source: www.tumblr.com |
Beberapa bulan belakang, saya jadi
semakin rajin membaca buku. Entah itu fiksi maupun non fiksi. Aktivitas membaca
sembari menulis menjadi sarana pelarian terbaik, sebagai kompensasi dari efek
semakin menipisnya jumlah kewajiban SKS. Sampai suatu ketika, tibalah saya pada
satu titik, merasa stok bacaan sudah semakin berkurang. Saya teringat
perpustakaan. Iya, perpustakaan. Sebenarnya, lebih teringat perpustakaan SMA
dulu. Bacaan fiksi di sana lebih banyak, dibandingkan perpustakaan kampus saya
kini. Mulai Agatha Christie, Sir Arthur Conan Doyle, J.K. Rowling, Jostein
Gaarder, sampai Stephenie Meyer pun ada di sana. Tidak menutup kemungkinan
sekarang koleksinya bertambah lagi. Mungkin, bisa saja bertambah dengan The Cuckoo’s Calling, Paper Towns, The Fault
In Our Stars, The Silkworm, Hunger Games Trilogy, The Maze Runner Trilogy,
Divergent, atau serial Supernova-nya Dewi Lestari. Sayangnya, satu-satunya
novel yang ada di perpustakaan kampus saya hanya 24 Wajah Billy. Hahaha.
Kerinduan saya akan perpustakaan–yang
benar-benar perpustakaan–bukan tanpa alasan. Hanya saja, saya benar-benar
sedang butuh asupan buku baru. Lalu, petunjuk itu datang. Bagaikan angin segar
di tengah padang gurun kerontang, seorang teman mengirimkan info lomba resensi
di grup whatsapp. Ya, penyelenggaranya Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah
Solo. Bukan lombanya yang saya incar, melainkan di mana gerangan lokasi Kantor
Arpusda yang selama bertahun-tahun tidak pernah saya ketahui rimbanya. Halah.
Ngg,
ini kenapa bahasanya jadi ala Zainudin-Hayati, ya?
Berulang kali bertanya pada Bapak,
yang notabene sejak lahir hingga paruh baya tak pernah beranjak dari kota ini,
namun sayangnya jawaban yang diterima tidak begitu memuaskan. Well, sebagai seorang pecinta buku pula,
Bapak saya memang sumber potensial untuk ditanyai masalah perpustakaan. Sayangnya,
malah saya disuruh ke perpustakaan Keraton. Hellaw, saya mau cari novel bukan
Serat Centhini! Sampai akhirnya, setelah diingatkan oleh lomba resensi itu,
saya teringat bahwa ada teknologi bernama Google
Map *kemudian tepok jidat*. Hm,
sebenarnya, saya terkadang meragukan Google
Map. Tahu teori relativitas, kan? GPS yang cara kerjanya terpengaruh teori
relativitas tentu bisa meleset. Itu baru teori relativitas, kalau meleset
karena human error. Wis embuh. Huft. Ya, hidup saya memang
ribet, tolong dimaklumi.
Lewat Google Map, saya menelusuri lokasi kantor itu. Hingga akhirnya
ketemu. Saya sempat terheran-heran, lokasinya kira-kira 100 meter ke barat dari
Hotel Loji, daerah dekat Stasiun Balapan. Padahal, sejak sekolah menengah atas
saya sering lewat situ, tapi perasaan tidak ada kantor perpustakaan itu, deh.
Setelah saya membuktikan dengan mengunjungi lokasi langsung, ternyata memang
benar ada. Dulunya memang di situ bukan kantor Arpusda, tetapi kantor Dikpora.
Lalu, setelah Dikpora dipindah dekat SMP Negeri 4, jadilah di situ kantor
Arpusda dengan gedung baru dibangun kinclong masih gres.
Lega. Sudah ketemu. Akhirnya, saya
bisa tidur nyenyak. Halah. Tapi, saya sedih. Iya. Kenapa takdir begitu kejam mempertemukan kita
saat saya sudah semester tujuh seperti ini? Ketika saya sudah harus berjibaku
dengan yang namanya Skripsi dan KKN? Kenapa?! *mulai sinetron*. Ngg, tolong maafkan saya, mungkin efek habis
baca serial Supernova: Partikel. Hehehe.
Hal yang membuat saya semakin miris
dan ingin nangis berguling-guling sembari berteriak kesetanan adalah ketika
memasuki perpustakaan langsung disambut deretan buku-buku. Iya. Buku-bukunya… masih
baru! Bahkan dari novel remaja alay hingga novel terjemahan ada di sana. The Cuckoo’s Calling, Dunia Sophie, Paper Towns, The Maze Runner, dan yang
paling sinting ada SHERLOCK HOLMES! Blimey!
Iya, Sherlock Holmes yang versi hardcover. HARDCOVER! Abso-bloody-lutely, HARDCOVER! Okay,
saya mendadak alay ketika bertemu apapun yang berbau Sherlock Holmes. Tolong
maafkan saya. Hiks.
Selain novel, banyak juga buku-buku
nonfiksi. Malah lebih banyak. Ada novel sastra juga. Kalau saja nantinya
koleksi novel sastra bertambah dengan Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan, saya
akan jadi semakin betah ke sana. Well,
saya ingin sekali beli novel itu, tapi karena harganya yang lebih mahal dari The Cuckoo’s Calling, niat saya pun
urung. Jadi, saya akan sangat berbahagia sekali jika perpustakaan mau menambah
novel-novel sastra juga terjemahan. Mungkin, bisa ditambah lagi dengan bukunya
Haruki Murakami dan Orhan Pamuk. Hehehe.
Hey, saya jadi lupa, tulisan ini
sungguh jadi melenceng jauh dari judulnya. Pardon
my silly fault.
Jadi, sebenarnya saya hanya ingin
promosi kepada masyarakat Solo dan sekitarnya supaya sering-sering berkunjung
ke Kantor Arpusda Solo. Lebih enak baca di perpustakaan, udah adem, gratis
lagi. Hehehe. Lagipula, koleksi buku-buku di sana juga sudah terupdate. Bisa
juga dijadikan basecamp nongkrong
anak hits kutu buku. Halah. Tidak perlu beli untuk bisa banyak baca buku, pinjam
pun tidak diharamkan, kok. Kalau hanya ingin membaca saja, boleh pinjam lalu
dibaca di ruang baca perpustakaan. Bisa juga membuat kartu anggota perpustakaan
jika ingin meminjam lebih lama.
Kalau ingin membuat kartu
perpustakaan, tinggal bilang sama petugas perpustakaan. Kalian akan diberi
sebuah kartu yang nantinya harus diisi sesuai identitas kalian. Di bagian
belakang kartu itu ada referensi. Bagian itu diisi oleh orang yang bisa memberi
referensi, seperti, kalau di kampus bisa dekan atau kepala jurusan, kalau di
kantor bisa atasan, kalau di sekolah tentunya kepala sekolah, kalau di
lingkungan rumah bisa minta tanda tangan ketua RT atau ketua RW. Lalu, nanti di
bagian referensi itu distempel sebagai pengesahan dari pihak yang memberi
referensi.
Sungguh, membaca buku itu hal yang
mengasyikkan. Hemat. Tidak perlu keluar biaya banyak pula. Lain cerita kalau
memang pecinta buku sejati, kurang afdhol kalau baca tapi nggak punya buku.
Kalau yang ini bisa dipastikan akan keluar biaya banyak. Hehehe.
source: www.merdeka.com |
Jangan terpaku pada satu jenis buku, misal
hanya suka baca buku fiksi saja atau nonfiksi saja. Kalau bisa dua-duanya,
supaya duniamu makin berwarna. Membaca fiksi membuat pikiran kaya imajinasi,
membaca nonfiksi membuat struktur berpikir semakin logis. Apalagi untuk yang memiliki
intensi tinggi terhadap dunia kepenulisan, membaca kedua jenis buku itu
layaknya asupan gizi yang harus terpenuhi.
