereka bisa lebih dari teman. Sayangnya, Summer merasa sedang dibuatkan tali kekang oleh Tom. Summer pun perlahan menjaga jarak. Tom makin nelangsa.
Sebagai penonton, saya mafhum mengapa Tom butuh penegasan kejelasan status mereka. Bukan perkara karakternya yang melankolis dan gampang baper saja. Namun sejatinya seorang lelaki, apalagi yang terlibat kedekatan mendalam dengan lawan jenisnya, akan menganggap bahwa lawan jenis tersebut adalah bagian dari teritorinya. Secara psikologis, lelaki menganggap bahwa wanita yang dicintainya adalah sumber kekuatannya. Sebagaimana wilayah kekuasaan, maka harus ada klaim. Semua orang harus tahu bahwa wanita tersebut telah masuk dalam zonanya, sehingga lelaki lain manapun yang mendekat sama saja telah mengusik kekuatannya. Sama saja pula telah mengusik kebanggaannya. Laki-laki juga butuh pengakuan akan keberadaan dirinya. Dengan diakui keberadaannya, maka lelaki merasa dibutuhkan oleh wanita yang dicintainya. Lelaki pun merasa bangga. (Ngg… ini kok kayaknya semacam analisis sok tahu gitu, ya? Hehehe).
Sedangkan dalam hubungan antara Tom dan Summer yang tanpa status, keberadaan Tom bagi Summer hanya biasa saja. Bukan yang vital dan sangat dibutuhkan. Tom tentu sudah kalah banyak, terutama soal kebutuhannya untuk mengklaim ‘teritorinya’ itu. Tom nggak bisa apa-apa. Sayangnya, Tom sudah telanjur into Summer dan attach dengan Summer.
Tom yang awalnya selalu terbang melayang akibat Summer, kini jatuh berdebam keras karena Summer pula. Apalagi ketika hari-hari pasca Summer resign dari kantor tempat mereka bekerja, hari-hari Tom di kantor tampak makin keruh dibanding hari-hari sebelum Summer mengisi hatinya. Semangat hidup Tom yang pernah menyala-nyala akibat kehadiran Summer, kini seolah tercerabut bersama dengan kepergian Summer. Tom makin putus asa.
Kasarnya, menggunakan sudut pandang secara umum, Summer semacam tipe cewek pemberi harapan palsu. Semua cowok yang menonton (500) Days of Summer ini akan merasa relate banget dengan tokoh Tom. Apalagi jika pernah berada dalam situasi yang sama, mungkin para penonton cowok akan mengasihani Tom mati-matian dan menghujat Summer dengan amarah. Saya pun (meskipun saya cewek). Ingin sekali nge-puk-puk-in Tom dan bilang; “Semangat, Tom! Kamu setrong, kamu kuwadh! *emoticon tangan kekar*.”
Kemudian, hari-hari hampa Tom pun berlalu, hingga mereka pun bertemu secara tidak sengaja dalam perjalanan di kereta. Summer seperti biasa, masih ramah dan masih menganggap Tom adalah teman baiknya. Lalu, cerita itu kembali terulang, namun dengan kenyataan di depan yang lebih menyakitkan. Tom masih berharap, tapi Summer tidak demikian.
Selama menonton film ini, saya kadang tertawa sambil sesekali tersenyum. Bukan mengejek sifat Tom yang terlalu baperianisme itu. Saya tertawa dan tersenyum dengan miris. Apalagi ketika menjelang ending, perspektif awal Tom dan Summer mengenai cinta tiba-tiba tertukar. Tom kini sedikit agak suram memandang cinta, sedangkan Summer seperti menjilat ludah sendiri, mulai mempercayai cinta. Sayangnya, definisi cinta Summer bukan bersumber dari Tom–tidak seperti Tom yang memperoleh keyakinan barunya akibat masa lalunya bersama Summer–, namun dari lelaki yang kini jadi suaminya.
Meskipun hati Tom retak dan nyaris membuat hidupnya pincang selama berhari-hari, namun Tom masih berusaha membongkar alasan Summer tersebut. Namun, jawaban Summer sungguh agak menjengkelkan, Saudara-saudara! Seolah mensahihkan kalau Summer sudah menjilat ludahnya sendiri. Definisi cinta bagi Summer kini sungguh simpel, it was like; “BAM! Okay, I think I love him!” Persis kayak Tom ketika mulai jatuh cinta dengan Summer dulu.
[source]
Lalu, satu yang bikin nyesek adalah, ketika secara implisit Summer menjawab mengapa bukan Tom yang jadi “the one”-nya. Summer menjawab bahwa ketika dia terbangun di pagi hari, Summer semakin merasa tidak yakin dengan Tom. Meskipun selama hubungan mereka telah menciptakan keintiman yang dalam, tapi bagi Summer hanya biasa saja. Urusan klik dan nggak klik memang sulit dipaksakan, Kawan. Meskipun Tom merasa klik dengan Summer, tapi ternyata Summer nggak klik. Meskipun mungkin saja Summer menikmati kedekatan di antara mereka, namun bunyi klik itu nggak pernah terdengar di kedalaman diri Summer. #tsaaahh
Saya berkesimpulan kalau selama itu hubungan mereka memang sahih hanya berupa cinta satu sisi dari pihak Tom. Sedangkan Summer saat itu masih ‘mencari’. Saya mungkin bisa sedikit berempati dengan Summer, karena mungkin saja perilakunya yang seakan-akan selalu menyambut Tom hingga bikin Tom berharap lebih adalah dalam rangka meyakinkan dirinya sendiri tentang definisi cinta versi dirinya. Mungkin saja. Hingga akhirnya Summer menemukan lelaki yang benar-benar membuatnya yakin akan cinta dan menyambutnya dengan tangan terbuka–yang sayang sekali bukan Tom. Proses pencarian Summer: mission accomplished!
Pukpuk, Tom... :( [source]
Hmm… sungguh panjang sekali review ini. Saya tidak menyangka bisa menulis ulasan genre film romance sepanjang ini. Mungkin akibat sering nonton drama Korea yang sering banget ngasih bumbu roman meskipun ceritanya thriller sekalipun. Hehehe.
Satu lagi, sebelum postingan ini saya akhiri, saya ingin bilang kalau saya suka banget sama salah satu soundtrack di (500) Days of Summer, Sweet Disposition dari The Temper Trap. Ya, sebelum nonton film ini saya sudah tahu lagunya duluan soalnya. Hehehe.
Okay, sampai jumpa di postingan selanjutnya (yang bakal makin jarang)~~

