Sabtu, 21 Januari 2017

# Kampus Fiksi

[#KampusFiksi 10 Days Writing Challenge] Day #4 – When I First Met…. (fill in the blank)

Awalnya, saya bingung harus menulis apa di tantangan hari keempat ini. Saya merasa tidak memiliki pertemuan mengesankan dengan si ‘dia’. Bahkan, saya bingung juga, sebenarnya si ‘dia’ ini berjenis kelamin apa? Apakah harus berlawanan atau boleh sesama jenis? Rasanya, agak aneh juga harus menulis pertemuan pertama dengan sesama jenis, mengingat keterlibatan emosionalnya tidak sedahsyat jika bertemu dengan lawan jenis yang paling spesial. Catat; PALING SPESIAL! Sebab yang spesial tidak akan pernah terlupakan. #Eaaaa

Hingga kemudian playlist yang sedari tadi saya dengarkan memutar lagu yang level kebaperannya sampai langit ketujuh. Lebay memang, tapi akibatnya saya jadi teringat sesuatu. Setelah sekian lama saya mengabaikan hal-hal yang memicu tarian kupu-kupu dalam diafragma hingga menjejali diri dengan serangkaian aktivitas yang mengandalkan logika sebagai upaya menekan hal tersebut, akhirnya saya terpapar sentuhan yang tak disengaja. Kalimat saya terlampau konotatif, ya? Sengaja, biar sulit tertebak. Hahaha.

Kejadiannya sudah lama sekali, dua tahun lalu, sekitar awal tahun 2015. Sebenarnya, ini bukanlah pertemuan pertama kami. Ini adalah pertemuan kesekian, entah yang keberapa. Namun, pada saat itu lah saya merasa benar-benar ‘bertemu’ dan ‘melebur’ bersamanya. Entahlah, saya heran saja mengapa baru saat itu, momen yang bagi saya sungguh terlambat.

Saya bukanlah orang yang suka menginisiasi percakapan dengan lawan jenis. Antara malu dan gengsi, sih, sebenarnya. Entahlah, mungkin jauh di dalam alam bawah sadar, saya meyakini kalau cewek yang maju duluan itu tampak terlalu agresif.

Hingga akhirnya, saya dan dia berada dalam sebuah situasi. Bedanya, dulu kami merasa canggung satu sama lain karena merasa diawasi, sedangkan saat itu kami sedang menjadi seorang individu yang merdeka. Entah siapa yang memulai duluan, yang jelas masing-masing dari kami punya sumbangsih. Rasanya, percakapan kami menjadi lebih mudah, terbuka, dan mengalir, seperti sudah kenal lama. Perlahan saya pun merasakan sebuah kenyamanan, meskipun percakapan kami hanya seputar masalah remeh-temeh. Seperti terdengar bunyi ‘klik’ di kedalaman diri saya. Momen yang sangat langka, jarang sekali saya merasa bisa senyambung itu, apalagi dengan lawan jenis.

Aneh. Seringnya, saya merasa tidak nyaman ngobrol terlalu lama dengan lelaki. Seiring berjalannya waktu, biasanya saya ingin segera mengakhirinya. Tapi yang ini berbeda. Waktu rasanya berlalu sangat singkat, sebagian diri saya enggan untuk beranjak. Saya kadung terhisap dalam pusaran, susah lepas. Ah, lebay memang, tapi ini serius!

Sampai saat ini, saya pun terkadang nggak habis pikir; kok bisa-bisanya saya merasa ‘klik’ banget ngobrol sama dia? Saya pun mulai menghubung-hubungkan hal konyol seperti; kalau merasa nyaman dan ‘klik’ ngobrol, jangan-jangan he’s the one. Yailah, padahal belum tentu juga, kan? Barangkali kami memang punya sedikit kemiripan kode genetik. Halah. Memang kadang otak saya ini mendadak absurd. Pikiran itu lalu saya abaikan dan tepis jauh-jauh, karena sama sekali nggak rasional.

Jika dikilas balik, rasa-rasanya obrolan kami juga biasa-biasa saja. Atau mungkin, saya terlampau terkesima dengan keterbukaannya meladeni pertanyaan saya yang suka sekali mengorek-ngorek pribadi orang. Hahaha. Atau mungkin, karena memang dirinya tidak menunjukkan gelagat defensif ketika ngobrol dengan saya. Ah, entahlah, kenyamanan dan rasa ‘klik’ itu adalah sesuatu yang relatif dan abstrak. Bisa saja saya nyaman ngobrol dengan dia, tapi ternyata dia sebaliknya.

Sejak pertemuan tersebut, saya menantikan saat-saat di mana kami bisa bertemu lagi. Entah di situasi dan tempat yang sama atau di kesempatan insidental lainnya. Kami sempat beberapa kali bertemu, di situasi dan tempat yang berbeda. Lagi-lagi, saya sok gengsi. Alih-alih menyapa duluan, saya hanya diam pasif menunggu dia menginisiasi. Oke, bisa ditebak endingnya; tidak ada yang maju duluan. Saya malah sibuk mencari UFO lewat. Huft!

Sampai sekarang, saya masih penasaran. Ingin sekali melanjutkan percakapan kami yang, menurut saya, belum kelar. Atau mungkin, saya hanya ingin menganalisis lebih jauh, apakah obrolan kami akan tetap nyambung dan seru seiring berjalannya waktu. Atau mungkin, dengan cara itulah kami bisa semakin saling memahami lebih jauh. #Eaaa

Sekarang, kami sama-sama sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Saya pun sudah menganggap momen aneh tersebut hanya sebagai cerita masa lalu. Semoga jika suatu saat kami bertemu–secara insidental–lagi, percakapan yang belum kelar tempo lalu bisa berlanjut kembali. Halah.

Baiklah, daripada lama-lama saya jadi tambah curcol, lebih baik cukup saya akhiri saja. Saya juga bingung mau nulis apa lagi. Hehehe.



Solo, 21 Januari 2017

4 komentar: