Rabu, 09 Desember 2015

# Experience # Renungan

Budaya Main Serobot


Sebagai orang yang lahir dan besar di negeri gemah ripah loh jinawi ini, pasti kita sudah sangat akrab dengan perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia satu ini, budaya main serobot. Sering sekali kita mendapati antrian yang tidak tertib, entah itu tidak berjajar rapi atau ada yang dengan muka badaknya memotong antrian orang. Saya pernah beberapa kali menjadi korban serobot antrian, ketika mengantri di kasir swalayan dan ketika mengantri membeli bensin. Kesal, tentu saja. Sayangnya, saya adalah tipe orang yang terlalu nerimo dan tidak suka bikin ribut, jadilah saya diam saja. Rasanya ingin marah sambil menyumpah-serapahi juga, tapi saya masih terlalu waras untuk meledak-ledak impulsif di ruang publik.
source: www.summareconserpong.com
Kejadian-kejadian tersebut memang sering kita temui di mana pun selama kita masih tinggal di Indonesia. Tidak hanya serobot dalam hal mengantri, serobot dalam hal berkendara di jalan raya pun bukan hal aneh di negeri kita tercinta ini. Keselamatan diri sendiri dan orang lain seolah menjadi barang murahan, sehingga bisa seenak jidat digadaikan demi mengejar hal-hal kurang esensial lainnya. Seperti peristiwa kecelakaan yang sedang viral akhir-akhir ini. Mulai dari kecelakaan mobil sport Lamborghini yang menelan dua korban jiwa di Surabaya sampai kecelakaan antara metromini dengan kereta Commuter Line di Jakarta Barat. Dua hal tersebut menjadi contoh bahwa sudah mendarah dagingnya budaya main serobot sana serobot sini hingga mengakibatkan kerugian besar bagi orang lain.
Lantas, saya pun jadi teringat dengan perkataan salah seorang teman saya, sebut saja Nisa (memang nama asli, hehehe). Ketika itu, kami sedang terlibat percakapan tentang budaya naik kendaraan antara orang Solo dan Jakarta. Tibalah pada sebuah celetukan Nisa yang nempel di kepala saya dan selalu terngiang ketika saya mengendarai motor:
“Sempet heran juga, sih, kenapa masih banyak orang Indonesia yang masih bisa hidup dengan kondisi jalan raya kayak gini.”
Benar juga, pengendara kendaraan pribadi maupun kendaraan umum di Indonesia sangat sangat sangaaaaattt tidak bersahabat dengan sesama pengguna jalan lainnya. Boro-boro bersahabat dengan sesama pengguna alat transportasi lain, pejalan kaki dan pengguna sepeda saja sering didiskrimanasi. Saya pun ingat momen ketika mengendarai sepeda di jalan raya, meskipun sudah di paling pinggir dan hampir nyemplung comberan, tetap saja pengendara mobil dan motor iseng mempermainkan klaksonnya. Huft, masya Allah!
Ya, saya juga mengakui bahwa saya juga pernah mendiskriminasi pejalan kaki dan pengguna sepeda. Namun, ketika saya sudah mencoba berada di posisi pejalan kaki dan pengguna sepeda itu, saya pun mulai menurunkan egoisme saya, mencoba memaklumi dan memberi kesempatan sesama pengguna jalan umum lainnya. Lagipula, jalanan umum ‘kan milik negara, bukan milik sendiri yang lain sewa.
Ada juga cerita yang pernah saya baca di sebuah buku catatan perjalanan. Suatu ketika si penulis pernah berkendara bersama dengan bos besarnya yang orang Belanda. Ketika di Indonesia, bos Belanda itu tidak berani mengendarai mobil sendiri, selalu ditemani oleh supir. Tentu saja, mengendarai kendaraan di Indonesia harus punya stok sembilan nyawa. Memang, masyarakat Indonesia adalah masyarakat tertangguh abad ini, yang masih bisa hidup di tengah kondisi carut marut transportasi seperti ini.
source: www.radarcirebon.com