Rabu, 31 Mei 2017

Virtual Persona: Topeng yang Tercipta di Dunia Maya

16:16 2 Comments
Lama sekali rasanya saya malas membuka segala jenis media sosial. Facebook, Twitter, Path, dan Instagram saya seakan tampak mati suri. Postingan saya paling-paling berisi tautan tulisan di blog atau tumblr. Bahkan, saya hampir nggak pernah membuka linimasa yang sering berseliweran segala jenis informasi, mulai dari yang nggak penting sampai berita terkini. Okelah, untuk berita nasional terkini saya yakin selalu update karena mudah diakses di segala platform. Namun, berita-berita yang nggak ada hubungannya dengan stabilitas nasional, tentu saja saya sering ketinggalan. Berita tentang teman lama yang sudah menikah, misalnya. Atau berita tentang si Fulan dapat beasiswa ke luar negeri, mungkin. Tentu saja, semua berita remeh-tapi-lumayan-penting-untuk-bahan-ngobrol-ngalor-ngidul-bersama-teman-lama tersebut hanya bisa saya dapatkan jika saya rajin membuka beranda dan saban hari memelototi berbagai postingan yang berseliweran di linimasa.

Baiklah, mungkin keengganan saya terhadap membuka linimasa di segala media sosial lahir akibat kelelahan saya menjadi manusia terlampau digital. Saya sungguh lelah menjadi manusia yang hidupnya hanya didedikasikan dengan mengecek notifikasi, membalas komentar atau pesan, menekuri linimasa, ikut berkomentar, lalu berulang lagi keesokan harinya. Rasanya seperti diperbudak oleh kemajuan teknologi. Saya pun juga sering kelelahan sendiri mengurusi notifikasi pesan di Whatsapp dan Line yang sekedipan mata saja sudah mencapai ratusan.

Keengganan saya untuk terlalu sering membuka media sosial–terutama yang berseliweran di linimasa–adalah juga untuk menghindari pikiran ‘rumput tetangga selalu lebih hijau dibandingkan rumput sendiri’. Saya tidak memungkiri bahwa terlalu mencurahkan sebagian besar waktu melihat postingan-postingan teman dunia maya akan menimbulkan perasaan insecure. Lantas, munculah perbandingan diri yang kadang kadarnya hingga ambang toxic untuk sistem kepercayaan diri. Setuju atau tidak, pasti kebanyakan dari kita merasa kalau kehidupan orang-orang di luar sana jauh lebih asyik. Bisa pula muncul pikiran bahwa hidup kita seakan terasa jalan di tempat, gini-gini aja.

Rasanya media sosial hanyalah sebagai panggung pameran kehidupan pribadi semata. Setiap orang seakan berlomba-lomba menunjukkan kepada khalayak bahwa hidupnya teramat keren. Setiap orang seakan sibuk memoles cuplikan kehidupannya supaya tampak lebih mentereng. Apalagi sekarang banyak sekali media sosial yang menambahkan fitur-fitur aneh semacam story atau video live. Lama-lama saya merasa jadi manusia purba gaptek yang belum pernah sama sekali menyentuh fitur tersebut.

Fitur-fitur aneh tersebut membuat hasrat pamer sebagian besar pecandu sosial media jadi terfasilitasi. Seakan repot sekali mereka membentuk citra positif diri dalam masyarakat dunia digital. Contohnya seperti di Instagram. Banyak yang repot-repot posting foto dengan sebelumnya melakukan ritual editing. Bisa saja dengan repot membuat warna yang seragam, tema foto yang dikonsep jauh-jauh hari, dan segala keribetan lainnya demi feed instagram yang classy. Tentu saja amat berfaedah, terutama dalam mendulang tambahan followers.

Baiklah, saya bukan mau menghakimi mereka-mereka yang gemar repot-repot memoles sosial medianya. Tentu saja nggak semua yang melakukan hal tersebut hanya menginginkan tambahan followers semata. Bisa saja sosial media tersebut digunakan sebagai sarana mereka dalam personal branding. Bisa saja juga sosial media mereka memang digunakan untuk portofolio yang menunjang profesinya sebagai fotografer, misalnya. Atau bisa saja pula sosial media tersebut sebagai ladang rezeki mereka. Sah-sah saja.

Hanya saja, saya hanya menyayangkan perilaku pecandu sosial media yang menggunakan sosial medianya untuk panjat sosial. Mereka menggunakan sosial medianya sebagai topeng untuk menutupi rasa insecure-nya di dunia nyata. Banyak sekali contohnya.

Suatu hari salah satu teman saya bercerita, seorang temannya ada yang suka memposting kehidupan glamornya di dunia maya. Bergaya seolah anak orang kaya. Namun mirisnya, kehidupan dunia nyatanya jauh berbeda. Dia bukanlah anak seorang kaya raya seperti yang sering ia tampakkan di sosial media. Bahkan, teman saya ini prihatin dan sempat bilang; “Apa nggak kasihan sama orang tuanya? Ya mbok sudah, nggak usah aneh-aneh.” Saya hanya mengangguk setuju.

Ya, memang mungkin generasi dunia digital saat ini sangat butuh pengakuan. Hingga akhirnya menggunakan segala cara untuk mendapatkan pengakuan itu, meskipun harus tersaruk-saruk kesulitan dengan menggunakan berlapis-lapis topeng dunia maya. Mungkin saja mereka juga merasa insecure akan kehidupan dunia nyatanya hingga mencoba memperbaiki citranya dengan berupaya membohongi diri demi dianggap memiliki status lebih tinggi, meskipun hanya  oleh warga dunia maya.

Semakin lama, kehidupan di sosial media semakin absurd saja rasanya. Atau mungkin saja saya sudah makin bosan dengan segala kehidupan digital. Entahlah, yang jelas saya yang sekarang bukanlah saya yang dulu. Saya yang sekarang sudah tidak terlalu merasa repot menambah followers atau pusing ketika followers berkurang drastis. Saya yang sekarang lebih sibuk menikmat kehidupan dunia nyata saya dan berhenti membandingkan diri dengan orang di luar sana yang bahkan secara personal tidak terlalu kenal.

Saya telah tersadar bahwa setiap detik kehidupan dunia nyata saya sangat berharga. Saya ingin lebih bisa memandang dunia dengan murni, tanpa terkontaminasi segala yang berusaha ditampilkan dalam dunia maya.