Semakin banyak membaca buku,
perspektif kita akan dunia semakin kaya. Kita dapat menjadi orang yang
bijaksana, tidak suka main hakim sendiri, serta dalam menghadapi masalah tidak
mudah gegabah. Pikiran kita semakin terbuka, kita juga akan cenderung menjadi
orang yang lebih toleransi ketika dihadapkan pada perbedaan. Karena pikiran
kita kaya akan pengetahuan, tentu kita tidak akan suka sesumbar tanpa dasar
layaknya orang-orang picik. Ingat peribahasa ‘tong kosong berbunyi nyaring’ dan
‘air beriak tanda tak dalam’ kan? Begitulah gambaran orang-orang yang sesumbar
banyak namun tanpa isi. Semakin banyak membaca, semakin bijaksana kita, maka
semakin tenang pula perangai kita. Layaknya peribahasa ‘air tenang
menghanyutkan’.
Ya, intinya, sih, di tulisan ini pada
umumnya bertujuan untuk mengajak seluruh masyarakat, terutama anak sekolahan
yang masa depannya masih panjang, untuk sering dan banyak membaca buku. Pada
khususnya, tulisan ini juga mengajak masyarakat Solo dan sekitarnya untuk
meramaikan perpustakaan kota. Asal tahu saja, budaya membaca suatu bangsa itu
mencerminkan tingkat kemajuan bangsa tersebut. Buku yang dibaca juga tidak harus
buku fisik, e-book pun tidak masalah.
Tapi, memang lebih nyaman baca buku fisik, sih. Heheh.
Jika semakin banyak orang Indonesia
suka membaca–dibanding nonton konser atau sinetron–maka semakin maju pula
tingkat pengetahuan bangsa ini. Cobalah pula membuat target membaca buku selama
sebulan sebanyak lima sampai delapan judul buku. Atau jika terlalu berat,
mungkin bisa membuat target selama setahun harus menamatkan dari awal sampai
akhir sebanyak 100 sampai 200 judul buku.
Bah!
Itu mah tambah berat, Rif.
Ya, terserah kalian sajalah, yang
penting jangan sampai selama sebulan kalian tidak membaca buku satupun.
Meskipun sekarang era digital dan bisa pula mengakses informasi di Google tanpa
perlu susah-susah membaca buku, tapi tidak semua tulisan terbaik akan selalu dengan
mudah didapatkan melalui dunia maya. Tulisan terbaik dan terbukti kesahihannya pasti
sudah diterbitkan dalam bentuk buku, bukan diumbar dengan copy-paste di dunia maya.
Jadi, intinya, serupa lagu opening Upin Ipin; Baca bukumu! Jangan biarkan sampai berdebu. Iya, gitu. Udah, nggak
usah mbantah!
Sebagai penutup dari postingan
abal-abal ini–yang kebanyakan curcol daripada ngajakin baca buku–ijinkan saya
menanyakan sesuatu kepada kalian semua;
Lalu, sudah membaca buku kah kalian
hari ini?
P.S.: Saya baru saja menamatkan
Partikel-nya Dewi Lestari. Sayangnya, dua buku nonfiksi yang lebih dulu saya
baca belum dilanjutkan lagi. A Brief
History of Time yang baru saya baca sampai bab sembilan dan The Mind At Night yang kurang dua bab
terakhir. Hiks. Jangan dicontoh. Kalau baca buku, ya satu-satu. Jangan seperti
kutu loncat, lompat-lompat. Hiks.
P.S.S.: Eh, tapi, kan bukunya full English.
Jadi, nggak apa-apa, ya. Otak manusia kan butuh rehat sejenak~ Nananana~~ (Halah.
Alasan -_-).
P.S.S.S: Sampai jumpa di postingan
selanjutnya~ :D
Baca buku, biar tambah pintar
BalasHapusYup :D
Hapustinggal di solo mbak
BalasHapusHai marianna... Iya, saya tinggal di Solo. Kamu juga kah? :D
Hapus