Lalu, sebenarnya apa sih yang menyebabkan budaya main serobot sana serobot sini yang sangat menjengkelkan ini? Kalau boleh akal pikiran saya yang sempit ini menganalisa, mungkin ini akibat dari banyaknya peristiwa-peristiwa besar yang sering terjadi di Indonesia. Mulai dari merasakan betapa keras dan pahitnya hidup ratusan tahun menjadi rakyat jajahan hingga krisis moneter tujuh belas tahun silam. Begitu besarnya jumlah populasi masyarakat Indonesia kerap kali berbanding terbalik dengan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan. Ibaratnya, permintaan lebih besar dari penawaran, kebutuhan lebih besar dari ketersediaan. Sehingga, terkadang satu sama lain perlu berlomba-lomba untuk bisa survive supaya perut sendiri bisa terisi. Jatah yang limited edition tersebut memang terkadang membentuk karakter kita menjadi agak terlalu kompetitif. Bagaimana tidak, kalau kita hanya menunggu saja pasti akan kehabisan jatah, tidak kebagian. Padahal, sebenarnya butuh. Jadi serba salah, bukan? Berbeda dengan negara lain yang angka pertumbuhan penduduknya nyaris 0%, tentu saja jumlah penduduknya juga tidak sebesar Indonesia. Biasanya pun mereka juga berlimpah sumber daya sehingga selalu cukup tersedia stoknya. Bisa dipastikan bahwa jatah untuk masing-masing individu akan bisa terpenuhi, bukan?
Hm, sebenaranya ini hanya analisis saya yang cetek dan kurang banyak data pembanding juga, sih. Boleh dibantah, boleh dikritik juga. Hehehe. Lagipula, saya memandang ini dari kerangka berpikir saya yang lebih sering mengaitkan suatu persoalan dari kejadian masa lalu (kemudian berasa ngubek-ngubek Psikoanalisis).
Jika dihubungkan dengan ketidakpastian atau uncertainty, dunia ini memang penuh peristiwa yang tidak pasti, uncertainty events. Mungkin, kebiasaan orang Indonesia untuk main serobot itu adalah salah satu cara dalam mengatasi ketidakpastian. Sebagai orang Indonesia, kita sangat terlatih untuk menjadi orang yang hidup mentah dalam ketidakpastian. Kalau ada yang sering membuka situs www.geert-hofstede.com pasti sudah pernah mencoba membandingkan budaya antara satu negara dengan negara lain. Salah satu indikator dalam perbandingan tersebut adalah uncertainty avoidance. Jika dibandingkan dengan Jepang, jelas bahwa Indonesia memiliki kemampuan menghindar dalam ketidakpastian yang kalah jauh. Ya, sebagai orang Indonesia yang sejak lahir hingga dewasa tinggal di Indonesia, tentu akan akrab dengan ketidakpastian-yang-tidak-dicoba-untuk-dihindari tersebut. Mulai dari jam datang-berangkat kereta api, bus, atau pesawat yang lebih sering tidak pastinya karena lebih sering delay, sampai menghindari ketidakpastian semacam bencana alam. Jelas beda lah jika dibandingkan dengan negara dunia pertama. (Oke, pembandingnya memang terlalu njomplang, sih. Hehehe).
Hei, namun dengan seringnya kita hidup dalam ketidakpastian tersebut, selain memiliki dampak negatif suka main serobot, ada pula dampak positifnya. Kita menjadi tidak tergantung dengan keadaan serba enak, kita akan mencoba untuk mencari celah, semakin lama akan semakin mengasah daya kreativitas kita. Tentu saja, karena kita sudah terlatih hidup dalam keadaan serba susah, kita menjadi bisa memutar otak untuk mencari cara bagaimana keluar dari keadaan tersebut. Jadi, hidup dalam negara berbudaya kurang antisipatif dalam mengatasi peristiwa yang penuh ketidakpastian itu tidak selamanya buruk, kok. Hahaha. (Sekali lagi, ini berdasarkan analisis abal-abal saya yang cetek parah).
Apapun keadaannya, saya tetap cinta Indonesia. Meskipun rupiah melemah, harga bensin merangkak naik, hingga tarif dasar listrik mulai ikut menanjak, saya tetap cinta Indonesia. Ya, walaupun kemarin sempat marah-marah juga dengan keadaan itu. Hehehe.
 Ya, daripada capek-capek mengkritik, menghujat, dan menyumpah-serapahi keadaan negeri yang permasalahannya saling sengkarut ini, lebih baik mulai bergerak menjadi agen-agen pembaharuan ke arah yang lebih baik. Masih ada harapan, tentu saja. :)

2 komentar:

  1. Jadi keingetan, kemarin sempet ngantri beli makan ampe 30 menit terus ada teteh teteh cantik nyerobot.

    Jadi dilema, mending jadi orang "jahat" apa "bodoh". Kalau negur, protes apalagi ngamuk-ngamuk, "yaelah cuman diserobot antrian doang" kayanya terkesan jahat.

    Kalo dibiarin kok berasa sedih, nggak bisa ngebela diri sendiri. Hiks...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo misal udah ngantri lama tapi tiba2 ada yang nyerobot gitu pasti aku bakal mencak-mencak juga sih mba. Enak aja itu orang seenak udel motong antrian wkwk xD

      Hapus